Mendengar bisikan Damian, Lydia langsung melotot.
“S-saya nggak mesum!” ujar Lydia dengan wajah yang mulai memerah. “Ini seni tahu! Seni!”
“Seni, ya?”
Dari nada suaranya, Damian seperti sedang meledek Lydia. Dia manggut-manggut, tapi belum menjauhkan wajahnya dari wajah Lydia, sedangkan Lydia sudah memalingkan wajah karena tak sanggup terlalu lama menatap ketampanan Damian dari jarak sedekat itu.
Dari jarak yang begitu dekat, Damian mengamati wajah Lydia. Ternyata wanita ini sungguh … cantik.
Tanpa Damian sadari, dia sedang mengagumi kecantikan Lydia. Dia jadi bertanya-tanya, mengapa Marcell menyelingkuhi wanita seperti Lydia? Sampai saat ini, dia belum menemukan sisi negatif Lydia yang bisa dijadikan alasan dia diselingkuhi.
Damian sudah mencari tahu tentang Lydia. Yang dia temukan justru berita positif semua, dan prestasi Lydia sejak masa sekolah, kuliah, hingga menjadi pelukis seperti sekarang.
Lydia nyaris melongo, tak menduga kalau Damian akan menanyakan perkara lebih besar ‘milik’ Damian atau ‘milik’ Marcell. Astaga, apa Damian sudah gila? Kenapa butuh validasi di topik perburungan?!Awalnya Lydia memang sempat panik ditanya begitu, tapi saat melihat raut wajah Damian yang santai dan seperti sedang meledeknya, dia jadi terpancing untuk membalas Damian dengan berani.“Menurut anda? Itu pertanyaan yang sudah jelas jawabannya,” ujar Lydia.“Tapi saya memang nggak tahu jawabannya.”Lydia memutar bola mata. “Jelas lebih besar ‘milik’ anda daripada ‘milik’ Marcell. Walaupun saya belum pernah merasakan langsung punya Marcell, tapi kalau dilihat-lihat sih begitu.”Lydia manggut-manggut sendiri. Dia pernah melihat milik Marcell saat pria itu berganti pakaian di hadapannya, tapi belum pernah menyentuh apalagi merasakannya.“Jadi, saya memang yang pertama buatmu?”Entah mengapa, Lydia seperti mendengar nada kebanggaan dari intonasi bicara Damian.“Bukankah sudah jelas? Karena saat i
Lydia merasa aneh.Pagi ini, saat dia tiba di kantor, dia beberapa kali memergoki Damian meliriknya. Apa maksud dari lirikan mata itu?Dan, karena tingkah aneh Damian itulah, Lydia langsung teringat kejadian saat dia melukis tubuh telanjang Damian. Tanpa sadar, pipinya memanas.Namun, Lydia berusaha bersikap santai, bekerja membantu Felix seperti biasa, dan berinteraksi dengan Damian seolah benar-benar asisten pribadinya.“Jam berapa jadwal virtual meeting dengan investor China?” tanya Damian.Lydia saat ini sedang berjalan di sebelah Damian bersama Felix. Dia menoleh, menatap Felix yang membuka tab untuk mengecek jadwal, sedangkan dia hanya mengekori mereka berdua.“Sore ini, Pak. Sekitar pukul tiga,” jawab Felix.Damian mengangguk.Mereka sedang berjalan bersama ke ruangan Damian usai melakukan pertemuan di luar beberapa saat yang lalu.Lydia tertatih-tatih mengikuti langkah cepat Damian dan Felix. Dia kagum dengan mereka berdua yang berjalan cepat, bekerja cepat, dan selalu tepat w
“Mereka musuhan?” tanya Lydia.“Sejak lima tahun yang lalu saya bekerja dengan Pak Damian, beliau memang nggak akrab dengan Pak Alex. Seperti musuhan, setahu saya karena masalah posisi di perusahaan ini, tapi ada hal lain yang cukup rumit yang membuat mereka seperti itu selama bertahun-tahun.”Lydia mengangguk-angguk.“Saya nggak bisa menjelaskan lebih lanjut karena ini privasi Pak Damian. Kalau kamu penasaran, tanya aja langsung.”“Oke.” Lydia merasa tak perlu tahu lebih lanjut tentang permusuhan Damian dan kakaknya, lagi pula bukan urusannya. “Tapi saya penasaran soal Pak Alex karena baru melihat beliau, apa nggak bekerja di perusahaan ini?”“Nggak, beliau bekerja di anak perusahaan yang ada di kota lain.”Sekarang Lydia paham, sepertinya salah satu penyebab permusuhan mereka adalah, karena Alex yang lebih tua malah ditempatkan di anak perusahaan, sedangkan Damian—sang adik—diberi posisi memimpin induk perusahaan.Mungkin Alex tak terima, biasanya anak laki-laki tertualah yang memim
Meneguk ludah, Lydia merasakan panas di tubuhnya dan menjalar hingga ke pipi. Tatapannya terfokus ke bibir Damian yang menggoda.Damian mengangkat tangannya, menyentuh dagu Lydia. Wajahnya semakin maju, napasnya menggelitik saat menerpa kulit.Lydia membuka mulutnya, tapi dia bingung untuk bicara. Dan, secara tiba-tiba, bibir Damian menempel di bibirnya.Damian melumatnya, menciumnya dengan panas, dalam, dan menuntut. Tapi Lydia tidak bisa menghentikannya. Ah, bukan tidak bisa, melainkan tidak ingin.Lagi pula, Damian tidak memberi kesempatan bagi Lydia untuk berpikir. Lidahnya menelusup, menguasai, menghisap, membuat Lydia kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.“P-Pak Damian …” desah Lydia di sela-sela ciuman.Tangan Lydia secara refleks meremas bahu Damian, sementara pria itu menariknya lebih dekat, hingga hampir tak ada celah di antara mereka.Napas mereka memburu, tubuh Lydia terasa seperti terbakar oleh sentuhan Damian yang semakin erat. Dia tidak tahu apakah ini hanya efek al
Lydia menelan ludah, jantungnya berdegup tak karuan saat mendengar suara serak Damian di pagi hari. Tubuhnya masih terperangkap dalam dekapan pria itu, bahkan Lydia bisa merasakan panas tubuh Damian yang menempel pada kulitnya.“Kamu bangun lebih awal seperti waktu itu,” gumam Damian, suaranya berat dan masih terdengar mengantuk.‘Waktu itu’ yang dimaksud Damian pasti malam panas pertama mereka ‘kan? Ketika Lydia bangun lebih awal dan kabur dari Damian. Lydia merasa malu mengingat kejadian itu.Namun, saat ini, dia berusaha bersikap tenang, meskipun pikirannya kalut.Apa yang terjadi tadi malam sungguh gila! Kini saat sudah sadar sepenuhnya, Lydia memaki dirinya sendiri. Sepertinya kemarin dia kehilangan akal sehat karena pengaruh alkohol.“Lepaskan saya, Pak. Saya mau pulang,” ujar Lydia.“Nanti aja,” kata Damian dalam keadaan setengah sadar, pria itu masih memeluk tubuh polos Lydia.Lydia mendengkus. “Anda bilang nggak mau menyentuh
Lydia berjalan lemas begitu tiba di rumah, dia tentu saja lelah setelah digempur tadi malam oleh Damian, bahkan pusat tubuh bagian bawahnya masih terasa kebas.Baru berjalan beberapa langkah masuk ke dalam rumah, Lydia dikejutkan oleh sosok Marcell yang menghadangnya.“Kamu belum berangkat kerja?” tanya Lydia, cukup kaget karena Marcell masih di rumah. Biasanya jam segini sudah berangkat.“Memangnya kenapa kalau aku belum berangkat? Apa kamu kecewa karena nggak bisa pergi main seenaknya?” tanya Marcell dengan nada sindiran.Lydia mengernyit. “Apa maksudmu?”“Kamu sungguh nggak tahu maksudku?” Marcell berjalan mendekat, raut wajahnya terlihat menahan marah. “Ke mana aja kamu tadi malam sampai nggak pulang ke rumah? Asyik main di luar? Begitu kelakuanmu setelah bekerja?”Lydia meneguk ludah. Mendadak dia mati kutu. Apa yang harus dia jelaskan kepada Marcell? Sejujurnya, dia belum meny
