Mas Erlangga menghela napas sambil menggeleng kepala, tidak terlihat panik sama sekali melihat aksi nekat ibunya.
“Dek, kita sarapan dulu. Mas lapar,” ajak suami seraya melangkahkan kaki menuju meja makan.“Erlang, Mama mau bunuh diri malah kamu cuekin. Kamu itu sebenarnya masih sayang sama Mama nggak sih?!” omel mertua seraya mengikuti Mas Erlangga ke meja makan, dengan mode masih sama seperti tadi. Menautkan pisau di pergelangan tangan.“Lha, terus, aku harus bagaimana, Ma? Kalau aku melarang nanti dikira nggak sayang juga karena menolak keinginan Mama. Kalo Mama sudah siap masuk Neraka ya silakan Mama bunuh diri. Memangnya yakin sudah siap dijemput malaikat Izroil?”“Erlang, Mama serius. Mama hitung sampe tiga, kalau kamu nggak bilang bersedia menikahi Risma Mama bu-nuh di-ri!”Laki-laki dengan garis wajah tegas itu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur, membuka kitchen set mengambil pisau oleh-oleh dari Mami saat dia jalan-jalan ke Filipina.“Nih, Ma. Kalau mau bunuh di-ri pake piso yang ini. Kalau yang dipegang Mama nggak tajem, percuma. Sari aja nggak mau pake. Soalnya buat motong tempe saja nggak bisa, apalagi buat motong urat nadi Mama!” Dia meletakkan pisau tersebut di atas meja, tepat di hadapan mama mertua. “ Kamu kenapa malah bengong begitu, Dek. Ayo, buatkan Mas sarapan. Mas mau makan roti pake selai kacang!” perintahnya kepadaku.Aku mengangguk mengiyakan dan segera mengoles selai kacang di permukaan roti tawar, meletakkannya di piring lalu menyodorkannya ke Mas Erlangga.Sedangkan Mama, wajah perempuan itu terlihat semakin frustrasi, terlebih lagi saat melihat putra satu-satunya malah tengah asik mengunyah roti yang aku buatkan.“Kamu benar-benar sudah meracuni otak anak saya, Vani!” sungut Mama seraya mengentakkan kaki di lantai dan meninggalkan kami.“Mas, kenapa tadi tidak mencegah Mama?” tanyaku masih bingung dengan sikap suami yang terlihat santai juga tidak ada gurat kekhawatiran sama sekali. Padahal tadi jelas-jelas mamanya hampir mau mengakhiri hidupnya.“Memangnya kamu mau Mas nikah lagi?”Aku mengernyitkan dahi mendengar jawaban dari suami.“Enggaklah! Biar kata kamu nyebelin, tapi aku cinta sama kamu.”“Ya sudah kalau begitu!” Dia mengacak rambutku yang masih sedikit basah.“Tapi kalau tadi Mama bunuh diri beneran bagaimana?”“Nggak bakal, Dek. Mas paham banget sifat Mama itu seperti apa. Dia mana mau mati sia-sia hanya karena ingin punya menantu kaya Risma!”Aku tersenyum sambil mengusap pipi suami dengan penuh cinta. Tidak menyangka kalau dia akan membelaku juga menolak mentah-mentah si pelakor juga permintaan konyol mamanya. Semoga saja setelah ini tidak ada lagi drama pemaksaan dari mertua, dan semoga saja hati Mas Erlangga tetap teguh dengan pendiriannya.Duduk bersandar di sofa, memasang alat pemompa ASI kemudian menulis tanggal serta waktu di botol yang sudah penuh terisi. Aku sengaja memompa ASI-ku secara berkala, supaya Viera tidak harus diberi susu formula saat aku berada di toko.Sebenarnya kasihan harus meninggalkan anak-anak setiap hari bersama papanya. Tapi mau bagaimana lagi. Aku ingin menyadarkan Mas Erlangga bahwa tidak mudah menjadi seorang ibu rumah tangga, apalagi harus mengurus dua orang batita dan satu orang bayi. Biar dia merasakan capeknya dan tidak meremehkan perempuan berdaster yang setiap hari harus mengabdikan diri kepada suami, rela menukar waktunya hanya untuk mengurus buah hati sampai kadang lupa seperti apa rasanya duduk leha-leha.“Dek, kayaknya udahan aja deh tukar posisinya. Kita kembali seperti semula. Kamu di rumah urus anak-anak, sedangkan aku urus toko,” ucap Mas Erlangga seraya menghampiri diriku yang sedang menyimpan ASI perah yang baru dan mengeluarkan yang harus diminum Viera hari ini.“Kenapa memangnya? Nyerah ya? Nggak enak, kan ngurus tiga anak. Capek kan? Makanya, Mas. Jangan suka remehin aku. Aku ini strong. Bisa makan sambil gendong anak, bahkan saat hamil tua masih bisa lari sono sini urus kamu dan anak-anak. Sedangkan kamu, belum ge seminggu gantiin posisi aku, tapi kamu udah nyerah.” Mengangkat satu ujung bibir.“Bukannya begitu, Dek. Rasanya kaya kurang enak aja dilihat. Suami santai pantai di rumah, malah istrinya yang kerja di luar sana!”“Halah! Bilang saja kamu nggak sanggup dan nyerah!”“Dek, hari ini saja. Besok kamu boleh ke toko lagi.”Kedua alisku bertaut menatap suami dengan mimik aneh. Kenapa hari ini harus libur ke toko.“Enggak bisa!” Melenggang pergi melewati suami lalu segera menukar pakaian bersiap pergi ke kios.“Iya. Besok saya transfer. Kamu yang sabarlah. Sekarang toko istri yang hendel. Nggak usah ke toko. Nanti saya transfer. Mobile banking saya lagi bermasalah. Percaya deh, besok setelah semuanya oke saya langsung transfer kamu!”Sekilas kudengar Mas Erlangga sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon dan membicarakan masalah transfer. Ada apa? Apa diam-diam ....Ah, aku tidak mau berprasangka buruk kepada suami, juga tidak mau menanyakan dengan siapa dia berbicara tadi. Aku harus menyelidikinya. Dan kalau ternyata dia tidak setia, tidak akan segan-segan mengambil semua yang ada dan membuat Mas Erlangga kembali miskin semiskin miskinnya.“Dek, bagaimana? Kamu tetep kekeuh mau ke toko?” Laki-laki bertubuh tegap itu mencegah langkahku, mencekal lengan ini dan menatap lamat-lamat wajahku. Tatapannya mencurigakan.“Iya. Memangnya kenapa?”“Deh, udahan aja yuk! Mas nyerah deh. Mas nggak kuat. Enakan di toko nggak capek!”“Bisa liat cewek montok dan bisa main-main di belakang juga ya, Mas?”Riak wajah suami seketika berubah mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulutku.Awas saja kalau berani macam-macam. Kemarin sudah membuatku melambung tinggi karena penolakannya saat dijodohkan dengan Risma, sekarang kembali membuat hati ini waswas karena sepertinya dia juga menyimpan sejuta rahasia di balik penolakan itu.“Aku jalan, Mas. Titip anak-anak!” Menyalami tangan dan mencium bagian punggungnya dengan khidmat, mengambil kunci mobil lalu mencium pipi ketiga anakku yang sedang asik bermain di ruang tengah.“Duh, sekarang kerja? Suaminya dikurung karena takut diambil pelakor ya, Mbak?” cicit Bu Hilmie, tetangga paling toxic ketika aku membuka pintu pagar dan mengeluarkan kendaraan roda empatku. Saking emosinya, aku sengaja memundurkan mobil dengan ugal-ugalan hingga wanita berpenampilan heboh tersebut menjerit karena hampir saja tertabrak mobilku.“Maaf, Bu Hilmie. Saya tidak sengaja. Maklum, belum pandai menikung, eh, mengemudi!” ucapku seraya tersenyum manis. Padahal sengaja pengen ngerjain tetangga rese seperti dia.“Makanya kalo nggak bisa nyetir jangan sok-sokan!” sungutnya.Dia nggak tau, dulu aku pernah jadi juara balap sampai kena razia balap liar dan dibui selama satu minggu.Herman menyambut dengan senyum ramah ketika mobil kutepikan di depan toko. Pun dengan Linda yang katanya merasa lebih senang jika toko dikelola olehku, sebab bisa pulang lebih cepat dan bisa segera berkumpul dengan anak-anaknya.“Maaf, Bu. Di dalam ada tamu. Dia nyariin Pak Erlang,” kata Linda dengan ekspresi aneh.“Memangnya siapa tamunya?” tanyaku penasaran.“Ibu lihat sendiri saja di dalam.”Segera melangkahkan kaki menuju ruang kerja suami, dan langkah ini berderap kaku saat melihat seorang perempuan tengah hamil duduk di sofa sambil menikmati jus buah serta roti.“Maaf, cari siapa, Mbak?” tanyaku ragu. Menelisik tampilan si wanita dari ujung kaki sampai ujung kepala.“Mas Erlangnya mana? Kenapa malah kamu yang datang ke toko?” Dia balik bertanya.“Dia ada di rumah. Memangnya ada apa, Mbak. Kok pagi-pagi sekali sudah mencari suami saya?”“Dia ingkar janji sama saya, Mbak. Katanya mau transfer buat biaya persalinan tapi, saya tunggu sudah berhari-hari dia tidak juga mentransfer uang itu. Memangnya dia pikir saya bisa ngutang juga di rumah sakit? ‘Kan enggak! Benar-benar si Mas Erlang nggak ada tanggung jawabnya sama sekali!”Aku menelan saliva dengan susah payah mendengar serentetan kalimat yang meluncur dari mulut perempuan itu.Ya Allah, Mas Erlang ....Aku melungguh lemas di sofa tidak jauh dari perempuan tersebut duduk, mencoba menata perasaan serta menepis prasangka buruk terhadap Mas Erlangga. Insya Allah dia laki-laki setia dan tidak suka mempermainkan hati wanita.“Mbak, bisa teleponin Mas Erlang sekarang nggak? Saya lagi butuh uang banget soalnya!” ucap perempuan itu lagi dengan nada ketus.Aku mengangkat kepala menatap wajahnya yang cantik meski tanpa polesan, benar-benar anugerah luar biasa dari Tuhan. Mungkin kelebihannya itulah yang membuat laki-laki mudah jatuh cinta dan terpesona.“Memangnya ada perlu apa, Mbak? Dan kamu ini siapa? Kenapa kamu bisa kenal sama suami saya dan minta transferan uang?” Memberondong dia pertanyaan yang bersarang di benak.“Saya Syarlina temannya Ariesa. Adek ipar kamu dan suaminya itu minjem duit ke saya tiga ratus juta dan Mas Erlang sudah berjanji akan membayarnya. Tapi sudah hampir seminggu dia belum ada kabar, padahal dia janji mencicil uang itu!” ketusnya lagi.Aku syok bukan main. Jadi A
“Sar, Bapak ke mana?” tanyaku karena tidak melihat suami di tempat biasa dia bersantai ria.“Tadi pergi, Bu. Naik motor. Ditegur sama kakak sama diajak main saja Bapak diem aja. Ngga mau nyaut!” jawab Sari membuatku bertambah kesal.Kalau marah sama istri harusnya tidak usah bawa-bawa anak, karena mereka itu tidak tahu apa-apa.“Sini dedeknya, Sar. Biar saya nenenin. Sudah malam juga. Sudah waktunya kamu istirahat. Terima kasih ya.”“Tapi Ibu juga butuh istirahat. Anak-anak belum pada bobok. Kasian Ibu kalau jagain anak-anak sendirian. Aku bantuin nggak apa-apa ya, Bu. Lagian aku belum ngantuk!”Aku mengulas senyum kepada asisten rumah tanggaku. Dia memang begitu pengertian serta perhatian, juga mau memegang pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya.Danisa dan Mikayla terlihat sudah tertidur di atas karpet diusap-usap punggungnya oleh Sari. Rasa sedih seketika merambati hati, merasa kurang memberikan kasih sayang kepada kedua putriku yang besar, karena harus sibuk mengurus si kecil yang
Aku beranjak berdiri lalu melenggang masuk hendak naik ke lantai dua ruko, sampai akhirnya langkah ini terhenti karena suami mencekal lenganku erat.“Dek, Mas minta maaf kalo Mas salah. Tapi tolong jangan minta pisah sama Mas. Mas mencintai kamu, Sayang. Kamu boleh caci-maki Mas, asal jangan ada kata perpisahan. Mas belum siap berjauhan dengan kamu,” lirihnya seraya menatap tajam manik cokelatku.“Biar reader yang bertugas mencaci-maki kamu, Mas. Karena aku nggak mau jadi istri durhaka!” Aku menepis kasar tangan suami lalu kembali menaiki anak tangga menghampiri anak-anak yang tengah asik bermain dengan Sari.“Dek, ya Allah...”Mas Erlangga mengikutiku dan ikut duduk di atas karpet sambil terus menatap wajahku yang dipasang ekspresi sedatar mungkin. Dia paling paham kalau diamku itu amarah sebenarnya. Karena jika hati ini sudah terlalu kesal, aku selalu memilih diam. Sebab diam itu emas, kaya yang di atas tugu Monas.Tok! Tok! Tok!Pintu diketuk peralahan. Mas Erlangga beranjak dari d
"Mas kamu kenapa?" tanyaku panik, melihat banyak sekali luka membiru di dada suami. Sepertinya dia habis dipukuli oleh seseorang. Tapi siapa yang melakukannya?"Aku nggak apa-apa, Dek!" Dia mengulas senyum tipis. Tapi dari ekspresi wajahnya, aku melihat kalau saat ini dia sedang menahan rasa sakit luar biasa."Jawab, Mas. Kamu kenapa? Tubuh dan wajah kamu sampai lebam-lebam begini malah kamu bilang tidak apa-apa. Apa kamu habis berkelahi?""Biasa, Dek. Urusan lelaki. Udah, ah! Mas mau solat!" Mas Erlangga segera mengenakan pakaian dan mengambil sajadah lalu menggelarnya di lantai.Aku duduk dengan kaki menggantung di pinggiran ranjang, enggan beranjak dari kamar sebelum mendapatkan jawaban."Mas tolong katakan, dengan siapa kamu berkelahi?" tanyaku lagi setelah melihat suami selesai melaksanakan ibadah wajib dua rakaat."Sudahlah, Dek. Jangan dipermasalahkan lagi. Aku nggak apa-apa, kok!""Kamu babak belur begini loh, Mas.""Aku nggak apa-apa, Sayang. Cuma mempertahankan harga diri do
Sekuat tenaga menahan air mata agar tidak tumpah, namun, nyatanya aku tidak setegar batu karang yang selalu diterjang sang ombak. Rapuh.“Sabar, Bu. ‘Kan belum tentu Bapak selingkuh. Lebih baik Ibu selesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Jangan pake esmosi,” nasihat Linda sambil terus memangku Viera yang sudah tertidur.“Iya, Lin. Terima kasih atas nasihatnya.” Menghapus air mata dengan punggung tangan, tetap fokus mengemudi supaya tidak mencelakakan orang-orang yang ada di dalam mobil.“Maaf ya, Bu. Karena saya sudah berani menasihati.”“Saya malah senang jika ada orang yang memberi nasihat. Itu tandanya orang itu peduli sama saya!”“Kami semua itu peduli dan sayang sama Ibu. Ibu itu wanita baik, pengertian, bos paling ngertiin anak buahnya.”Aku mencoba mengulas senyum tipis kepadanya.“Sabar ya, Bu.”“Terima kasih. Tolong kamu jangan ceritakan masalah tadi sama orang lain ya, Lin. Biar se
Walaupun mata masih belum bisa terpejam, aku lekas ikut berbaring mencoba menjemput lelap serta mengarungi mimpi.“Oh, ternyata begini ya kelakuan kamu, Rivani! Suami sudah ngoprek nyuci piring, jemur baju, tapi kamu malah masih tidur. Coba kalu liat, sudah jam berapa sekarang!!” Aku berjengit kaget saat seseorang menarikku dari tempat tidur secara paksa sampai terjatuh.“Apa apaan ini?” Aku yang belum sadar sepenuhnya hanya menoleh ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung.Mama menarikku ke halaman belakang, menunjukkan pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Mas Erlangga sedang menjemur pakaian sambil menjaga anak-anak.“Liat! Suami kamu sudah kerepotan pagi-pagi seperti ini, kamu malah masih molor!” ketusnya lagi.Mas Erlangga menghampiri dan menatapku lalu bergantian menatap wajah ibunya. Benar-benar menyebalkan ini laki-laki. Dari dulu juga tidak pernah mau membantu mengerjakan pekerjaan istri, ta
Wajah datar laki-laki itu terus saja memindai wajahku. Dia adalah kakak tertuaku, laki-laki yang selalu berusaha melindungi dari siapa pun, bahkan dia juga orang yang paling menentang saat aku meminta izin menikah dengan Mas Erlangga.“Mas Erlang lagi sakit, Bang. Abang tumben datang ke toko?” Aku sengaja berbohong karena jika Bang Damian tahu yang sebenarnya terjadi, dia pasti akan sangat marah kepada suami. Bisa dipaksa pulang seperti dulu dan dilarang bertemu dengan Mas Erlangga jika ia sampai tahu kelakuan suami yang asli.“Kamu kurusan, Van. Apa kamu tidak bahagia?” Mata elang nan tajam itu tidak lepas dari wajahku.“Mungkin karena terlalu lelah, Bang. Kan aku punya bayi!”Bang Damian berjalan mendekat. Dia mengusap rambutku yang tergerai kemudian mendaratkan kecupan di puncak kepala.“Bang, aku bukan anak kecil lagi. Jangan cium aku di depan umum. Malu!” protesku.“Selamanya kamu akan tetap menjadi gadis kecil A
“Kamu ngapain vodeoin Daffo sama selingkuhannya, Dek? Jangan bilang kamu kirim video itu ke Ariesa ya?” tanya suami setengah berbisik. Mungkin dia tidak mau Bang Damian tahu, apalagi jika sampai aku mengatakan kalau Ariesa dan Mama memaksa dia untuk menikah lagi.“Emang iya, Mas. Kok kamu tau?” Menerbitkan senyuman, seolah apa yang aku lakukan ini tidak salah. “Aku Cuma pengen dia merasakan seperti apa rasanya dikhianati, supaya tidak terus menerus menyuruh kamu nikah lagi, Mas!”Mas Erlangga hanya menghela napas. Dia lalu menarik kursi dan duduk di dekat Bang Damian, memunggungi Daffo walaupun sesekali aku lihat ekor matanya melirik ke arah adik iparnya itu.Aku terus menatap wajah suami yang terlihat mulai memerah. Dan saat kuperhatikan, ternyata tangan laki-laki itu terkepal di atas paha, menyembunyikan amarah yang seperti mulai membuncah.Apa dia marah karena aku mengirimkan video tersebut kepada Ariesa?“Mas, kamu mau ke ma
Mungkin ini saatnya aku mengalah dan pergi. Membiarkan dia hidup dengan kekasih hatinya, tanpa lagi mengganggu apalagi berusaha merebut dia dari pelukan Erlangga. Semoga saja setelah ini aku bisa kembali menata hidup seperti sebelumnya, melupakan semua kenangan dan mengubur duka yang tengah bertahta dalam dada.***"Pak Damian bukan?" sapa seorang laki-laki berkoko putih saat aku sedang duduk di sebuah rumah makan."Iya, betul. Kamu siapa ya?" tanyaku penasaran, karena merasa tidak mengenal lelaki tersebut."Saya Rian, Pak. Dulu Bapak pernah menolong saya waktu saya dikejar warga gara-gara dikira copet!"Aku mengernyitkan dahi, lalu tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda berpenampilan lusuh berlari ketakutan karena ada beberapa orang yang sedang mengejarnya, lalu aku menarik pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.''Kenapa kamu dikejar-kejar warga?" tanyaku saat itu.
POV Damian.Membuka mata perlahan, memegangi dada yang kadang masih terasa sakit akibat luka bekas tembakan yang diberondongkan kepadaku. Untung saja tidak mengenai jantung, sehingga aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Meskipun hidup tapi terasa mati, karena harus berpisah dengan separuh jiwaku.Andai saja Mami tidak mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku terus mengejar Rivani, 'kan kuperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya Tuhan berkenan mempersatukan kami berdua dalam ikatan suci pernikahan.Tapi ketika aku sekarat dan mengalami koma selama berhari-hari, Mami malah memanipulasinya kematianku. Dia membuat diri ini seolah-olah sudah mati, lalu membawaku terbang ke Kalimantan, dan setelah aku sehat dia terus mendesakku untuk menjauhi putrinya."Mami mohon, Dem. Jangan terus menerus mengganggu adik kamu. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Vani sudah bahagia bersama keempat anaknya juga. Jangan ganggu
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me