“Apa, sih! Lepas! Ini di tempat kerja, Pak. Jadi tolong sopan, dijaga formalitasnya.” Alula mengempas tangan Yongki hingga berhasil terlepas.Alula lalu tergesa-gesa menuju sepeda motor.“Kita perlu bicara, Alula. Kali ini tolong kita bicara sebagai orang yang pernah saling sayang, bukan sesama guru."“Tapi nggak ada lagi yang perlu dibicarakan. Mas, aku nggak mau, ya, kena masalah gara-gara kamu. Cukup, kita selesai karena kamu sudah beristri. Sesimpel itu.”“Tapi aku nggak bisa. Kenapa kamu malah mempermainkanku waktu itu?"Alula tersenyum miring. “Karena aku tahu saat itu kamu dalam keadaan edan. Bukan aku yang seharusnya kamu telepon, tapi istrimu.”“Aku stres sampai mabuk. Seharian aku mati-matian menahan gejolak gila itu.”“Lalu kamu meneleponku biar aku datang dan menjadi sasaran kegilaanmu itu? Nggak waras kamu, ya?"“La, tolong ngertilah. Aku nggak bisa sama Aruni meskipun sudah kucoba dan kupaksa. Yang ada aku makin tersiksa. Aku ingin menceraikan Aruni.”“Jangan nekat kamu!
Lutfan berjalan di koridor dan akan masuk kelas ketika Alula meminta jemput di sekolah. Pria itu bingung harus berbuat apa. Pasalnya, ia tidak tahu sekolah mana yang dimaksud Alula. Belum lagi ada kelas yang tidak bisa ditinggalkan.Pria berkemeja navy itu serba salah. Jika membiarkan Alula, ia takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Mengingat suara Alula terdengar begitu kacau. Namun, jika menolong, kelas tidak bisa diabaikan. Itu bukan kebiasaannya.Lutfan tadi menghubungi Alula karena ingin bertanya sejauh mana revisi gadis itu. Namun, Alula sepertinya justru salah bicara, atau salah orang, atau apalah itu yang Lutfan tidak tahu. Alula memanggilnya Us, berarti permintaan tolong itu sebenarnya bukan kepadanya. Lutfan tidak bisa membiarkan Alula begitu saja. Sisi hatinya tidak tega jika Alula terkena masalah.Sambil terus berpikir, Lutfan menuju kelas. Tiba di kelas, seperti biasa ia mengucapkan salam dan sedikit memberikan mata kuliah. Pria itu benar-benar tidak fokus.“Saya akan m
“Alula!” Teriakan seseorang terdengar. Ada Lutfan berdiri di gerbang yang memanggilnya, membuat Alula dan Yongki menoleh ke sumber suara.Wanita itu memicing lalu bergumam sangat lirih, “Pak Lutfan? Kenapa bisa sampai sini?”Yongki menelisik siapa yang memanggil Alula. Ia menilai dari ujung kaki sampai ujung kepala pria yang berdiri di gerbang sana.“Permisi, calon suamiku sudah datang. Dan kamu, Mas. Aku tidak akan melupakan apa telah kamu lakukan ke aku tadi dan aku nggak ridho dunia akhirat,” ujar Alula ketus.Yongki melepaskan cekalan di sepeda motor Alula, membiarkan mantannya itu pergi.Alula pun berlalu dengan sepeda motornya dan berhenti di luar gerbang. Yongki mengikutinya dengan berjalan kaki.“Bapak kenapa ada di sini?” tanya Alula, menghampiri Lutfan.“Bukannya tadi kamu minta tolong suruh jemput?” Lutfan bertanya balik.“Tapi, tadi saya nyuruh si Paus–“ Ucapan Alula terjeda karena Yongki kian mendekat.“Ini calon suamimu, La?” tanya Yongki seraya menelisik Lutfan.“Iya. S
