"Baju sudah, dalaman sudah, catokan...eh nanti aja pas h-1 deh," Gumam Nina. Ia kini tengah menyicil barang yang harus dibawa untuk 30 hari ke depan. Setelah kongkalikong yang cukup alot dengan Bapak tadi pagi. Akhirnya Bapak mengizinkan Nina untuk ke asrama dengan syarat harus mengirimkan kabar setiap hari ke rumah. Tentu saja hal tersebut juga disambut baik oleh ibunya. Ibunya akan memanfaatkan Nina sebaik mungkin untuk mendapatkan spoiler tentang pasangan-pasangan disana. Tanpa memikirkan anaknya akan mendapatkan jodoh atau tidak.
"Udah kamu berangkat kantor sana. Biar ibu yang beresin nanti." Ibunya datang menyeret koper Nina ke samping. Kemudian mulai menggeledah isi lemari Nina yang berisikan banyak sekali baju. Bahkan Bapak sampai harus membuatkannya walk in closet agar baju-baju Nina mendapatkan kesempatan muat ke dalam lemari.
"Kalau baju jangan ibu deh. Nanti Nina malah dipilihkan baju gamis lagi. Nina bukannya mau qasidahan ya, Bu," Protes Nina. Nina masih ingat ketika pertama kali diajak oleh ibunya ke arisan. Saking malasnya, Nina memilih bersiap dengan hoodie pink dan training kesayangannya. Ibunya yang murka pun sontak memaksa Nina untuk segera berganti dengan baju pilihan ibu. Akhirnya, Nina harus rela memakai baju gamis dengan kerlap kerlip putih menyala seperti orang mau lebaran.
Ibunya kemudian berdecak, "Iya tahu. Tapi ibu juga nggak suka ya kalau Nina milih baju yang seksi-seksi. Digebuk Bapak pakai sapu lidi tahu rasa kamu."
"Nggak lah, Bu. Nina juga tahu malu kali," Bohong Nina. Padahal jauh di dalam pikirannya, Ia berencana menyelipkan satu crop top tali spagetti ke dalam kopernya nanti.
"Yasudah, berangkat sana. Calon penerus Bapak kok suka ngaret," Omel Ibu.
"Yasudah iya iya. Nina berangkat ya, Bu. Assalamualaikum"
***
"Wow, calon artis kita datang guys!" Teriak Sasa saat Nina memasuki area dapur. Seluruh karyawan pun ikut bersorak dengan ramai seolah memenangkan piala dunia. Nina kemudian mendesis, "Apaan sih!"
"Party nggak nih, Bu bos?" Goda Hilman.
"Enaknya all you can eat kali ya." Timpal Sasa pula. Nina seketika melotot ke arah Sasa dan mengacungkan jari tengah. Gara-gara Sasa, Nina hampir saja dikeluarkan dari kartu keluarga oleh Bapak. Ingatkan Nina untuk meminta perhitungan dengan perempuan itu.
"Tambah gajih aja, Bu bos." Sahut manusia paling tak tahu diri bernama Nico.
"Nggak! Nggak ada party-party. Kerja lo semua. Kalau gue bangkrut lo pada bisa beli skincare gue?" Sewot Nina.
"Elah kaku amat Bu bos. Lama nih nggak makan korengan korengan," Kata Danu.
"Sontoloyo! Korea!" Omel Vivi, si paling fanatik Oppa Korea.
"Iya dah itu maksud gue." Danu kemudian meringis sebab Vivi tengah melayangkan tatapan tajam kepadanya. Fanatik Korea itu tidak akan segan untuk mencakar siapapun yang berani cari mati dengan apapun yang berhubungan dengan idolanya, termasuk negeri gingseng tersebut.
"Bisa. Lo yang bayar tapi ya, Nu," Nina menaik turunkan alisnya dengan usil. Danu, yang disebut namanya sontak memilih mengundurkan diri untuk kembali memasak.
"Dasar Danu pelit banget! Ultah tahun lalu aja bukannya traktir malah kita yang nombokin," Sasa mengomel. Ulang tahun memang masa paling ditunggu-tunggu oleh setiap karyawan Restaurant Nusantara. Karena siapa pun yang berulang tahun wajib mentraktir seluruh karyawan. Kecuali Danu, tahun kemarin yang seharusnya mentraktir mereka makan Sushi. Tapi Ia malah tidak membawa cash yang cukup sehingga mereka satu per satu harus ikut membayar atau akan diusir dari restaurant.
"Iya nih, Bang Danu belum bayar hutang traktiran tahun lalu ya," Karyawan termuda bernama Indah menyahuti.
Danu kemudian menggaruk kepalanya resah, "Gue kan nggak ada duit cash waktu itu. Mbanking juga nggak punya."
"Alah ngeles ae lo. Bilang aja bokek," Ejek Sasa.
"Sa, lo ngajak berantem?" Danu melangkahkan kakinya ke arah Sasa dan memiting leher Sasa. Gelut adalah ritual pagi yang tak bisa dihindarkan jika di dapur. Sebagai manajer, Nina kerap kali kesepian karena memiliki ruang sendiri di lantai dua. Hanya Nina yang bukan merupakan Chef disini, sedangkan rekan-rekannya beberapa memilih merangkap tugasnya.
Oleh karena itu, jika merasa bosan, Nina akan turun ke dapur melihat keadaan teman-temannya. Nina pasti akan sangat merindukan mereka selama 30 hari nanti. Nina mungkin akan tetap bisa pergi bekerja ke kantor, tapi sebagian besar pekerjaan akan Ia serahkan kepada Andre dan Bapak untuk membantu menghandle restaurant selama dirinya sibuk mencari jodoh nanti.
"Woy, kerja malah main kuda-kudaan lo pada," Andre menegur keduanya dengan nada bercanda. Namun, semua orang tahu, dia serius dengan ucapannya. Karyawan malah lebih patuh dengan Andre dibandingkan Nina. Karena sosoknya yang begitu tegas jika sudah di dapur. Tak ayal terkadang Nina akan mendengar suara bentakan dari lantai atas. Benar saja, mereka semua segera kembali mengurus masakannya masing-masing.
"Ngomong-ngomong, Nin. Kapan lo teken kontrak sama agensinya?" Sasa tengah sibuk meletakkan polesan terakhir di piringnya yang akan diantarkan oleh waitress.
"Siang ini. Makanya gue mau izin istirahat agak lama nanti," Jawab Nina.
"Gue ikut ya!" Seru Sasa. Ia bahkan sudah siap ingin melepaskan apronnya.
"Heh! Jangan mentang-mentang lo sahabatnya Nina jadi semau sendiri ya, Sa. Ingat, anak lo di rumah lagi minum ASI pakai botol dot," Tegur Danu. Sasa membalasnya dengan cibiran pelan.
"Ck, berantem mulu lo pada. Kalau aja Sasa belum nikah, udah gue seret kalian ke KUA." Nina terkekeh.
"IDIH! NAJIS!" Sahut Sasa dan Danu secara bersamaan.
