Game yang akan mereka mainkan adalah lomba lari, yang sialnya adalah kegiatan yang paling dibenci oleh Nina. Kali ini, yang berlomba adalah para kontestan perempuan, sehingga para pria hanya bertugas sebagai tim penyorak. Sean, nantinya akan memberikan aba-aba, dan para peserta lomba harus lari mendekati bibir pantai menuju ke air untuk memperebutkan bendera merah yang kini tengah tertajak di ujung sana.
Nina mengambil ancang-ancang setelah melakukan pemanasan. Walaupun jauh di lubuk hatinya dia sudah pasrah dengan keadaan. Persetan dengan hadiahnya, Nina tidak punya bakat olahraga.
"Siap! 1....2....3!" Sean sebagai wasit kemudian menghitung start. Para kontestan berlari secepat kilat dengan Kanaya dan Chelsea berhasil memimpin permainan, sedangkan Kesha berada di urutan ketiga, dan tentu saja Nina berada di urutan terakhir. Apalagi saat mereka sudah menuju air, mereka tidak bisa bergerak dengan bebas untuk berlari sehingga pergerakan Nina semakin melambat. Hi
Aura yang dipancarkan kedua sejoli yang kini tengah sama-sama menatap keluar mengeluarkan sisi dingin yang hanya dipahami keduanya. Helaan nafas tak henti-hentinya terdengar untuk menyaingi keheningan yang melanda begitu lama. Keputusan yang dibuat Chelsea hanya menguntungkan sebagian pihak, dan kemudian merugikan pihak lainnya. Contohnya saja Nina dan Ikbal yang kini dipasangkan sebagai pasangan kencan. Jika saja tidak ada kamera, Nina mungkin akan mengumpat sepuasnya hingga rasa marah yang menyelimuti hatinya sirna. Begitupula dengan Ikbal yang sedari tadi memijat keningnya, mereka sama-sama tak punya energi untuk sekedar menunjukkan wajah bahagia yang palsu."Lo ada ide kita mau kemana?" Ikbal akhirnya memutuskan untuk membuka suara. Lelaki itu kelaparan, setidaknya Ia harus mengisi perut agar otaknya tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya.Nina hanya mengendikkan bahu, "Nggak ada.""Sama." Singkat Ikbal kemudian sebelum keheningan kembali menyerang.
DAY 6"Menurut lo gue harus gimana?" Tanya Nina kepada Sasa. Setelah kegelisahannya dua hari semalam, Nina merasa kali ini Ia harus benar-benar meminta saran kepada Sasa, yang ngaku sebagai pawang pria. Jam makan siang Sasa mau tidak mau harus Ia korupsi dengan iming-iming traktir Mie Gacohan."Duh, gimana ya, Nin. Lo emangnya udah cinta banget sama ni laki?" Tanya Sasa."Nggak cinta juga kali, Sa. Ya gue merasa suka aja gitu sama cowok ini. Dia itu tipe gue banget gitu lho. Diantara cowok yang lain, gue juga paling dekat sama dia. Gua tuh malas ngulang dari awal lagi. Gue bahkan udah kepikiran buat milih dia di hari terakhir," Nina menundukkan kepalanya. Dia merasa pusing gara-gara harus menghadapi permasalahan cinta yang sungguh rumit."Elah, baru juga 6 hari, Nin. Kesempatan lo masih banyak buat ngerebut si Adam itu. Lagian nih ya, kalau pun itu cowok beneran suka sama teman sekamar lo, udah pasti dia nggak bakalan bilang cemburu
DAY 7 'Aku harap kamu nggak merasa ragu denganku. Aku beli cincin itu karena dia yang meminta.' Nina membaca pesan itu berkali-kali. Tentu saja Ia tahu siapa pengirimnya. Matanya termenung menatap keluar jendela. Tubuhnya bersandar di sofa sembari memperhatikan bulir air yang menetes ke kaca. Sang mentari bahkan masih enggan memancarkan sinarnya. Namun, wanita yang kini tengah memeluk tubuhnya yang menggigil tiba-tiba terjaga jam 4 pagi, menatap ponsel yang masih menampilkan layar yang sama. Nina menyandarkan kepalanya di lutut. Nina akui Ia memang tidak mengantuk sama sekali. Setelah makan malam Ia memutuskan untuk tidur sebelum Adam sempat mengajaknya bicara. Pria itu datang tadi malam ke kamarnya, ingin mengklarifikasi sesuatu. Namun, Nina dengan enggan menolak halus, berkali-kali mengatakan kelelahan sehabis bekerja. Membuat lelaki itu paham, bahwa Nina sedang tidak ingin membicarakan apapun malam itu. Dan sekarang wanita it
"Maaf ya, Mas tadi malam aku nolak bicara. Aku cuman merasa lelah aja soalnya seharian kerja di kantor," Jelas Nina. Tentu saja Ia merasa bersalah karena sudah bersikap tak sopan kepada Adam. Padahal pria itu sudah mau repot-repot datang ke kamarnya untuk menjelaskan sesuatu, tetapi Nina malah menghindar seperti orang bodoh."Iya nggak apa-apa, aku mengerti. Maaf juga terlalu mendesak kamu semalam. Aku hanya merasa aku seperti harus menjelaskan sesuatu," Jelas Adam."Apa itu, mas?" Nina sebenarnya tahu, namun Ia tetap bertanya saja. Ia ingin tahu bagaimana penjelasan pria itu kepadanya."Soal cincin itu, bukan aku tapi Chelsea yang meminta, memang benar kalau aku yang memilih, tapi itu karena Chelsea memilihkan warna yang cukup aneh untuk dipakai pria berusia 34 tahun sepertiku," Kata Adam yang sontak mengundang tawa dari Nina. Tentu saja desain cincin itu terlalu simple untuk Chelsea yang cenderung suka sesuatu yang heboh. Pantas saja, meskipun cantik, tampilan
DAY 8'Para pria, silahkan berikan kartu namamu kepada wanita yang ingin kamu ajak kencan, jika wanita itu menolak maka kencan dibatalkan'Pesan itu datang setelah mereka memakan sarapan bersama. Para pria meminta untuk diberi ruang sendiri untuk memilih. Sementara menunggu, para wanita pun memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing.Sean, Adam, Ezra, dan Ikbal kini tengah berada di meja makan. Beberapa dari mereka sudah menentukan pilihan, namun belum beranjak maju karena takut akan ditolak. Sementara sisanya masih bimbang memilih diantara kedua wanita."Haah," Entah sudah kesekian kalinya Adam menghembuskan napas dengan kasar. Kepalanya begitu pusing. Ia harus memilih salah satu diantara kedua wanita yang menarik perhatiannya."Bingung, Dam?" Sean bertanya. Diantara kontestan pria lainnya, Adam memang lebih dekat dengan Sean. Mungkin karena perbedaan umur mereka yang tidak terlalu jauh jadi obrolan mereka berdua lebih nyamb
Adam dan Nina berkencan di sebuah cafe bernuansa alam. Cafe terletak di sebuah bukit, sehingga mereka bisa melihat padatnya pemukiman di bawah. Udara yang sejuk, dan coklat panas yang masih menguap menemani suasana kencan.Disamping cafe terdapat berbagai permainan kecil yang biasanya ada di pasar malam. Seperti, memanah, box tinju, melempar kaleng, dan menembak. Sungguh, Nina tak sabar ingin mencoba semua permainan itu."Nanti kita main kesitu yuk, Mas. Kayaknya seru," Ajak Nina."Boleh, tapi jangan nangis kalau kalah ya," Ejek Adam membuat Nina memcebikkan bibirnya. Awas, lihat saja nanti."Kalau menang hadiahnya apa?" Tantang Nina."Gimana kalau yang kalah kabulkan keinginan yang menang?" Adam menyeringai."Semua keinginan?" Tanya Nina yang diangguki oleh Adam. Wow, sebuah penawaran yang menggiurkan."Deal!" Nina mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Adam, tetapi pria itu malah menarik tubuh Nina lebih dekat di sa
Ikbal berteriak kesal ketika Ia tahu Chelsea lebih memilih Sean dibandingkan dirinya. Harga dirinya terluka karena wanita itu kembali menolaknya mentah-mentah. Chelsea memberikannya harapan, namun kemudian saat Ikbal bergerak maju, perempuan itu malah memberi batas dengan benteng yang tinggi."Mencak-mencak nggak bakal bikin Chelsea suka sama lo," Ezra memutar bola mata dengan malas melihat roomatenya tidak berhenti berdecak. Bibir itu terus saja menumpahkan emosi yang tidak bisa dipahami oleh Ezra. Tindakan pria itu lebih seperti obsesi dibandingkan rasa suka."Semalam dia bilang dia bakal ngasih gue kesempatan. Tapi dia malah jalan sama yang lain. Lagi-lagi gue ditolak dan gue harus gabut sendirian di rumah, " gerutunya. Menurut Ezra, Chelsea memang lumayan licik. Dia tahu cara menarik perhatian pria, menundukkan, dan kemudian membuai dengan kata-kata manisnya. Well, itu bukan sesuatu yang jahat, toh mereka sedang di acara dating, mereka bebas menebarkan pesonanya ke
DAY 9 "Lagian lo kekanak-kanakan banget sih, Nin?" Sasa kini tengah memarahinya. Setelah Nina memberikan spoiler sekaligus curhat pada wanita itu, kini Nina malah kena semprot habis-habisan."Coba deh kalau lo diposisi gue, emangnya lo bisa nahan emosi digituin sama cowok?" Nina yang sama kerasnya tak terima jika Sasa malah menghakimi alih-alih membelanya. Padahal Nina sudah menjelaskan sedetail mungkin tanpa cela, tapi Sasa malah menyalahkannya. "Ya, gimana ya pasti gue juga emosi lah. Cuman kan posisinya kalian itu lagi ikut acara kencan kan. Lo paham nggak sih konsep acara kencan? Justru itu haknya Adam kali kalau dia mau kenal siapapun, kalian kan nggak terikat dalam suatu hubungan. Lagian, itu pilihan lo kalau lo cuman mau kenal Adam, masalahnya itu lo nggak bisa maksain kehendak lo sama dia. Dia ikut acara ini juga pasti mau benefit. Kalau menurut dia, lo nggak ngasih apa yang dia mau ya buat apa dia milih lo? Dia tentu harus mengenal y
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila