Marina tertawa kecil, lalu melirik Vivi yang masih terlelap di sisi lain. “Biasanya aku hanya tidur dengan satu orang laki-laki. Tapi semalam, aku tidur bertiga denganmu dan Vivi. Rasanya… menarik.”Juned menghela napas, tidak tahu harus merespons bagaimana. “Jadi kau menyukainya?”Marina mengangguk tanpa ragu. “Ya. Ini pengalaman pertama bagiku, dan ternyata menyenangkan. Aku merasa nyaman.”Juned hanya diam. Marina memang selalu blak-blakan soal apa pun, dan itu membuatnya sulit ditebak.Marina lalu menyentuh dada Juned dengan ujung jarinya. “Kau sendiri bagaimana? Merasa aneh?”Juned tersenyum samar. “Tidak tahu. Mungkin aku masih terbiasa berpikir seperti orang biasa.”Marina tertawa pelan. “Kalau begitu, biasakanlah. Karena aku tidak keberatan kalau suatu hari kita mengalami malam seperti ini lagi.”Juned hanya bisa menghela napas, sementara Marina bersandar di bahunya dengan senyum penuh arti.Juned ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata seakan tersangkut di tenggoroka
Marina dan Vivi mengangguk paham.Mereka duduk diam, menyaksikan rombongan yang berjalan di depan mereka. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya terdengar suara langkah kaki yang saling beradu di luar.“Kamu benar, Juned.” kata Marina dengan suara pelan, “kalau mereka melihat kita sekarang, bisa mempersulit semuanya.”Beberapa menit kemudian, rombongan pengiring jenazah semakin jauh, mereka masih berjalan dengan hati-hati menuju tujuan mereka. Setelah memastikan rombongan itu tak lagi berada di sekitar mereka, Marina akhirnya menyalakan mesin mobil.“Baik, kita pergi sekarang,” kata Juned dengan suara mantap.Marina melajukan mobilnya perlahan hingga akhirnya berhenti di pinggir jalan, tepat di depan pintu masuk pemakaman. Dari kejauhan, dia bisa melihat para pelayat berkumpul mengelilingi liang lahat. Suara lantunan doa terdengar lirih di tengah suasana duka. Hujan yang sempat turun semalam meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung.Marina dan Vivi duduk diam di k
Namun, sebelum mobil bisa melaju lebih jauh, terdengar suara teriakan dari belakang.Anton berdiri di tengah kerumunan, tangannya menunjuk ke arah mobil Marina dengan ekspresi penuh kemarahan. “Dia yang menyebabkan Lastri mati! Jangan biarkan dia kabur!”Saat mobil mulai bergerak meninggalkan area pemakaman, terlihat bayangan beberapa orang dengan motor berdiri di tengah jalan sambil melintangkan motor mereka.Beberapa warga yang masih terbawa emosi mulai bergumam satu sama lain, ragu, namun juga terpengaruh oleh provokasi Anton dan Sugeng. Perlahan, beberapa dari mereka bergerak maju, mengepung mobil Marina.“Bagaimana ini, Juned?” Keringat dingin mulai membasahi wajah Marina.Juned menoleh ke kiri dan kanan, mencari jalan keluar. Namun, semakin banyak warga mendekat, ekspresi mereka penuh kemarahan dan kekecewaan.Seorang pria tua dari kerumunan berteriak, “Kenapa kalian datang ke sini?! Kalau bukan karena kalian, Lastri pasti masih hidup!”Anton melangkah mendekat dengan seny
