“Ta-tapi,” gagap Fauzi.“Tolong jaga putri semata wayang saya. Ibunya telah tiada, dan sepertinya saya akan menyusul.” Napas pria itu terengah-engah.“Bapak, jangan banyak bicara dulu,” ujar dokter yang menangani, mengingatkan.“Sebelum saya tiada, saya ingin menjadi wali nikah untuk putri saya. Dia sedang di perjalanan dari pesantren Lirboyo menuju ke sini. Tolong nikahi dia. Pak Huda, tolong jaga putri saya.” Pria itu menangis.Cekalan tangan Fauzi di tangan Alula terlepas. Dunia Fauzi seolah-olah runtuh saat ini juga.Tidak berbeda jauh dengan Fauzi, Alula membeku dan terpaku di tempat.Beberapa bulan terakhir memintal kebersamaan, kebahagiaan, candaan, dan kegilaan bersama Fauzi, lalu hari ini baru saja mereka saling menerima dan mulai dalam tahap keseriusan, harus diurai lagi dengan kenyataan menyesakkan. Takdir Alula sungguh ajaib.Alula menahan agar tidak menangis di sana meski dorongan air matanya terus mendesak keluar.“Zi, tolong turuti permintaan sahabat Papa.” Huda menyent
Alula yang mendengar itu, mundur, lalu berlari menjauhi IGD. Kaki jenjangnya terus mengayun menapaki paving block di halaman rumah sakit, tidak tahu harus ke mana. Tiba di sebelah parkir mobil, ia berhenti dengan napas terengah-engah. Wanita itu memegangi dadanya yang terasa sangat sesak. Ia juga masih terisak-isak.Karena tidak kuat, Alula terduduk dengan tubuh menyandar pada tembok. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Tangisnya tidak bisa dihentikan.Alula lalu mengambil ponsel dari tas ranselnya dengan tangan gemetar, berniat menghubungi Aprilia. Namun, ditahan. Ia tidak ingin mengganggu kebersamaan sang sahabat dengan Tyo. Ia bertekad bisa mengatasi situasi ini sendiri.Lutfan mengejar, tetapi ponsel di sakunya bergetar. Begitu dilihat, ibunya menelepon. Ia pun memperlambat lari. Namun, pandangannya tetap mengawasi Alula.“Assalamualaikum. Fan, kamu di mana? Seharian nggak aktif ponselnya?”“Waalaikumussalam. Aku sedang misi mengejar jodoh, Bu. Minta doa restunya,” jawab
Bibir Alula terangkat sebelah. Ia tertawa sumbang. “Buls*it! Saya sudah mual dengan kata-kata suka atau cinta! Dan saya tidak percaya dengan bualan Anda, Bapak Dosen yang terhormat.”Alula hendak melangkah, tetapi pasminanya ditarik Lutfan hingga akhirnya urung. Ia memegangi pasminanya.“Pak, lepas! Tolong!” teriak Alula.Saat itulah, Lutfan mencekal telapak tangan Alula dan memasangkan cincin yang baru dibeli secara paksa."Pak!"“Sekarang kamu sudah saya ikat dan tidak boleh ada pria lain yang melamarmu. Kamu milik saya.”“Paak! Hah!" Alula sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Ia sangat lelah dengan hari ini. Wanita itu ingin mengumpati pria di hadapannya, tetapi menahan diri. Hanya air matanya yang terus berderai.Alula ingin melepas paksa cincin itu, tetapi ditahan oleh Lutfan.“Ibu sudah merestui kita. Beliau sudah sadar kalau tindakannya membencimu itu salah alamat. Alula, saya mohon. Jangan dilepas cincinnya. Saya ingin menjagamu, menjadi suamimu, menjadi imammu. Jadilah istri s
