Sora itu, Jannah langsung bertolak menuju Blitar untuk menemui Alula setelah memastikan tidak ada yang mengikuti. Di perjalanan dengan mengendarai ojek online, ia sangat hati-hati dan waspada. Berbekal alamat dari Aprilia, Jannah pun tiba di tempat.Aprilia membuka pintu kos-kosan setelah Jannah mengabarkan telah sampai.“La, aku pulang dulu, ya. Nikmati kebersamaan dengan ibumu. Besok aku ke sini lagi,” pamit Aprilia.“Nak Lia, terima kasih banyak sudah menemani Alula. Maaf karena terus merepotkan,” ujar Jannah.“Nggak merepotkan, Bu. Alula sudah seperti saudara saya. Saya permisi.”“Kamu naik apa, Pril?” tanya Alula. Masalahnya, Fauzi sudah pergi dari tadi karena katanya kafe di Tulungagung ada masalah.“Aku bisa pesen ojek online.”“Makasih, ya. Maaf terus mengganggumu dengan masalah-masalahku.”Aprilia menghampiri Alula, lalu cipika-cipiki. “Jangan minta maaf. Kita ini kan, bestie. Sepatutnya saling menguatkan dan saling merepotkan.”Setelah itu, ia pulang.“Katakan ada masalah ap
“Ya, Bu. Sangat. Saya sangat mencintainya. Saya tahu mencintai seseorang sebelum halal itu dilarang. Tapi ketika Ibu bertanya tentang perasaan saya, saya jawab sejujurnya.” Lutfan menjawab dengan tegas. Tidak ada keraguan di sana.“Tapi kalau ibu saya menentang, saya bisa apa? Tolong katakan apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki semuanya?” Lutfan menunduk. Beban di pundaknya terasa berat perihal restu. Namun, setidaknya ia lega sudah berkata jujur.“Dari segi apa kamu mencintainya? Apa dari segi wajahnya yang sangat cantik itu?”Lutfan kembali mendongak, lalu menggeleng. “Tidak, tapi dari sikapnya, sifatnya, dan kepribadiannya. Bu, saya tidak bisa memperjuangkan Alula, tidak bisa berbuat banyak kalau ibu saya tidak ridho. Padahal dari sisi saya pribadi, saya sama sekali tidak mempermasalahkan asal-usul Alula. Sama sekali tidak. Saya sadar diri. Pria seperti saya sebenarnya tidak layak untuk Alula, tidak pantas untuknya. Tapi saya sudah telanjur suka sama dia. Meskipun Alula la
“Pak Lutfan!” pekik Alula dan Fauzi bersamaan.“Ehm!” Fauzi berdeham. “Yang, udah belum milih kuenya?”Alula mengangguk lemah. “Udah, ini aja, ya?”Fauzi tersenyum.Ada hati yang tertikam perlahan-lahan ketika Fauzi memanggil Alula dengan sebutan ‘Yang’. Adalah hati Lutfan. Pria culun itu menatap keduanya sendu.“Ayo kita bayar. Pak, permisi."Sebelum keduanya beranjak, Lutfan menarik tali tas Alula. “Saya ingin bicara sama kamu.”“Maaf, saya nggak bisa,” tukas Alula dingin.“Ini masalah skripsimu. Mana kelanjutannya? Kenapa tidak pernah bimbingan lagi?”“Maaf, Alula masih sibuk dan berencana akan mengajukan ganti Dosbing.” Fauzi pasang badan. Ia berusaha melepaskan tangan Lutfan dari tas Alula.“Saya bicara dengan Alula, bukan sama kamu.” Lutfan bicara tak kalah tegas.“Sama saja karena saya pacarnya, calon suaminya.”Cekalan Lutfan di tas Alula mengendur, lalu terlepas. Ia merasa seperti dejavu dengan keadaan ini. Yang mana, ia dulu pernah mengaku sebagai calon suami Alula. Mungkink
