“Saya memang serius sama dia. Hanya saja, masih belum saya publikasikan. Berhubung video itu sudah beredar terlebih dulu, kesannya jadi seperti mainan padahal kami memang serius. Saya juga terkejut kenapa harus video itu dulu yang tersebar. Pak Ridwan, Mohon maaf sebelumnya, saya ingin memastikan dulu apakah ada larangan dosen dan mahasiswa di kampus ini tidak boleh menikah? Mungkin saya melewatkannya.”“Tidak ada larangan seperti itu, Pak. Silakan saja mau ada hubungan pernikahan di antara dosen dengan dosen, atau dosen dengan mahasiswa. Hanya saja, harus tetap menjaga formalitas, harus tetap profesional bekerja atau kuliah. Pak Lutfan kalau memang serius, harap disegerakan. Karena suara di luar sana, terutama di kalangan mahasiswa sangat ramai membahas ini. Takutnya nanti rasa hormat mereka ke Pak Lutfan juga menurun. Saya juga takut akibat masalah ini, berimbas ke masalah lain. Misalnya, mahasiswa jadi krisis kepercayaan atau krisis hormat dengan dosennya, atau nama kampus jadi bur
“Mau pesan ap–" Kalimat Alula terhenti."Pak Lutfan, Bu Nur?” Alula benar-benar terkejut.“Loh, Alula?” pekik Nur tidak kalah keras.Alula menyalami tangan Nur dengan takzim dalam keadaan gugup. Sementara Nur belum hilang rasa terkejutnya.“Ka-kamu kerja di sini, La?” tanya Nur.“Iya, Bu. Oh, ya, pesan apa? Biar segera dibuatkan.”“Mi ayam saja dua dan minumnya teh hangat dua.”“Mi ayamnya satu saja, Bu. Buat Ibu. Aku nggak usah. Aku teh hangat aja,” potong Lutfan. Melihat Alula bekerja malam-malam seperti ini, mendadak nafsu makan pria itu menguar. Seperti halnya sang ibu, Lutfan juga sangat syok mengetahui Alula bekerja malam-malam seperti ini.Pria itu mengamati Alula dari bawah ke atas. Meskipun tersenyum, gadis itu menyimpan rasa lelah di matanya yang terlihat sayu.“Baiklah, tunggu sebentar, ya, Bu.”Alula hendak melangkah, tetapi ditahan Nur. “Sudah lama kerja di sini?”“Sebulan tepat hari ini.”Pembeli lain berdatangan. Alula merasa harus bekerja secara profesional. “Bu Nur, m
“Hey, lepaskan dia!” Suara teriakan terdengar saat Lutfan baru saja membuka pintu mobil.Seorang pria turun dari sepeda motor, lalu melayangkan tinju ke wajah pria yang hendak menggoda Alula.Bugh!Pria itu terjerembap ke aspal.Pria penolong itu mencengkeram kerah kaus pria penggoda dan kembali memukuli bertubi-tubi.“Mas Yongki sudah!” Teriakan Alula membuat Lutfan yang hendak mendekat untuk membantu, urung.Lutfan memilih memaku langkahnya.“Mas, udah!” Alula menarik lengan Yongki yang masih membabi-buta menghajar pria kurang ajar tadi.“Kamu kenal sama dia, La?” tanya Yongki setelah menyudahi pukulan. Napasnya memburu.Alula menggeleng. “Enggak. Hanya saja tadi minta nomerku pas aku lagi kerja, tapi aku nggak hafal nomorku.”“Pergi sebelum kuremukkan tulangmu!” pekik Yongki.Pria itu berdiri tertatih sambil mendesis. Ia juga memegangi bibirnya yang berdarah.“Dan jangan lagi menggoda pacarku ini kalau kamu tidak ingin masuk liang lahat!”“Aku akan kembali. Ingat itu!” Pria itu pun
“Lepas!” Alula kembali memekik.“Ini aku Yongki,” ujar pria itu.“Mas Yongki? Ngapain?”Yongki pun menurunkan masker dari wajah. “La, aku udah bilang jangan kerja malam kayak gini lagi. Sekarang ayo ikut aku. Kita selesaikan semua malam ini juga.” Yongki mencekal tangan Alula.“Apa maksudmu selesaikan malam ini juga!”“Kita akan tidur bersama, syukur-syukur kamu langsung hamil. Biar ada alasan aku menikahimu.”“Dangkal sekali pikiranmu! Mas, lepasin!”Yongki menurunkan paksa Alula dari sepedanya. Sepeda itu diambrukkan begitu saja.“Alula Sayang. Kumohon ayo ikut aku. Kita mulai malam ini untuk mengakhiri semua. Hanya kamu yang bisa membantuku lepas dari pernikahan dengan Aruni.”Alula menggeleng. “Aku nggak mau!"Bukannya pergi, Yongki justru mencium sekilas bibir Alula.“Toloong!”Yongki membekap mulut wanita itu segera setelah berteriak.Sebelum Alula berontak lebih brutal, Yongki mengeluarkan saputangan dari saku, lantas menggunakannya untuk membekap Alula.Pelan tetapi pasti, tub
“Bu, kalau aku bawa Alula pulang ke rumah, Ibu keberatan nggak?” tanya Lutfan.Karena pikiran buntu, Lutfan tidak bisa memutuskan ke mana Alula harus dibawa. Opsi terbaik adalah menelepon Nur. Beruntung teleponnya dijawab setelah tiga kali menghubungi.“Loh, loh, sek sek. Ini ada apa tiba-tiba malam-malam kamu mau bawa Alula ke rumah? Jangan bilang kamu nyulik dia?”“Astagfirullah. Enggaklah, Bu. Kalau aku nyulik dia, ngapain juga telepon Ibu. Kalo aku nyulik, udah kubawa kabur. Justru aku ini tadi menolongnya.”Lutfan pun menceritakan kronologi kejadian yang sebenarnya.“Kalau aku bawa pulang ke panti, takut digebukin orang-orang dikira malah aku nanti yang dituduh bertindak hal buruk pada Alula mengingat ini udah menjelang pagi. Diajak ke hotel, malah berabe.”“Ya udah, bawa pulang ke rumah aja. Biar Ibu yang rawat dia.”“Siap. Makasih, Bu.”“Ibu tunggu di rumah.”Setelah panggilan dimatikan, Lutfan menoleh kursi belakang di mana Alula berada.“Dalam kondisi tertidur pun, kamu sanga
"Masalah saya? Apa, Bu?" Alula memastikan."Ah, bukan apa-apa.""Ya sudah, saya turun di sini saja.""Iya. Ibu tunggu di panti."Alula pun turun.Mobil yang ditumpangi Nur dan Lutfan berjalan lebih dulu ke panti. Sementara Alula mendirikan sepeda, lalu mengayuhnya.Saat pagi seperti ini, belum ramai orang hingga tidak ada yang curiga kenapa sepeda Alula sampai tergeletak di situ.Sepanjang perjalanan menuju panti, air mata Alula lagi-lagi menitik. Kejadian semalam terus mengusik pikirannya. Hampir saja dunianya luluh lantak kalau Yongki berhasil merenggut kesuciannya.Dengan dalih bisa bersama, Yongki begitu nekat dan menghalalkan segala cara termasuk berniat membuatnya hamil. Seumur hidup, bahkan Alula berjanji tidak mau itu terjadi. Hamil di luar nikah adalah kutukan baginya.Hamil di bawah pernikahan siri saja menyesakkan, apalagi harus hamil tanpa ikatan pernikahan. Apa yang dialami almarhumah sang ibu, sudah cukup menjadi pelajaran penting di hidupnya untuk lebih berhati-hati.Ti
Alula yang hendak mendekat, urung. Kakinya yang gemetar, dikuat-kuatkannya berjalan mundur. Tangannya berpegangan pada dinding agar tubuhnya tidak sampai limbung.Wanita itu tadi belum sepenuhnya terlelap, hanya tidur-tidur ayam. Ia mendengar suara gumam orang di depan dan berniat melihat siapa yang ada di sana. Mungkin Nur belum pulang dan ternyata benar. Namun, pernyataan Lutfan membuatnya sangat terkejut dan memilih berpura-pura tidak mendengar.Alula kembali membaringkan tubuh. Di pikirannya, banyak hal bertumpuk yang saling tindih. Lamaran? Lutfan? Kepala Alula hampir meledak dibuatnya.Ia tidak lagi menangis. Masalah Yongki menyingkir dengan sendirinya. Fokusnya kini tentang lamaran. Jika Lutfan benar akan melamarnya besok, apa yang harus dilakukan? Menerima atau menolaknya? Atau meminta waktu dulu?Cukup lama Alula merenung sambil menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong sebelum suara dua wanita mendekat. Gadis itu pura-pura terpejam lagi dengan posisi miring.Nur te
“La, bangun, Nak.” Jannah menyentuh sambil sedikit menggoyang tubuh Alula.Alula membuka pelan matanya yang terasa panas dan merah.“Kamu sakit?”“Rasanya panas, Bu,” keluh Alula.“Minum obat, ya. Sebentar, Ibu ambilkan makan dulu yang baru. Ini udah dingin gini,” gumam Jannah sambil menyentuh makanan yang tidak disentuh Alula. Nasinya pun sudah agak kering.Jannah bergegas menuju rumahnya untuk mengambilkan Alula makanan dan obat. Ia kembali dengan membawa nampan berisi nasi, sayur, dan lauk.“Makan dulu. Baru nanti minum obat.”Alula menggeleng. “Pait, Bu.”“Dipaksa, perutmu biar ada isinya.”Dengan berat hati, Alula menyendok makanan dan memakannya. Baru sampai mulut, ia merasa mual dan langsung bersusah payah berjalan menuju kamar mandi. Dalam kamar mandi, Alula muntah-muntah.Jannah menghampirinya.“Kamu masuk angin mungkin, La.” Jannah memijat tengkuk Alula.“Ibu buatkan teh hangat dulu. Ayo Ibu bantu kembali ke kamar. Udah salat Asar?”Alula menggeleng.“Sekalian ambil wudu, ya
Alula mengesot menuju pintu, lalu membuka pintu itu sedikit kesusahan.“Tolong. Perutku sakit sekali,” ujarnya sambil menangis ketika tubuhnya sudah mencapai luar. Kebetulan ada orang yang lewat. Setelah itu, Alula tidak sadarkan diri.**Alula mencoba membuka mata. Ia merasa tubuhnya sakit semua. Wanita itu mendesis.“Alhamdulillah, kamu akhirnya sadar juga, Nak. Apa yang kamu rasakan? Bentar, Ibu panggil perawat.” Nur memekik.Alula meraba perut sambil menangis.“Apa anakku masih selamat, Bu?” Alula balik tanya.“Alhamdulillah masih selamat.” Sebuah suara menyahut, membuat Alula memalingkan wajah.Alula terus menangis. Wajahnya masih melengos, enggan menatap pemilik suara itu.Sementara Nur sudah pergi dari sana, mencari perawat untuk melaporkan Alula sudah sadar.Lutfan menyentuh tangan Alula yang tidak terpasang jarum infus, mengecupnya lembut. “Jangan pergi tanpa pamit kayak gini lagi, Sayang. Mas rasanya mau ma*ti.”Alula berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil. Air ma
Kehamilan yang dijalani Alula di trisemester pertama tidaklah mudah. Wanita itu mengalami morning sickness parah hingga berkali-kali masuk rumah sakit. Lutfan dengan setia dan sabar mendampingi sang istri.“Sayang, maaf sudah membuat kamu kayak gini,” ujar Lutfan sambil menyuapi Alula di rumah sakit.Ini sudah kesekian kali Alula dirawat di rumah sakit karena tubuhnya sangat lemas. Badannya pun makin mengurus.Pria itu pulang hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Ia menghabiskan waktunya di rumah sakit setelah mengajar.“Nggak apa-apa. Aku menikmati masa-masa ini. Bukankah Allah memberi seribu kebaikan dan menghapus seribu keburukan pada wanita hamil?”Lutfan tersenyum.“Udah, Mas, enek.”Lutfan pun menyudahi suapan.“Aku yang minta maaf karena selama beberapa waktu ini, aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mas.”Alula tahu betul kalau suaminya itu memiliki na*su yang menurutnya tinggi. Entah memang semua pria seperti itu atau tidak, Alula juga tidak tahu. Saat belum sakit dulu,
“Kami sudah resmi bercerai. Ini keputusan terbaik. Daripada kami saling menyakiti,” jawab Yongki sendu. “Jadi pernikahanmu benar-benar tidak bisa lagi dipertahankan?” Yongki menggeleng. “Sebenarnya bisa, Bung. Kamu saja yang tidak mau berusaha. Aruni itu wanita baik. Buktinya, dia tidak meninggalkanmu saat kamu dipenjara kemarin. Dalam pernikahan itu, yang penting ridho orang tua. Orang tuamu yang kulihat sangat menyayangi Aruni. Itu awal yang baik. Jungkir balik kamu mencintai seseorang kalau orang tua nggak ridho, nggak bakal berkah.” Lutfan sedikit mengingat ke belakang. Saat ibunya sudah rida, ia langsung bisa bertemu Alula. “Kamu bisa bilang seperti ini karena kamu menikahi Alula atas dasar suka, bukan terpaksa. Berat, Bung, rasanya berusaha mencintai. Aruni beda dengan Alula. Ibaratnya siapa pun yang dijodohkan paksa dengan Alula, pasti mudah jatuh cinta. Kalau Aruni, harus sabar menghadapi sikap buruknya. Kamu mau nyoba? Ayo tukeran istri.” Lutfan terkekeh. “Gila, enggak
“A-aku alhamdulillah baik,” jawab Alula gugup.Yongki mendekat. Namun, sebelum sampai di hadapan Alula, wanita itu memilih berlalu dari sana. Alula tidak ingin suaminya salah paham jika memergokinya.Alula kembali ke ruang tamu, duduk di samping Lutfan. Yongki menyusul setelahnya.Acara di sana adalah makan bersama. Alula juga belum tahu apa maksud Jasman melakukan itu.“Aku masih bingung ini ada apa,” bisik Alula pada sang suami.“Sama. Tapi Bu Jannah kayaknya sangat bahagia,” sahut Lutfan sambil menyuapi istrinya.“Trus katanya Aruni sama Mas Yongki mau cerai, tapi kenapa masih datang berdua ke sini?”“Mungkin sudah rujuk. Kenapa memangnya? Kamu cemburu?”“Dih, sorry. Suamiku lebih menggoda dan lebih menggigit daripada mantan.”Lutfan tergelak sampai tersedak. Alula memberinya minum.“Makanya, Mas, kalo makan jangan sambil ngomong.”“Kamu yang mulai.” Lutfan kembali menyuapi istrinya.Pandangan beberapa mata bergantian menyaksikan mereka.Setelah makan-makan dan membereskan sisanya,
“Bagian ini yang harus kamu revisi, Sayang. Bolak-balik Mas ingatkan. Jangan asal tulis. Buka buku, cari referensi yang lebih segar, yang lebih bermutu. Jangan itu-itu mulu,” omel Lutfan suatu hari saat membimbing skripsi sang istri di gazebo.Setelah sekian lama skripsi mangkrak, kini Lutfan memaksa Alula menggarapnya lagi.“Udah aku revisi, Mas. Emang Mas aja yang sensi banget sama aku. Disalahin terus. Benerin sendiri, kek. Jangan marah-marah mulu.” Alula tidak mau kalah.“Benerin itu perkara mudah. Skripsi ini anggap saja sebagai senjata. Kamu harus tahu asal-usul dan seluk-beluk senjatamu sampai kamu benar-benar paham. Apa kelemahannya, apa kelebihannya, kenapa begini, kenapa begitu, kamu harus tahu. Jadi, ketika perang nanti, kamu bisa memakai senjata ini sebaik-baiknya. Ketika ada serangan tiba-tiba dalam bentuk apa pun, kamu siap karena sudah menguasainya. Kamu paham, kan, maksud Mas? Perang yang dimaksud adalah ketika sidang skripsi nanti.” Lutfan mode serius.“Bu, Mas–“Belu
Lutfan membawa Alula dalam dekapan. “Sudah, Sayang, jangan diteruskan.”“Beruntung saat itu aku nggak dibuang sama Pak Jasman, tapi dititipkan di panti Bu Jannah. Setidaknya bapak saat itu masih punya nurani. Atau mungkin sebenarnya dia sudah punya ikatan batin denganku, tapi tidak mau mengakui atau lebih tepatnya menepis perasaan itu. Mungkin beliau sudah tahu aku ini anak kandungnya, hanya saja situasinya sangat tidak tepat. Coba kalau aku dibuang, mungkin aku jadi anak jalanan.”“Sayang, sudah. Jangan dibahas hal yang sudah lalu.”“Dari Bu Jannah, baru aku mendapatkan kasih sayang. Di panti, barulah aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Temanku banyak, kadang uangku santunan juga banyak. Uang yang tidak pernah kudapat langsung dari ibu atau budhe. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap merasa hampa. Kasih sayang Bu Jannah nyata, tapi tetap saja kadang suka iri melihat teman di sekolah bahagia bersama keluarga kandung mereka.”Alula meraup banyak oksigen, lalu mengembuskan panjang.“Labe
Alula lantas menuju ruang Lutfan setelah membayar makanannya. Dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan dengan degup jantung menggila.“Assalamualaikum.” Alula masih berusaha formal. Ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.“Waalaikumussalam. Masuk!” titah Lutfan.Alula pun masuk. Lutfan melihat sekilas siapa yang datang.“Kunci pintunya, Sayang.” Lutfan kembali fokus pada layar laptop.Alula mengernyit. “Kenapa?”“Udah, tutup aja.”Alula pun menurut, mengunci pintu. Ia lalu berjalan dan duduk di hadapan sang suami.“Mas dapat kabarnya kapan?”“Barusan. Ini kamu buka coba WA-nya.” Pria berkacamata itu mengeluarkan ponsel dari saku. Sementara fokusnya pada laptop belum beralih.Alula mengulurkan tangan.“Ke sini, Sayang. Nggak sampai.”“Sampai, Mas aja yang nggak serius.”“Ke sini!”Alula berdecak, lalu bangkit menghampiri Lutfan. Tiba di dekat sang suami, Lutfan memundurkan kursi, lalu menarik tubuh Alula dalam pangkuan. Pria itu meletakkan ponselnya di meja.Alula langsung memekik.
“Sayang, ayo skripsinya dilanjut,” ucap Lutfan suatu hari ketika melihat Alula asyik dengan ponsel tengah duduk di ranjang.“Ini juga lagi berusaha lanjutin, Mas.” Alula belum mengalihkan pandang dari ponsel.“Apaan? Hapean gitu.” Lutfan mendekat.“Semua naskah skripsiku emang ada di ponsel. Aku, kan, nggak punya laptop.”“Kenapa nggak bilang dari dulu? Ya udah, sana pakai punya Mas.”“Serius?”“Huum.” Lutfan mengambil paksa ponsel Alula, lalu meletakkan di nakas.“Sini biar Mas kasih sesuatu dulu yang bikin kamu semangat.” Lutfan menatap Alula nakal.“Gini amat nasibku jadi mahasiswi. Harus melayani dosennya dulu. Boleh nggak, aku nyebut Mas itu dosen c*bul?”Lutfan tertawa. “Apa saja sebutanmu, Mas terima.”“Tapi janji kalo aku lanjutin, jangan banyak revisi. Kalaupun ada revisi, tolong Mas perbaiki langsung, trus ACC biar aku lekas sidang.”“Bisa dibicarakan.”Maka terjadilah yang terjadi.“Kapan aku wisuda, Mas. Kalau mau serius dikit aja kamu tubruk,” protes Alula setelah ibadah
Jasman, Aruni, dan Adi sikapnya berubah. Tidak sebenci dulu. Mereka merasa bersalah dan jatuhnya malah malu sendiri dengan kelakuan mereka yang pernah dilakukan pada Alula.Alula merawat mereka seperti tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Mereka juga tidak menolak dirawat, tetapi terkesan canggung.“La, aku minta maaf,” ujar Aruni tiba-tiba saat Alula membantunya berganti pakaian di kamar mandi. Aruni mengalami luka lecet lumayan luas di punggung dan lengan. Itu membuatnya kesulitan memakai baju sendiri.“Iya, aku juga minta maaf.”“Sebenarnya, kami pas kecelakaan itu mau mengacaukan resepsi pernikahanmu. Dari pagi kami mencari informasi di mana resepsimu dan baru dapat info malamnya setelah melihat unggahan pernikahanmu yang viral. Kami ingin mengatakan pernikahanmu tidak sah karena tidak memakai wali nasab di hadapan tamu. Tapi Allah menghentikannya.”Gerakan Alula berhenti. Namun, sesaat kemudian kembali meneruskan kegiatannya.“Aku tahu kamu bakalan syok mendengar semua ini. Tapi