"Saya tidak bisa, Pak. Maaf.” Alula ingin melepaskan cincin dari jari manisnya, tetapi lagi-lagi dicegah Lutfan. Pria itu menggeleng.“Ibu diam-diam tiap hari menangis, melamun, saya tahu beliau sedang perang batin. Tapi hari ini beliau tiba-tiba mencair dan mengakui kalau kamu tidak salah, kamu juga tidak ada hubungan dengan masa lalu ibu. Beliau sadar, ketakutan dan traumanya tidak seharusnya dilampiaskan ke kamu. Maafkan Ibu saya."Alula menatap jauh ke depan. “Menjadi wanita kedua itu pun, sangat berat. Tapi sebagian orang termasuk Bu Nur malah memandang mungkin mikirnya enak. Padahal tidak. Bu Nur memukul rata wanita kedua itu jahat. Padahal sebenarnya sebagian dari mereka adalah korban. Korban ketidakberdayaan. Tidak berdaya melawan nafsu, tidak berdaya melawan bujuk rayu pria. Termasuk ibu saya. Saya dan ibu saya harus berpisah karena beliau harus kerja di luar kota. Saya diasuh saudara ibu dan bisa dipastikan saya ini dari kecil haus kasih sayang,” ujar Alula sambil tersenyum
“Dih, dasar dosen ca*bul! Turunin nggak?” Alula memukul punggung Lutfan.Lutfan terbahak-bahak. “Dasar anak kecil pikirannya udah ngeres! Kamu kira check-in apa? Hotel?”“Kecil Bapak bilang? Jadi Bapak ini pedo*fil? Maksa anak kecil nikah sama Bapak? Dasar bujang berkarat.”Tawa Lutfan makin renyah.Perjalanan dari kota ke panti, ada banyak hal yang mereka bahas sambil berkendara. Angin malam menguping, aspal hitam menjadi saksi percakapan keduanya. Atau lebih tepatnya perdebatan merekaBegitu tiba di panti, Nur dan Jannah menyambut di teras. Setelah Alula turun dari boncengan, Nur langsung membingkai pipi Alula, memeluknya erat.“Alula, Nak. Maafkan Ibu. Ibu tidak bermaksud menjauhimu, membencimu, hanya saja Ibu terlalu lemah dengan masa lalu.”Pelan, Alula membalas pelukan itu. Ia juga terlalu lemah jika menyangkut tentang wanita terutama wanita yang lebih tua. Terlebih lagi, Nur yang sangat menyayanginya dan ia juga sangat menyayanginya. “Saya juga minta maaf, Bu. Saya minta maaf
“Kalau kami tidak mau menerima syarat itu?” tanya Lutfan santai.“Itu artinya jangan harap saya sudi memberikan sampel saya untuk tes DNA. Apalagi menjadi wali untuknya.” Bibir Jasman tertarik sebelah sambil menunjuk Alula yang menunduk.“Dia perempuan, sudah pasti membutuhkan saya sebagai wali nikah. Jadi, pilihan ada di tangan kalian. Saya juga sudah menawarkan penawaran terbaik.”Lutfan tersenyum. “Dan Bapak lupa, kalau wali nasab tidak mau menjadi wali nikah, bisa digantikan dengan wali hakim?”“Itu tidak akan sah selama wali nasab masih hidup!"“Bapak lupa lagi? Kalau Bapak pun meragukan Alula. Jadi, belum tentu Alula putri Bapak, ‘kan?”Jasman terdiam.“Apakah Bapak keberatan dengan biaya tes DNA? Kalau iya, biar saya yang menanggung.""Bukan masalah itu. Uang bagi saya urusan kecil. Hanya saja, saya tidak sudi tes DNA agar dia kesulitan menikah.""Baiklah, tidak apa. Setidaknya kami sudah ke sini untuk meminta restu. Kalau begitu, biar kami pakai wali hakim saja. Kami permisi.”
Alula betul-betul tidak bisa memejamkan mata. Daripada hanya menggulir ponsel tidak jelas, ia bangkit menuju kamar mandi untuk mengambil wudu. Gadis itu akan melakukan salat istikharah untuk memantapkan hati dengan ajakan Lutfan berumah tangga.Setelah membentangkan sajadah, Alula mulai salat. Ia benar-benar berserah. Ia adukan gundah dan masalah. Tidak lupa ia bersujud begitu lama untuk meminta petunjuk dan arah.“Allah, sudah banyak yang terjadi dan semua itu mungkin bentuk untuk hamba mendewasakan diri. Hamba tidak minta terlalu muluk-muluk. Cukup berikan apa yang menurut-Mu terbaik untuk hamba. Entah itu masalah rezeki, jodoh, atau maut. Hamba berserah. Hamba hanya seorang sahaya yang menurut apa kehendak-Mu.”Setelah merasa pusing, Alula bangkit dan mengakhiri sujudnya. Ia melepas mukena dan berjalan menuju kasur, lalu mengempaskan diri di sana. Wanita itu juga memasang tasbih digital di jari telunjuk, lalu memetiknya. Ia mulai membaca selawat, baru matanya terasa berat dan ia pu
“Dia maksa aku, ngelamar mendadak.”“Lalu kamu mau?”“Aku nggak mau, tapi dia terus maksa. Keliatan banget ngebet nikah.”“La, kumohon jangan. Sumpah kamu nggak cocok sama sekali sama dia. Dunia akhirat aku nggak ridho kamu sama dia. Lebih baik kamu ngejomlo seumur hidup aja daripada balik sama dia.”Pletak!Alula menyentil kening Aprilia pelan. “Jangan melantur kalo ngomong. Ayo kita masak. Pagi-pagi sarapan air mata dan gibah doang nggak kenyang.”Alula dan Aprilia lalu bangkit menuju dapur kecil yang ada gedung panti. Keduanya masak sambil bergurau.“Pril, semalam aku mimpi sedang berduaan sama pria. Nggak tahu wajahnya cakep apa enggak. Dia pakai baju serba putih. Bilang sayang ke aku, meluk aku, meluk kepalaku. Itu artinya apa, ya?”“Jodohmu mungkin.”“Pakaian putih. Apa itu artinya jodohku udah meninggal dan sedang menungguku di alam kubur sana?”Pletak!Aprilia ganti menyentil dahi Alula pelan. “Mikir itu yang positif, dong. Yang baik-baik biar hasilnya baik.”“Iya juga sih ya.
Alula mengesot menuju pintu, lalu membuka pintu itu sedikit kesusahan.“Tolong. Perutku sakit sekali,” ujarnya sambil menangis ketika tubuhnya sudah mencapai luar. Kebetulan ada orang yang lewat. Setelah itu, Alula tidak sadarkan diri.**Alula mencoba membuka mata. Ia merasa tubuhnya sakit semua. Wanita itu mendesis.“Alhamdulillah, kamu akhirnya sadar juga, Nak. Apa yang kamu rasakan? Bentar, Ibu panggil perawat.” Nur memekik.Alula meraba perut sambil menangis.“Apa anakku masih selamat, Bu?” Alula balik tanya.“Alhamdulillah masih selamat.” Sebuah suara menyahut, membuat Alula memalingkan wajah.Alula terus menangis. Wajahnya masih melengos, enggan menatap pemilik suara itu.Sementara Nur sudah pergi dari sana, mencari perawat untuk melaporkan Alula sudah sadar.Lutfan menyentuh tangan Alula yang tidak terpasang jarum infus, mengecupnya lembut. “Jangan pergi tanpa pamit kayak gini lagi, Sayang. Mas rasanya mau ma*ti.”Alula berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil. Air ma
Kehamilan yang dijalani Alula di trisemester pertama tidaklah mudah. Wanita itu mengalami morning sickness parah hingga berkali-kali masuk rumah sakit. Lutfan dengan setia dan sabar mendampingi sang istri.“Sayang, maaf sudah membuat kamu kayak gini,” ujar Lutfan sambil menyuapi Alula di rumah sakit.Ini sudah kesekian kali Alula dirawat di rumah sakit karena tubuhnya sangat lemas. Badannya pun makin mengurus.Pria itu pulang hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Ia menghabiskan waktunya di rumah sakit setelah mengajar.“Nggak apa-apa. Aku menikmati masa-masa ini. Bukankah Allah memberi seribu kebaikan dan menghapus seribu keburukan pada wanita hamil?”Lutfan tersenyum.“Udah, Mas, enek.”Lutfan pun menyudahi suapan.“Aku yang minta maaf karena selama beberapa waktu ini, aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mas.”Alula tahu betul kalau suaminya itu memiliki na*su yang menurutnya tinggi. Entah memang semua pria seperti itu atau tidak, Alula juga tidak tahu. Saat belum sakit dulu,
“Kami sudah resmi bercerai. Ini keputusan terbaik. Daripada kami saling menyakiti,” jawab Yongki sendu. “Jadi pernikahanmu benar-benar tidak bisa lagi dipertahankan?” Yongki menggeleng. “Sebenarnya bisa, Bung. Kamu saja yang tidak mau berusaha. Aruni itu wanita baik. Buktinya, dia tidak meninggalkanmu saat kamu dipenjara kemarin. Dalam pernikahan itu, yang penting ridho orang tua. Orang tuamu yang kulihat sangat menyayangi Aruni. Itu awal yang baik. Jungkir balik kamu mencintai seseorang kalau orang tua nggak ridho, nggak bakal berkah.” Lutfan sedikit mengingat ke belakang. Saat ibunya sudah rida, ia langsung bisa bertemu Alula. “Kamu bisa bilang seperti ini karena kamu menikahi Alula atas dasar suka, bukan terpaksa. Berat, Bung, rasanya berusaha mencintai. Aruni beda dengan Alula. Ibaratnya siapa pun yang dijodohkan paksa dengan Alula, pasti mudah jatuh cinta. Kalau Aruni, harus sabar menghadapi sikap buruknya. Kamu mau nyoba? Ayo tukeran istri.” Lutfan terkekeh. “Gila, enggak
“A-aku alhamdulillah baik,” jawab Alula gugup.Yongki mendekat. Namun, sebelum sampai di hadapan Alula, wanita itu memilih berlalu dari sana. Alula tidak ingin suaminya salah paham jika memergokinya.Alula kembali ke ruang tamu, duduk di samping Lutfan. Yongki menyusul setelahnya.Acara di sana adalah makan bersama. Alula juga belum tahu apa maksud Jasman melakukan itu.“Aku masih bingung ini ada apa,” bisik Alula pada sang suami.“Sama. Tapi Bu Jannah kayaknya sangat bahagia,” sahut Lutfan sambil menyuapi istrinya.“Trus katanya Aruni sama Mas Yongki mau cerai, tapi kenapa masih datang berdua ke sini?”“Mungkin sudah rujuk. Kenapa memangnya? Kamu cemburu?”“Dih, sorry. Suamiku lebih menggoda dan lebih menggigit daripada mantan.”Lutfan tergelak sampai tersedak. Alula memberinya minum.“Makanya, Mas, kalo makan jangan sambil ngomong.”“Kamu yang mulai.” Lutfan kembali menyuapi istrinya.Pandangan beberapa mata bergantian menyaksikan mereka.Setelah makan-makan dan membereskan sisanya,
“Bagian ini yang harus kamu revisi, Sayang. Bolak-balik Mas ingatkan. Jangan asal tulis. Buka buku, cari referensi yang lebih segar, yang lebih bermutu. Jangan itu-itu mulu,” omel Lutfan suatu hari saat membimbing skripsi sang istri di gazebo.Setelah sekian lama skripsi mangkrak, kini Lutfan memaksa Alula menggarapnya lagi.“Udah aku revisi, Mas. Emang Mas aja yang sensi banget sama aku. Disalahin terus. Benerin sendiri, kek. Jangan marah-marah mulu.” Alula tidak mau kalah.“Benerin itu perkara mudah. Skripsi ini anggap saja sebagai senjata. Kamu harus tahu asal-usul dan seluk-beluk senjatamu sampai kamu benar-benar paham. Apa kelemahannya, apa kelebihannya, kenapa begini, kenapa begitu, kamu harus tahu. Jadi, ketika perang nanti, kamu bisa memakai senjata ini sebaik-baiknya. Ketika ada serangan tiba-tiba dalam bentuk apa pun, kamu siap karena sudah menguasainya. Kamu paham, kan, maksud Mas? Perang yang dimaksud adalah ketika sidang skripsi nanti.” Lutfan mode serius.“Bu, Mas–“Belu
Lutfan membawa Alula dalam dekapan. “Sudah, Sayang, jangan diteruskan.”“Beruntung saat itu aku nggak dibuang sama Pak Jasman, tapi dititipkan di panti Bu Jannah. Setidaknya bapak saat itu masih punya nurani. Atau mungkin sebenarnya dia sudah punya ikatan batin denganku, tapi tidak mau mengakui atau lebih tepatnya menepis perasaan itu. Mungkin beliau sudah tahu aku ini anak kandungnya, hanya saja situasinya sangat tidak tepat. Coba kalau aku dibuang, mungkin aku jadi anak jalanan.”“Sayang, sudah. Jangan dibahas hal yang sudah lalu.”“Dari Bu Jannah, baru aku mendapatkan kasih sayang. Di panti, barulah aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Temanku banyak, kadang uangku santunan juga banyak. Uang yang tidak pernah kudapat langsung dari ibu atau budhe. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap merasa hampa. Kasih sayang Bu Jannah nyata, tapi tetap saja kadang suka iri melihat teman di sekolah bahagia bersama keluarga kandung mereka.”Alula meraup banyak oksigen, lalu mengembuskan panjang.“Labe
Alula lantas menuju ruang Lutfan setelah membayar makanannya. Dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan dengan degup jantung menggila.“Assalamualaikum.” Alula masih berusaha formal. Ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.“Waalaikumussalam. Masuk!” titah Lutfan.Alula pun masuk. Lutfan melihat sekilas siapa yang datang.“Kunci pintunya, Sayang.” Lutfan kembali fokus pada layar laptop.Alula mengernyit. “Kenapa?”“Udah, tutup aja.”Alula pun menurut, mengunci pintu. Ia lalu berjalan dan duduk di hadapan sang suami.“Mas dapat kabarnya kapan?”“Barusan. Ini kamu buka coba WA-nya.” Pria berkacamata itu mengeluarkan ponsel dari saku. Sementara fokusnya pada laptop belum beralih.Alula mengulurkan tangan.“Ke sini, Sayang. Nggak sampai.”“Sampai, Mas aja yang nggak serius.”“Ke sini!”Alula berdecak, lalu bangkit menghampiri Lutfan. Tiba di dekat sang suami, Lutfan memundurkan kursi, lalu menarik tubuh Alula dalam pangkuan. Pria itu meletakkan ponselnya di meja.Alula langsung memekik.
“Sayang, ayo skripsinya dilanjut,” ucap Lutfan suatu hari ketika melihat Alula asyik dengan ponsel tengah duduk di ranjang.“Ini juga lagi berusaha lanjutin, Mas.” Alula belum mengalihkan pandang dari ponsel.“Apaan? Hapean gitu.” Lutfan mendekat.“Semua naskah skripsiku emang ada di ponsel. Aku, kan, nggak punya laptop.”“Kenapa nggak bilang dari dulu? Ya udah, sana pakai punya Mas.”“Serius?”“Huum.” Lutfan mengambil paksa ponsel Alula, lalu meletakkan di nakas.“Sini biar Mas kasih sesuatu dulu yang bikin kamu semangat.” Lutfan menatap Alula nakal.“Gini amat nasibku jadi mahasiswi. Harus melayani dosennya dulu. Boleh nggak, aku nyebut Mas itu dosen c*bul?”Lutfan tertawa. “Apa saja sebutanmu, Mas terima.”“Tapi janji kalo aku lanjutin, jangan banyak revisi. Kalaupun ada revisi, tolong Mas perbaiki langsung, trus ACC biar aku lekas sidang.”“Bisa dibicarakan.”Maka terjadilah yang terjadi.“Kapan aku wisuda, Mas. Kalau mau serius dikit aja kamu tubruk,” protes Alula setelah ibadah
Jasman, Aruni, dan Adi sikapnya berubah. Tidak sebenci dulu. Mereka merasa bersalah dan jatuhnya malah malu sendiri dengan kelakuan mereka yang pernah dilakukan pada Alula.Alula merawat mereka seperti tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Mereka juga tidak menolak dirawat, tetapi terkesan canggung.“La, aku minta maaf,” ujar Aruni tiba-tiba saat Alula membantunya berganti pakaian di kamar mandi. Aruni mengalami luka lecet lumayan luas di punggung dan lengan. Itu membuatnya kesulitan memakai baju sendiri.“Iya, aku juga minta maaf.”“Sebenarnya, kami pas kecelakaan itu mau mengacaukan resepsi pernikahanmu. Dari pagi kami mencari informasi di mana resepsimu dan baru dapat info malamnya setelah melihat unggahan pernikahanmu yang viral. Kami ingin mengatakan pernikahanmu tidak sah karena tidak memakai wali nasab di hadapan tamu. Tapi Allah menghentikannya.”Gerakan Alula berhenti. Namun, sesaat kemudian kembali meneruskan kegiatannya.“Aku tahu kamu bakalan syok mendengar semua ini. Tapi