Beberapa bulan berlalu.Lutfan kehilangan semangat hidup. Pria itu sering melamun, banyak menyendiri. Bahkan sering tidak pulang dengan alasan sibuk di kampus padahal sebenarnya tidak. Ia pergi ke suatu tempat untuk menyendiri. Nur yang merasakan perubahan itu, merasa bersalah.Hari ini libur. Lutfan tidak keluar kamar sejak pagi. Nur yang khawatir, menghampiri ke kamar putranya yang tidak dikunci. Wanita itu mendapati sang putra tidur dalam posisi duduk dengan laptop yang masih menyala di atas meja. Nur melihatnya. Di laptop itu, ada skripsi Alula. Nur tahu sebab di halaman bagian bawah ada nama gadis itu.Mata Nur memanas. Ia tambah merasa bersalah. Disentuhnya lengan Lutfan.“Fan, kalau tidur cari posisi yang enak, Nak.”Lutfan menggeliat, lalu membuka mata. “Eh, Ibu.”“Maafkan Ibu, Fan. Ibu sudah egois.”“Apa maksud Ibu?”Nur duduk di samping Lutfan.“Ibu sudah istikharah, meminta petunjuk. Dan makin ke sini, Ibu sadar kalau tidak seharusnya kebencian Ibu pada wanita kedua Ibu lam
Alula memandang dua gundukan pasir itu bergantian. “Yakin ini isinya aman?”“Isi salah satunya ular!” ujar Fauzi judes.Alula tergelak. “Us, apa ini semacam lamaran? Yakin dengan semua ini? Kamu bercanda, 'kan?”“Astagfirullah, Alula. Aku sampe capek meyakinkan kamu. Kita sudah berteman tahunan, kamu udah beberapa kali ketemu orang tuaku, masih belum percaya kalau aku serius?”“Justru kita berteman tahunan itu, aku nggak yakin sama kamu. Soalnya aku tahu kamu itu buaya, tukang membual, tukang gombal.”“Aku sudah bawa kamu ke orang tuaku, Alula. Mereka sudah setuju, dan nggak mempermasalahkan asal usulmu, kurang percaya apa lagi? Aku hanya main-main cewek di luaran, tapi khusus kamu enggak. Seribu rius! Ya Allah, tolonglah hamba meyakinkan gadis manis dan cantik di hadapan hamba ini kalau hamba sangat mencintainya.”Fauzi mendongak, mengangkat tangan dramatis.Alula terpingkal-pingkal. “Aminin nggak ya?”Lutfan muak dengan drama di hadapannya. Hanya saja, ia menahan diri. Pria itu ingi
Fauzi berlari sambil tertawa, tetapi dikejar oleh Alula.Lutfan mengambil botol air mineral kosong dari sampingnya dan meremasnya kuat. Lantas dilemparnya jauh. Kecemburuan membuatnya kalap.“Sekarang aku tahu apa yang dirasakan Yongki saat melihat Alula bersama pria lain dan saat itu, pria lainnya adalah aku. Sekarang aku kayak ada di posisi Yongki dulu. Kenekatan pria itu beralasan dan kini aku merasakannya juga. Hanya saja, aku nggak boleh nekat kayak Yongki. Alula, dasar gadis nakal yang membuat para pria kebat-kebit,” gumam Lutfan sambil terus menatap Alula dan Fauzi.“Ketuk palu untuk Yongki sudah diputuskan, dia dihukum di penjara. Tapi halangannya sekarang si Fauzi itu. Harus dengan apa aku merebutnya, Allah? Aku sudah terlambat, tapi aku tidak ingin menyerah,” lanjut Lutfan.Di salah satu pantai di Blitar itu, Alula tidak berdua saja dengan Fauzi. Ada Aprilia yang juga bersama calon pasangannya bernama Tyo, masih tahap pendekatan karena perjodohan. Mereka sengaja kencan bersa
“Ta-tapi,” gagap Fauzi.“Tolong jaga putri semata wayang saya. Ibunya telah tiada, dan sepertinya saya akan menyusul.” Napas pria itu terengah-engah.“Bapak, jangan banyak bicara dulu,” ujar dokter yang menangani, mengingatkan.“Sebelum saya tiada, saya ingin menjadi wali nikah untuk putri saya. Dia sedang di perjalanan dari pesantren Lirboyo menuju ke sini. Tolong nikahi dia. Pak Huda, tolong jaga putri saya.” Pria itu menangis.Cekalan tangan Fauzi di tangan Alula terlepas. Dunia Fauzi seolah-olah runtuh saat ini juga.Tidak berbeda jauh dengan Fauzi, Alula membeku dan terpaku di tempat.Beberapa bulan terakhir memintal kebersamaan, kebahagiaan, candaan, dan kegilaan bersama Fauzi, lalu hari ini baru saja mereka saling menerima dan mulai dalam tahap keseriusan, harus diurai lagi dengan kenyataan menyesakkan. Takdir Alula sungguh ajaib.Alula menahan agar tidak menangis di sana meski dorongan air matanya terus mendesak keluar.“Zi, tolong turuti permintaan sahabat Papa.” Huda menyent