“Ssttt! Jangan beri tahu yang lain kalau saya ada di sini,” bisik Lydia sambil mengode kepada sang office boy untuk diam.Sang office boy tak tahu mengapa Lydia menyuruhnya begitu, tapi dia mengangguk patuh karena Lydia terlihat sedang panik.Setelahnya, Lydia benar-benar kabur dari sana, bersembunyi di dalam toilet wanita.Selepas kepergian Lydia, sosok Marcell dan sekretarisnya menghampiri office boy yang tadi menyebut nama Lydia.“Hei, kamu.”“Iya, Pak?” sahut sang office boy.“Tadi kamu menyebut nama siapa? Lydia?”“Bukan, Pak. Tadi saya memanggil nama Linda, Bu Linda kenalan saya,” dusta sang office boy. Untungnya dia bisa diajak bekerja sama.Marcell tak lagi bertanya, tapi dia yakin tadi tak salah dengar, office boy ini seperti menyebut nama Lydia. Dan Lydia katanya diterima bekerja di perusahaan ini, jadi tak aneh kalau Lydia ada di sini. Namun, masalahnya bukan itu.Marcell yakin Lydia masih dikurung di rumah, tak mungkin Lydia datang bekerja ‘kan? Ditambah lagi, saat ini dia
“Ada apa?” tanya Lydia karena Damian terus menatapnya usai mengangkat panggilan dari ayah pria itu.Ya, Lydia hanya mendengar sebatas Damian menyebut ‘Papa’ kepada orang yang meneleponnya, tapi tidak mendengar isi percakapannya.“Kita ketahuan saat di hotel.”“Apa? Ketahuan oleh siapa?” panik Lydia.“Alex. Dan sekarang, Papa saya juga mengetahuinya. Dia menyuruh saya untuk segera membawamu ke hadapan keluarga besar.”Kepanikan Lydia hilang setengah karena sempat mengira ketahuan oleh Marcell. Tapi kepanikannya itu tak hilang sepenuhnya karena dia harus bertemu keluarga besar Damian.“Kalau kau bisa, malam ini juga kita temui keluarga saya,” ujar Damian.“Tapi …” Lydia terlihat ragu, dia belum siap. “Saya nggak menyangka akan secepat ini.”“Saya juga. Tapi kalau menyangkal dan menunda membawamu ke hadapan keluarga saya di saat sudah ketahuan, itu akan memperburuk reputasi saya di hadapan keluarga besar. Saya sudah lama didesak untuk segera menikah.”Lydia mengangguk paham.“Di keluarga
“Siapa orangnya! Cepat katakan!” seru Marcell dengan tampang tak sabar.“Saya akan memberi tahu, tapi dengan syarat anda harus mau bekerja sama dengan saya untuk menyingkirkan Damian dari posisinya di perusahaan.”Marcell langsung mengernyit. “Apa hubungannya perselingkuhan istri saya dengan Damian?”“Nanti anda akan tahu. Jadi, bagaimana? Apa anda setuju?”“Itu cukup sulit, anda tahu kan kalau kita juga bersaing? Saya, dan anda termasuk Pak Damian.”“Ya, itu benar. Tapi, saya berjanji akan membuat kesepakatan yang menguntungkan anda juga.”“Akan saya pertimbangkan, tapi beri tahu dulu soal selingkuhan istri saya.”Alex duduk bersandar dengan tampang santai, dia menyeringai sejenak.“Tadi anda sudah menyebut sendiri nama orangnya.”Marcell diam, mengingat-ingat sosok yang sempat dia sebut, kemudian langsung terbelalak.“Pak Damian?”“Ya. Dia adalah selingkuhan istri anda,” jawab Alex dengan raut serius.Marcell sempat terlihat kaget, tapi hanya sejenak sebelum dia tertawa. Tapi jelas
“Marcell pengusaha yang itu kan? Yang Damian pernah menobatkannya menjadi saingan bisnis baru?" tanya Alex.Melanie mengangguk. “Benar, yang itu. Kamu juga kenal orangnya, tapi kita nggak akrab, hanya pernah bertegur sapa beberapa kali.”Melanie mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan foto Marcell yang dia maksud kepada sang suami.“Yang ini,” tunjuknya.Alex mengangguk paham. “Hm … menarik kalau memang benar. Haha! Damian, kau sungguh gila!” serunya.Alex kembali tertawa, dia merasa bahagia mendadak, senang karena membayangkan bisa menjatuhkan Damian dengan cara ini, kemudian merebut posisi Damian.“Aku belum pernah bertemu dengan istri Marcell, jadi nggak tahu wajahnya. Tapi kamu tahu dari mana, Sayang?” tanya Alex.“Aku ingat sekitar dua tahun yang lalu, saat ke galeri seni, tiba-tiba heboh karena ada pengusaha muda yang katanya tampan datang mengunjungi istrinya yang seorang pelukis, dan karya istrinya sedang dipamerkan di sana.”“Ah, jadi si istri itu Lydia?”“Ya,” angguk Melanie
