Juned mengangguk kecil, tetap profesional. “Beberapa teknik pijat memang dipercaya bisa membantu melancarkan sirkulasi darah ke organ reproduksi, Bu. Biasanya dipijat di sekitar pinggang, perut, dan paha.”Bu Ratna tersenyum tipis. “Kalau begitu, tolong lakukan yang terbaik untukku, Juned. Aku benar-benar ingin mencoba segala cara agar bisa memiliki anak.”Juned sedikit ragu, tapi tetap melanjutkan pijatan dengan penuh kehati-hatian. Ia mulai dari bagian punggung bawah, menekan titik-titik akupresur yang diyakini bisa membantu meningkatkan aliran darah ke organ reproduksi. Setelah beberapa menit, ia beralih ke area pinggul, menggunakan gerakan melingkar untuk merilekskan otot-otot di sana.Bu Ratna merasakan tubuhnya semakin rileks. “Ah... ini cukup enak. Apakah ini bisa benar-benar membantu, Juned?” tanyanya dengan suara pelan.Juned tetap fokus. “Pijat bisa membantu mengurangi stres dan meningkatkan sirkulasi darah, Bu. Tapi untuk masalah kesuburan, sebaiknya Ibu tetap berkonsultasi
Setelah keluar dari hotel, Juned berdiri sejenak di trotoar, menghirup udara pagi yang masih segar. Dia merogoh saku celananya, memeriksa uang yang diberikan Bu Ratna tersimpan dengan aman. Saat dia hendak berjalan kaki, matanya menangkap seorang pengemudi ojek online yang sedang berhenti di depan hotel, mungkin sedang menunggu penumpang. Tanpa ragu, Juned segera menghampirinya.“Mas, bisa antar saya ke taman yang ada di dekat sini?” tanyanya sopan.Pengemudi itu menoleh, mengamati Juned sebentar sebelum mengangguk. “Bisa, Mas. Naik aja.”Juned segera naik ke motor, dan tanpa banyak bicara, pengemudi itu langsung melajukan kendaraannya.Sepanjang perjalanan, Juned hanya diam, memperhatikan jalanan yang mulai sibuk dengan kendaraan. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian pagi ini di hotel. Rasanya sedikit, tapi dia juga tahu bahwa uang yang dia dapatkan bisa membantunya bertahan hidup lebih lama.Tak lama kemudian, motor yang dia tumpangi berhenti di depan taman. Juned turun dan meng
Setelah membujuk Juned untuk berhenti jadi tukang pijat keliling, Dinda menatapnya dengan penuh pertimbangan.“Juned, ikut aku ke kos, yuk,” ajaknya tiba-tiba.Juned mengangkat alis. “Ngapain ke kos kamu?”Dinda tersenyum kecil. “Ada yang mau aku omongin, penting. Lagian, di sana lebih enak ngobrolnya daripada di taman begini.”Juned awalnya ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Ya udah, ayo.”Mereka berjalan keluar taman, lalu naik angkutan ke kos Dinda. Setelah sampai, Dinda membuka pintu dan mengajak Juned masuk. Kosnya cukup rapi, dengan perabot sederhana tapi nyaman.Dinda duduk di kursi dekat meja kecilnya, sementara Juned memilih duduk di lantai bersandar ke dinding. “Jadi, apa yang mau kamu omongin?” tanya Juned.Dinda menghela napas, lalu berkata, “Di sebelah kamar aku ada kamar kosong. Aku kepikiran, kenapa kamu nggak tinggal di situ aja agar operasional bisa lebih lancar?”Juned terdiam sejenak, terkejut dengan tawaran itu. “Serius? Tapi aku takut kalau sewaktu-waktu nggak ada u
Dinda berjalan di samping Juned, menuntunnya menuju rumah pemilik kos. “Kamu bakal suka tempat ini,” ucapnya dengan nada santai. “Yang punya juga orangnya baik kok.”Mereka tiba di sebuah rumah sederhana tapi terlihat terawat, lokasinya tepat di samping kos-kosan. Dinda mengetuk pintu, dan tak lama kemudian, seorang wanita muncul dari balik pintu. Dia terlihat berusia sekitar pertengahan 30-an, dengan wajah yang cantik dan penampilan yang santai.“Oh, Dinda,” sapanya dengan senyum ramah. “Ada perlu apa?”Dinda tersenyum balik. “Mbak Yuni, ini temanku, Juned. Dia lagi cari kamar kos. Katanya ada yang kosong di sebelah kamarku?”Mbak Yuni mengalihkan pandangannya ke Juned, menatapnya dengan penuh minat. “Oh, Jadi kamu yang mau kos di sini?” tanyanya lembut.Juned mengangguk sopan. “Iya, Mbak, kalau masih ada kamar kosong.”Mbak Yuni tersenyum manis. “Ada, kebetulan masih kosong. Sebentar aku ambil kunci kamar dulu, biar aku tunjukan kamarnya.”Setelah Mbak Yuni mengambil kunci, dia ber
Saat Juned mulai makan, Mbak Yuni duduk di seberangnya, menyandarkan dagunya di tangan sambil tersenyum. Tatapan matanya tak lepas dari Juned, memperhatikan setiap gerakan pria itu dengan penuh minat.Juned yang awalnya fokus menikmati makanan mulai merasa risih. Dia melirik sekilas ke arah Mbak Yuni dan melihat ekspresi wanita itu yang tampak… berbeda. Ada senyum kecil di sudut bibirnya, dan matanya menatap Juned dengan penuh ketertarikan.“Makan yang banyak, Juned,” kata Mbak Yuni dengan suara lembut. “Biar makin kuat.”Juned menelan makanannya dengan sedikit gugup. “Iya, Mbak. Makanannya enak banget.”Mbak Yuni tertawa kecil. “Kalau suka, besok-besok bisa makan di sini lagi. Aku sering masak, tapi nggak ada yang nemenin makan.”Juned hanya tersenyum sopan. “Makasih, Mbak. Saya nggak enak sering-sering numpang makan.”Mbak Yuni menggeleng sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, memperlihatkan ekspresi menggoda. “Nggak usah sungkan. Aku malah senang kalau ada yang nemenin.”Juned menc
Entah berapa lama Juned tidur, namun tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar kamar kosnya.Tok... tok...Ternyata itu adalah Dinda yang baru saja kembali dari menemui pelanggan mendapati kamar Juned masih tertutup. Dia berdiri di depan pintu, mengetuk pelan sambil memanggil, “Juned? Udah pulang, kan? Bangun, dong.”Tidak ada jawaban.Dinda menghela napas, merasa aneh karena biasanya Juned cukup responsif. Penasaran, dia mencoba memutar gagang pintu dan ternyata tidak dikunci.Begitu pintu terbuka, pemandangan yang tak terduga menyambutnya. Juned terlelap di atas kasur, tanpa memakai baju dengan napas teratur. Wajahnya terlihat begitu damai dalam tidur, dan tubuhnya yang atletis tampak jelas di bawah cahaya lampu kamar.Dinda terdiam sejenak, lalu mendekat dengan langkah pelan. Awalnya dia hanya ingin membangunkan Juned, tapi entah kenapa dia malah terdiam, memperhatikan tubuh Juned terutama barang milik Juned yang berukuran sangat luar biasa.Tergoda, dia membungkuk sedikit, lal
Dinda berusaha bersikap biasa saja, tapi jelas ada rona merah di pipinya. “Dasar narsis!” Ia memutar bola matanya, lalu berjalan menuju pintu. “Aku mau makan, kalau perutku lapar aku gak mau mikir begituan.”Juned hanya tertawa melihat Dinda yang berusaha menghindar. “Santai aja, Din. Lain kali kalau mau coba, silahkan.”Dinda melirik sekilas sebelum akhirnya benar-benar pergi. Juned tersenyum tipis, merasa puas bisa membuat Dinda salah tingkah.Setelah Dinda pergi, Juned duduk di tepi kasur sambil menghela napas. Dia melirik ke sekeliling kamar barunya yang masih terasa asing.“Bosan juga kalau Cuma di kamar terus,” gumamnya sambil merenggangkan tubuh.Dia lalu membuka tasnya, mencari sesuatu yang bisa menghibur, tapi hanya menemukan beberapa lembar kertas iklan pijatnya yang belum sempat ia sebarkan.“Apa keluar aja sekalian cari pelanggan?” pikirnya sejenak. Namun, mengingat tadi pagi sudah mendapat cukup uang dari Bu Ratna, dia memutuskan untuk tidak buru-buru bekerja lagi.June
Juned diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Saat ini aku akan berhati-hati agar tak seperti dulu. Aku juga tahu memang pelanggan wanitaku lebih banyak, dan mereka lebih sering bayar mahal.”Tania mendengus kesal. “Jun, kamu pikir aku bakal diam aja lihat kamu kayak gini terus? Aku udah bilang, aku nggak suka! Aku nggak rela kamu melakukan ini lagi, apalagi buat wanita lain yang akan membuatmu terjebak dalam kerumitan!”Juned menatap Tania dengan tatapan penuh tanya. “Kenapa kamu kayak gini, Tan? Ini cuma pekerjaan.”Tania menatapnya tajam. “Cuma pekerjaan? Jun, aku yang ngerawat kamu waktu kamu hancur! Waktu kamu depresi dan nggak tahu harus gimana, siapa yang ada di samping kamu? Apa kamu lupa?”Juned terdiam.“Aku yang bantuin kamu bangkit, aku yang membiayai kamu waktu kamu nggak punya apa-apa! Aku yang selalu ada buat kamu! Tapi sekarang kamu malah kayak gini, masih keras kepala dan nggak mau dengerin aku!” Tania menggebrak meja dengan kesal.Juned menelan ludah, merasa bers
Juned mendekap tubuh Mbak Yuni dengan erat hingga membuatnya tak berkutik untuk melawan. Janda pemilik kos itu hanya pasrah menerima setiap irama dari jari jemari Juned yang kasar.“Jangan, Juned... Ku mohon.” Mbak Yuni hanya bisa menggeliatkan tubuhnya.Tapi bahasa tubuh Mbak Yuni bukan sebuah penolakan tapi sesuatu yang berbeda.“Jangan? Kamu sekarang beruntung, Mbak.” Bisik Juned di telinga Mbak Yuni.Tubuh Mbak Yuni mulai lemas, nafasnya memburu tak karuan. “Jangan berhenti.. Aku sudah lama tak melakukan ini dengan seorang pria.”Mata Mbak Yuni mulai sayu, sementara Juned melepaskan pakaiannya. Tak ada perlawanan lagi dari Mbak Yuni.“Kita pindah ke kamar saja, aku ingin kamu melakukan itu padaku. Tapi di kamar saja, jangan di sini.” Ucap Mbak Yuni dengan nafas yang memburu.Juned mengangguk dan mengecup bibir Mbak Yuni sesaat. Kemudian dia melepaskan dekapan pada tubuh wanita itu.Mbak Yuni melangkah menuju kamar diikuti oleh Juned dari belakang.Sesampainya di kamar, Mb
Juned berjalan pelan memasuki kos setelah kembali dari warung. Kepalanya masih dipenuhi dengan kata-kata Tania dan perdebatan batinnya sendiri. Apakah benar dia egois? Atau hanya sedang memperjuangkan sesuatu yang memang dia butuhkan?Dia menghela napas panjang setelah membuka pintu pagar kosnya. Namun, langkahnya terhenti ketika dia melihat pintu rumah Mbak Yuni sedikit terbuka. Dari dalam, terdengar suara televisi yang masih menyala.“Mbak Yuni belum tidur?” batinnya.Efek jamur yang pernah dia konsumsi kembali terasa. Sejak kejadian itu, tubuhnya seperti punya dorongan aneh, dorongan yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti ada energi yang harus dia salurkan, dan entah kenapa, mendekati wanita menjadi satu-satunya cara agar dirinya merasa lebih baik.Juned menggigit bibirnya. Dia tidak bisa membiarkan pikirannya dikuasai oleh dorongan itu. Tapi tubuhnya terasa semakin panas. Dia harus melakukan sesuatu sebelum perasaan itu semakin kuat.Saat dia hendak melangkah cepat menuju kamarnya
Juned melangkah keluar dari warung dengan perasaan campur aduk. Tamparan Tania masih terasa di pipinya, bukan hanya meninggalkan jejak panas di kulitnya, tapi juga di hatinya. Dia menendang kerikil di jalan dengan kesal, mencoba mengalihkan pikirannya dari kata-kata Tania yang terus terngiang di kepalanya.“Kenapa dia nggak bisa ngerti? Ini Cuma pekerjaan. Aku butuh uang. Aku nggak bisa terus-terusan bergantung sama orang lain,” batinnya.Langkahnya melambat ketika dia menyadari matahari sudah mulai turun, menandakan sore hampir habis. Udara semakin sejuk, tapi pikirannya justru semakin panas.Tania benar. Dia memang egois.Dulu, saat dia berada di titik terendah hidupnya, Tania ada di sampingnya. Wanita itu merawatnya, mendukungnya, bahkan saat dia sendiri sudah hampir menyerah. Tapi sekarang, saat Tania memintanya berhenti, dia malah bersikeras tetap menjalani pekerjaannya sebagai tukang pijat.“Apa aku terlalu keras kepala? Atau aku memang nggak tahu diri?”Dia berhenti sejenak, me
Juned diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Saat ini aku akan berhati-hati agar tak seperti dulu. Aku juga tahu memang pelanggan wanitaku lebih banyak, dan mereka lebih sering bayar mahal.”Tania mendengus kesal. “Jun, kamu pikir aku bakal diam aja lihat kamu kayak gini terus? Aku udah bilang, aku nggak suka! Aku nggak rela kamu melakukan ini lagi, apalagi buat wanita lain yang akan membuatmu terjebak dalam kerumitan!”Juned menatap Tania dengan tatapan penuh tanya. “Kenapa kamu kayak gini, Tan? Ini cuma pekerjaan.”Tania menatapnya tajam. “Cuma pekerjaan? Jun, aku yang ngerawat kamu waktu kamu hancur! Waktu kamu depresi dan nggak tahu harus gimana, siapa yang ada di samping kamu? Apa kamu lupa?”Juned terdiam.“Aku yang bantuin kamu bangkit, aku yang membiayai kamu waktu kamu nggak punya apa-apa! Aku yang selalu ada buat kamu! Tapi sekarang kamu malah kayak gini, masih keras kepala dan nggak mau dengerin aku!” Tania menggebrak meja dengan kesal.Juned menelan ludah, merasa bers
Dinda berusaha bersikap biasa saja, tapi jelas ada rona merah di pipinya. “Dasar narsis!” Ia memutar bola matanya, lalu berjalan menuju pintu. “Aku mau makan, kalau perutku lapar aku gak mau mikir begituan.”Juned hanya tertawa melihat Dinda yang berusaha menghindar. “Santai aja, Din. Lain kali kalau mau coba, silahkan.”Dinda melirik sekilas sebelum akhirnya benar-benar pergi. Juned tersenyum tipis, merasa puas bisa membuat Dinda salah tingkah.Setelah Dinda pergi, Juned duduk di tepi kasur sambil menghela napas. Dia melirik ke sekeliling kamar barunya yang masih terasa asing.“Bosan juga kalau Cuma di kamar terus,” gumamnya sambil merenggangkan tubuh.Dia lalu membuka tasnya, mencari sesuatu yang bisa menghibur, tapi hanya menemukan beberapa lembar kertas iklan pijatnya yang belum sempat ia sebarkan.“Apa keluar aja sekalian cari pelanggan?” pikirnya sejenak. Namun, mengingat tadi pagi sudah mendapat cukup uang dari Bu Ratna, dia memutuskan untuk tidak buru-buru bekerja lagi.June
Entah berapa lama Juned tidur, namun tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar kamar kosnya.Tok... tok...Ternyata itu adalah Dinda yang baru saja kembali dari menemui pelanggan mendapati kamar Juned masih tertutup. Dia berdiri di depan pintu, mengetuk pelan sambil memanggil, “Juned? Udah pulang, kan? Bangun, dong.”Tidak ada jawaban.Dinda menghela napas, merasa aneh karena biasanya Juned cukup responsif. Penasaran, dia mencoba memutar gagang pintu dan ternyata tidak dikunci.Begitu pintu terbuka, pemandangan yang tak terduga menyambutnya. Juned terlelap di atas kasur, tanpa memakai baju dengan napas teratur. Wajahnya terlihat begitu damai dalam tidur, dan tubuhnya yang atletis tampak jelas di bawah cahaya lampu kamar.Dinda terdiam sejenak, lalu mendekat dengan langkah pelan. Awalnya dia hanya ingin membangunkan Juned, tapi entah kenapa dia malah terdiam, memperhatikan tubuh Juned terutama barang milik Juned yang berukuran sangat luar biasa.Tergoda, dia membungkuk sedikit, lal
Saat Juned mulai makan, Mbak Yuni duduk di seberangnya, menyandarkan dagunya di tangan sambil tersenyum. Tatapan matanya tak lepas dari Juned, memperhatikan setiap gerakan pria itu dengan penuh minat.Juned yang awalnya fokus menikmati makanan mulai merasa risih. Dia melirik sekilas ke arah Mbak Yuni dan melihat ekspresi wanita itu yang tampak… berbeda. Ada senyum kecil di sudut bibirnya, dan matanya menatap Juned dengan penuh ketertarikan.“Makan yang banyak, Juned,” kata Mbak Yuni dengan suara lembut. “Biar makin kuat.”Juned menelan makanannya dengan sedikit gugup. “Iya, Mbak. Makanannya enak banget.”Mbak Yuni tertawa kecil. “Kalau suka, besok-besok bisa makan di sini lagi. Aku sering masak, tapi nggak ada yang nemenin makan.”Juned hanya tersenyum sopan. “Makasih, Mbak. Saya nggak enak sering-sering numpang makan.”Mbak Yuni menggeleng sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, memperlihatkan ekspresi menggoda. “Nggak usah sungkan. Aku malah senang kalau ada yang nemenin.”Juned menc
Dinda berjalan di samping Juned, menuntunnya menuju rumah pemilik kos. “Kamu bakal suka tempat ini,” ucapnya dengan nada santai. “Yang punya juga orangnya baik kok.”Mereka tiba di sebuah rumah sederhana tapi terlihat terawat, lokasinya tepat di samping kos-kosan. Dinda mengetuk pintu, dan tak lama kemudian, seorang wanita muncul dari balik pintu. Dia terlihat berusia sekitar pertengahan 30-an, dengan wajah yang cantik dan penampilan yang santai.“Oh, Dinda,” sapanya dengan senyum ramah. “Ada perlu apa?”Dinda tersenyum balik. “Mbak Yuni, ini temanku, Juned. Dia lagi cari kamar kos. Katanya ada yang kosong di sebelah kamarku?”Mbak Yuni mengalihkan pandangannya ke Juned, menatapnya dengan penuh minat. “Oh, Jadi kamu yang mau kos di sini?” tanyanya lembut.Juned mengangguk sopan. “Iya, Mbak, kalau masih ada kamar kosong.”Mbak Yuni tersenyum manis. “Ada, kebetulan masih kosong. Sebentar aku ambil kunci kamar dulu, biar aku tunjukan kamarnya.”Setelah Mbak Yuni mengambil kunci, dia ber
Setelah membujuk Juned untuk berhenti jadi tukang pijat keliling, Dinda menatapnya dengan penuh pertimbangan.“Juned, ikut aku ke kos, yuk,” ajaknya tiba-tiba.Juned mengangkat alis. “Ngapain ke kos kamu?”Dinda tersenyum kecil. “Ada yang mau aku omongin, penting. Lagian, di sana lebih enak ngobrolnya daripada di taman begini.”Juned awalnya ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Ya udah, ayo.”Mereka berjalan keluar taman, lalu naik angkutan ke kos Dinda. Setelah sampai, Dinda membuka pintu dan mengajak Juned masuk. Kosnya cukup rapi, dengan perabot sederhana tapi nyaman.Dinda duduk di kursi dekat meja kecilnya, sementara Juned memilih duduk di lantai bersandar ke dinding. “Jadi, apa yang mau kamu omongin?” tanya Juned.Dinda menghela napas, lalu berkata, “Di sebelah kamar aku ada kamar kosong. Aku kepikiran, kenapa kamu nggak tinggal di situ aja agar operasional bisa lebih lancar?”Juned terdiam sejenak, terkejut dengan tawaran itu. “Serius? Tapi aku takut kalau sewaktu-waktu nggak ada u