Alula yang mendengar itu, mundur, lalu berlari menjauhi IGD. Kaki jenjangnya terus mengayun menapaki paving block di halaman rumah sakit, tidak tahu harus ke mana. Tiba di sebelah parkir mobil, ia berhenti dengan napas terengah-engah. Wanita itu memegangi dadanya yang terasa sangat sesak. Ia juga masih terisak-isak.Karena tidak kuat, Alula terduduk dengan tubuh menyandar pada tembok. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Tangisnya tidak bisa dihentikan.Alula lalu mengambil ponsel dari tas ranselnya dengan tangan gemetar, berniat menghubungi Aprilia. Namun, ditahan. Ia tidak ingin mengganggu kebersamaan sang sahabat dengan Tyo. Ia bertekad bisa mengatasi situasi ini sendiri.Lutfan mengejar, tetapi ponsel di sakunya bergetar. Begitu dilihat, ibunya menelepon. Ia pun memperlambat lari. Namun, pandangannya tetap mengawasi Alula.“Assalamualaikum. Fan, kamu di mana? Seharian nggak aktif ponselnya?”“Waalaikumussalam. Aku sedang misi mengejar jodoh, Bu. Minta doa restunya,” jawab
Alula mengesot menuju pintu, lalu membuka pintu itu sedikit kesusahan.“Tolong. Perutku sakit sekali,” ujarnya sambil menangis ketika tubuhnya sudah mencapai luar. Kebetulan ada orang yang lewat. Setelah itu, Alula tidak sadarkan diri.**Alula mencoba membuka mata. Ia merasa tubuhnya sakit semua. Wanita itu mendesis.“Alhamdulillah, kamu akhirnya sadar juga, Nak. Apa yang kamu rasakan? Bentar, Ibu panggil perawat.” Nur memekik.Alula meraba perut sambil menangis.“Apa anakku masih selamat, Bu?” Alula balik tanya.“Alhamdulillah masih selamat.” Sebuah suara menyahut, membuat Alula memalingkan wajah.Alula terus menangis. Wajahnya masih melengos, enggan menatap pemilik suara itu.Sementara Nur sudah pergi dari sana, mencari perawat untuk melaporkan Alula sudah sadar.Lutfan menyentuh tangan Alula yang tidak terpasang jarum infus, mengecupnya lembut. “Jangan pergi tanpa pamit kayak gini lagi, Sayang. Mas rasanya mau ma*ti.”Alula berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil. Air ma
Kehamilan yang dijalani Alula di trisemester pertama tidaklah mudah. Wanita itu mengalami morning sickness parah hingga berkali-kali masuk rumah sakit. Lutfan dengan setia dan sabar mendampingi sang istri.“Sayang, maaf sudah membuat kamu kayak gini,” ujar Lutfan sambil menyuapi Alula di rumah sakit.Ini sudah kesekian kali Alula dirawat di rumah sakit karena tubuhnya sangat lemas. Badannya pun makin mengurus.Pria itu pulang hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Ia menghabiskan waktunya di rumah sakit setelah mengajar.“Nggak apa-apa. Aku menikmati masa-masa ini. Bukankah Allah memberi seribu kebaikan dan menghapus seribu keburukan pada wanita hamil?”Lutfan tersenyum.“Udah, Mas, enek.”Lutfan pun menyudahi suapan.“Aku yang minta maaf karena selama beberapa waktu ini, aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mas.”Alula tahu betul kalau suaminya itu memiliki na*su yang menurutnya tinggi. Entah memang semua pria seperti itu atau tidak, Alula juga tidak tahu. Saat belum sakit dulu,
“Kami sudah resmi bercerai. Ini keputusan terbaik. Daripada kami saling menyakiti,” jawab Yongki sendu. “Jadi pernikahanmu benar-benar tidak bisa lagi dipertahankan?” Yongki menggeleng. “Sebenarnya bisa, Bung. Kamu saja yang tidak mau berusaha. Aruni itu wanita baik. Buktinya, dia tidak meninggalkanmu saat kamu dipenjara kemarin. Dalam pernikahan itu, yang penting ridho orang tua. Orang tuamu yang kulihat sangat menyayangi Aruni. Itu awal yang baik. Jungkir balik kamu mencintai seseorang kalau orang tua nggak ridho, nggak bakal berkah.” Lutfan sedikit mengingat ke belakang. Saat ibunya sudah rida, ia langsung bisa bertemu Alula. “Kamu bisa bilang seperti ini karena kamu menikahi Alula atas dasar suka, bukan terpaksa. Berat, Bung, rasanya berusaha mencintai. Aruni beda dengan Alula. Ibaratnya siapa pun yang dijodohkan paksa dengan Alula, pasti mudah jatuh cinta. Kalau Aruni, harus sabar menghadapi sikap buruknya. Kamu mau nyoba? Ayo tukeran istri.” Lutfan terkekeh. “Gila, enggak
“A-aku alhamdulillah baik,” jawab Alula gugup.Yongki mendekat. Namun, sebelum sampai di hadapan Alula, wanita itu memilih berlalu dari sana. Alula tidak ingin suaminya salah paham jika memergokinya.Alula kembali ke ruang tamu, duduk di samping Lutfan. Yongki menyusul setelahnya.Acara di sana adalah makan bersama. Alula juga belum tahu apa maksud Jasman melakukan itu.“Aku masih bingung ini ada apa,” bisik Alula pada sang suami.“Sama. Tapi Bu Jannah kayaknya sangat bahagia,” sahut Lutfan sambil menyuapi istrinya.“Trus katanya Aruni sama Mas Yongki mau cerai, tapi kenapa masih datang berdua ke sini?”“Mungkin sudah rujuk. Kenapa memangnya? Kamu cemburu?”“Dih, sorry. Suamiku lebih menggoda dan lebih menggigit daripada mantan.”Lutfan tergelak sampai tersedak. Alula memberinya minum.“Makanya, Mas, kalo makan jangan sambil ngomong.”“Kamu yang mulai.” Lutfan kembali menyuapi istrinya.Pandangan beberapa mata bergantian menyaksikan mereka.Setelah makan-makan dan membereskan sisanya,
“Bagian ini yang harus kamu revisi, Sayang. Bolak-balik Mas ingatkan. Jangan asal tulis. Buka buku, cari referensi yang lebih segar, yang lebih bermutu. Jangan itu-itu mulu,” omel Lutfan suatu hari saat membimbing skripsi sang istri di gazebo.Setelah sekian lama skripsi mangkrak, kini Lutfan memaksa Alula menggarapnya lagi.“Udah aku revisi, Mas. Emang Mas aja yang sensi banget sama aku. Disalahin terus. Benerin sendiri, kek. Jangan marah-marah mulu.” Alula tidak mau kalah.“Benerin itu perkara mudah. Skripsi ini anggap saja sebagai senjata. Kamu harus tahu asal-usul dan seluk-beluk senjatamu sampai kamu benar-benar paham. Apa kelemahannya, apa kelebihannya, kenapa begini, kenapa begitu, kamu harus tahu. Jadi, ketika perang nanti, kamu bisa memakai senjata ini sebaik-baiknya. Ketika ada serangan tiba-tiba dalam bentuk apa pun, kamu siap karena sudah menguasainya. Kamu paham, kan, maksud Mas? Perang yang dimaksud adalah ketika sidang skripsi nanti.” Lutfan mode serius.“Bu, Mas–“Belu
Lutfan membawa Alula dalam dekapan. “Sudah, Sayang, jangan diteruskan.”“Beruntung saat itu aku nggak dibuang sama Pak Jasman, tapi dititipkan di panti Bu Jannah. Setidaknya bapak saat itu masih punya nurani. Atau mungkin sebenarnya dia sudah punya ikatan batin denganku, tapi tidak mau mengakui atau lebih tepatnya menepis perasaan itu. Mungkin beliau sudah tahu aku ini anak kandungnya, hanya saja situasinya sangat tidak tepat. Coba kalau aku dibuang, mungkin aku jadi anak jalanan.”“Sayang, sudah. Jangan dibahas hal yang sudah lalu.”“Dari Bu Jannah, baru aku mendapatkan kasih sayang. Di panti, barulah aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Temanku banyak, kadang uangku santunan juga banyak. Uang yang tidak pernah kudapat langsung dari ibu atau budhe. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap merasa hampa. Kasih sayang Bu Jannah nyata, tapi tetap saja kadang suka iri melihat teman di sekolah bahagia bersama keluarga kandung mereka.”Alula meraup banyak oksigen, lalu mengembuskan panjang.“Labe
Alula lantas menuju ruang Lutfan setelah membayar makanannya. Dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan dengan degup jantung menggila.“Assalamualaikum.” Alula masih berusaha formal. Ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.“Waalaikumussalam. Masuk!” titah Lutfan.Alula pun masuk. Lutfan melihat sekilas siapa yang datang.“Kunci pintunya, Sayang.” Lutfan kembali fokus pada layar laptop.Alula mengernyit. “Kenapa?”“Udah, tutup aja.”Alula pun menurut, mengunci pintu. Ia lalu berjalan dan duduk di hadapan sang suami.“Mas dapat kabarnya kapan?”“Barusan. Ini kamu buka coba WA-nya.” Pria berkacamata itu mengeluarkan ponsel dari saku. Sementara fokusnya pada laptop belum beralih.Alula mengulurkan tangan.“Ke sini, Sayang. Nggak sampai.”“Sampai, Mas aja yang nggak serius.”“Ke sini!”Alula berdecak, lalu bangkit menghampiri Lutfan. Tiba di dekat sang suami, Lutfan memundurkan kursi, lalu menarik tubuh Alula dalam pangkuan. Pria itu meletakkan ponselnya di meja.Alula langsung memekik.
“Sayang, ayo skripsinya dilanjut,” ucap Lutfan suatu hari ketika melihat Alula asyik dengan ponsel tengah duduk di ranjang.“Ini juga lagi berusaha lanjutin, Mas.” Alula belum mengalihkan pandang dari ponsel.“Apaan? Hapean gitu.” Lutfan mendekat.“Semua naskah skripsiku emang ada di ponsel. Aku, kan, nggak punya laptop.”“Kenapa nggak bilang dari dulu? Ya udah, sana pakai punya Mas.”“Serius?”“Huum.” Lutfan mengambil paksa ponsel Alula, lalu meletakkan di nakas.“Sini biar Mas kasih sesuatu dulu yang bikin kamu semangat.” Lutfan menatap Alula nakal.“Gini amat nasibku jadi mahasiswi. Harus melayani dosennya dulu. Boleh nggak, aku nyebut Mas itu dosen c*bul?”Lutfan tertawa. “Apa saja sebutanmu, Mas terima.”“Tapi janji kalo aku lanjutin, jangan banyak revisi. Kalaupun ada revisi, tolong Mas perbaiki langsung, trus ACC biar aku lekas sidang.”“Bisa dibicarakan.”Maka terjadilah yang terjadi.“Kapan aku wisuda, Mas. Kalau mau serius dikit aja kamu tubruk,” protes Alula setelah ibadah
Jasman, Aruni, dan Adi sikapnya berubah. Tidak sebenci dulu. Mereka merasa bersalah dan jatuhnya malah malu sendiri dengan kelakuan mereka yang pernah dilakukan pada Alula.Alula merawat mereka seperti tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Mereka juga tidak menolak dirawat, tetapi terkesan canggung.“La, aku minta maaf,” ujar Aruni tiba-tiba saat Alula membantunya berganti pakaian di kamar mandi. Aruni mengalami luka lecet lumayan luas di punggung dan lengan. Itu membuatnya kesulitan memakai baju sendiri.“Iya, aku juga minta maaf.”“Sebenarnya, kami pas kecelakaan itu mau mengacaukan resepsi pernikahanmu. Dari pagi kami mencari informasi di mana resepsimu dan baru dapat info malamnya setelah melihat unggahan pernikahanmu yang viral. Kami ingin mengatakan pernikahanmu tidak sah karena tidak memakai wali nasab di hadapan tamu. Tapi Allah menghentikannya.”Gerakan Alula berhenti. Namun, sesaat kemudian kembali meneruskan kegiatannya.“Aku tahu kamu bakalan syok mendengar semua ini. Tapi