Lydia mendengkus. Dia yakin Marcell tak akan bisa menjawab, tapi dia juga yakin kalau Marcell tak merasa bersalah.Kesal karena Marcell masih diam, Lydia berjalan begitu saja melewati Marcell tanpa bicara apa pun lagi.“Lydia! Sebentar, aku belum selesai bicara denganmu!” seru Marcell.Namun, Lydia tak menggubris. Dan, sebelum dia masuk ke kamar, dia menoleh menatap Marcell yang tak mengejarnya. Rupanya, Marcell sedang ribut, dihadang oleh Adel yang baru kembali dan sedang marah-marah karena melihat Marcell membawa wanita lain—Grace.“Aku sudah muak. Aku harus segera keluar dari rumah ini,” gumam Lydia.*Pagi ini, Lydia sudah berdandan rapi, sedang bersiap untuk berangkat kerja ke perusahaan Damian seperti biasa. Hari ini juga, dia berencana untuk mengajak Damian mendiskusikan rencana mereka untuk menjatuhkan Marcell.“Mau ke mana kamu?” tanya Marcell ketika melihat Lydia keluar kamar.“Kerja,” jawab Lydia singkat.Lydia mengamati sekeliling, rupanya sudah tak ada lagi wanita bernama
Kembali ke masa sekarang.Lydia masih diam sambil memegang erat ponselnya, dia bingung untuk menanggapi Marcell yang terdengar emosi.Apa rencananya akan gagal total? Apa Marcell akhirnya tahu hubungannya dengan Damian? Sungguh, Lydia gelisah.“Kamu masih nggak mau menjawab?!” seru Marcell dari seberang sana. “Kalau begitu, segera pulang! Ini perintah! Kalau enggak, aku akan menyusulmu hari ini juga!”Lydia melongo. Dia tak menyangka Marcell sampai sebegitunya. Padahal, biasanya Marcell cuek padanya, tapi kenapa sekarang seolah posesif?“Tapi aku—”Panggilan terputus. Lydia berdecak kesal. Dia belum selesai bicara! Dasar Marcell sialan!Lydia menatap Damian dengan tampang bad mood.“Ada apa?” tanya Damian, dia tak mendengar obrolan Lydia dan Marcell karena tidak di-loudspeaker.“Marcell mengetahui lukisanku, dia marah, dan memerintahkanku untuk segera pulang. Kalau enggak, dia yang akan menyusul ke sini,” beri tahu Lydia.Damian pun turut terkejut. “Bagaimana Marcell bisa tiba-tiba ta
Beberapa saat sebelumnya.Marcell sedang asyik berduaan dengan Adel yang terus bergelayut manja padanya.“Sayang, aku ingin beli tas baru,” rengek Adel.Namun, Marcell cuek. Pria itu yang biasanya amat memanjakan wanita jalang simpanannya, kini tak lagi sama. Lebih tepatnya sejak dia merasa ada keanehan dari Lydia.Marcell merasa tak tenang. Apa sebaiknya dia menyusul Lydia ke Prancis? Ah, tidak, dia masih ada urusan pekerjaan di weekend ini.“Sayang?” panggil Adel.Adel cemberut, Marcell tak menggubrisnya dan kini tampak melamun. Padahal, biasanya kalau dia sudah merengek manja apalagi berpenampilan seksi begini, Marcell akan tertarik, tapi belakangan ini tidak. Marcell seperti berubah.Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Adel berusaha untuk berada di sisi Marcell selamanya dan mendapatkan harta pria itu, dia bahkan nekat mengandung anak Marcell. Jangan sampai Marcell berpaling darinya.“Apa kamu sedang memikirkan Lydia yang nggak menarik itu?” ejek Adel.Tak disangka, Marcell langsung m
