Aku akhirnya mengajak suami pulang, ingin istirahat karena sudah seharian bekerja di toko, dan malam-malam malah harus ngelayap tidak jelas seperti ini.
“Kenapa kita pulang? Baru jam sembilan, Sayang!” ucap Bang Damian dengan ekspresi kurang suka.“Aku capek, ngantuk. Lagian untuk apa kita jalan-jalan kalo ujung-ujungnya malah diem-dieman seperti ini?” protesku kesal.“Abang minta maaf!”“Ya sudah. Lebih baik kita pulang. Tau mau begini akhirnya lebih baik aku tidur saja tadi. Ayo, Mas!” Menggendong Viera, sementara Mas Erlangga menggendong Mikayla yang sudah terlihat ngantuk sedang tangan kanannya menggandeng Danisa.“Vani, Abang minta maaf kalau sudah menghancurkan mood kamu malam ini.” Laki-laki bertubuh atletis serta bertato ular naga di punggungnya itu mencekal lenganku.“Maaf, Bang. Tolong jangan paksa istri saya. Dia sudah kelelahan. Apa Abang tega kalau melihat dia pingsan nanti?” sambung suami sambil menatapMas Erlangga menatapaku dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Sebenarnya tidak tega mengatakan hal itu di depan suami, tapi kini emosiku sudah berada di level tertinggi dan kian sulit untuk dikendalikan.Antara lelah setelah seharian bekerja, pusing memikirkan kelakuan keluarga suami, ditambah perkataan Bang Damian di restoran tadi.Ah, rasanya otak ini mendidih dan kepala seperti sudah mau meledak saja.Sabar, Rivani, sabar..."Kenapa masih di sini, silakan pergi dari rumah ini sebelum saya panggil satpam komplek untuk mengusir kalian!" "Sombong sekali kamu, Rivani! Awas saja nanti. Tunggu pembalasan dari kami semua. Saya pastikan kamu akan hancur sehancur hancurnya!" ancam mama mertua dengan wajah memerah seperti kepiting rebus. "Mas, kamu kenapa diam saja, sih. Cegah kek, atau kamu marahin istri kamu, Kek. Jangan cuma diem kaya patung begini!" sungut Ariesa sambil menarik kasar lengan suamiku. Dasar adik nggak ada akhlak."Untuk apa aku membela kalian. Memang nyatanya kalian sala
Mengusap tengkuk yang terasa berat, aku berjalan gontai menuju ruang tengah mencari Mas Erlangga. Rasanya perut ini seperti sedang diaduk-aduk dan rasa mual sudah melanda. Aku ingin meminta dia mengusapkan minyak kayu putih di badan, karena sepertinya aku masuk angin berat."Lagian jangan suka begadang, Dek. Kalau marah sama Mas ya marah saja. Omeli Mas sesuka hati kamu. Luapkan amarah kamu, jangan dipendam sampai-sampai kamu tidak bisa tidur dan harus begadang. Akhirnya masuk angin 'kan?" protes suami sembari mengoleskan minyak kayu putih ke seluruh tubuhku."Mas!" Mendongak menatap wajah tampan Mas Erlangga ketika dia sedang memijat kepalaku."Ada apa, Dek?" "Aku minta maaf!""Memangnya kamu salah apa sama Mas, sampai kamu harus minta maaf seperti ini?""Atas perlakuan aku semalam, juga kata-kata aku yang begitu menyinggung perasaan kamu. Aku terlalu emosi.""Sudah lupakan saja. Kamu
“Mas Erlang nggak serius, ‘kan?” tanya Ariesa dengan mimik takut.“Mas serius, Sa. Mas sudah melaporkan kasus pencucian di rumah Mas ke kantor polisi dan menyerahkan bukti-buktinya!” jawab suami Lugas. Cakep. Bikin aku tambah cinta.“Mas tega mau penjarain aku? Aku ini adiknya Mas Erlang. Keluarganya Mas. Masa Mas lebih mementingkan orang lain daripada aku keluarga Mas sendiri?”“Rivani bukan orang lain. Dia istrinya Mas. Mas Cuma pengen kamu berubah, Sa. Mas nggak mau terus menerus membela kamu, karena Mas tau kamu salah!”“Tapi aku nggak nyuri, Mas. Aku Cuma pinjam doang sebentar!”“Kalo pinjam itu minta izin!”“Duh! Nggak nyangka ternyata kamu seorang pencuri, Sa. Gayanya doang selangit. Kami pikir kamu beneran kaya raya, istri pemilik tambang batu bara. Ternyata kamu itu bohong sama kami!” ucap salah seorang teman arisan adik ipar.Istri pemilik perusahaan batu bara? Duh! Mimpinya ketinggian si Ariesa.
Aku hanya menggeleng kepala. Mana ada orang tua yang meminta kasih sayang yang sudah dicurahkannya dikembalikan. Memang keluarga unik bin antik.“Ayo, Dek. Kita pulang!” Laki-laki dengan garis wajah tegas itu menggandeng tanganku, mengajakku keluar dari rumah Mama dan segera masuk ke dalam mobil tanpa menghiraukan omelan wanita yang sudah melahirkannya.“Terima kasih karena sudah membela aku, Mas. Aku pikir tadi kamu bakalan melepas Ariesa seperti permintaan Mama,” ucapku ketika kami sudah sampai di rumah.“Aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kamu, Dek. Terlalu banyak kesalahan yang sudah aku lakukan, dan sekarang saatnya aku membuat kamu merasa nyaman berada di samping Mas.” Dia mengusap lembut wajahku sambil melengkungkan bibir.“Tapi kamu jadi melawan Mama!”“Sekali-kali melawan orang tua nggak apa-apa, Dek. Toh orang tuanya malah ngajarin yang nggak bener. Mas cuma mau membuat jera adik Mas, juga mengubah sifatny
Aku terus mengamati bercak darah tersebut dengan perasaan tidak karuan. Ada rasa takut kalau ternyata diam-diam Mas Erlangga ada main dengan Sari, karena biar bagaimanapun asisten kami seorang perempuan cantik yang sedang mekar-mekarnya pula. Bisa saja suami tergoda atau menggoda, hingga akhirnya mereka melakukannya di tempat peraduan kami.Astagfirullah...Mengusap wajah kasar, duduk di tepi ranjang terus berusa menghubungi Mas Erlangga juga Sari, akan tetapi tidak ada satu pun dari nomor mereka yang aktif.Sebenarnya ke mana kalian berdua?Ya Allah ... Kenapa perasaan ini bertambah resah jadinya. Lindungi rumah tangga kami dari orang ke tiga, Tuhan.Setelah Mikayla dan Viera tertidur, aku memberanikan diri masuk ke kamar Sari. Ada sedikit rasa khawatir menyelimuti hati, takut dia diam-diam mencintai suamiku seperti Darmi dalam cerbung TERPAKSA MENIKAH DENGAN CALON MERTUA karya Mak Ida Saidah dan menyimpan banyak foto suami di
“Sar. Saya mau tanya sama kamu. Tapi tolong dijawab dengan jujur,” kataku pelan serta hati-hati, takut nanti menyinggung perasaan Sari.“Ada apa, Bu?” Kini wajah Sari terlihat menegang menatapku.“Apa kamu punya pacar?”“Emm ... ada, Bu.” Dia menundukkan kepala menyembunyikan semburat merah di wajahnya.“Siapa namanya? Dan, tolong kenalkan dia ke saya, supaya bisa mengontrol kamu dan pacar kamu.”“Tapi, Bu?” “Selama kamu kerja dengan saya, kamu itu tanggung jawab saya, Sari. Kalau kamu sampai kenapa-kenapa juga saya yang ikut kena imbasnya.”“Tapi saya tidak mungkin memperkenalkan pacar saya sama Ibu.” “Kenapa? Apa jangan-jangan kamu pacaran sama suami orang?”Kontan Sari mengangkat wajahnya menatapku dengan pindaian aneh. Aku mencoba mengatur napas supaya tidak terbawa emosi, tidak mau gegabah juga salah mengira. Nanti jatuhnya menjadi fitnah juga permusuhan. Aku benci keributan, apalagi dengan orang-orang terdekat. Cukup keluarga suami saja yang memusuhi, tidak mau menambah musuh
Duduk sendiri di bibir ranjang, memijat pelipis yang terasa sakit luar biasa. Kepala mendadak berputar seperti gasing dan tubuh gemetaran semua. Mungkin efek belum makan, bisa juga karena terlalu memikirkan masalah Sari. Aku begitu takut setelah terkuak ternyata ayah dari anak yang dia kandung adalah suamiku sendiri.Ya Allah ... jangan sampai itu terjadi. Memang aku bisa hidup sendiri tanpa suami. Tapi aku tidak mau kalau ketiga anakku menjadi korban broken home.Kembali berjalan menuju dapur, menatap nasi yang sudah aku ambil juga disiram kuah sayur dan belum sempat aku makan. Tiba-tiba nafsu makanku menguap begitu saja setelah mengetahui kalau Sari tengah mengandung.Pukul delapan malam Mas Erlangga pulang dengan wajah terlihat begitu lelah. Aku segera menyuruhnya mandi, menyiapkan makanan juga segelas teh hangat untuknya, kemudian mengajak dia bicara empat mata saat kami sedang bersantai berdua di ruang tengah.“Ada apa, Dek? Kok
“Oh, jadi kalian sudah janjian mau angkat kaki dari rumah ini?” Aku menatap penuh luka wajah Sari juga suami.“Bu, saya mau pamit pulang, karena ternyata keberadaan saya menjadi pemicu pertengkaran Ibu sama Bapak. Saya minta maaf kalau selama ini sudah banyak membuat kesalahan sama Ibu. Terima kasih juga karena selama ini Ibu dan Bapak sudah menjadi majikan yang baik.”“Kamu tau saya baik, tapi kenapa kamu mengkhianati saya, Sari? Apa kurangnya saya selama ini sama kamu. Apa salah saya sama kamu sehingga kamu tega melakukan semua ini sama saya. Jawab!!” bentakku dengan suara meninggi.Dan seperti biasanya dia hanya diam membisu, bagai patung yang tidak bisa berbicara. Geram, kesal, kecewa juga sakit melihat pengkhianatan yang mereka berdua lakukan.“Selama ini saya tidak pernah menganggap kamu pembantu, saya selalu menganggap kalau kamu itu adik sendiri, Sari. Tapi kamu malah menusuk dari belakang. Kamu dianggap adik, malah memaksa untuk j
Mungkin ini saatnya aku mengalah dan pergi. Membiarkan dia hidup dengan kekasih hatinya, tanpa lagi mengganggu apalagi berusaha merebut dia dari pelukan Erlangga. Semoga saja setelah ini aku bisa kembali menata hidup seperti sebelumnya, melupakan semua kenangan dan mengubur duka yang tengah bertahta dalam dada.***"Pak Damian bukan?" sapa seorang laki-laki berkoko putih saat aku sedang duduk di sebuah rumah makan."Iya, betul. Kamu siapa ya?" tanyaku penasaran, karena merasa tidak mengenal lelaki tersebut."Saya Rian, Pak. Dulu Bapak pernah menolong saya waktu saya dikejar warga gara-gara dikira copet!"Aku mengernyitkan dahi, lalu tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda berpenampilan lusuh berlari ketakutan karena ada beberapa orang yang sedang mengejarnya, lalu aku menarik pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.''Kenapa kamu dikejar-kejar warga?" tanyaku saat itu.
POV Damian.Membuka mata perlahan, memegangi dada yang kadang masih terasa sakit akibat luka bekas tembakan yang diberondongkan kepadaku. Untung saja tidak mengenai jantung, sehingga aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Meskipun hidup tapi terasa mati, karena harus berpisah dengan separuh jiwaku.Andai saja Mami tidak mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku terus mengejar Rivani, 'kan kuperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya Tuhan berkenan mempersatukan kami berdua dalam ikatan suci pernikahan.Tapi ketika aku sekarat dan mengalami koma selama berhari-hari, Mami malah memanipulasinya kematianku. Dia membuat diri ini seolah-olah sudah mati, lalu membawaku terbang ke Kalimantan, dan setelah aku sehat dia terus mendesakku untuk menjauhi putrinya."Mami mohon, Dem. Jangan terus menerus mengganggu adik kamu. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Vani sudah bahagia bersama keempat anaknya juga. Jangan ganggu
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me