"Mba Sri jangan main nrimo-nrimo aja!" seru Bu Anti lagi yang walaupun ia lahir di daerah Jawa Barat, tapi darah Maduranya tetap, karena berasal dari orang tuanya yang merupakan asli orang Madura. Pengaruh tempat kelahirannya hanya pada kesulitan lidahnya mengucapkan huruf f."Eh, maksud Bu Anti apa bicara kayak gitu? Memangnya saya kenapa?" kali ini Bu Rani yang sedari tadi diam membalas ucapan Bu Anti dengan suara yang tak kalah keras. Membuat banyak pelanggan warung sayurnya jadi berkumpul di sekitar mereka untuk mengetahui apa yang terjadi."Sudah, sudah, Ibu-ibu. Nggak ada yang perlu di ributkan. Bu Anti yang terhormat, saya sudah izinkan Bu Rani membuka warung sayurnya di sini juga, jadi nggak ada masalah.""Tuh, dengerin apa kata Jeng Sri," sewot Bu Rani."Halah, palingan juga kamu, kan, yang maksa-maksa. Dasar nggak kreatip!" balas Bu Anti tak kalah sewot. Mba Sri jadi bingung. Ucapannya barusan sama sekali tidak di dengarkan oleh Bu Anti. Dia harus melakukan apa lagi? Sedang
"Begini, saya dapat laporan dari seseorang. Katanya Bu Rani menjalankan usaha yang ilegal, ya?""Hah, ilegal? Enak aja. Siapa yang bilang begitu Pak RT? Orang saya cuma jualan sayur. Ilegal darimananya?""Sabar, Bu. Lebih baik ibu datang ke rumah saya sekarang. Tolong bawa juga surat izin untuk membuka usaha warung yang sudah saya tanda tangani. Soalnya seingat saya, saya merasa belum pernah mengeluarkan izinnya, Bu," jelas Pak RT. Bu Rani langsung terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Karena memang ia belum mempunyai surat izin untuk membuka usaha dari Pak RT."I-iya, Pak. Nanti sore saya ke rumah Bapak," jawab bu Rani terbata."Aduh kenapa masalah sepenting ini malah bisa aku lupakan? Gara-gara terlalu fokus mau membuat warung sayur yang besar, aku jadi lupa belum mengajukan izin ke Pak RT," keluh Bu Rani. "Masa iya baru pembukaan kemarin trus langsung tutup?"Bu Rani menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung apa yang harus dia lakukan terkait perizinan warungnya.
Bu Rani terpaksa menurut. Setelah membuka warungnya, Bu Rani harus membuang beberapa sayuran dan buah yang sudah tidak layak, karena sudah busuk dan menggantinya dengan yang baru. Setiap hari, Bu Rani baru membuka warungnya pukul sepuluh pagi dan tutup pukul dua belas siang. Bu Rani baru akan keluar rumah setelah memastikan kalau ibu-ibu di sekitar rumahnya sudah tidak berkeliaran di luar rumah. Sepertinya ia masih merasa malu akibat kejadian dengan Bu Anti, tempo hari.Bu Rani tidak sadar, kalau sikapnya itu malah akan membuat warung sayurnya semakin sepi, sudah hampir tiga hari sejak dibuka, tidak ada satupun pelanggan yang berbelanja di warung sayur Bu Rani. Mereka masih mengira kalau warung Bu Rani belum buka. Soalnya setiap kali mereka lewat di depannya, selalu dalam keadaan tutup. ***"Jangan mahal-mahal dong harganya, Bu Rani. Masa alpukat sekilo, lima puluh ribu?" keluh Bu Dwi.Hari ini, Bu Dwi yang memang sedang mencari buah alpukat, sengaja mampir ke warung Bu Rani, kare
"Hih, ini anak, dari tadi jawab melulu." ucap Bu Rani seraya memukul pelan lengan Coki. "Kamu ga usah banyak tanya, bawa aja, sesuai apa yang Tante suruh.""Tapi kenapa Tante ga beli aja, si, di warungnya Tante Sri? Kan, disana ada. Coki ga mau, ah, kalo disuruh nyuri. Malu, Tan, malu.""Bukan nyuri, dong, Cok, Kamu minta baik-baik sama Tante Sri. Pasti di kasih, la.""Tapi pake alasan apa, Coki harus minta-minta sayuran segala, Tan? Ga mau, ah. Kalo mau, Tante minta sendiri, aja!" ujar Coki, lalu beranjak pergi meninggalkan Bu Rani."Dasar anak ga tau sopan santun, Tante belum selesai bicara, Cokiii!" pekik Bu Rani.***"Bu, hari ini, banyak sayuran dan buah yang dikembalikan pelanggan, Bu. Terutama yang kita kirim ke komplek sebelah," lapor Kasman kepada Mba Sri."Kok, bisa begitu, Man?" tanya Mba Sri sambil menautkan alisnya."Katanya, mereka kecewa, karena sayuran yang selama ini dipesan ternyata bukan sayuran organik, dan mereka bilang ga akan pesan sayuran di sini lagi" jawab K
Kasman mengajak Coki ke halaman belakang rumah Mba Sri, ada sebuah gazebo kecil yang terletak di pinggir kolam renang. Tempat yang memang sangat cocok untuk berbicara lebih santai. Sebelumnya Kasman meminta Mbok Dijah, asisten rumah tangga Mba Sri, untuk membuatkan Coki makanan kesukannnya. "Jadi, kemarin itu banyak sayuran yang kita kirim ke pelanggan, dikembalikan ke sini, Cok. Mereka bilang mereka nggak mau pesan sayuran di tempat kita lagi, karena merasa kita sudah membohongi mereka.""Bohong, gimana, Om?" tanya Coki yang mulutnya masih sibuk mengunyah spaghetti cheese yang tadi Mba Dijah sajikan."Mereka pikir sayuran yang kita kirim itu bukan sayuran organik, karena kondisinya masih bagus. Menurut edaran yang mereka terima, sayuran organik itu daunnya akan banyak yang berlubang, karena pasti sudah dimakan ulat.""Kan, kita sortir dulu mana yang bagus dan gak bagus, yang baguslah yang kita kirim ke mereka. Kalau mereka mau yang berlubang, ya, kita kirim aja, Om. Tuh, di kardus b
"Kemarin Bu Rani sempat melihat daftar nama dan alamat pelanggan, kan, di bukunya Coki?" ucap Mba Sri."Iya, Saya sempat lihat. Terus, apa hubungannya dengan Jeng Sri nuduh, Saya kayak tadi?""Karena, ...." Mba Sri menggantung kalimatnya, "yang mendapat edaran tidak benar itu adalah, nama-nama pelanggan yang semuanya ada di buku catatan Coki," ujarnya lirih. "Eh, Jeng Sri, dengar baik-baik, ya. Saya berani bersumpah, demi Allah, bukan Saya pelakunya! Bukan saya yang mengirim edaran itu ke mereka.""Aku memang iri sama situ, Jeng. Tapi kalau berbuat sampai harus mematikan usaha orang lain, ga pernah tuh saya kepikiran ke arah sana. Otak saya ga nyampe Jeng. Paling, ya, cuma ngikutin Jeng Sri jualan sayur thok." batin Bu Rani."Kalau bukan Bu Rani pelakunya, buat apa Bu Rani kemarin melihat buku catatan milik Coki?" selidik Mba Sri seraya memicingkan mata. "Bu-bukan buat apa-apa, kok. Saya cuma ingin tau aja, apa yang Coki kejakan di rumah Jeng." jawab Bu Rani terbata."Kalau Bu Rani
"Aneh, kenapa, Bu Dian sama sekali ga bilang apa-apa, kalau mau pulang kampung? Udah gitu nomornya ga aktif." pikir Mba Sri seraya menautkan alis. "Apa aku menghubungi Ibu-ibu sini aja, ya, untuk membantu di rumah singgah? Mereka, kan, juga sudah tau programku sebelumnya."Akhirnya Mba Sri mencoba untuk menghubungi Bu Susi."Assalamualaikum. Hallo, Bu Susi, ini Sri. Maaf sebelumnya kalau Saya mengganggu waktunya. Gimana kabarnya, Bu?" "Waalaikumsalam warahmatullah. Alhamdullillah kabar baik, Mba. Ga apa, Mba Sri, ga menganggu, kok. Ini kebetulan lagi main sama cucu," jawab Bu Susi ramah. "Ada yang bisa, Saya bantu, Mba?" "Umm, begini Bu. Saya mau minta tolong Bu Susi, untuk bantu di rumah singgah. Karena kebetulan Bu Dian yang selama ini membantu, sedang pulang kampung.""Oh gitu. Tapi, bantu kayak gimana, ya, Mba?""Setiap sore, kan, mereka ada kegiatan pembelajaran, Bu. Kalau Bu Susi bersedia, Saya minta bantuan untuk mengawasi proses pembelajarannya saja, sekaligus menginformasik
"Kalau dari rekaman cctv, si ... yang mengedarkan laki-laki, Bu, masih muda. Sepertinya dia hanya di suruh."" Maksud kamu, Coki?"Kasman menggeleng pelan, muncul beberapa garis halus di dahinya, "Tapi, kalau ga salah, saya pernah ngeliat dia di rumah Bu Dian, Bu.""Di rumah Bu Dian?" kernyit Mba Sri. Bola mata hitamnya menatap heran pada Kasman."Seingat saya, Bu Dian tidak punya anak atau kemenakan laki-laki yang tinggal sama dia, deh. Ada juga pekerjanya, tukang kebun dan sopir, tapi mereka sudah tua. Kira-kira siapa, ya, Man?"Kasman mengangkat bahu, "Tapi, Saya yakin kalau pernah melihat pemuda itu di tempat Bu Dian, Bu. Beberapa minggu yang lalu kalau ga salah, waktu saya antar buah-buahan yang Bu Dian pesan, pemuda itu yang menerima, karena Bu Dian sedang keluar.""Trus kamu tanya, ga, dia siapanya, Bu Dian?""Sayangnya, gak, Bu." Kasman tersenyum hambar. "Ya ... karena Saya pikir, kalau dia ada di rumah Bu Dian, berarti dia kerabatnya, dan Bu Dian juga menitipkan uang ke pemuda
Selamat membaca, jangan lupa subs, rate, love dan komen di setiap babnya ya kak. Makasi udah mampir. Semoga suka. Alhamdulillah end ...! **Dua orang pemuda yang kini berada di taman belakang rumah Mba Sri hanya saling terdiam memandang pemandangan kolam renang di depan mereka. Sudah sejak lima belas menit berlalu, tapi tidak satupun yang memulai pembicaraan. Sang pria sedang berpikir apa yang sebaiknya ia katakan. Sedangkan sang wanita sedang menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut sang pria. "Sebenarnya Pak Dika mau bicara apa?" tanya Askia memberanikan diri. Ia mencoba bertanya, agar degup jantungnya yang sedari tadi mulai berdentum tidak sampai terdengar oleh pria di sampingnya. "Gak, gak mau ngomong apa-apa," jawab Dika, yang akhirnya merutuki dirinya sendiri. "B*g*, kenapa gue malah ngomong gitu," batinnya.Alis Askia bertaut, lalu perlahan ia mulai bangkit dari duduknya. "Eh, kamu mau ke mana?" tanya Dika yang tiba-tiba juga ikut berdiri. "Mau ke dalem lagi, Pak.
Malam itu, Mba Sri sengaja mengundang Askia dan keluarganya untuk makan malam bersama keluarga mereka. Tak lupa pula Mba Sri juga mengundang keluarga Coki dan Bu Rani. Tapi karena Bu Rani dan Pak Ishak sedang ada acara lain, mereka tidak bisa hadir. "Mari Bu, mari kita langsung ke ruang makan saja," ajak Mba Sri pada Ibu Askia. "Askia kamu ajak adik-adikmu makan, ya.""I-i, ya, Bu," jawab Askia sambil terbata. Ia masih merasa malu dan canggung berada di tengah-tengah keluarga Dika. Pagi itu, saat Dika memberitahu kalau Mba Sri mengundang ibu dan ketiga adiknya untuk makan malam di rumah mereka, Askia sempat bingung. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sedangkan untuk menolaknya Askia juga tidak berani, karena yang mengundangnya langsung adalah Dika. ***"Makasi banyak, ya, Pak, udah mau mengundang Ibu dan adik-adik saya untuk makan malam di sini," ungkap Askia. "Hmm. Mama yang nyuruh saya untuk ngundang kamu! Saya juga ga tau maksudnya apa!" Dika menjawab ketus. Raut wajah Askia
"Gimana, Dik, hasil kunjungan kamu kemarin ke rumah Askia? Benar kondisi keluarganya seperti yang kemarin kamun ceritakan?" tanya Mba Sri di tengah aktivitasnya membaca laporan hasil penjualan perusahaan sayur milik mereka per hari ini. Ia sibuk menaik turunkan mouse yang ada di tangan. Matanya menatap lekat ke layar datar di hadapan, sambil sesekali menautkan alis.Saat ini, Mba Sri dan Dika sedang berada di ruang kerja Mba Sri. Mba Sri duduk di kursi kulit berwarna hitam yang terletak tepat di sisi jendela, sedangkan Dika duduk di sofa panjang yang ada di tengah ruangan, yang jaraknya sekitar satu meter dari meja kerja Mba Sri. "Bener, kok, Ma. Kemarin waktu Dika kasih beasiswa itu untuk Askia dan ketiga adiknya, Ibu mereka menangis, ia sampai memeluk Dika kenceng banget,"jawab Dika yang juga sedang asik membaca surat kabar di tangan. Mba Sri tidak merespon jawaban Dika tadi, ia masih serius memperhatikan layar laptop di depannya. Dika yang sudah selesai membaca koran, lalu men
"Eh, Pak. Bukan, bukan siapa-siapa, kok? Saya tadi cuma lagi ngomongin aktor Korea aja." Alis Kasman bertaut. "Lee Min Ho. Iya, Lee Min Ho. Dia itu kan ganteng, tapi sayang, galak."Askia berusaha untuk meyakinkan Kasman. Kasman menggeleng pelan. "Kamu itu ada-ada aja, ngapain pake jauh-jauh mikirin aktor Korea yang ga kamu kenal sama sekali. Sudah sana cepat kerja, kamu udah hampir telat!"Askia menghela napas lega, senang kalau Kasman tidak mencurigai sikapnya tadi. Tapi di wajahnya masih menampakkan senyum bahagia karena masih terus teringat akan ulah Dika tadi. ***Sementara itu, Dika di dalam kantornya berusaha untuk mencari tahu informasi lebih lanjut mengenai gadis bernama Askia yang sejak semalam suka menabraknya itu. Ia ingin tahu se-menyedihkan apa kehidupan sehari-hari karyawati yang belum lama ini bergabung di perusahaan sayuran milik kedua orangtuanya. Akhirnya lembaran yang ia cari sudah berada di tangan, "Jadi dia sudah tidak punya ayah. Anak pertama dari empat ber
Sebelum membaca mohon bantuannya untuk vote ya Kak. Makasi***Acara pertunangan Salsa dan Coki semalam, menyisakan sedikit gerimis di hati Dika, sang kakak tertua. Ia merasa kalau adik yang selama ini dimanjakan akan segera mempunyai orang lain yang bisa lebih diandalkan dibanding dengan dirinya. Berbeda dengan saat Salsa dulu bertunangan dengan Ardan, pertunangan Salsa dengan Coki kali ini justru membuat Dika yakin, kalau Coki memang adalah jodoh Salsa dan secara pribadi ia sudah memberikan restunya kepada Coki."Pas ntar Salsa nikah, yah, jadi kesepian deh, Gue. Siapa lagi cewek yang mau gue pamerin ke temen-temen kalau ada undangan acara ngumpul-ngumpul? Masa iya ngajak Mama," batin Dika. "Maaf, maaf, Mas. Saya ga sengaja."Seorang gadis tiba-tiba menabrak tubuh Dika, saat itu Dika memang sedang merenung sendirian di taman samping rumah, memikirkan nasibnya jika nanti Salsa menikah. Dika sempat terhuyung sebentar. Untung saja saat itu ia tidak sedang membawa minuman seperti sema
"Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja," ucap Askia lagi seraya menangkup kedua tangan di depan dada. "Maaf, maaf! Kamu pikir dengan minta maaf baju saya bisa bersih lagi? Mana bentar lagi tamu udah pada dateng." Dika menjeda kalimatnya. "Siapa nama Kamu? Karyawan di bagian apa? Mulai besok, kamu ga usah datang lagi untuk bekerja! Kamu di pecat!"Tangis Askia seketika pecah, tubuhnya sampai melorot ke bawah."Dika, ada apa, Nak? Kenapa kamu teriak-teriak begitu?"Mba Sri dan Kasman yang mendengar suara keras Dika seketika datang menghampiri. Kasman bahkan segera menyuruh Askia untuk segera berdiri. "Ini lihat, Ma. Baju Dika sampai kotor begini gara-gara dia!" Tunjuk Dika pada Askia yang masih menangis."Maaf, Bu. Tadi saya ga sengaja menabrak Pak Dika. Saya sedang terburu-buru."Mba Sri menghela napas. "Ya sudah, Dika. Dia, kan, sudah minta maaf. Ga enak didengar banyak orang kalau kamu marah-marah begitu. Sekarang, cepat ganti bajumu sebelum para tamu da
Sebelum membaca, mohon bantuannya untuk vote ya, Kak. Makasi sudah mampir. ***Kediaman Mba Sri sudah dihias sedemikian rupa untuk menyambut kedatangan keluarga Bu Rani.Tidak mewah, tetapi cukup meriah untuk menandakan kalau di sana akan berlangsung acara istimewa. Mba Sri dan Mas Pai beserta dengan ketiga anaknya sudah tampil rapi. Mas Pai, Dika dan Edo terlihat semakin tampan dengan mengenakan seragam keluarga bermotif batik. Seragam yang terbuat dari bahan satin silk berwarna hijau lumut. Sedangkan Mba Sri dan Salsa tampil cantik dengan mengenakan kebaya modern berbahan brokat kombinasi ceruty berwarna hijau daun pisang. Menurut kesepakatan kalau keluarga Coki akan datang pada pukul tujuh malam. Acara akan dimulai dengan acara lamaran dilanjut dengan acara makan malam intim kedua keluarga. Kasman ditunjuk oleh Mba Sri sebagai penanggung jawab acara. Kasman meminta bantuan dari para staff karyawan yang lain untuk mengurus dekorasi dan konsumsi. Ada salah seorang staff bagian p
Prodika Adduha RifaiMeski lahir dari keluarga pengusaha kaya, ia tetap mau belajar dan kerja keras sehingga mengantarkannya ke tangga kesuksesan. Ia memiliki tanggung jawab besar membesarkan perusahaan sayur mayur organik milik kedua orang tuanya.Pria kelahiran Jakarta, 01 Januari 1985 ini biasa dipanggil Dika. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Asri Sekali dan Ahmad Rifai. Sejak kecil, kakak dari Edo dan Salsa ini sudah dikenalkan nilai-nilai kewirausahan dan kesederhanaan. Ia dibesarkan dalam nilai-nilai bisnis oleh ayah dan ibunya.Ia lulus Sekolah Menengah Atas pada usia 17 tahun. Setelahnya, ia mengambil gelar sarjana di Cambridge Judge Business School, University of Cambridge, London. Dilanjutkan dengan menempuh gelar master dan doktor di universitas yang sama. Ia berhasil meraih gelar Doktor pada usia 27 tahun.Karena sifatnya yang tegas, detail dan penuh ketelitian, Dika diberi kepercayaan oleh kedua orangtuanya untuk memimpin perusahaan, terutama d
Dika merasa sedikit terkejut dengan rencana usaha yang akan Coki dirikan, menurutnya itu luar biasa, karena seorang seperti Coki bisa terpikir sampai ke arah sana. ***"Tante, bisa minta waktunya sebentar, ga? Ada yang mau Coki sampaikan," ujar Coki kepada Mba Sri. Siang itu, setelah jam istirahat makan siang, Coki sengaja menemui bossnya di ruang kerjanya. Ruang kerja yang terkadang dipergunakan oleh Dika. "Oh, kamu, Cok. Bisa, bisa. Sini masuk aja dulu, tapi mohon tunggu sebentar ya, Cok. Masih ada yang harus tante kerjakan. Tanggung bentar lagi selesai. Ga lama, kok. Paling cuma lima belas menitan.""Ok, Tante, Siap. Kalau gitu Coki tunggu di gudang aja dulu. Lima belas menit lagi, Coki ke sini.""Ok."***"Umm, Tante si senang dengan niat kamu, Cok, malah tante bangga banget sama Kamu. Tante ga nyangka kalau Kamu punya pemikiran sejauh itu. Tapi yang tante sedihkan, nanti siapa yang akan menjadi pengganti kamu, ya. Maaf, Cok, kayaknya Tante ga bisa mengabulkan surat pengusiran