Matahari pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar hotel yang tak sepenuhnya tertutup.Sinar hangat itu mengenai wajah Lydia yang masih terlelap di bawah selimut tebal berwarna abu-abu. Rambutnya berantakan, sebagian menjuntai di bantal, sebagian lainnya menempel di pipinya yang memerah.Tentu saja kondisinya berantakan, ulah siapa lagi kalau bukan Damian yang menggempurnya dua ronde semalam?Damian sudah bangun lebih dulu. Dia duduk di sofa dekat jendela dengan laptop di pangkuannya, dia mengenakan celana pendek kaus putih.Rambut Damian masih berantakan, karena kegiatan semalam yang belum sempat dia rapikan sepenuhnya. Dia tampak begitu fokus mengurus pekerjaan meskipun di hari libur, membalas beberapa email penting dan berkomunikasi dengan Felix.Mendengar suara ketikan Damian di laptop, Lydia terbangun. Lydia menggeliat pelan. Tangannya meraba sisi kasur di sebelahnya yang kosong.Membuka mata, Lydia menatap sisi di sebelahnya."Damian?" panggil Lydia.Damian meletakkan laptop
Lydia menatap tangannya yang digenggam oleh Damian. Dia tersenyum kecil.Saat ini mereka sedang berjalan ke sebuah gang yang dipenuhi lampu gantung. Ada sebuah toko bernama Librairie des Rêves. Toko kecil yang jendelanya memajang buku seni, puisi, catatan perjalanan, dan sebagainya.“Mau mampir nggak? Dulu saat masih di Paris, aku sesekali mampir ke sini,” kata Lydia.“Oke, ayo mampir,” angguk Damian.Lonceng kecil berdenting saat mereka masuk. Aroma kayu dan halaman-halaman lama menyambut mereka.“Kamu suka buku kan?” tanya Lydia.“Hm.” Damian membenarkan.Lydia mengambil salah satu buku, membacanya. Sesekali dia memperhatikan Damian yang juga mengambil sebuah buku lalu membaca dengan serius.Sambil membalik halaman perlahan, Lydia masih sesekali menatap Damian. Suasana memang hening, tapi jantungnya bertalu-talu. Dia berdebar tak keruan hanya dengan memperhatikan Damian, sosok pria matang yang jauh lebih tua darinya itu terlihat begitu menarik.Bagaimana bisa Damian selalu terlihat
Marcell mencengkeram gelas di tangannya seolah sedang memegang Lydia erat-erat. Dia tak akan melepaskan Lydia apa pun yang terjadi. Tak akan dia biarkan Lydia jatuh ke tangan pria lain!“Lydia, kamu akan menyesal. Awas kalau kamu kembali nanti,” batin Marcell.Sementara itu, di Paris.Lydia telah tiba di sana. Pagi ini, dia dan Damian keluar dari hotel di kawasan Montmartre, tangan Damian menggenggam tangannya dengan erat. Begitu hangat.Lydia mengenakan dress putih sederhana dengan outer berwarna krem, sedangkan Damian tampil santai dengan sweater abu-abu dan celana hitam. Mereka berjalan beriringan, menyusuri jalanan berbatu yang dipenuhi aroma roti hangat dan kopi dari toko-toko sekitar.Begitu melewati sebuah toko kecil bertuliskan Boulangerie Artisanale, aroma croissant yang baru dipanggang membuat perut Lydia meronta. Padahal, tadi dia sudah sarapan di hotel.Damian menoleh, dia menyadari mata Lydia yang m
Lydia menatap lukisan tubuh Damian dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan.Karya itu … sempurna. Setiap goresan menggambarkan sosok pria yang dia sukai. Tapi, justru karena itulah, dia merasa tidak rela membiarkannya jadi konsumsi publik.Damian menoleh, menyadari ekspresi Lydia yang berubah.“Kamu kenapa?” tanya Damian sambil mendekat, merangkul Lydia.Lydia menghela napas. “Aku … tiba-tiba merasa ragu.”“Ragu soal apa?”“Lukisannya.”“Hasilnya sudah sangat bagus. Apa yang membuatmu ragu?”“Bukan soal hasilnya.” Lydia menoleh, menatap Damian. “Aku ragu buat memamerkannya.”Damian mengernyit, dia tak paham. “Kenapa?”“Karena tiba-tiba aku merasa nggak rela.” Lydia terdiam sejenak. “Aku nggak mau lukisan tubuh telanjangmu ditatap banyak orang, nanti gimana kalau mereka menginginkanmu sa