“Sar, Bapak ke mana?” tanyaku karena tidak melihat suami di tempat biasa dia bersantai ria.
“Tadi pergi, Bu. Naik motor. Ditegur sama kakak sama diajak main saja Bapak diem aja. Ngga mau nyaut!” jawab Sari membuatku bertambah kesal.Kalau marah sama istri harusnya tidak usah bawa-bawa anak, karena mereka itu tidak tahu apa-apa.“Sini dedeknya, Sar. Biar saya nenenin. Sudah malam juga. Sudah waktunya kamu istirahat. Terima kasih ya.”“Tapi Ibu juga butuh istirahat. Anak-anak belum pada bobok. Kasian Ibu kalau jagain anak-anak sendirian. Aku bantuin nggak apa-apa ya, Bu. Lagian aku belum ngantuk!”Aku mengulas senyum kepada asisten rumah tanggaku. Dia memang begitu pengertian serta perhatian, juga mau memegang pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya.Danisa dan Mikayla terlihat sudah tertidur di atas karpet diusap-usap punggungnya oleh Sari. Rasa sedih seketika merambati hati, merasa kurang memberikan kasih sayang kepada kedua putriku yang besar, karena harus sibuk mengurus si kecil yang belum bisa apa-apa.Makanya aku itu ingin mengontrol kehamilan bukannya tidak mau dikasih amanah dengan mudah sama Allah, hanya saja takut kurang memperhatikan dan tidak bisa membuka waktu seperti ini.Sari membantu menggendong Mikayla dan Danisa masuk ke dalam kamar, merebahkan malaikat-malaikat kecilku di atas ranjang lalu dia pamit keluar.“Terima kasih ya Sar, atas bantuannya.”“Sama-sama, Bu. Saya istirahat dulu, Bu.”Aku mengangguk pelan dan segera menutup pintu, mematikan lampu lalu segera menyusul anak-anakku mengarungi samudera mimpi.Menggerakkan tangan ke sebelah kiri, membuka mata karena tidak mendapati suami di tempat tidurnya. Mungkin dia pulang ke rumah Mama dan mengadu. Biarlah. Nanti paling juga ujung-ujungnya mama datang ke sini melabrak dan marah-marah seperti biasa.Tuhan! Kenapa rumah tangga yang aku jalani bersama suami terasa begitu rumit? Apa karena pernikahan kami dulu tidak mendapatkan restu dari kedua belah pihak?Bolehkah aku menyerah dan mundur, ya Rabb?Mengambil gawai yang terletak tidak jauh dari tempatku tidur, melihat jam dan ternyata sudah pukul satu dini hari. Aku membuka aplikasi berwarna hijau, mengecek siapa tahu ada pesan masuk dan ternyata tidak ada pemberitahuan sama sekali. Kosong.Aku hanya melihat story Mas Erlangga yang di-posting beberapa menit yang lalu, dengan caption orang menangis. Lebay. Padahal pasti lagi seneng-seneng bisa jauh dari istri.Jarum pendek jam menunjuk ke angka enam pagi. Di halaman rumah terdengar suara deru mesin kendaraan roda dua masuk, sepertinya Mas Erlangga sudah pulang.Aku tetap diam dengan posisiku menyusui Viera, menunggu dia menghampiri dan menciumku seperti biasa tapi, sepertinya amarah laki-laki itu masih belum sirna dari hatinya.Biarlah. Aku pengen liat sejauh mana dia bisa mendiamkan aku. Paling-paling kalau hasratnya muncul juga seperti biasanya langsung peluk-peluk dan minta maaf sendiri. Sudah biasa didiamkan juga diabaikan seperti ini, apalagi jika sudah menyangkut keluarganya yang benalu itu.Ketiga putriku sudah rapi didandani secantik mungkin dengan gaun yang sama. Lekas diri ini mengambil tas, memasukkan beberapa stel baju membawanya masuk ke dalam mobil dan menyuruh Sari ikut ke toko membantu mengurus anak-anak di sana. Mulai hari ini aku harus belajar mandiri. Menjadi ayah sekaligus ibu, antisipasi jika tiba-tiba rumah tangga yang sudah empat tahun lebih kubina dengan suami kandas di tengah jalan.Baru saja melajukan kendaraan roda empat milikku beberapa ratus meter, ponsel dalam tasku terus saja menjerit-jerit. Ada panggilan masuk dari Mas Erlangga, akan tetapi aku abaikan karena saat ini sedang tidak ingin berbicara dengannya. Paling kalau diladeni ujung-ujungnya akan timbul masalah yang baru. Aku semakin merasa lelah menghadapi mereka semua.Syarlina sudah menunggu di depan toko saat aku memarkirkan mobil di halaman, membuat mood-ku bertambah hancur dan amarah bertambah membuncah.“Mana Mas Erlang? Kenapa dia tidak menghubungi aku juga? Terus, kapan dia mau transfer uang buat bayar hutang?” Baru juga turun dari kendaraan, dia sudah memberondong beberapa pertanyaan yang malas aku jawab.“Masalah hutang Ariesa bukan urusan saya, Mbak. Kalau kamu mau menagih hutang, silakan datangi rumah orang yang bersangkutan. Jangan datang ke toko, karena saya tidak mau membayar hutang adik iparku walaupun hanya seperak.”“Kamu mau lari dari tanggung jawab?”“Saya tidak pernah merasa berurusan dengan kamu, Mbak. Silakan kamu datangi rumah Ariesa dan ambil saja sekalian mobilnya. Gampang, ‘kan? Kenapa harus mengejar-ngejar orang yang tidak punya urusan dengan kamu? Saya bisa menuntut kamu dengan pasal pemerasan lho!”“Kamu mengancam saya?”“Tidak. Cuma mengingatkan!”Syarlina masuk ke dalam toko dan langsung mengobrak-abrik barang yang dipajang, sampai-sampai ada dua unit televisi pecah karenanya. Aku hanya diam tidak mau melarang dan menghubungi polisi lalu menyuruh Sari naik ke lantai dua membawa anak-anak.“Ada apa ini?” Aku menoleh menatap wajah suami yang baru saja turun dari sepeda motor.“Heh, kamu? Bayar utang kamu atau saya akan obrak-abrik semuanya!” teriak Syarlina seraya berjalan menghampiri suami.“Linda, hitung semua barang yang rusak. Buat nota dan serahkan ke saya nanti. Kamu tidak usah bereskan barang-barang yang berantakan. Tunggu polisi datang biar tau apa yang sudah dibuat oleh perempuan s*nt*ng itu!” perintahku pada salah satu karyawati yang sudah terlihat ketakutan.Linda segera mengerjakan semua perintahku, sementara aku lihat Mas Erlangga sedang berdebat dengan wanita sombong itu.Tidak lama kemudian dua orang petugas datang, memeriksa keadaan lalu menginterogasi kami semua.“Silakan liat saja rekaman CCTV toko, Pak. Supaya Bapak bisa melihat sendiri apa yang dilakukan perempuan itu. Dan jangan lupa, suruh perempuan itu membayar semua kerugian yang saya tanggung. Ini totalnya dan itu barang-barang yang dia rusak masih tergeletak,” ucapku santai sambil menyodorkan nota berisi tagihan yang harus dibayar oleh Syarlina.“Kamu mau memeras saya?” Syarlina yang sudah duduk kembali beranjak dan muntap.“Saya tidak pernah memeras siapa-siapa. Kamu yang sudah berusaha memeras saya dengan menagih dan menyuruh saya membayar hutang yang tidak pernah saya lakukan,” ucapku santai, tidak mau terlihat kampungan dan arogan di depan polisi. Supaya petugas tahu, siapa yang bar-bar di sini.“Saya tidak mau bayar!”“Oke! Kalau begitu siap-siap rekaman video kamu saat mengamuk di toko viral ya, Sayang. Saya pengen tau seperti apa reaksi suami kamu yang seorang anggota dewan itu. Dan yang paling penting, jika istri sah suami kamu tau kalau kamu udah ‘ngelonin’ suami orang ampe perutnya gede begitu. Bisa bayangin nggak, seperti apa reaksinya?”Wajah perempuan itu pucat seketika dan dia tidak lagi berani mendebat. Untung saja kemarin sempat stalking semua akun media sosial milik Syarlina, mencari tahu siapa dia dan ternyata dia hanya seorang simpanan laki-laki beristri. Itu bisa dijadikan alat untuk membungkam dia dan menghentikan ulahnya meminta uang kepada suami.“Kamu licik, Mbak! Bre*gs*k!” umpatnya kesal.“Bayar, atau saya hubungi perempuan itu sekarang juga. Kamu bisa bayangin ‘kan, betapa susahnya hidup kamu nanti kalau nggak ada yang ngasih kamu uang? Lagian total kerugian saya Cuma tiga belas juta, nggak banyak. Sekalian kamu kembalikan juga uang yang sudah suami saya transfer, karena yang punya urusan dengan kamu itu adik ipar saya. Bukan suami saya!” tegasku tanpa takut sama sekali. Perempuan sombong seperti dia itu harus dihadapi dengan elegan dan santai. Jangan diajak adu otot, apalagi kalau sudah tau kelemahannya.“Nggak bisa! Duit yang sudah masuk itu untuk membayar utangnya Ariesa!” Dia masih saja belum mau mengalah.“Oke, saya hubungi Bu Askana sekarang, biar kamu kena damprat dia dan nggak dapet lagi kucuran dana dari suami simpanan kamu!”Syarlina mendengus kesal. Dia mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya, membuka mobile banking lalu mentransfer sejumlah uang yang aku minta ke nomor Mas Erlangga.“Saya tidak akan melepaskan kamu, B*en*sek! Saya akan membuat perhitungan sama kamu karena sudah memeras dan mempermalukan saya!” ancam wanita itu seraya berlalu dari hadapan kami.Aku mengulas senyum santai. Paling juga gertak sambal. Dia berani macam-macam, maka tidak akan segan-segan kulaporkan perbuatannya kepada istri sah suaminya.“Ini, Pak. Buat ngopi.” Menyodorkan amplop cokelat berisi lima lembar uang ratusan ribu kepada polisi, sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu.“Terima kasih, Bu Vani. Kami permisi dulu!” Mereka kemudian lekas beranjak dari toko dan aku kembali melanjutkan aktivitas membantu para karyawan membereskan kekacauan yang dibuat oleh perempuan kurang waras tadi.“Dek!” Mas Erlangga menghampiri dan ikut memunguti serpihan elektronik yang bertebaran di lantai. Aku menoleh sekilas tapi tidak menyahut. Masih kesal dan belum mau diajak komunikasi. “Mas minta maaf. Mas tau apa yang Mas lakukan selama ini salah. Tolong jangan marah lagi sama Mas.”Hening. Aku tetap diam tidak menggubris.“Anak-anak kenapa kamu bawa, Dek. Kita ‘kan sedang tukar posisi. Apa kamu mau mengakhiri permainan ini?” Dia mengulas senyum tipis.“Ya. Aku ingin mengakhiri permainan ini juga pernikahan kita, Mas. Makanya aku harus terbiasa membawa anak-anak ke toko. Aku juga harus terbiasa tanpa kamu!” jawabku Lugas, membuat jakun suami naik turun dan wajahnya berubah pias.Aku beranjak berdiri lalu melenggang masuk hendak naik ke lantai dua ruko, sampai akhirnya langkah ini terhenti karena suami mencekal lenganku erat.“Dek, Mas minta maaf kalo Mas salah. Tapi tolong jangan minta pisah sama Mas. Mas mencintai kamu, Sayang. Kamu boleh caci-maki Mas, asal jangan ada kata perpisahan. Mas belum siap berjauhan dengan kamu,” lirihnya seraya menatap tajam manik cokelatku.“Biar reader yang bertugas mencaci-maki kamu, Mas. Karena aku nggak mau jadi istri durhaka!” Aku menepis kasar tangan suami lalu kembali menaiki anak tangga menghampiri anak-anak yang tengah asik bermain dengan Sari.“Dek, ya Allah...”Mas Erlangga mengikutiku dan ikut duduk di atas karpet sambil terus menatap wajahku yang dipasang ekspresi sedatar mungkin. Dia paling paham kalau diamku itu amarah sebenarnya. Karena jika hati ini sudah terlalu kesal, aku selalu memilih diam. Sebab diam itu emas, kaya yang di atas tugu Monas.Tok! Tok! Tok!Pintu diketuk peralahan. Mas Erlangga beranjak dari d
"Mas kamu kenapa?" tanyaku panik, melihat banyak sekali luka membiru di dada suami. Sepertinya dia habis dipukuli oleh seseorang. Tapi siapa yang melakukannya?"Aku nggak apa-apa, Dek!" Dia mengulas senyum tipis. Tapi dari ekspresi wajahnya, aku melihat kalau saat ini dia sedang menahan rasa sakit luar biasa."Jawab, Mas. Kamu kenapa? Tubuh dan wajah kamu sampai lebam-lebam begini malah kamu bilang tidak apa-apa. Apa kamu habis berkelahi?""Biasa, Dek. Urusan lelaki. Udah, ah! Mas mau solat!" Mas Erlangga segera mengenakan pakaian dan mengambil sajadah lalu menggelarnya di lantai.Aku duduk dengan kaki menggantung di pinggiran ranjang, enggan beranjak dari kamar sebelum mendapatkan jawaban."Mas tolong katakan, dengan siapa kamu berkelahi?" tanyaku lagi setelah melihat suami selesai melaksanakan ibadah wajib dua rakaat."Sudahlah, Dek. Jangan dipermasalahkan lagi. Aku nggak apa-apa, kok!""Kamu babak belur begini loh, Mas.""Aku nggak apa-apa, Sayang. Cuma mempertahankan harga diri do
Sekuat tenaga menahan air mata agar tidak tumpah, namun, nyatanya aku tidak setegar batu karang yang selalu diterjang sang ombak. Rapuh.“Sabar, Bu. ‘Kan belum tentu Bapak selingkuh. Lebih baik Ibu selesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Jangan pake esmosi,” nasihat Linda sambil terus memangku Viera yang sudah tertidur.“Iya, Lin. Terima kasih atas nasihatnya.” Menghapus air mata dengan punggung tangan, tetap fokus mengemudi supaya tidak mencelakakan orang-orang yang ada di dalam mobil.“Maaf ya, Bu. Karena saya sudah berani menasihati.”“Saya malah senang jika ada orang yang memberi nasihat. Itu tandanya orang itu peduli sama saya!”“Kami semua itu peduli dan sayang sama Ibu. Ibu itu wanita baik, pengertian, bos paling ngertiin anak buahnya.”Aku mencoba mengulas senyum tipis kepadanya.“Sabar ya, Bu.”“Terima kasih. Tolong kamu jangan ceritakan masalah tadi sama orang lain ya, Lin. Biar se
Walaupun mata masih belum bisa terpejam, aku lekas ikut berbaring mencoba menjemput lelap serta mengarungi mimpi.“Oh, ternyata begini ya kelakuan kamu, Rivani! Suami sudah ngoprek nyuci piring, jemur baju, tapi kamu malah masih tidur. Coba kalu liat, sudah jam berapa sekarang!!” Aku berjengit kaget saat seseorang menarikku dari tempat tidur secara paksa sampai terjatuh.“Apa apaan ini?” Aku yang belum sadar sepenuhnya hanya menoleh ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung.Mama menarikku ke halaman belakang, menunjukkan pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Mas Erlangga sedang menjemur pakaian sambil menjaga anak-anak.“Liat! Suami kamu sudah kerepotan pagi-pagi seperti ini, kamu malah masih molor!” ketusnya lagi.Mas Erlangga menghampiri dan menatapku lalu bergantian menatap wajah ibunya. Benar-benar menyebalkan ini laki-laki. Dari dulu juga tidak pernah mau membantu mengerjakan pekerjaan istri, ta
Wajah datar laki-laki itu terus saja memindai wajahku. Dia adalah kakak tertuaku, laki-laki yang selalu berusaha melindungi dari siapa pun, bahkan dia juga orang yang paling menentang saat aku meminta izin menikah dengan Mas Erlangga.“Mas Erlang lagi sakit, Bang. Abang tumben datang ke toko?” Aku sengaja berbohong karena jika Bang Damian tahu yang sebenarnya terjadi, dia pasti akan sangat marah kepada suami. Bisa dipaksa pulang seperti dulu dan dilarang bertemu dengan Mas Erlangga jika ia sampai tahu kelakuan suami yang asli.“Kamu kurusan, Van. Apa kamu tidak bahagia?” Mata elang nan tajam itu tidak lepas dari wajahku.“Mungkin karena terlalu lelah, Bang. Kan aku punya bayi!”Bang Damian berjalan mendekat. Dia mengusap rambutku yang tergerai kemudian mendaratkan kecupan di puncak kepala.“Bang, aku bukan anak kecil lagi. Jangan cium aku di depan umum. Malu!” protesku.“Selamanya kamu akan tetap menjadi gadis kecil A
“Kamu ngapain vodeoin Daffo sama selingkuhannya, Dek? Jangan bilang kamu kirim video itu ke Ariesa ya?” tanya suami setengah berbisik. Mungkin dia tidak mau Bang Damian tahu, apalagi jika sampai aku mengatakan kalau Ariesa dan Mama memaksa dia untuk menikah lagi.“Emang iya, Mas. Kok kamu tau?” Menerbitkan senyuman, seolah apa yang aku lakukan ini tidak salah. “Aku Cuma pengen dia merasakan seperti apa rasanya dikhianati, supaya tidak terus menerus menyuruh kamu nikah lagi, Mas!”Mas Erlangga hanya menghela napas. Dia lalu menarik kursi dan duduk di dekat Bang Damian, memunggungi Daffo walaupun sesekali aku lihat ekor matanya melirik ke arah adik iparnya itu.Aku terus menatap wajah suami yang terlihat mulai memerah. Dan saat kuperhatikan, ternyata tangan laki-laki itu terkepal di atas paha, menyembunyikan amarah yang seperti mulai membuncah.Apa dia marah karena aku mengirimkan video tersebut kepada Ariesa?“Mas, kamu mau ke ma
Aku akhirnya mengajak suami pulang, ingin istirahat karena sudah seharian bekerja di toko, dan malam-malam malah harus ngelayap tidak jelas seperti ini.“Kenapa kita pulang? Baru jam sembilan, Sayang!” ucap Bang Damian dengan ekspresi kurang suka.“Aku capek, ngantuk. Lagian untuk apa kita jalan-jalan kalo ujung-ujungnya malah diem-dieman seperti ini?” protesku kesal.“Abang minta maaf!”“Ya sudah. Lebih baik kita pulang. Tau mau begini akhirnya lebih baik aku tidur saja tadi. Ayo, Mas!” Menggendong Viera, sementara Mas Erlangga menggendong Mikayla yang sudah terlihat ngantuk sedang tangan kanannya menggandeng Danisa.“Vani, Abang minta maaf kalau sudah menghancurkan mood kamu malam ini.” Laki-laki bertubuh atletis serta bertato ular naga di punggungnya itu mencekal lenganku.“Maaf, Bang. Tolong jangan paksa istri saya. Dia sudah kelelahan. Apa Abang tega kalau melihat dia pingsan nanti?” sambung suami sambil menatap
Mas Erlangga menatapaku dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Sebenarnya tidak tega mengatakan hal itu di depan suami, tapi kini emosiku sudah berada di level tertinggi dan kian sulit untuk dikendalikan.Antara lelah setelah seharian bekerja, pusing memikirkan kelakuan keluarga suami, ditambah perkataan Bang Damian di restoran tadi.Ah, rasanya otak ini mendidih dan kepala seperti sudah mau meledak saja.Sabar, Rivani, sabar..."Kenapa masih di sini, silakan pergi dari rumah ini sebelum saya panggil satpam komplek untuk mengusir kalian!" "Sombong sekali kamu, Rivani! Awas saja nanti. Tunggu pembalasan dari kami semua. Saya pastikan kamu akan hancur sehancur hancurnya!" ancam mama mertua dengan wajah memerah seperti kepiting rebus. "Mas, kamu kenapa diam saja, sih. Cegah kek, atau kamu marahin istri kamu, Kek. Jangan cuma diem kaya patung begini!" sungut Ariesa sambil menarik kasar lengan suamiku. Dasar adik nggak ada akhlak."Untuk apa aku membela kalian. Memang nyatanya kalian sala
Mungkin ini saatnya aku mengalah dan pergi. Membiarkan dia hidup dengan kekasih hatinya, tanpa lagi mengganggu apalagi berusaha merebut dia dari pelukan Erlangga. Semoga saja setelah ini aku bisa kembali menata hidup seperti sebelumnya, melupakan semua kenangan dan mengubur duka yang tengah bertahta dalam dada.***"Pak Damian bukan?" sapa seorang laki-laki berkoko putih saat aku sedang duduk di sebuah rumah makan."Iya, betul. Kamu siapa ya?" tanyaku penasaran, karena merasa tidak mengenal lelaki tersebut."Saya Rian, Pak. Dulu Bapak pernah menolong saya waktu saya dikejar warga gara-gara dikira copet!"Aku mengernyitkan dahi, lalu tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda berpenampilan lusuh berlari ketakutan karena ada beberapa orang yang sedang mengejarnya, lalu aku menarik pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.''Kenapa kamu dikejar-kejar warga?" tanyaku saat itu.
POV Damian.Membuka mata perlahan, memegangi dada yang kadang masih terasa sakit akibat luka bekas tembakan yang diberondongkan kepadaku. Untung saja tidak mengenai jantung, sehingga aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Meskipun hidup tapi terasa mati, karena harus berpisah dengan separuh jiwaku.Andai saja Mami tidak mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku terus mengejar Rivani, 'kan kuperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya Tuhan berkenan mempersatukan kami berdua dalam ikatan suci pernikahan.Tapi ketika aku sekarat dan mengalami koma selama berhari-hari, Mami malah memanipulasinya kematianku. Dia membuat diri ini seolah-olah sudah mati, lalu membawaku terbang ke Kalimantan, dan setelah aku sehat dia terus mendesakku untuk menjauhi putrinya."Mami mohon, Dem. Jangan terus menerus mengganggu adik kamu. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Vani sudah bahagia bersama keempat anaknya juga. Jangan ganggu
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me