"Bisa tanda tangan disini ya." Anggit mengarahkan Map merah jambu ke arah Nina. Tentu saja tidak langsung disetujui oleh Nina. Ia memilih untuk membaca terlebih dahulu isi kontrak yang tertera. Jaga-jaga kalau saja ada poin yang merugikan Nina."Tidak boleh membawa handphone...." Gumam Nina. Kemudian Ia mengangkat wajahnya untuk melihat Anggit yang masih setia tersenyum manis dihadapannya, "Kalau nggak boleh bawa handphone, gimana nanti saya mau hubungi keluarga? Atau kalau ada telepon penting dari kantor? Saya kan bukan pengangguran Mbak." Mungkin Nina terdengar agak sewot. Tapi sebenarnya Nina berbicara dengan nada yang sangat santai. Bagaimana pun juga kekhawatirannya tidak bisa menghubungi Bapak selama acara menjadi faktor utama kegelisahannya. Nina lebih takut jika Bapak akan benar-benar datang untuk mengobrak abrik agensi.Anggit tersenyum tenang, "Nanti kami akan berikan handphone khusus yang akan digunakan ketika di dalam asrama. Soalnya nanti setiap malam pihak staf akan meng
Day 1Nina bersusah bayah menggeret koper besarnya menuju asrama. Jalanan yang menanjak membuat Nina menyesali keputusannya menggunakan heels. Kurang ajar! Baru hari pertama Nina merasa sudah dianak tirikan saja oleh pihak staf. Bagaimana tidak, pihak staf tiba-tiba saja membatalkan perjanjiannya secara sepihak. Harusnya kemarin Nina akan merekam video singkat tentang kesehariannya di kantor. Tapi karena alasan harus merekam terlebih dahulu 'A day in my life' dari salah satu peserta lainnya, akhirnya Nina harus merekam videonya hari ini, tepat dimana hari shooting dimulai. Merekam video memerlukan beberapa kali take sehingga memakan waktu hampir 5 jam hanya untuk Nina saja. Harusnya dari jam 9 Nina sudah berangkat menuju asrama, namun karena rekaman sialan itu Nina baru sampai saat matahari tepat di atas kepalanya.Nina sampai di depan pintu sambil mengaduh pelan. Mulutnya tak berhenti mengumpat-ngumpat sejak turun dari mobil. Ia pun menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya dan menge
Setelah perkenalan singkat Adam, mereka memutuskan untuk melakukan tur singkat di asrama yang sebenarnya lebih pantas disebut guest house. Rumah berlantai 1 itu memiliki ruang tamu yang cukup luas dan langsung bertemu dengan dapur. Sedangkan diseberang bangunannya terdapat 4 kamar yang akan mereka tinggali. Dua gedung ini dipisahkan oleh taman dan kolam renang dengan meja makan besar di depannya. Nina sampai berpikir, apakah pihak produksi tidak akan rugi menyediakan fasilitas segini banyaknya kepada mereka.Setelah diskusi singkat, Nina akhirnya sekamar dengan Chelsea. Tentu saja Nina dengan senang hati menerimanya. Nina pikir kepribadian mereka cukup mirip. Nina juga selalu mengidam-ngidamkan sosok adik perempuan. Jujur saja, memiliki Gilang sebagai adiknya tidaklah menyenangkan.Nina dan Chelsea pun menyusun koper mereka ke dalam walk in closet yang menyatu dengan kamar mandi. Seperti dugaan Nina, Chelsea membawa lebih banyak barang darinya. Bahkan
Ezra memutuskan untuk membuat Aglio E Olio, Mac n Cheese, dan Taco sebab Ilham terus mengeluh kelaparan. Jadi Ia akan membuat sesuatu yang kemungkinan tidak memakan banyak waktu. Nina sendiri berniat untuk menolongnya sekaligus ingin menunjukkan pesonanya melalui masak. Tapi sudah beberapa kali Nina menawarkan bantuan, Ezra tidak menggubrisnya dan malah sibuk sendiri dengan dunianya. "Ada yang bisa gue bantu nggak?" Tanya Nina untuk yang ketiga kalinya. Dirasa tidak mendapatkan jawaban, Nina memilih untuk inisiatif mengambil pisau dan memotong daging untuk isian Taco. Keduanya bekerja dalam diam, mungkin Ezra bahkan tidak menyadari kalau ada Nina di sisinya. Kemudian Kanaya datang setelah berganti dengan baju santai. Barefacenya justru malah membuatnya terlihat semakin cantik. Nina yang masih menggunakan make up saja merasa jauh lebih kucel. "Aku bisa bantu apa nih?" Tawarnya. "Potongin bawang bombay sama tomat." Sahut Ezra cepat, bahkan
Day 2Nina rencananya akan bangun pagi-pagi sekali untuk mengecek keadaan restaurant sebentar. Tetapi mau dikata apalagi, nyatanya Ia malah terbangun pukul 11 siang gara-gara sibuk begadang sampai jam 3 pagi.Nina melihat kasur disebelahnya, Chelsea ternyata lebih parah darinya. Gadis itu masih terlelap, sibuk mengarungi alam mimpi. Ia pun merenggangkan tubuh sejenak sebelum kemudian menuju dapur. Ia harus membuat sesuatu karena perutnya meraung-raung minta diisi.Suasana asrama terlihat sepi. Mungkin beberapa orang sudah pergi bekerja sejak pagi tadi. Jadi, Nina memutuskan untuk membuat jus dan toast saja pagi ini. Karena jika memasak makanan berat akan memakan waktu terlalu lama."Wah, masak apa nih?" Nina terkesiap saat mendengar suara berat di telinganya. Entah sejak kapan Ikbal sudah berada di dapur, Nina pun tidak tahu."Eh? Sejak kapan lo disitu?" Tanya Nina dengan canggung sambil menggaruk pelipisnya yang tidak
Nina memutuskan untuk kembali ke tempat tidur setelah makan. Tiba-tiba saja setelah melihat sosok Ikbal, moodnya langsung terjun bebas. Ia pun menenggelamkan kepalanya di bantal, menggerutu didalam sana. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Padahal sejak awal, dirinya lah yang mewanti-wanti untuk tidak mudah terjatuh dalam pesona siapapun disini. Niatnya untuk mengunjungi restaurant harus Ia batalkan, sehingga Ia pun menghubungi Andre untuk izin mengerjakan pekerjaannya dari asrama saja. Nina memutuskan untuk membuka Macbooknya kemudian mengerjakan di atas kasur. "Ugh!" Chelsea menggeliat pelan. Ia membuka matanya, sedikit menyipit karena menyesuaikan diri dengan cahaya mentari yang mulai menyengat masuk melalui celah gorden. "Jam berapa ini?" Gumamnya. "Udah jam 12. Kamu mandi gih sana," Saran Nina yang masih sibuk bergelut dengan laptop. "OMG, aku ada kel--maksudnya kerjaan jam 1 nanti," Chelsea pun terburu-buru turun dari
Setelah makan malam, mereka semua kembali berkumpul di ruang tamu setelah muncul sebuah surat di depan pintu asrama. Sean sebagai penerima surat, membuka perlahan segel yang mengunci amplop sambil sesekali menggoda mereka yang penasaran. "Para wanita, silahkan pilih salah satu dari 4 kartu untuk menentukkan kemana tujuan kencanmu." Ujar Sean dengan lantang. Sean pun mengorek isi amplop dan benar saja, Ia menemukan 4 kartu dengan lukisan yang berbeda. Ada pilihan pantai, museum, taman bermain, dan fine dining. Fine dining adalah salah satu impian kencan Nina sejak dulu. Ia ingin tahu bagaimana rasanya diperlakukan seperti seorang ratu. Tetapi, akan sangat canggung kalau kegiatan kencan mereka hanya makan. Nina juga tidak bisa melihat lebih jauh bagaimana kepribadian pasangannya jika tidak ada kegiatan aktif di dalamnya. Selain itu, Nina juga merasa Ia perlusedikitfresh air mengingat sesaknya hiruk pikuk perkotaan.
Day 3 Pagi ini, asrama bersuara sangat ramai. Para kaula muda tengah bersiap untuk kencan pertama yang sangat mereka tunggu-tunggu.Adam mengatakan bahwa mereka akan berangkat pagi-pagi sekali karena jarak pantai yang cukup jauh dari pusat kota, yaitu memakan sekitar 2 jam untuk sampai kesana. Disisi lain, Nina merasa bersalah kepada Kanaya karena seakan tengah berselingkuh dengan Adam. Sebab Kanaya baru saja curhat tentang kebimbangannya mengenai Adam kepada Nina semalam. Namun, betapa baik hatinya Kanaya mengatakan bahwa Ia baik-baik saja dan malah ikut membantu memilihkan outfit kencannya pagi ini. "Kamu betulan nggak apa-apa, Ka?" Saat ini Nina tengah berada di kamar Kanaya dan Kesha karena Ia sangat bosan di kamarnya sendiri. Chelsea seperti tengah menjauhinya sehingga mereka bahkan tidak mengobrol sama sekali sejak malam tadi. Nina juga tidak tahu apa kesalahannya, jadi Ia mengikuti saja alur yang dibuat oleh Chelsea. Jika perempuan itu tak ingin menyapanya hari ini, yasudah
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila