Adam dan Nina berkencan di sebuah cafe bernuansa alam. Cafe terletak di sebuah bukit, sehingga mereka bisa melihat padatnya pemukiman di bawah. Udara yang sejuk, dan coklat panas yang masih menguap menemani suasana kencan.
Disamping cafe terdapat berbagai permainan kecil yang biasanya ada di pasar malam. Seperti, memanah, box tinju, melempar kaleng, dan menembak. Sungguh, Nina tak sabar ingin mencoba semua permainan itu.
"Nanti kita main kesitu yuk, Mas. Kayaknya seru," Ajak Nina.
"Boleh, tapi jangan nangis kalau kalah ya," Ejek Adam membuat Nina memcebikkan bibirnya. Awas, lihat saja nanti.
"Kalau menang hadiahnya apa?" Tantang Nina.
"Gimana kalau yang kalah kabulkan keinginan yang menang?" Adam menyeringai.
"Semua keinginan?" Tanya Nina yang diangguki oleh Adam. Wow, sebuah penawaran yang menggiurkan.
"Deal!" Nina mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Adam, tetapi pria itu malah menarik tubuh Nina lebih dekat di sa
Ikbal berteriak kesal ketika Ia tahu Chelsea lebih memilih Sean dibandingkan dirinya. Harga dirinya terluka karena wanita itu kembali menolaknya mentah-mentah. Chelsea memberikannya harapan, namun kemudian saat Ikbal bergerak maju, perempuan itu malah memberi batas dengan benteng yang tinggi."Mencak-mencak nggak bakal bikin Chelsea suka sama lo," Ezra memutar bola mata dengan malas melihat roomatenya tidak berhenti berdecak. Bibir itu terus saja menumpahkan emosi yang tidak bisa dipahami oleh Ezra. Tindakan pria itu lebih seperti obsesi dibandingkan rasa suka."Semalam dia bilang dia bakal ngasih gue kesempatan. Tapi dia malah jalan sama yang lain. Lagi-lagi gue ditolak dan gue harus gabut sendirian di rumah, " gerutunya. Menurut Ezra, Chelsea memang lumayan licik. Dia tahu cara menarik perhatian pria, menundukkan, dan kemudian membuai dengan kata-kata manisnya. Well, itu bukan sesuatu yang jahat, toh mereka sedang di acara dating, mereka bebas menebarkan pesonanya ke
DAY 9 "Lagian lo kekanak-kanakan banget sih, Nin?" Sasa kini tengah memarahinya. Setelah Nina memberikan spoiler sekaligus curhat pada wanita itu, kini Nina malah kena semprot habis-habisan."Coba deh kalau lo diposisi gue, emangnya lo bisa nahan emosi digituin sama cowok?" Nina yang sama kerasnya tak terima jika Sasa malah menghakimi alih-alih membelanya. Padahal Nina sudah menjelaskan sedetail mungkin tanpa cela, tapi Sasa malah menyalahkannya. "Ya, gimana ya pasti gue juga emosi lah. Cuman kan posisinya kalian itu lagi ikut acara kencan kan. Lo paham nggak sih konsep acara kencan? Justru itu haknya Adam kali kalau dia mau kenal siapapun, kalian kan nggak terikat dalam suatu hubungan. Lagian, itu pilihan lo kalau lo cuman mau kenal Adam, masalahnya itu lo nggak bisa maksain kehendak lo sama dia. Dia ikut acara ini juga pasti mau benefit. Kalau menurut dia, lo nggak ngasih apa yang dia mau ya buat apa dia milih lo? Dia tentu harus mengenal y
Saking senangnya, Nina membeli banyak es krim untuk satu asrama. Anggap saja sebagai pajak baikan dengan Adam. Sebetulnya Nina tidak terlalu suka es krim karena rasanya yang manis. Nina lebih suka makan asinan atau camilan goreng. Sean dan Kesha tengah memasak makan malam. Karena kemampuan mereka yang terbatas, Kesha menyarankan agar mereka makan lalapan saja malam ini. Berbagai sayur rebus dan mentah sudah tertata pada satu piring besar. Kesha sendiri tengah sibuk mengulek sambal resep keluarganya sedangkan Sean menggoreng ayam dan ikan. Adam terlihat segar sehabis mandi. Bulir-bulir air masih berjatuhan dari rambut hitamnya. Sambil menggosok rambut dengan handuk yang menyampir di bahu, Adam duduk di samping Nina. Dengan santai tangannya berlabuh di bahu kursi yang Nina duduki. Nina yang merasa rileks pun akhirnya menyandarkan kepalanya di lengan Adam. Entah sadar atau tidak, Adam memainkan beberapa helai rambutnya sambil sesekali memilin di jarinya. "Mata kamu merah, Mas. Sakit k
DAY 10Alunan musik klasik menggema saat matahari terbit di ufuk timur. Aroma racikan penyedap rasa pun ikut memanjakan indra penciuman. Gerimis kecil menjadi pendukung euforia sedih yang dirasakan oleh langit yang bergemuruh kencang.Para bujangan semakin merapatkan selimut, membenamkan kepala hingga kelopak matanya tak lagi sanggup membuka, lupa bahwa mereka harus menjadi budak korporat.Adam cukup menikmati sarapannya dengan secangkir kopi panas. Asapnya yang masih mengepul lebih menambah kenikmatan. Sementara Ikbal yang harus mengisi perut dengan sesuap nasi mau tak mau membuat sesuatu untuk mengganjal perutnya selama bekerja.Adam mematikan radio tua yang sengaja dibawanya dari rumah. Memang, selera tidak bisa membohongi usia. Pria itu bangkit untuk menaruh cangkir kotornya di wastafel. Kedua pria itu, tak ada satupun yang membuka suara, lebih tepatnya tidak ingin. Sebab mereka adalah rival.Mata elangnya tak mungkin luput ketika menyaksikan pujaan hatinya, kini tengah menahan hu
"Nina?""Daripada gabut. Mending kencan sama gue, Mas," Nina memaksa masuk ke dalam kamar bernuansa maskulin itu. Kamar yang cenderung lebih rapih dibandingkan kamarnya karena dihuni oleh dua orang pria dewasa dan mapan."Nin, gue nggak suka dijadiin pelampiasan," Sean terkekeh pelan. Wajah kesal Nina sangat lucu dimatanya. Pasti perempuan itu baru saja ditolak."Justru ini namanya kerja sama, Mas. Lo mau seharian luntang lantung di asrama?" Tangannya bersedekap setelah berhasil menguasai kasur Sean. Pria itu duduk di sebelahnya, bersandar pada dinding."Nggak juga kok. Ada Kesha sama Ikbal juga di rumah," Tolak Sean secara tak langsung."Jangan bilang lo nolak Kesha lagi?" Nina mengernyit tak suka. Sebab dia kasihan pada Kesha yang tidak lagi pernah berkencan, "Lo harusnya kasih dia kesempatan, Mas. Lo nggak kasihan sama dia?""Masa gue kencan sama orang cuman karena kasihan sih. Malah gue jahat banget kalau gitu," Jawab Sean. Pria it
DAY 11Mata Nina mengerjap ketika menyadari ruangan sudah terang. Dia perlahan bangkit, namun baru seperempat tubuhnya terbangun, pandangannya berkunang-kunang. Ia tidak tahu kapan Ia tertidur. Seingatnya, Ia menangis semalaman di dalam toilet sampai jatuh tertidur di lantai marmer yang dingin. Mungkin Chelsea atau Nadya yang mengangkat tubuhnya menuju kasur.Matanya agak berat untuk sekedar dibuka. Ia mau tidak mau harus memakai kacamata tebal untuk menutupi matanya yang sembab. Perasaannya pagi ini masih campur aduk, tapi setidaknya lebih baik daripada semalam. Nina merasa tidak enak badan, jadi ketika Ia menuju ruang tamu, Ia memutuskan untuk berbaring di sofa dengan membawa selimut hello kittynya ditemani oleh bunyi TV agar tidak sepi."Sakit?" Sebuah sentuhan pada kepalanya membuat Nina refleks menyentak. Didepannya, Adam sudah siap dengan pakaian kerjanya. Tampaknya Nina tidak menyadari presensi Adam di dapur. Padahal Adam membuat sarapan yang cukup
DAY 12"Aku pasti akan tetap menunggu kamu, Mas," Kata Chelsea tenang. Padahal dalam hatinya tak kunjung berhenti gelisah karena sebagian besar hati pria itu telah dimiliki oleh Nina. Setidaknya untuk saat ini."Maaf, aku nggak bisa tegas dengan kalian berdua. Aku nggak akan memaksa kalau kalian ingin pergi, meskipun rasanya berat," Balas Adam. Pria itu mengemudi pelan. Jalanan sedikit lenggang, oleh karena itu lah pria itu tak keberatan saat Chelsea meminta nebeng dengannya untuk pergi ke kampus."Aku nggak akan pergi, Mas. Aku tetap akan memilih kamu sampai akhir," Tegas Chelsea. Perasaannya pada Adam kian hari kian membesar. Entah memakai susuk apa pria itu hingga membuatnya tergila-gila. Sebagian besar disebabkan karena egonya yang terluka untuk pertama kalinya karena tak kunjung mendapatkan pria yang dia inginkan."Kamu tahu konsekuensinya kan? Kamu tahu kan perasaanku ke kamu nggak seperti itu," Kata Adam."Lebih tepatnya belum. Aku tahu, mak
DAY 13"Nggak. Kamu duduk sini."Wanita itu ingin sekali makan jelly, camilan favoritnya. Sialan Adam dengan kecemburuannya. Nina ingin sekali ikut Sean ke minimarket. Ia sudah siap dengan cardigan rajut dan dompet di ketiaknya."Yakin nggak mau ikut?" Nina tahu, Sean sedang menggodanya. Wajah gadis itu pun diam-diam memelas meminta tolong.Ia benar-benar ingin makan jelly!"Udah-udah, gue aja yang ke minimarket. Lo ikut nggak?" Ikbal mengambil alih.Tidak, jangan juga Ikbal. Pria itu menyebalkan."Aku bilang duduk, Nina. Aku bisa beliin kamu satu dus jelly sekarang juga, bahkan dengan tokonya kalau mau," Kata Adam otoriter.Bukan hanya masalah jelly, tapi Nina tidak tahan kalau harus terjebak di situasi menyebalkan lagi! Lihat lah, Chelsea sedang gelendotan manja di bahu Adam. Mau pria ini apa sebenarnya?!"Ck! Gue cabut sekarang. Kalau lo nggak ikut gue tinggal," Final Ikbal.Ancaman Ikba
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila