"Pah, Mamah denger dari si Coki, katanya Bu Rani ada rencana mau buka warung sayur juga.""Masa, si, Mah? Bu Rani yang gengsinya gede itu mau jualan sayur?" tanya Mas Pai disambung tertawa."Hush, Papah nggak boleh begitu, ah." Mba Sri ikut tertawa."Kata Coki, si, begitu. Nah, rencana Mamah, mau nawarin warung sayur kita yang di perumahan ini ke Bu Rani, Pah.""Maksud Mamah gimana?""Iya, nantinya biar Bu Rani aja yang ngelola. Daripada kebanyakan warung sayur kan, mending sekalian gedein satu tempat aja. Lagian tujuan Mamah ikut jaga warung, kan, cuma biar bisa kenal sama Ibu-ibu kompleks sini. Sekarang Mamah udah kenal semua. Mamah rasa, Mamah ga perlu lagi ikut bantu Kasman jaga warung sayur di sana. Menurut Papah gimana?""Memang Bu Raninya mau, Mah?""Belum tahu, si. Nanti baru mau mama tanyain. Tapi papah setuju kan, sama rencana mamah? Mas Pai mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati ia merasa sangat beruntung karena dikaruniai seorang istri yang berhati mulia seperti Mba Sri.
"Bukan begitu Bu Rani. Cuma nggak enak aja. Kan, Mba Sri duluan yang buka warung sayur di sini. Lagian Mba Sri juga, kan, baru jadi tetangga kita. Masa tiba-tiba Bu Rani mau ikutan buka warung sayur? Kalau buka toko yang lain, selain yang menjual sayuran, gimana, Bu?""Bu Dian ini gimana, si? Kok, malah membela Jeng Sri yang baru Bu Dian kenal! Saya, kan, kenal Bu Dian duluan daripada Jeng Sri. Harusnya dukung saya dong! Lagian rezeki itu, kan, udah ada yang ngatur, Bu. Ga usah terlalu khawatirlah kalo warung sayurnya Jeng Sri bakalan sepi. Wong, Jeng Srinya saja juga nggak keberatan kok.]"Ya, sudah kalau begitu. Sebagai tetangga saya cuma mau mengingatkan Bu Rani aja, kok. Nggak ada maksud apa-apa.]***"Man, besok warung ini kita tutup aja, ya, Man?" ucap Mba Sri saat ia dan Kasman baru saja selesai jualan dan sedang bersiap untuk menutup warung."Lho, kenapa, Bu?" tanya Kasman heran."Besok, kan, ada acara pembukaan warung sayurnya Bu Rani, Man. Biar Ibu-ibu sini belanjanya ke sana
"Bu Anti? Kok, bisa ada di sini?" sapa Mba Sri ramah seraya menghampiri Bu Anti, lalu mereka saling mencium pipi."Ibu itu siapa? Kok, kayaknya deket banget sama Jeng Sri?" bisik Bu Rani pada Kasman yang baru saja selesai meletakkan buah yang tadi dibawanya."Oh, itu Bu Anti, Bu. Beliau itu pelanggan tetapnya ibu," jawab Kasman. "Hampir setiap hari beliau pesan sayuran dan buah-buahan organik. Udah gitu, kalau sekali pesen bisa berpuluh-puluh kilo, Bu," lanjut Kasman hingga membuat Bu Rani sampai membuka mulutnya."Bu Rani, kenalkan ini Bu Anti. Beliau ini adalah pelanggan utama saya," ucap Mba Sri."Oh, jadi bener namanya Rani? Padahal tadi saya main asal tebak aja. Habis nama tokonya ada Rani-raninya gitu. Kenalin, saya Anti. Lengkapnya Anti Yulianti," ucap Bu Anti. Ia menarik satu sudut bibirnya ke atas. Matanya sedikit memicing melihat Bu Rani dari atas ke bawah dengan pandangan yang merendahkan."Ni, orang sombong banget, si. Masa ngenalin diri bukannya ngulurin tangan, kek, malah
"Mba Sri jangan main nrimo-nrimo aja!" seru Bu Anti lagi yang walaupun ia lahir di daerah Jawa Barat, tapi darah Maduranya tetap, karena berasal dari orang tuanya yang merupakan asli orang Madura. Pengaruh tempat kelahirannya hanya pada kesulitan lidahnya mengucapkan huruf f."Eh, maksud Bu Anti apa bicara kayak gitu? Memangnya saya kenapa?" kali ini Bu Rani yang sedari tadi diam membalas ucapan Bu Anti dengan suara yang tak kalah keras. Membuat banyak pelanggan warung sayurnya jadi berkumpul di sekitar mereka untuk mengetahui apa yang terjadi."Sudah, sudah, Ibu-ibu. Nggak ada yang perlu di ributkan. Bu Anti yang terhormat, saya sudah izinkan Bu Rani membuka warung sayurnya di sini juga, jadi nggak ada masalah.""Tuh, dengerin apa kata Jeng Sri," sewot Bu Rani."Halah, palingan juga kamu, kan, yang maksa-maksa. Dasar nggak kreatip!" balas Bu Anti tak kalah sewot. Mba Sri jadi bingung. Ucapannya barusan sama sekali tidak di dengarkan oleh Bu Anti. Dia harus melakukan apa lagi? Sedang
"Begini, saya dapat laporan dari seseorang. Katanya Bu Rani menjalankan usaha yang ilegal, ya?""Hah, ilegal? Enak aja. Siapa yang bilang begitu Pak RT? Orang saya cuma jualan sayur. Ilegal darimananya?""Sabar, Bu. Lebih baik ibu datang ke rumah saya sekarang. Tolong bawa juga surat izin untuk membuka usaha warung yang sudah saya tanda tangani. Soalnya seingat saya, saya merasa belum pernah mengeluarkan izinnya, Bu," jelas Pak RT. Bu Rani langsung terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Karena memang ia belum mempunyai surat izin untuk membuka usaha dari Pak RT."I-iya, Pak. Nanti sore saya ke rumah Bapak," jawab bu Rani terbata."Aduh kenapa masalah sepenting ini malah bisa aku lupakan? Gara-gara terlalu fokus mau membuat warung sayur yang besar, aku jadi lupa belum mengajukan izin ke Pak RT," keluh Bu Rani. "Masa iya baru pembukaan kemarin trus langsung tutup?"Bu Rani menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung apa yang harus dia lakukan terkait perizinan warungnya.
Bu Rani terpaksa menurut. Setelah membuka warungnya, Bu Rani harus membuang beberapa sayuran dan buah yang sudah tidak layak, karena sudah busuk dan menggantinya dengan yang baru. Setiap hari, Bu Rani baru membuka warungnya pukul sepuluh pagi dan tutup pukul dua belas siang. Bu Rani baru akan keluar rumah setelah memastikan kalau ibu-ibu di sekitar rumahnya sudah tidak berkeliaran di luar rumah. Sepertinya ia masih merasa malu akibat kejadian dengan Bu Anti, tempo hari.Bu Rani tidak sadar, kalau sikapnya itu malah akan membuat warung sayurnya semakin sepi, sudah hampir tiga hari sejak dibuka, tidak ada satupun pelanggan yang berbelanja di warung sayur Bu Rani. Mereka masih mengira kalau warung Bu Rani belum buka. Soalnya setiap kali mereka lewat di depannya, selalu dalam keadaan tutup. ***"Jangan mahal-mahal dong harganya, Bu Rani. Masa alpukat sekilo, lima puluh ribu?" keluh Bu Dwi.Hari ini, Bu Dwi yang memang sedang mencari buah alpukat, sengaja mampir ke warung Bu Rani, kare
"Hih, ini anak, dari tadi jawab melulu." ucap Bu Rani seraya memukul pelan lengan Coki. "Kamu ga usah banyak tanya, bawa aja, sesuai apa yang Tante suruh.""Tapi kenapa Tante ga beli aja, si, di warungnya Tante Sri? Kan, disana ada. Coki ga mau, ah, kalo disuruh nyuri. Malu, Tan, malu.""Bukan nyuri, dong, Cok, Kamu minta baik-baik sama Tante Sri. Pasti di kasih, la.""Tapi pake alasan apa, Coki harus minta-minta sayuran segala, Tan? Ga mau, ah. Kalo mau, Tante minta sendiri, aja!" ujar Coki, lalu beranjak pergi meninggalkan Bu Rani."Dasar anak ga tau sopan santun, Tante belum selesai bicara, Cokiii!" pekik Bu Rani.***"Bu, hari ini, banyak sayuran dan buah yang dikembalikan pelanggan, Bu. Terutama yang kita kirim ke komplek sebelah," lapor Kasman kepada Mba Sri."Kok, bisa begitu, Man?" tanya Mba Sri sambil menautkan alisnya."Katanya, mereka kecewa, karena sayuran yang selama ini dipesan ternyata bukan sayuran organik, dan mereka bilang ga akan pesan sayuran di sini lagi" jawab K
Kasman mengajak Coki ke halaman belakang rumah Mba Sri, ada sebuah gazebo kecil yang terletak di pinggir kolam renang. Tempat yang memang sangat cocok untuk berbicara lebih santai. Sebelumnya Kasman meminta Mbok Dijah, asisten rumah tangga Mba Sri, untuk membuatkan Coki makanan kesukannnya. "Jadi, kemarin itu banyak sayuran yang kita kirim ke pelanggan, dikembalikan ke sini, Cok. Mereka bilang mereka nggak mau pesan sayuran di tempat kita lagi, karena merasa kita sudah membohongi mereka.""Bohong, gimana, Om?" tanya Coki yang mulutnya masih sibuk mengunyah spaghetti cheese yang tadi Mba Dijah sajikan."Mereka pikir sayuran yang kita kirim itu bukan sayuran organik, karena kondisinya masih bagus. Menurut edaran yang mereka terima, sayuran organik itu daunnya akan banyak yang berlubang, karena pasti sudah dimakan ulat.""Kan, kita sortir dulu mana yang bagus dan gak bagus, yang baguslah yang kita kirim ke mereka. Kalau mereka mau yang berlubang, ya, kita kirim aja, Om. Tuh, di kardus b