Sepeda motor Alula melaju cepat keluar jalur, keluar aspal. Gadis itu lantas memperlambat kecepatan. Sementara Lutfan yang masih agak jauh di belakang, berusaha mempercepat Vespa-nya.Alula berhenti sambil mengusap wajah. Lutfan tidak lama ikut berhenti dan memarkirkan sepeda motornya.“Jangan ceroboh, Alula! Kamu terlalu ngebut, jadi gini, kan, akibatnya!”“Pak, saya–“ Wanita itu justru menangis.Lutfan mengembuskan napas panjang. “Maaf karena suara saya meninggi. Saya refleks.”Alula tidak menjawab.“Tunggu dulu di sini. Biar saya belikan air minum.”Alula tetap tidak menyahut. Ia turun dari sepeda motor dan duduk di trotoar. Pikiran kalut, membuatnya tidak berkonsentrasi dalam berkendara. Hampir saja ia menabrak mobil yang berjalan lambat di depannya kalau saja tidak banting setir ke kiri. Beruntung tidak banting setir ke kanan, dan tidak ada kendaraan lain baik dari sisi belakang ataupun sebaliknya. Jika tidak, bisa dipastikan wanita itu akan tertabrak.Lutfan yang merasa bersalah
Tanpa menunggu persetujuan Alula, Lutfan melenggang menuju masjid.“Ck, dasar tukang maksa.”Alula pun berjalan memasuki area taman. Sementara dari masjid, suara qiraat terdengar mengalun syahdu dan menggetarkan kalbu.Sebenarnya bisa saja mereka melanjutkan perjalanan karena panti sudah dekat. Namun, entah apa yang membuat Lutfan sangat suka menahan Alula.Di taman, gadis itu mengedarkan pandang. Banyak makanan dijajakan di taman tersebut. Pilihannya jatuh pada penjual es degan.Dengan langkah pelan, Alula menghampiri penjualnya.“Bu, saya pesan satu nggak usah pakai es.”“Siap, Mbak.”“Ada orang salat Jum’at kedainya nggak tutup, Bu?” tanya Alula.“Enggak, Mbak. Hanya saja saya nggak melayani kalau yang beli laki-laki. Kebanyakan yang beli juga para perempuan dan anak kecil yang sedang nunggu suami atau ayahnya salat. Mbak mungkin juga sedang nunggu suami?”Alula tergelak. “Enggak. Hanya nunggu pengemudi Ojol yang pamit salat.”“Pengertian banget mbaknya ini. Izin salat dibolehin.”
Alula terdiam. Sejurus kemudian, ia terbahak-bahak.“Ibu jangan konyol, deh. Nggak mungkin pria galak gitu deketin aku. Siapalah aku ini, Bu.”“Yakin dia galak? Tapi sepertinya baik dan sabar.”Alula terdiam, lalu mengangguk. “Iya, sih. Tapi kayaknya nggak mungkin. Ibu ini ada-ada aja.”“Siapa tahu, kan? Bagaimana kalau dia suka sama kamu?”“Ibuu, udah, ah. Aku mau ke kamar dulu. Eh tapi, ini tadi interogasinya udah?”Jannah mengangguk. “Udah. Sana istirahat.”Alula mengedipkan satu mata, kemudian berlalu dari sana. Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Jannah. Pun tidak terlalu memusingkan itu. Baginya, Jannah hanya mengada-ada.Setelah tiba di gedung panti, Alula menuju kamar mandi, lantas membasuh bibirnya dengan tujuh kali air dan salah satunya dengan debu yang menempel di dinding kamarnya. Bibir Yongki bahkan dinilai melebihi beratnya najis mugholadoh.**Tanggungan Alula masalah pekerjaan sebelumnya telah final dan kini resmi menganggur. Sekarang, ia sedang serius menge
“Itu kemarin hanya setting-an. You know the meaning setting-an, kan? Eh, gitu bukan english-nya? Setting-an itu asrtinya sandiwara, pura-pura, yang kubuat untuk membungkam mulut keluarga Mas Yongki dan keluarga tiriku. Ah, kenapa jadi rumit gini?”“Bener? Kamu nggak ada hubungan apa-apa sama pria tonggos itu, kan?”“Hubungan kami saat ini ya hanya sebatas mahasiswi dan dosen pembimbing, udah. Nggak ada hubungan apa-apa lagi. Apalagi hubungan spesial yang tidak pedas yang berkaret dua.” Alula tertawa.“Aku serius, Alula. Jangan malah bercanda.”“Iya, aku juga serius.”“Tapi kedengerannya kamu nggak ada takut atau sedihnya gitu? Malah terdengar kamu bahagia gosip ini menyebar?”“Ya, buat apa sedih atau takut. Wong kami emang nggak ada apa-apa. Biarin nyebar. Nanti juga reda sendiri.”“Untung kamu nggak pernah ke kampus lagi. Coba kalau berseliweran di sini, sudah pasti jadi artis panggungan. Eh salah, jadi artis koridor kampus. Dan kamu tahu tanggapan Pak Lun apa?”“Apa?”“Pak Lun tida
“Saya memang serius sama dia. Hanya saja, masih belum saya publikasikan. Berhubung video itu sudah beredar terlebih dulu, kesannya jadi seperti mainan padahal kami memang serius. Saya juga terkejut kenapa harus video itu dulu yang tersebar. Pak Ridwan, Mohon maaf sebelumnya, saya ingin memastikan dulu apakah ada larangan dosen dan mahasiswa di kampus ini tidak boleh menikah? Mungkin saya melewatkannya.”“Tidak ada larangan seperti itu, Pak. Silakan saja mau ada hubungan pernikahan di antara dosen dengan dosen, atau dosen dengan mahasiswa. Hanya saja, harus tetap menjaga formalitas, harus tetap profesional bekerja atau kuliah. Pak Lutfan kalau memang serius, harap disegerakan. Karena suara di luar sana, terutama di kalangan mahasiswa sangat ramai membahas ini. Takutnya nanti rasa hormat mereka ke Pak Lutfan juga menurun. Saya juga takut akibat masalah ini, berimbas ke masalah lain. Misalnya, mahasiswa jadi krisis kepercayaan atau krisis hormat dengan dosennya, atau nama kampus jadi bur
Alula mengesot menuju pintu, lalu membuka pintu itu sedikit kesusahan.“Tolong. Perutku sakit sekali,” ujarnya sambil menangis ketika tubuhnya sudah mencapai luar. Kebetulan ada orang yang lewat. Setelah itu, Alula tidak sadarkan diri.**Alula mencoba membuka mata. Ia merasa tubuhnya sakit semua. Wanita itu mendesis.“Alhamdulillah, kamu akhirnya sadar juga, Nak. Apa yang kamu rasakan? Bentar, Ibu panggil perawat.” Nur memekik.Alula meraba perut sambil menangis.“Apa anakku masih selamat, Bu?” Alula balik tanya.“Alhamdulillah masih selamat.” Sebuah suara menyahut, membuat Alula memalingkan wajah.Alula terus menangis. Wajahnya masih melengos, enggan menatap pemilik suara itu.Sementara Nur sudah pergi dari sana, mencari perawat untuk melaporkan Alula sudah sadar.Lutfan menyentuh tangan Alula yang tidak terpasang jarum infus, mengecupnya lembut. “Jangan pergi tanpa pamit kayak gini lagi, Sayang. Mas rasanya mau ma*ti.”Alula berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil. Air ma
Kehamilan yang dijalani Alula di trisemester pertama tidaklah mudah. Wanita itu mengalami morning sickness parah hingga berkali-kali masuk rumah sakit. Lutfan dengan setia dan sabar mendampingi sang istri.“Sayang, maaf sudah membuat kamu kayak gini,” ujar Lutfan sambil menyuapi Alula di rumah sakit.Ini sudah kesekian kali Alula dirawat di rumah sakit karena tubuhnya sangat lemas. Badannya pun makin mengurus.Pria itu pulang hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Ia menghabiskan waktunya di rumah sakit setelah mengajar.“Nggak apa-apa. Aku menikmati masa-masa ini. Bukankah Allah memberi seribu kebaikan dan menghapus seribu keburukan pada wanita hamil?”Lutfan tersenyum.“Udah, Mas, enek.”Lutfan pun menyudahi suapan.“Aku yang minta maaf karena selama beberapa waktu ini, aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mas.”Alula tahu betul kalau suaminya itu memiliki na*su yang menurutnya tinggi. Entah memang semua pria seperti itu atau tidak, Alula juga tidak tahu. Saat belum sakit dulu,
“Kami sudah resmi bercerai. Ini keputusan terbaik. Daripada kami saling menyakiti,” jawab Yongki sendu. “Jadi pernikahanmu benar-benar tidak bisa lagi dipertahankan?” Yongki menggeleng. “Sebenarnya bisa, Bung. Kamu saja yang tidak mau berusaha. Aruni itu wanita baik. Buktinya, dia tidak meninggalkanmu saat kamu dipenjara kemarin. Dalam pernikahan itu, yang penting ridho orang tua. Orang tuamu yang kulihat sangat menyayangi Aruni. Itu awal yang baik. Jungkir balik kamu mencintai seseorang kalau orang tua nggak ridho, nggak bakal berkah.” Lutfan sedikit mengingat ke belakang. Saat ibunya sudah rida, ia langsung bisa bertemu Alula. “Kamu bisa bilang seperti ini karena kamu menikahi Alula atas dasar suka, bukan terpaksa. Berat, Bung, rasanya berusaha mencintai. Aruni beda dengan Alula. Ibaratnya siapa pun yang dijodohkan paksa dengan Alula, pasti mudah jatuh cinta. Kalau Aruni, harus sabar menghadapi sikap buruknya. Kamu mau nyoba? Ayo tukeran istri.” Lutfan terkekeh. “Gila, enggak
“A-aku alhamdulillah baik,” jawab Alula gugup.Yongki mendekat. Namun, sebelum sampai di hadapan Alula, wanita itu memilih berlalu dari sana. Alula tidak ingin suaminya salah paham jika memergokinya.Alula kembali ke ruang tamu, duduk di samping Lutfan. Yongki menyusul setelahnya.Acara di sana adalah makan bersama. Alula juga belum tahu apa maksud Jasman melakukan itu.“Aku masih bingung ini ada apa,” bisik Alula pada sang suami.“Sama. Tapi Bu Jannah kayaknya sangat bahagia,” sahut Lutfan sambil menyuapi istrinya.“Trus katanya Aruni sama Mas Yongki mau cerai, tapi kenapa masih datang berdua ke sini?”“Mungkin sudah rujuk. Kenapa memangnya? Kamu cemburu?”“Dih, sorry. Suamiku lebih menggoda dan lebih menggigit daripada mantan.”Lutfan tergelak sampai tersedak. Alula memberinya minum.“Makanya, Mas, kalo makan jangan sambil ngomong.”“Kamu yang mulai.” Lutfan kembali menyuapi istrinya.Pandangan beberapa mata bergantian menyaksikan mereka.Setelah makan-makan dan membereskan sisanya,
“Bagian ini yang harus kamu revisi, Sayang. Bolak-balik Mas ingatkan. Jangan asal tulis. Buka buku, cari referensi yang lebih segar, yang lebih bermutu. Jangan itu-itu mulu,” omel Lutfan suatu hari saat membimbing skripsi sang istri di gazebo.Setelah sekian lama skripsi mangkrak, kini Lutfan memaksa Alula menggarapnya lagi.“Udah aku revisi, Mas. Emang Mas aja yang sensi banget sama aku. Disalahin terus. Benerin sendiri, kek. Jangan marah-marah mulu.” Alula tidak mau kalah.“Benerin itu perkara mudah. Skripsi ini anggap saja sebagai senjata. Kamu harus tahu asal-usul dan seluk-beluk senjatamu sampai kamu benar-benar paham. Apa kelemahannya, apa kelebihannya, kenapa begini, kenapa begitu, kamu harus tahu. Jadi, ketika perang nanti, kamu bisa memakai senjata ini sebaik-baiknya. Ketika ada serangan tiba-tiba dalam bentuk apa pun, kamu siap karena sudah menguasainya. Kamu paham, kan, maksud Mas? Perang yang dimaksud adalah ketika sidang skripsi nanti.” Lutfan mode serius.“Bu, Mas–“Belu
Lutfan membawa Alula dalam dekapan. “Sudah, Sayang, jangan diteruskan.”“Beruntung saat itu aku nggak dibuang sama Pak Jasman, tapi dititipkan di panti Bu Jannah. Setidaknya bapak saat itu masih punya nurani. Atau mungkin sebenarnya dia sudah punya ikatan batin denganku, tapi tidak mau mengakui atau lebih tepatnya menepis perasaan itu. Mungkin beliau sudah tahu aku ini anak kandungnya, hanya saja situasinya sangat tidak tepat. Coba kalau aku dibuang, mungkin aku jadi anak jalanan.”“Sayang, sudah. Jangan dibahas hal yang sudah lalu.”“Dari Bu Jannah, baru aku mendapatkan kasih sayang. Di panti, barulah aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Temanku banyak, kadang uangku santunan juga banyak. Uang yang tidak pernah kudapat langsung dari ibu atau budhe. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap merasa hampa. Kasih sayang Bu Jannah nyata, tapi tetap saja kadang suka iri melihat teman di sekolah bahagia bersama keluarga kandung mereka.”Alula meraup banyak oksigen, lalu mengembuskan panjang.“Labe
Alula lantas menuju ruang Lutfan setelah membayar makanannya. Dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan dengan degup jantung menggila.“Assalamualaikum.” Alula masih berusaha formal. Ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.“Waalaikumussalam. Masuk!” titah Lutfan.Alula pun masuk. Lutfan melihat sekilas siapa yang datang.“Kunci pintunya, Sayang.” Lutfan kembali fokus pada layar laptop.Alula mengernyit. “Kenapa?”“Udah, tutup aja.”Alula pun menurut, mengunci pintu. Ia lalu berjalan dan duduk di hadapan sang suami.“Mas dapat kabarnya kapan?”“Barusan. Ini kamu buka coba WA-nya.” Pria berkacamata itu mengeluarkan ponsel dari saku. Sementara fokusnya pada laptop belum beralih.Alula mengulurkan tangan.“Ke sini, Sayang. Nggak sampai.”“Sampai, Mas aja yang nggak serius.”“Ke sini!”Alula berdecak, lalu bangkit menghampiri Lutfan. Tiba di dekat sang suami, Lutfan memundurkan kursi, lalu menarik tubuh Alula dalam pangkuan. Pria itu meletakkan ponselnya di meja.Alula langsung memekik.
“Sayang, ayo skripsinya dilanjut,” ucap Lutfan suatu hari ketika melihat Alula asyik dengan ponsel tengah duduk di ranjang.“Ini juga lagi berusaha lanjutin, Mas.” Alula belum mengalihkan pandang dari ponsel.“Apaan? Hapean gitu.” Lutfan mendekat.“Semua naskah skripsiku emang ada di ponsel. Aku, kan, nggak punya laptop.”“Kenapa nggak bilang dari dulu? Ya udah, sana pakai punya Mas.”“Serius?”“Huum.” Lutfan mengambil paksa ponsel Alula, lalu meletakkan di nakas.“Sini biar Mas kasih sesuatu dulu yang bikin kamu semangat.” Lutfan menatap Alula nakal.“Gini amat nasibku jadi mahasiswi. Harus melayani dosennya dulu. Boleh nggak, aku nyebut Mas itu dosen c*bul?”Lutfan tertawa. “Apa saja sebutanmu, Mas terima.”“Tapi janji kalo aku lanjutin, jangan banyak revisi. Kalaupun ada revisi, tolong Mas perbaiki langsung, trus ACC biar aku lekas sidang.”“Bisa dibicarakan.”Maka terjadilah yang terjadi.“Kapan aku wisuda, Mas. Kalau mau serius dikit aja kamu tubruk,” protes Alula setelah ibadah
Jasman, Aruni, dan Adi sikapnya berubah. Tidak sebenci dulu. Mereka merasa bersalah dan jatuhnya malah malu sendiri dengan kelakuan mereka yang pernah dilakukan pada Alula.Alula merawat mereka seperti tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Mereka juga tidak menolak dirawat, tetapi terkesan canggung.“La, aku minta maaf,” ujar Aruni tiba-tiba saat Alula membantunya berganti pakaian di kamar mandi. Aruni mengalami luka lecet lumayan luas di punggung dan lengan. Itu membuatnya kesulitan memakai baju sendiri.“Iya, aku juga minta maaf.”“Sebenarnya, kami pas kecelakaan itu mau mengacaukan resepsi pernikahanmu. Dari pagi kami mencari informasi di mana resepsimu dan baru dapat info malamnya setelah melihat unggahan pernikahanmu yang viral. Kami ingin mengatakan pernikahanmu tidak sah karena tidak memakai wali nasab di hadapan tamu. Tapi Allah menghentikannya.”Gerakan Alula berhenti. Namun, sesaat kemudian kembali meneruskan kegiatannya.“Aku tahu kamu bakalan syok mendengar semua ini. Tapi