Entah berapa lama Juned tidur, namun tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar kamar kosnya.Tok... tok...Ternyata itu adalah Dinda yang baru saja kembali dari menemui pelanggan mendapati kamar Juned masih tertutup. Dia berdiri di depan pintu, mengetuk pelan sambil memanggil, “Juned? Udah pulang, kan? Bangun, dong.”Tidak ada jawaban.Dinda menghela napas, merasa aneh karena biasanya Juned cukup responsif. Penasaran, dia mencoba memutar gagang pintu dan ternyata tidak dikunci.Begitu pintu terbuka, pemandangan yang tak terduga menyambutnya. Juned terlelap di atas kasur, tanpa memakai baju dengan napas teratur. Wajahnya terlihat begitu damai dalam tidur, dan tubuhnya yang atletis tampak jelas di bawah cahaya lampu kamar.Dinda terdiam sejenak, lalu mendekat dengan langkah pelan. Awalnya dia hanya ingin membangunkan Juned, tapi entah kenapa dia malah terdiam, memperhatikan tubuh Juned terutama barang milik Juned yang berukuran sangat luar biasa.Tergoda, dia membungkuk sedikit, lal
Dinda berusaha bersikap biasa saja, tapi jelas ada rona merah di pipinya. “Dasar narsis!” Ia memutar bola matanya, lalu berjalan menuju pintu. “Aku mau makan, kalau perutku lapar aku gak mau mikir begituan.”Juned hanya tertawa melihat Dinda yang berusaha menghindar. “Santai aja, Din. Lain kali kalau mau coba, silahkan.”Dinda melirik sekilas sebelum akhirnya benar-benar pergi. Juned tersenyum tipis, merasa puas bisa membuat Dinda salah tingkah.Setelah Dinda pergi, Juned duduk di tepi kasur sambil menghela napas. Dia melirik ke sekeliling kamar barunya yang masih terasa asing.“Bosan juga kalau Cuma di kamar terus,” gumamnya sambil merenggangkan tubuh.Dia lalu membuka tasnya, mencari sesuatu yang bisa menghibur, tapi hanya menemukan beberapa lembar kertas iklan pijatnya yang belum sempat ia sebarkan.“Apa keluar aja sekalian cari pelanggan?” pikirnya sejenak. Namun, mengingat tadi pagi sudah mendapat cukup uang dari Bu Ratna, dia memutuskan untuk tidak buru-buru bekerja lagi.June
Juned diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Saat ini aku akan berhati-hati agar tak seperti dulu. Aku juga tahu memang pelanggan wanitaku lebih banyak, dan mereka lebih sering bayar mahal.”Tania mendengus kesal. “Jun, kamu pikir aku bakal diam aja lihat kamu kayak gini terus? Aku udah bilang, aku nggak suka! Aku nggak rela kamu melakukan ini lagi, apalagi buat wanita lain yang akan membuatmu terjebak dalam kerumitan!”Juned menatap Tania dengan tatapan penuh tanya. “Kenapa kamu kayak gini, Tan? Ini cuma pekerjaan.”Tania menatapnya tajam. “Cuma pekerjaan? Jun, aku yang ngerawat kamu waktu kamu hancur! Waktu kamu depresi dan nggak tahu harus gimana, siapa yang ada di samping kamu? Apa kamu lupa?”Juned terdiam.“Aku yang bantuin kamu bangkit, aku yang membiayai kamu waktu kamu nggak punya apa-apa! Aku yang selalu ada buat kamu! Tapi sekarang kamu malah kayak gini, masih keras kepala dan nggak mau dengerin aku!” Tania menggebrak meja dengan kesal.Juned menelan ludah, merasa bers
Juned melangkah keluar dari warung dengan perasaan campur aduk. Tamparan Tania masih terasa di pipinya, bukan hanya meninggalkan jejak panas di kulitnya, tapi juga di hatinya. Dia menendang kerikil di jalan dengan kesal, mencoba mengalihkan pikirannya dari kata-kata Tania yang terus terngiang di kepalanya.“Kenapa dia nggak bisa ngerti? Ini Cuma pekerjaan. Aku butuh uang. Aku nggak bisa terus-terusan bergantung sama orang lain,” batinnya.Langkahnya melambat ketika dia menyadari matahari sudah mulai turun, menandakan sore hampir habis. Udara semakin sejuk, tapi pikirannya justru semakin panas.Tania benar. Dia memang egois.Dulu, saat dia berada di titik terendah hidupnya, Tania ada di sampingnya. Wanita itu merawatnya, mendukungnya, bahkan saat dia sendiri sudah hampir menyerah. Tapi sekarang, saat Tania memintanya berhenti, dia malah bersikeras tetap menjalani pekerjaannya sebagai tukang pijat.“Apa aku terlalu keras kepala? Atau aku memang nggak tahu diri?”Dia berhenti sejenak, me
Juned berjalan pelan memasuki kos setelah kembali dari warung. Kepalanya masih dipenuhi dengan kata-kata Tania dan perdebatan batinnya sendiri. Apakah benar dia egois? Atau hanya sedang memperjuangkan sesuatu yang memang dia butuhkan?Dia menghela napas panjang setelah membuka pintu pagar kosnya. Namun, langkahnya terhenti ketika dia melihat pintu rumah Mbak Yuni sedikit terbuka. Dari dalam, terdengar suara televisi yang masih menyala.“Mbak Yuni belum tidur?” batinnya.Efek jamur yang pernah dia konsumsi kembali terasa. Sejak kejadian itu, tubuhnya seperti punya dorongan aneh, dorongan yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti ada energi yang harus dia salurkan, dan entah kenapa, mendekati wanita menjadi satu-satunya cara agar dirinya merasa lebih baik.Juned menggigit bibirnya. Dia tidak bisa membiarkan pikirannya dikuasai oleh dorongan itu. Tapi tubuhnya terasa semakin panas. Dia harus melakukan sesuatu sebelum perasaan itu semakin kuat.Saat dia hendak melangkah cepat menuju kamarnya
Juned mendekap tubuh Mbak Yuni dengan erat hingga membuatnya tak berkutik untuk melawan. Janda pemilik kos itu hanya pasrah menerima setiap irama dari jari jemari Juned yang kasar.“Jangan, Juned... Ku mohon.” Mbak Yuni hanya bisa menggeliatkan tubuhnya.Tapi bahasa tubuh Mbak Yuni bukan sebuah penolakan tapi sesuatu yang berbeda.“Jangan? Kamu sekarang beruntung, Mbak.” Bisik Juned di telinga Mbak Yuni.Tubuh Mbak Yuni mulai lemas, nafasnya memburu tak karuan. “Jangan berhenti.. Aku sudah lama tak melakukan ini dengan seorang pria.”Mata Mbak Yuni mulai sayu, sementara Juned melepaskan pakaiannya. Tak ada perlawanan lagi dari Mbak Yuni.“Kita pindah ke kamar saja, aku ingin kamu melakukan itu padaku. Tapi di kamar saja, jangan di sini.” Ucap Mbak Yuni dengan nafas yang memburu.Juned mengangguk dan mengecup bibir Mbak Yuni sesaat. Kemudian dia melepaskan dekapan pada tubuh wanita itu.Mbak Yuni melangkah menuju kamar diikuti oleh Juned dari belakang.Sesampainya di kamar, Mb
Juned menoleh ke arah Mbak Yuni yang masih tidur dengan tenang. Dengan langkah cepat, Juned kembali ke kamarnya. Begitu masuk, ia segera mengunci pintu dan duduk di kasur.“Apa tadi cuma perasaanku saja?” gumamnya pelan.Juned melirik jam di dinding kamarnya. Pukul dua pagi. Tidak mungkin itu Dinda, pikirnya. Dinda pasti masih di kamarnya sendiri setelah pulang bekerja. Dan lebih mustahil lagi jika itu orang luar, karena peraturan kos ini melarang tamu menginap atau berkeliaran di dalam setelah jam sepuluh malam.Jadi… siapa yang mengintip tadi?Pikiran itu membuatnya semakin sulit tidur. Ia bangkit dari kasur dan berjalan pelan ke arah pintu. Juned menempelkan telinganya ke pintu, mencoba mendengar jika ada suara di luar. Tapi yang terdengar hanyalah kesunyian malam.“Tak mungkin kalau itu Dinda karena dia masih di warung.” gumamnya sambil mengusap wajahnya sendiri.Udara dini hari terasa menusuk kulit saat Juned melangkah keluar dari kos. Jalanan masih sepi, hanya ada beberapa lam
Juned yang masih penasaran akhirnya bertanya, “Kamu tadi datang jam berapa, Ko?”Riko mengangkat bahu sambil menarik kursi untuk duduk. “Baru saja. Aku belum sempat ke kos, langsung ke sini dulu buat makan.”Mendengar jawaban itu, Juned sedikit lega. Kalau Riko baru datang dan belum ke kos, berarti bukan dia yang mengintip tadi malam. Juned mengangguk kecil, mencoba menepis pikirannya yang mulai liar.Dinda yang memperhatikan ekspresi Juned akhirnya bertanya, “Kenapa sih, Juned? Kok kayaknya kamu kepikiran sesuatu?”Juned menggeleng cepat, tidak ingin membahas kejadian aneh tadi malam. “Nggak, Cuma nanya saja. Kan aku belum pernah ketemu Riko sebelumnya.”Dinda menatap Juned dengan tatapan curiga tapi akhirnya mengabaikannya. Riko pun memesan makanannya dan mulai mengobrol santai dengan mereka berdua.Saat menikmati makanannya, Riko menoleh ke Dinda dengan senyum menggoda. “Eh, Din… si Vina gimana? Masih betah di kos?”Dinda langsung mendengus kecil dan melirik Riko dengan tatapan ja
BAB 320Juned menyaksikan dengan nafas tertahan saat Rizka berdiri di hadapannya, jari-jarinya yang gemetar kini beralih ke resleting rok panjangnya. “Aku... aku tak terbiasa dilihat seperti itu oleh pria lain,” suara Rizka bergetar hampir berbisik karena suasana canggung. Dengan gerakan lambat, resleting itu merosot ke bawah, mengungkapkan kulit pucat di pinggulnya yang sempit. Rok panjang itu meluncur ke lantai dengan suara desiran halus, meninggalkan Rizka hanya dengan celana dalam renda warna krem yang sederhana namun menggoda. Juned tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi lekuk tubuh Rizka yang terungkap sepenuhnya – betisnya yang ramping namun berotot halus, pahanya yang padat namun lembut, dan pinggulnya yang bergerak dengan anggun setiap kali ia bernafas. “Apa ini... perlu,” Rizka menggerakkan tangan ke kancing kutangnya, wajahnya memerah tapi matanya tak melepaskan pandangan dari Juned. “Tidak perlu!” Juned buru-buru menyela, suaranya lebih keras dari yang ia ma
Rizka berdiri di ujung jalan, mengenakan jilbab krem yang menutupi rambutnya dengan rapi, dipadukan sweter tipis dan rok panjang yang sederhana namun elegan. Tangannya memegang erat tas kecil di depan tubuhnya, seperti sedang gugup. Juned menelan ludah. “Mbak Rizka? Ada... ada apa?” Perempuan itu melangkah mendekat, matanya menunduk. “Maaf mengganggu, Mas. Aku... aku perlu bicara.” Suaranya kecil, hampir seperti bisikan. Juned merasakan jantungnya berdegup kencang. “Sekarang? Mau bicara apa?”Rizka mengangguk, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke tanah. “Tentang... pijatan kemarin.”Udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih panas. Juned dengan cepat membuka pintu rumah. “Mari masuk. Kita tidak perlu berbicara di jalan.”Rizka melirik sekeliling, seolah memastikan tidak ada tetangga yang melihat, sebelum melangkah masuk dengan cepat.Juned menutup pintu rumah dengan perlahan, suara *klik* kunci yang mengunci dunia luar. Rizka berdiri di tengah ruang tamu, jari-jariny
“Aaaarrgggh...”Suara lenguhan panjang Bu Ningsih mengakhiri riuh pertemuan tubuh mereka—suara yang keluar dari kedalaman jiwa yang terluka, bukan sekadar kepuasan fisik. Dadanya naik turun tak beraturan, kulitnya yang berkeringat memantulkan cahaya lampu kamar yang redup.BrukJuned ambruk di sampingnya, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang masih perkasa itu kini lemas, dipenuhi rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap begitu nafsu itu reda. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang bernoda kuning, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kita... kita seharusnya tidak melakukan ini, Bu.”Di sebelahnya, Bu Ningsih sudah tertidur dengan posisi yang tak lagi anggun—rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, bibirnya yang merah masih sedikit terbuka.Dengan gerakan pelan, Juned menyelimuti tubuh Bu Ningsih yang sudah tak berdaya itu. “Sekali lagi maafkan aku, Bu Ningsih.” Bisiknya pelan.Juned menutup mata, mencoba tidur hingga akhirnya tidur menyerga
Juned menopang tubuh Bu Ningsih yang limbung di pelataran klub, angin malam menerbangkan ujung gaun anggurnya.“Aku tak bisa pulang seperti ini,” ucap Bu Ningsih dengan bibir yang sudah tak jelas pengucapannya.“Di sebelah... ada hotel. Aku akan menginap saja.”Juned mengamati bangunan hotel sederhana yang berdiri tepat di samping klub. Lampu neon di depannya berkedip-kedip menampilkan tulisan “Hotel Mawar”. “Baik, Bu. Saya antar ke sana,” jawab Juned perlahan. Di lobi hotel yang sempit, resepsionis setengah baya mengangkat alis melihat mereka masuk. “Kamar untuk satu malam,” pinta Juned sambil menopang Bu Ningsih yang mulai mengantuk. Resepsionis itu mengeluarkan kunci kamar. “Nomor 204. Lantai dua. Lift di sebelah kanan.”Di dalam lift yang reyot, Bu Ningsih bersandar di dinding, matanya setengah terpejam. “Terima kasih... sudah menemaniku malam ini,” ucapnya dengan suara serak. Kamar hotel itu sederhana namun bersih. Juned menuntun Bu Ningsih yang limbung ke arah tempat t
Taksi berhenti di depan klub dengan lampu neon berwarna ungu yang berkedip-kedip. Suara musik yang menggelegar sudah terdengar dari luar. “Kita benar-benar akan masuk ke sini, Bu?” tanya Juned ragu, menatap kerumunan orang berpakaian modis di depan pintu. Bu Ningsih tersenyum girang seperti gadis muda. “Ayo, Juned! Aku ingin merasakan lagi bagaimana jadi orang bebas. Malam ini, lupakan semua masalah!”Dengan langkah mantap, Bu Ningsih menarik Juned yang masih ragu menuju pintu masuk. Penjaga pintu menyambut mereka dengan ramah sesuai prosedur yang diterapkan di tempat itu.“Selamat malam Tuan dan Nyonya, apakah anda sudah ada reservasi sebelumnya?” tanya penjaga. “Tidak, kami hanya ingin bersenang-senang sebentar,” jawab Bu Ningsih polos. Setelah membayar tiket masuk, mereka disambut gelombang musik yang mengguncang dada. Lampu laser berwarna-warni menyapu ruangan penulis orang menari. “Wah, sudah lama aku tidak ke tempat seperti ini!” teriak Bu Ningsih di telinga Juned agar
Bu Ningsih mengatupkan mata sejenak. “Tekanan dari mana-mana. Perusahaan tambang, warga yang terpecah... Aku khawatir dia tidak kuat.” Tangannya gemetar memegang lengan Juned. “Aku mengerti apa yang telah terjadi antara kamu dan suamiku.”Juned melempar pandangannya sesekali. Ingatannya kembali ke masa saat dia masih di kampung—Pak Kepala desa yang bersekongkol dengan Anton untuk menindas warga yang lemah.“Tapi Bu, saya sekarang sudah tak...”Bu Ningsih memandangnya tajam. “Kamu satu-satunya orang yang berani melawan Anton.” Juned menyeruput kopi hitam untuk menenangkan diri sebelum akhirnya kembali bicara. “Hal yang di alami oleh Pak Kepala desa sudah menjadi konsekuensinya sebagai seorang pemimpin. Apa ibu mengerti kalau aku kehilangan banyak hal karena menentang mereka?”Bu Ningsih mengangkat wajahnya. Ada garis-garis air mata yang mengering di pipinya. “Ya, aku mengerti.”Juned sedikit merasa iba kepada Bu Ningsih. Namun untuk saat ini strategi melawan Anton tak bisa diseba
Juned berhenti sejenak, tangannya masih menempel di pundak Rizka. “Kenapa bertanya seperti itu, Mbak?” Rizka menggeleng, wajahnya memerah. Desakan hasrat dan rasa penasaran yang mulai menggerogoti moralitasnya. Sudah terlalu lama suaminya tak menyentuhnya, terlalu lama ia merasa diabaikan. Dan sekarang, di rumah sunyi ini, dengan Juned yang begitu dekat, rasanya sulit untuk tetap kuat. “Tidak... aku hanya...” Rizka tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Juned memandangnya, matanya membaca kegelisahan di wajah Rizka. Ia tahu apa yang terjadi, dan meski hatinya juga bergejolak, ia mencoba menahan diri. Tapi godaan itu terlalu besar. “Mbak Rizka...” ucapnya pelan, tangannya tanpa sadar bergerak ke pinggangnya. Rizka menahan napas. Detak jantungnya begitu kencang, seakan ingin keluar dari dadanya. Ia tahu ini salah, tapi tubuhnya seolah tak mau menurut. “Mas, aku...” Juned mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal dari Rizka. Nafasnya hangat, membelai kulit Rizka yang sudah
Rizka langsung menunduk, tangannya bergetar. “Aku... aku masih belum tahu...”“Bagaimana kalau aku berikan sedikit terapi di tanganmu sekarang?” Juned langsung meraih tangan Rizka.Jantung dan aliran darah Rizka berdenyut lebih kencang saat tangan kasar Juned meraba telapak tangannya.Rizka mencoba menarik kembali tangannya. “Mas, jangan begini. Aku takut suamiku–”“Tidak akan, suami kamu pulang jam sembilan. Ini hanya pijatan tangan saja.” Juned tak melepaskan tangan Rizka yang halus.Rizka mengisap bibir bawahnya, merasakan sentuhan Juned yang terampil di bawah bahan kemejanya. “Pijatan... memang enak,” bisiknya, tanpa sadar membiarkan pergelangan tangannya lebih rileks. Juned menggeser posisi, memastikan tangannya tidak menyentuh bagian yang tidak pantas. “Teknik khusus untuk relaksasi. Coba fokus pada tarikan napas.”Jari-jarinya berpindah dengan presisi dari telapak tangan ke pergelangan, menekan titik-titik akupresur. Rizka menutup mata, tapi tiba-tiba membukanya lebar ke
“Tapi kita butuh backup. Aku tidak bisa mengawasi pertemuanmu besok sendirian.”Juned meraih tangan Tania dengan lembut, membuka kepalan jarinya satu per satu. “Percayalah padaku,” bisiknya, matanya memancarkan keteguhan. “Aku hanya akan bersikap normal seperti biasa. Tidak lebih.”Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Yang lebih mengkhawatirkan aku justru keselamatanmu. Jika sampai ada yang tahu kau sedang menyelidiki mega proyek Anton Perkasa, Cakra Buana, dan Bumi Marina...”Tania menatap Juned, melihat bayangan ketakutan yang jarang terlihat di mata pasangannya itu. “Aku akan berhati-hati,” janjinya, memutar tangan sehingga kini dialami yang menggenggam Juned. “Tapi kau harus berjanji—”“Aku tahu,” Juned menyela dengan senyum kecil. “Tidak heroik. Tidak mengambil risiko. Jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung pergi.”Tania mengangkat tangan sambil menutup mulut yang menguap lebar. “Maaf ya, sayang. Aku mau tidur duluan. Lelah sekali hari ini,” ujarnya sambil berj