Juned hanya menghela napas panjang, berharap situasi canggung ini cepat berakhir. Begitu mereka keluar dari toko, ia langsung berseru, “Vivi, seriusan, ini terakhir kalinya aku nemenin kamu ke toko kayak gini!”Vivi hanya tertawa kecil. “Ah, Juned, kamu tuh lucu banget kalau malu-malu gitu. Oke, sebagai gantinya, nanti aku traktir makan. Gimana?”“Traktir makanan biasa doang enggak cukup. Harus traktir makanan enak,” balas Juned, masih dengan wajah yang kesal bercampur malu.Setelah keluar dari toko pakaian dalam, Vivi dan Juned berjalan menyusuri koridor mall yang dipenuhi oleh berbagai toko dan restoran. Vivi tampak antusias, sementara Juned lebih banyak melihat ke sekeliling dengan kagum bercampur bingung.“Juned,” panggil Vivi sambil meliriknya. “Kamu pernah ke kafe enggak?”Juned mengerutkan dahi. “Kafe? Maksudnya tempat nongkrong gitu?”“Iya, tempat nongkrong sambil minum kopi.” Ucap Vivi sambil menganggukkan kepala. “Enggak pernah. Ke warung kopi aja jarang apalagi kafe, mendi
Pertanyaan itu langsung membuat Juned tersedak. Ia buru-buru mengambil minumannya dan meminumnya dengan tergesa-gesa, sementara Vivi tertawa terbahak-bahak melihat reaksinya.“Vivi!” protes Juned setelah berhasil menelan makanannya. “Pertanyaan apaan itu? Gila kamu, ya!”Vivi masih tertawa sampai air matanya hampir keluar. “Kenapa sih? Aku cuma tanya. Kan semalam aku lihat kamu main sama Lastri juga. Aku penasaran aja mana yang lebih enak.”Juned menunduk, wajahnya memerah. “Kamu ini, Vivi... jangan ngomong sembarangan! Kenapa bahas seperti itu di tempat ramai?”“Ya terus, jawab dong. Aku serius, nih,” desak Vivi sambil tersenyum jahil.Juned menggeleng keras. “Enggak ada yang lebih enak! Kalau menurutku semuanya enak kok. Kamu jangan terlalu kepo begitu dong.”Vivi tertawa lagi. “Jawaban aman banget, Juned. Tapi enggak apa-apa, aku tahu kok sebenarnya jawabannya.”Juned memandang Vivi dengan bingung. “Jawaban apa?”Vivi menunjuk dirinya sendiri sambil tersenyum lebar. “Ya jelas punya
Vivi mematuhi perintah Juned, meskipun rasa cemasnya semakin besar. Dari kejauhan, kedua penjambret itu tampak berbicara singkat sebelum salah satu dari mereka menunjuk ke arah rumah Juned. Setelah beberapa saat, mereka memutar motor dan pergi meninggalkan desa.Juned menghela napas, lega karena tidak terjadi konfrontasi di depan rumahnya. Tapi, firasat buruk tetap menghinggapinya. “Apa yang akan mereka inginkan sebenarnya?,” gumamnya pelan.Vivi keluar dari dalam rumah, wajahnya masih tegang. “Apakah mereka sudah pergi, Jun? Aku takut kalau mereka bakal balik lagi?”Juned mengangguk, meskipun ia tahu itu tak sepenuhnya benar. “Mereka pergi, tapi sepertinya ini belum selesai. Aku yakin mereka pasti sedang merencanakan sesuatu.”Vivi terdiam sejenak, lalu berkata, “Kalau mereka balik dengan lebih banyak orang, gimana, Juned?”Juned menatap Vivi, mencoba menenangkan meskipun pikirannya masih berkecamuk. “Kita lihat nanti, Vivi. Kalau sampai mereka balik, aku sudah pasti siap untuk mengh
Suasana semakin tegang mengundang beberapa tetangga untuk datang ke sana termasuk Pak Samijo, ketua RT dan Kepala Desa bernama Pak Slamet."Ada apa ini? Kenapa klinik milik Juned disegel?" tanya Pak Samijo."Enggak tahu, Pak. Mereka tiba-tiba datang dan menyegel klinik saya tanpa alasan yang jelas. Padahal saya punya izin lengkap buat klinik ini. Mereka bilang juga sudah dapat izin dari kepala desa." Mata Juned masih menunjukkan kebingungan.Pak Slamet mendengus, lalu menatap Juned dengan dingin. "Juned, aku harus memberi tahu kamu bahwa penyegelan ini berdasarkan laporan resmi. Ada dugaan bahwa klinikmu tidak memenuhi syarat izin operasional dan tanahnya bermasalah.”Juned terkejut mendengar ucapan itu. "Pak Slamet, siapa yang melapor? Klinik ini sudah beroperasi lebih dari 25 tahun oleh kakek saya dan saya punya dokumen lengkap. Kenapa baru sekarang ada masalah?"Pak Slamet mengangkat alis. "Juned, kamu harus tahu, ini bukan soal siapa yang melapor. Ini soal aturan. Kalau memang izi
“Juned, sebenarnya apa yang sedang terjadi sih? Kok tadi di depan klinik sangat ramai? tanya Lastri dengan nada cemas.Sebelum Juned menjawab, Vivi langsung menyelanya, “Tadi ada beberapa orang yang mau menyegel klinik Juned, Las.”“kenapa disegel? Apa orang-orang itu sengaja mau menghancurkan Juned?”Juned menghela napas panjang sambil duduk di kursi. “Aku juga enggak tahu pasti, Las. Tapi yang jelas, mereka mencari alasan untuk menjatuhkan aku. Padahal aku tidak mengenal mereka. Mereka bilang sudah mendapatkan izin dari kepala desa dan dinas terkait.”Lastri bicara dengan nada sinis. “Jadi Pak Slamet ada di sana? Aku yakin dia ada di balik semua ini. Dia itu orangnya licik, Juned. Apalagi dia memakai berbagai macam cara agar bisa memperkuat posisinya.”Juned menatap Lastri dengan ragu. “Tapi kenapa dia harus melakukan ini? Aku enggak pernah punya masalah langsung sama dia.”Lastri mendengus kecil. “Memang kamu enggak, tapi kamu enggak lupa kan sedang bermasalah dengan Sugeng anaknya
Lastri tersenyum semakin lebar, lalu dengan cepat menepuk bahu Juned. “Gampang, kamu tinggal senangin aku aja! Kalau aku senang, kamu juga pasti lebih lega. Yuk, jalan-jalan. Sekali aja. Hitung-hitung cari angin biar otakmu enggak terlalu berat.”Juned mendengus sambil tersenyum tipis. “Las, ini bukan soal angin atau senang-senang. Ini soal masalah serius. Aku harus mikirin gimana cara menghadapi Jaya dan kelompoknya.”“Tapi justru karena itu,” balas Lastri cepat, “kamu butuh waktu buat nenangin diri. Kalau terus-terusan kepikiran, otakmu bisa meledak. Ayo, Juned. Anggap aja ini cara buat mengisi ulang energimu.”Juned menggeleng pelan, meskipun senyuman kecil terselip di wajahnya. “Kamu emang paling jago kalau soal merayu, ya.”Lastri tertawa pelan sambil menyenggol lengan Juned. “Secara tidak langsung aku belajar karenamu.”Melihat Lastri begitu antusias, Juned tak bisa menahan senyumnya. Meski awalnya ia ragu untuk mengajaknya jalan-jalan, namun melihat kegembiraan Lastri membuat h
Saat motor melaju menjauh dari rumah, Juned menoleh sedikit ke arah Lastri yang duduk di belakangnya. “Jadi, kita mau ke mana ini? Kamu yang milih tempat,” tanyanya sambil tetap fokus pada jalan.Lastri tersenyum di balik cadarnya, suaranya terdengar santai. “Ke alun-alun aja, Juned. Aku pengen makan jagung bakar. Sudah lama enggak merasakan suasana alun-alun malam-malam.”Juned tertawa kecil mendengar permintaannya. “Hah, Cuma jagung bakar? Kamu ini, aku pikir hidupmu bakal penuh kemewahan karena anak juragan pasir.”“Eh, jangan salah,” jawab Lastri, sedikit mencubit pundak Juned pelan. “Buat aku, jagung bakar di alun-alun itu punya kenangan sendiri. Sudah lama aku enggak jalan-jalan kayak gini. Jadi, anggap aja ini nostalgia.”“Oke, kalau itu maumu. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti alun-alun rame banget. Besok tanggal merah, biasanya penuh sama pasangan pacaran,” ujar Juned dengan nada menggoda.Lastri tertawa kecil, suaranya terdengar ceria. “Biar saja. Enggak masalah rame. Yan
Juned menghela napas, menatap Lastri dengan pandangan serius. “Las, hidup itu enggak perlu terlalu dibebani sama pikiran orang lain. Yang penting kita tahu apa yang kita mau, dan kita jalani itu dengan cara kita. Enggak ada yang salah dengan jadi diri sendiri.”Lastri menoleh, menatap Juned dengan tatapan lembut. “Makasih, Juned. Kamu selalu tahu cara bikin aku merasa lebih baik.”Juned menggaruk kepalanya yang basah, sedikit salah tingkah. “Ah, sudah lah. Jangan kebanyakan drama. Fokus aja nunggu hujan reda.”Keduanya kembali terdiam, menikmati suara hujan yang jatuh ke tanah, Lastri tiba-tiba teringat sesuatu. Dengan nada setengah menggerutu, dia berkata, “Tadi kamu bilang bawa jas hujan, kan, Juned? Coba cek di jok motor.”Juned langsung mengernyit, lalu teringat ucapan itu. “Oh iya, iya! Aku tadi bawa, kok. Tunggu sebentar, aku cek dulu,” katanya sambil bangkit dan membuka jok motor.Namun, begitu jok terbuka, Juned hanya menemukan kain lap tua, sebuah obeng kecil, dan... tak ada
Tania keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit tubuhnya. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai saat dia berjalan ke ruang tamu. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan yang mengejutkan—Alisa sedang duduk sangat dekat dengan Juned, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.“Hei! Apa yang kamu lakukan?!” suara Tania meninggi, membuat Alisa langsung menoleh dengan ekspresi terkejut.Alisa mengerjapkan mata, seolah baru saja kembali dari dunia lain. Dia masih bisa merasakan ingatan Juned yang mengalir dalam kepalanya, tetapi kini perhatian Tania sepenuhnya tertuju padanya.“Jangan bilang kamu mau ciuman sama Juned?!” lanjut Tania dengan nada curiga.Alisa terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kakak ini mikirnya aneh-aneh saja.” Dia berdiri dan mengibaskan tangannya di udara. “Aku Cuma... ya, mencoba sesuatu.”Tania menatap adiknya dengan tajam. “Mencoba sesuatu apa?”Alisa menatap kakaknya dengan penuh kesabaran. "Kak, serius deh. Ak
Tania yang sudah memegang gagang pintu tiba-tiba terhenti saat mendengar ucapan Alisa. Matanya membelalak seketika, dan dia menoleh dengan ekspresi setengah terkejut, setengah kesal.“Al, kamu ngomong apa sih?” tanyanya dengan nada tajam.Alisa hanya tersenyum jahil dan berjalan mendekat dengan santai. “Ya, aku Cuma ngomong kenyataan aja, Kak. Aku lihat Kakak masih ragu tidur sama Mas Juned, kan? Kenapa gak menikah aja sekalian? Biar kakak bebas melakukannya dan tidak ada ketakutan jika Mas Juned direbut orang lain.”Tania mendengus, jelas-jelas merasa terganggu dengan godaan adiknya. “Al, denger ya. Aku bukan takut Juned direbut siapa-siapa. Aku cuma gak mau melakukannya jika dia dalam kondisi kayak gini.”“Hmmm… kalau gitu, Kakak pasti juga gak keberatan kalau ada wanita lain yang mau melakukannya sama Mas Juned, ya?” Alisa melipat tangan di dadanya, matanya menatap Tania penuh tantangan.Tania membuka mulut, ingin membantah, tapi tiba-tiba terdiam. Ada sesuatu di dalam dadanya yan
Namun, tepat sebelum bibirnya menyentuh wajah Juned, suara keras terdengar dari belakang.“EHEM!! Kakak ngapain?!”Tania tersentak kaget dan langsung menjauh dari Juned, wajahnya memerah seketika. Ia menoleh dan melihat Alisa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, tangannya menyilang di dada.“J-Jangan ngagetin gitu dong!” Tania berusaha menutupi rasa malunya.Alisa menaikkan alis, lalu tersenyum penuh arti. “Aku sih gak masalah kalau kakak mau nyium Mas Juned, tapi kok gak bilang-bilang? Kan bisa aku rekam buat kenang-kenangan!” godanya sambil terkikik.Tania menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari Juned. “Aku gak ngapa-ngapain, Alisa! Sudahlah, kita harus siap-siap buat sarapan.”Tania berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Ia membuka lemari dapur dan mengambil beberapa bungkus mi instan.“Mau rasa apa, Al?” tanyanya tanpa menoleh.“Yang pedas dong, Kak!” sahut Alisa sambil du
“Aku tidak yakin…” ujar Tania ragu.Alisa tersenyum jahil, lalu dengan nada menggoda, ia berkata, "Saat tadi aku melihat ingatan Mas Juned, tidak ada wanita yang menolak kejantanannya. Sepertinya Aku juga tidak menolak, kok."Tania langsung menatap tajam adiknya. "Jangan macam-macam, Alisa!"Alisa terkikik. "Ya sudah, kalau Kakak masih ragu, nggak usah dipaksa. Tapi ingat, kalau Mas Juned tetap seperti ini, itu artinya Kakak sendiri yang menyerah tanpa mencoba semuanya."Tania menggigit bibirnya. Dia tidak suka kalah, terutama dalam sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai polisi dan antiquary.Tania menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap adiknya dengan tegas.“Sudah malam, Alisa. Lebih baik kamu tidur,” ujarnya.Alisa masih duduk di sofa ruang tengah dengan wajah penuh rasa ingin tahu, seolah ingin melihat bagaimana kelanjutan rencana kakaknya. “Aku masih penasaran, Kak,” kata Alisa sambil tersenyum jahil. “Tapi baiklah, aku tidur dulu.”Tania melipat tangan di
Alisa mengangguk mantap. “Iya, Kak. Dari yang aku baca di pikirannya, Mas Juned punya kebiasaan ini saat masih normal. Jadi mungkin dengan melakukan sesuatu yang familiar, memorinya bisa kembali.”Tania menghela napas panjang. “Tapi ini tetap terasa aneh…”“Kakak sendiri yang bilang ini terapi, kan?” Alisa tersenyum penuh arti. “Lagipula, Kakak percaya sama aku, kan?”Tania menatap adiknya sejenak, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan coba.”Ia kemudian berjalan ke kamar dan mulai mengganti pakaiannya dengan selembar handuk yang melilit tubuhnya. Setelah memastikan semuanya rapi, ia keluar dari kamar dan melihat Juned masih duduk di lantai dengan tatapan kosong.Alisa menyenggol lengan kakaknya. “Ayo, Kak. Mulai aja.”Setelah berhasil mengatur nafasnya, Tania mengibaskan tangannya memberi isyarat agar Alisa meninggalkan ruang tamu.Alisa menatap kakaknya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kakak yakin mau aku keluar?” tanyanya, meski sudah bisa menebak jawaban Tania.Tania
Alisa menatap kakaknya dengan khawatir, tapi dia juga tahu Tania adalah orang yang tak mudah menyerah. "Baiklah... kita coba."Tania lalu menoleh ke Juned dan tersenyum lembut. "Juned... kamu masih ingat caranya memijat, kan?"Alisa kembali mendekati Juned, lalu dengan lembut menyentuh kepalanya. Matanya sedikit terpejam, mencoba meresapi ingatan yang masih tersisa dalam benak pria itu. Tania menatap mereka dengan penuh harap.Beberapa detik kemudian, Alisa membuka matanya dan menatap Tania. “Aku melihatnya.”“Apa yang kamu lihat?” tanya Tania cepat.Alisa menarik napas dalam. “Saat Mas Juned memijat seseorang, dia selalu memulainya dengan perlahan. Dia akan meraba bagian tubuh yang sakit atau pegal dengan tangannya terlebih dahulu, lalu dia menekan dengan lembut untuk mencari titik yang paling membutuhkan pijatan.”Tania mengangguk, mencatat dalam pikirannya. “Lalu?”“Setelah menemukan titik yang tepat, dia akan menggunakan ibu jari dan telapak tangannya untuk memberikan tekanan. Di
Alisa menggigit bibirnya sebelum akhirnya bercerita. “Sebelum kecelakaan itu, aku pernah menemukan jamur yang tumbuh di dekat sekolahku. Aku membawanya pulang, namun setelah aku sadar dari kecelakaan. Di hadapan Mas Juned dan Pembantunya, mereka tak sengaja melihat jamur itu di kantongku. Lalu mereka bercerita tentang jamur ajaib. Aku penasaran, terus aku nekat coba makan.”Tania semakin terkejut. “Kamu makan jamur itu?! Terus, apa yang terjadi?”Alisa terlihat ragu sebelum akhirnya berkata, “Setelah makan jamur itu... aku mulai merasa kepalaku pusing lalu kembali pingsan. Mas Juned panik lalu membawa ke rumah temannya yang kaya. Setelah sadar kepalaku menjadi ringan, kayak semua hal jadi lebih gampang dipahami. Aku jadi ngerti pelajaran tanpa perlu belajar keras, aku bisa ingat sesuatu yang cuma kulihat sekilas... Bahkan aku bisa menyelesaikan puzzle yang belum pernah aku lihat, kak.”Tania terdiam, menyusun potongan-potongan informasi di kepalanya.“Berarti jamur yang kamu makan
“Alisa?” gumam Tania pelan.Tania menatap Alisa dengan heran saat adiknya itu masih berdiri di depan pagar.Alisa mengangguk kecil, masih terlihat ragu-ragu. “Kak...”Tania menghela napas, melirik sekilas ke arah Juned. “Kamu kenapa tiba-tiba ke sini?”Alisa menunduk sebentar sebelum menatap kakaknya lagi. “Aku Cuma ingin ketemu Kakak.”Tania terdiam. Sudah lama sekali mereka tidak bertemu, sejak masalah besar yang terjadi antara dirinya dan ayah mereka.“Setelah semua yang terjadi... kamu masih mau datang ke sini?” suara Tania terdengar lebih hati-hati.“Aku tetap adikmu, Kak,” jawab Alisa. “Aku Cuma ingin tahu kabarmu, aku juga rindu... meskipun aku tahu kita sudah lama nggak seperti dulu lagi.”Tania menggigit bibirnya, lalu melirik sekilas ke dalam rumahnya yang sederhana.“Masuklah. Kita bicara di dalam.”Alisa mengangguk, melangkah masuk melewati Juned yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. Namun, saat dia berjalan, tiba-tiba Juned meraih pergelangan tangannya.“Kamu Jamur
Tania berlari ke kamarnya, dia membongkar rak berisi buku. Tangannya dengan cepat menyibak beberapa buku yang tersusun rapi.Setelah menemukan sebuah buku yang dicari, ia membuka kembali catatan kuno yang selama ini dia teliti. Di dalamnya, tertulis hubungan unik antara empat jamur ajaib yang konon memiliki kekuatan luar biasa:“Kekuatan mengalahkan Kekayaan, Kekayaan mengalahkan Kekuasaan, Kekuasaan mengalahkan Kecerdasan, Kecerdasan mengalahkan Kekuatan.” Tania duduk di sebuah meja sambil telunjuknya dengan perlahan menyusuri setiap tulisan dalam buku.Tania mendongak menatap langit kamarnya sambil masih bergumam sendiri. “Jadi hal itu seperti Siklus yang membentuk rantai keseimbangan, seolah-olah masing-masing jamur saling mengimbangi satu sama lain.”Tania menyadari sesuatu—Juned memiliki kekuatan, sementara Marina memiliki kekayaan. Jika benar teori ini berlaku, maka seharusnya Marina akan lemah dengan Juned.Namun, ada satu masalah besar. Juned kehilangan efek jamurnya. “