Itu adalah Pak Samijo, ketua RT setempat, yang baru saja tiba setelah mendengar kegaduhan di balai desa.“Apa yang kalian lakukan ini?!” suaranya tegas, penuh wibawa. Dia menyapu pandangan ke arah kerumunan yang mulai mereda. Beberapa warga yang tadinya berteriak langsung tertunduk, menyadari bahwa mereka telah bertindak terlalu jauh.Anton menggerutu, tetapi tetap mencoba memprovokasi. “Pak RT, mereka ini penyebab kematian Lastri! Kita tidak bisa membiarkan mereka begitu saja!”Pak Samijo mendengus, lalu melangkah maju, berdiri di antara Juned dan warga. “Apakah ada yang bisa membuktikan tuduhan itu?” tanyanya tajam.Sugeng yang sedari tadi diam hanya menggertakkan gigi, sementara Anton kembali berusaha membakar emosi warga. “Bukti? Semua orang tahu Juned punya hubungan dengan Lastri! Gara-gara dia, Lastri jadi menderita!”Pak Samijo mendengus sinis. “Tahu dari mana kau kalau Juned yang membuatnya menderita? Lastri sudah pergi, kalian tidak bisa seenaknya menuduh tanpa bukti! Aku tid
Pak Samijo menghela napas panjang, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara lirih, “Aku sendiri sudah lama tidak bertemu dengannya.”Juned dan Marina saling berpandangan, mulai memahami betapa dalam luka yang disimpan oleh pria tua itu.“Sejak lahir, Anton sudah menahannya dariku,” lanjut Pak Samijo dengan suara bergetar. “Bukan hanya karena aku dulu bekerja untuknya, tapi juga karena aku memiliki hutang besar yang tidak bisa kubayar. Sebagai gantinya, dia mengambil anakku dan menjauhkannya dariku.”Juned mengepalkan tangannya di atas meja. “Jadi kau melakukan semua perintah Anton hanya agar anakmu tetap hidup?”Pak Samijo mengangguk lemah. “Aku tidak punya pilihan, Juned. Aku orang kecil, tidak punya kekuatan. Tapi aku juga seorang ayah… Aku hanya ingin anakku selamat.”Suasana dalam ruangan itu menjadi lebih sunyi. Marina yang biasanya sinis pun terlihat sedikit melunak.Pak Samijo menatap mereka dengan mata yang mulai basah. “
Juned dan Marina berjalan cepat menuju area pemakaman yang sudah sepi. Namun begitu mereka tiba di tempat di mana Marina terakhir kali memarkir mobilnya, mereka langsung tertegun.Marina merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. “Juned… mobilku hilang.”Juned langsung merogoh ponselnya dan mencoba menghubungi Vivi. Nada sambung terdengar, tapi Vivi tidak mengangkatnya. Dia mencoba sekali lagi—tetap tidak ada jawaban.“Sial,” desis Juned, menekan layar ponselnya dengan frustrasi.Marina menatapnya dengan wajah penuh kecurigaan. “Juned, kau masih percaya dengan Vivi?”Juned terdiam. Di dalam kepalanya, ia mencoba mengingat kembali semua hal yang terjadi. Vivi memang selalu ada bersamanya, tapi perkataan Pak Samijo tadi masih terngiang jelas di telinganya.“Aku tidak tahu… Tapi ini aneh.” Juned akhirnya berkata. “Dia tidak mungkin meninggalkan kita begitu saja, kecuali…”Marina menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya semakin gelap. “Kecuali dia memang sudah merencanakan sesuatu s
Di tengah perjalanan Marina tiba-tiba tertawa kecil. Juned yang masih sibuk dengan pikirannya meliriknya sekilas melalui kaca spion.“Kenapa?” tanya Juned tanpa mengurangi kecepatan motornya.“Nggak menyangka aja,” jawab Marina sambil tetap memeluk pinggang Juned. “Apa kamu tahu? Ini pertama kalinya aku naik motor.”Juned sedikit terkejut. “Serius? Kamu belum pernah naik motor sebelumnya?”“Iya, aku selalu pakai mobil atau naik taksi kalau ke mana-mana. Rasanya beda banget, anginnya langsung kena wajah, jalanan terasa lebih dekat... Aku nggak tahu harus takut atau senang.”Juned tersenyum tipis. “Kalau pertama kali naik motor dan langsung kabur dari desa kayak gini, sih, ya wajar kalau campur aduk rasanya.”Marina tertawa kecil lagi. “Tapi anehnya, aku malah merasa senang. Kayak... kita lagi berpetualang.”Juned tidak langsung membalas. Dalam hati, ia tahu ini bukan sekadar petualangan. Mereka sedang kabur dari bahaya, dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi mendenga
Marina mencoba menahan tawa, namun akhirnya dia justru semakin tertawa lepas.“Hahaha.. bukankah barusan aku bilang sama kamu, aku orangnya tak pilih-pilih makanan.” Kata Marina sambil mencubit hidungnya dengan lembut.“Syukurlah kalau kamu tak alergi dengan telur,” Wajah Juned memerah. “Soalnya aku suka dengan telur, jadi pikirku kamu juga suka.”Marina tersenyum melihat wajah Juned yang khawatir padanya.Saat mereka tengah mengobrol, pemilik warung datang mengantarkan pesanan mereka. Sepiring nasi hangat dengan telur balado berwarna merah menggoda terhidang di depan Marina, sementara Juned mendapatkan sepiring nasi dengan telur dadar dan lalapan.Begitu melihat makanan di hadapannya, Marina tersenyum lebar. “Wah, kelihatannya enak! Terima kasih ya, Bu.” ucapnya dengan nada penuh kegirangan.Juned mengangkat bahunya. “Aku pikir makanan sederhana seperti ini tak bisa membuatmu senang.”Marina terdiam sesaat, senyum di wajahnya perlahan melembut. “Kalau begitu, aku makan dengan
Pria itu—si pengganggu dari warung makan tadi—juga langsung mengenali mereka. Begitu melihat Juned dan Marina berjalan kaki, dia menyeringai lebar.“Hahaha! Aku pikir tadi aku salah lihat, tapi ternyata benar! Motor bututmu itu rusak ya?” katanya dengan nada mengejek, menunjuk ke arah motor Juned yang masih terparkir di pinggir jalan.Juned tidak menanggapi, hanya menatap pria itu dengan wajah datar. Sementara Marina sudah mulai kesal, tapi berusaha menahan emosinya.“Kenapa? Tidak punya uang buat servis motor? Wah, kasihan sekali. Pantas kalian jalan kaki begini,” lanjut pria itu dengan nada menyebalkan.Marina menatapnya tajam. “Setidaknya kami tidak hidup mengandalkan koneksi orang dalam untuk bisa bekerja di suatu tempat.”Pria itu mendengus. “Oh, jadi kamu masih ingat omonganku tadi? Bagus! Sebentar lagi aku akan diterima di Bumi Marina. Kalau sudah diterima, mungkin aku bisa kasih kamu kerjaan jadi OB di sana!” Dia tertawa puas, seolah merasa dirinya sudah menang.Juned tetap di
Saat Juned dan Marina baru saja hendak naik ke motor, suara pria itu kembali terdengar di belakang mereka.“WOI! Lo pikir bisa pergi gitu aja?!” teriaknya sambil berjalan menghampiri mereka dengan wajah merah padam.Marina memutar mata, merasa kesal dengan pria itu yang tidak tahu kapan harus berhenti. Sementara Juned hanya menoleh sekilas, masih dengan ekspresi tenangnya.“Apa lagi?” tanya Juned datar.Pria itu menunjuk celananya yang terkena noda makanan. “kamu udah bikin celanaku kotor! Aku mau ganti rugi! Ini celana mahal, ngerti?! Kamu harus bayar sesuai harga celana ini!”Marina hampir tertawa mendengar itu. “Celana mahal? Yang benar aja. Paling juga beli di pasar malam.”Pria itu mendelik marah. “Eh cewek, kalau nggak tahu barang bermerek, jangan sok tahu! Ini celana bisa lebih mahal dari motor bututmu itu!”Juned menarik napas panjang, lalu menatap pria itu dengan tenang. “Dengar, aku udah minta maaf tadi. Kamu yang menyenggol tanganku duluan. Dan sekarang kamu minta ganti rug
Marina mencoba menahan tawa, namun akhirnya dia justru semakin tertawa lepas.“Hahaha.. bukankah barusan aku bilang sama kamu, aku orangnya tak pilih-pilih makanan.” Kata Marina sambil mencubit hidungnya dengan lembut.“Syukurlah kalau kamu tak alergi dengan telur,” Wajah Juned memerah. “Soalnya aku suka dengan telur, jadi pikirku kamu juga suka.”Marina tersenyum melihat wajah Juned yang khawatir padanya.Saat mereka tengah mengobrol, pemilik warung datang mengantarkan pesanan mereka. Sepiring nasi hangat dengan telur balado berwarna merah menggoda terhidang di depan Marina, sementara Juned mendapatkan sepiring nasi dengan telur dadar dan lalapan.Begitu melihat makanan di hadapannya, Marina tersenyum lebar. “Wah, kelihatannya enak! Terima kasih ya, Bu.” ucapnya dengan nada penuh kegirangan.Juned mengangkat bahunya. “Aku pikir makanan sederhana seperti ini tak bisa membuatmu senang.”Marina terdiam sesaat, senyum di wajahnya perlahan melembut. “Kalau begitu, aku makan dengan
Di tengah perjalanan Marina tiba-tiba tertawa kecil. Juned yang masih sibuk dengan pikirannya meliriknya sekilas melalui kaca spion.“Kenapa?” tanya Juned tanpa mengurangi kecepatan motornya.“Nggak menyangka aja,” jawab Marina sambil tetap memeluk pinggang Juned. “Apa kamu tahu? Ini pertama kalinya aku naik motor.”Juned sedikit terkejut. “Serius? Kamu belum pernah naik motor sebelumnya?”“Iya, aku selalu pakai mobil atau naik taksi kalau ke mana-mana. Rasanya beda banget, anginnya langsung kena wajah, jalanan terasa lebih dekat... Aku nggak tahu harus takut atau senang.”Juned tersenyum tipis. “Kalau pertama kali naik motor dan langsung kabur dari desa kayak gini, sih, ya wajar kalau campur aduk rasanya.”Marina tertawa kecil lagi. “Tapi anehnya, aku malah merasa senang. Kayak... kita lagi berpetualang.”Juned tidak langsung membalas. Dalam hati, ia tahu ini bukan sekadar petualangan. Mereka sedang kabur dari bahaya, dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi mendenga
Juned dan Marina berjalan cepat menuju area pemakaman yang sudah sepi. Namun begitu mereka tiba di tempat di mana Marina terakhir kali memarkir mobilnya, mereka langsung tertegun.Marina merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. “Juned… mobilku hilang.”Juned langsung merogoh ponselnya dan mencoba menghubungi Vivi. Nada sambung terdengar, tapi Vivi tidak mengangkatnya. Dia mencoba sekali lagi—tetap tidak ada jawaban.“Sial,” desis Juned, menekan layar ponselnya dengan frustrasi.Marina menatapnya dengan wajah penuh kecurigaan. “Juned, kau masih percaya dengan Vivi?”Juned terdiam. Di dalam kepalanya, ia mencoba mengingat kembali semua hal yang terjadi. Vivi memang selalu ada bersamanya, tapi perkataan Pak Samijo tadi masih terngiang jelas di telinganya.“Aku tidak tahu… Tapi ini aneh.” Juned akhirnya berkata. “Dia tidak mungkin meninggalkan kita begitu saja, kecuali…”Marina menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya semakin gelap. “Kecuali dia memang sudah merencanakan sesuatu s
Pak Samijo menghela napas panjang, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara lirih, “Aku sendiri sudah lama tidak bertemu dengannya.”Juned dan Marina saling berpandangan, mulai memahami betapa dalam luka yang disimpan oleh pria tua itu.“Sejak lahir, Anton sudah menahannya dariku,” lanjut Pak Samijo dengan suara bergetar. “Bukan hanya karena aku dulu bekerja untuknya, tapi juga karena aku memiliki hutang besar yang tidak bisa kubayar. Sebagai gantinya, dia mengambil anakku dan menjauhkannya dariku.”Juned mengepalkan tangannya di atas meja. “Jadi kau melakukan semua perintah Anton hanya agar anakmu tetap hidup?”Pak Samijo mengangguk lemah. “Aku tidak punya pilihan, Juned. Aku orang kecil, tidak punya kekuatan. Tapi aku juga seorang ayah… Aku hanya ingin anakku selamat.”Suasana dalam ruangan itu menjadi lebih sunyi. Marina yang biasanya sinis pun terlihat sedikit melunak.Pak Samijo menatap mereka dengan mata yang mulai basah. “
Itu adalah Pak Samijo, ketua RT setempat, yang baru saja tiba setelah mendengar kegaduhan di balai desa.“Apa yang kalian lakukan ini?!” suaranya tegas, penuh wibawa. Dia menyapu pandangan ke arah kerumunan yang mulai mereda. Beberapa warga yang tadinya berteriak langsung tertunduk, menyadari bahwa mereka telah bertindak terlalu jauh.Anton menggerutu, tetapi tetap mencoba memprovokasi. “Pak RT, mereka ini penyebab kematian Lastri! Kita tidak bisa membiarkan mereka begitu saja!”Pak Samijo mendengus, lalu melangkah maju, berdiri di antara Juned dan warga. “Apakah ada yang bisa membuktikan tuduhan itu?” tanyanya tajam.Sugeng yang sedari tadi diam hanya menggertakkan gigi, sementara Anton kembali berusaha membakar emosi warga. “Bukti? Semua orang tahu Juned punya hubungan dengan Lastri! Gara-gara dia, Lastri jadi menderita!”Pak Samijo mendengus sinis. “Tahu dari mana kau kalau Juned yang membuatnya menderita? Lastri sudah pergi, kalian tidak bisa seenaknya menuduh tanpa bukti! Aku tid
Namun, sebelum mobil bisa melaju lebih jauh, terdengar suara teriakan dari belakang.Anton berdiri di tengah kerumunan, tangannya menunjuk ke arah mobil Marina dengan ekspresi penuh kemarahan. “Dia yang menyebabkan Lastri mati! Jangan biarkan dia kabur!”Saat mobil mulai bergerak meninggalkan area pemakaman, terlihat bayangan beberapa orang dengan motor berdiri di tengah jalan sambil melintangkan motor mereka.Beberapa warga yang masih terbawa emosi mulai bergumam satu sama lain, ragu, namun juga terpengaruh oleh provokasi Anton dan Sugeng. Perlahan, beberapa dari mereka bergerak maju, mengepung mobil Marina.“Bagaimana ini, Juned?” Keringat dingin mulai membasahi wajah Marina.Juned menoleh ke kiri dan kanan, mencari jalan keluar. Namun, semakin banyak warga mendekat, ekspresi mereka penuh kemarahan dan kekecewaan.Seorang pria tua dari kerumunan berteriak, “Kenapa kalian datang ke sini?! Kalau bukan karena kalian, Lastri pasti masih hidup!”Anton melangkah mendekat dengan seny
Marina dan Vivi mengangguk paham.Mereka duduk diam, menyaksikan rombongan yang berjalan di depan mereka. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya terdengar suara langkah kaki yang saling beradu di luar.“Kamu benar, Juned.” kata Marina dengan suara pelan, “kalau mereka melihat kita sekarang, bisa mempersulit semuanya.”Beberapa menit kemudian, rombongan pengiring jenazah semakin jauh, mereka masih berjalan dengan hati-hati menuju tujuan mereka. Setelah memastikan rombongan itu tak lagi berada di sekitar mereka, Marina akhirnya menyalakan mesin mobil.“Baik, kita pergi sekarang,” kata Juned dengan suara mantap.Marina melajukan mobilnya perlahan hingga akhirnya berhenti di pinggir jalan, tepat di depan pintu masuk pemakaman. Dari kejauhan, dia bisa melihat para pelayat berkumpul mengelilingi liang lahat. Suara lantunan doa terdengar lirih di tengah suasana duka. Hujan yang sempat turun semalam meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung.Marina dan Vivi duduk diam di k