Jono memberhentikan motor setelah ia yakin kalau ketiga pria berjas itu tidak bisa mengikuti mereka. Saat ini dia dan Renata sedang berada di sebuah gang di dekat sebuah warung yang cukup ramai pengunjung. Ia berhenti parkir di bawah sebuah pohon rindang.
“Jadi bagaimana sekarang?” tanya Jono.
“Bagaimana apanya?” Renata balik bertanya.
“Kita kemana lagi? Kamu punya tujuan kan?” Jono kembali bertanya.
Renata menghela nafas dan kemudian menggeleng “Tidak ada Mas Jono, saat ini saya tidak mungkin kembali pulang ke rumah sementara tidak ada kerabat atau teman yang bisa saya percayai dan datangi lagi.”
Jono diam sejenak.
“Apa kamu haus?” tanya Jon mengubah topik pembicaraan.
Renata mengangguk “Sedikit.”
“Tunggu sebentar aku mau beli minuman, kamu mau minum apa?” Jono menawarkan.
“Soda atau apapun juga boleh, asal dingin.” Ucap Renata.
“Oke, bentar!”
Jono lalu menuju ke warung tersebut, mengambil dua minuman bersoda dari show case-nya, ia memilih minuman yang dingin sesuai permintaan dari Renata. Membayar dua botol minuman itu setelah merogoh koceknya. Ia lalu kembali ke tempat Renata sedang menunggu di motornya.
“Ini!” Jono menyodorkan sebotol minuman soda kepada Renata.
Renata menerima dan membuka lalu meminum soda tersebut, rasanya menyegarkan dan karena adrenalinnya yang terpacu tadi, minuman dingin ini telah membuatnya sedikit lebih tenang.
“Sebenarnya, kamu ini siapa? Lalu ada hubungan apa dengan ketiga pria berjas hitam yang mengejar kita tadi itu?” tanya Jono berusaha mendapatkan keterangan dari Renata.
Renata menatap Jono, sepertinya tukang paket ini tidak sepenuhnya bodoh seperti penampilannya.
“Namaku Renata, sudah kukatakan tadi bukan. Lalu ketiga orang berjas hitam itu sebenarnya adalah pengawal ayahku tapi mereka berkhianat.” Jelas Renata.
“Apa pekerjaan ayahmu? Kenapa ia memiliki pengawal yang membawa senjata api?” tanya Jono lagi.
“Soal itu tidak bisa aku katakan sekarang ini. Yang jelas sebenarnya aku pun tidak ingin terlibat dengan bisnis yang dijalankan oleh ayahku. Saat ini ayahku sedang ada urusan di luar negeri dan baru kembali empat atau lima bulan lagi. Sampai saat itu tiba aku harus bisa bertahan.” Sahut Renata.
Jono menatap Renata, gadis ini masih menyimpan misteri, ia tidak mau menjelaskan tentang dirinya mungkin karena ia belum sepenuhnya mempercayai Jono. Tapi, Jono pun merasa dilematis sebab tadi ia telah berjanji kepada paman Renata sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, kalau ia akan menjaga Renata.
“Baiklah kalau begitu. Aku ada saran, bagaimana kalau kamu ikut pulang bersamaku? Kamu boleh tinggal di rumahku sampai ayahmu kembali dari luar negeri. Bagaimana?” Jono menawarkan sebuah solusi.
Renata menatap Jono dengan mata yang berbinar “Benarkah? Boleh aku menumpang bersama dirimu?”
Jono mengangguk “Iya, tapi hanya sampai ayahmu kembali. Selain itu, rumahku tidak semewah rumah yang kamu miliki. Bahkan bsa dikatakan rumahku itu kumuh. Tapi aku yakin si Mbok pasti senang kalau kamu mau tinggal bersama dengan kami.”
“Gak apa-apa Mas yang penting saya bisa bersembunyi dari kejaran para mantan pengawal ayah saya. O iya si Mbok itu siapa?” tanya Renata.
“Si Mbok itu ibu saya.” Sahut Jono.
“Oh,” Renata manggut-manggut.
Maka setelah mereka menghabiskan minumannya, Jono dan Renata kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka menuju ke rumah Jono.
Nyaris satu jam kemudian mereka sampai di sebuah perkampungan yang ramai, di satu sisinya ada sebuah sungai besar yang airnya seperti tersumbat. Bau yang amat sangat menyeruak masuk ke dalam hidung Renata, sementara Jono tampak tidak terganggu dengan bau tersebut.
“Astaga bau sekali sungai ini.” Keluh Renata sambil menutup hidungnya.
“Iya, ini karena orang-orang seenaknya saja buang sampah ke sungai, mereka membuang apa saja yang dianggap sisa atau tak terpakai lagi. Seperti itu!” Jono menunjuk ke arah sungai,
Renata melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Jono, sebuah kasur busa tampak mengapung di sungai.
“Heran, kenapa sih orang-orang tidak bisa buang sampah ke tempatnya. Kalau begini kan sungainya jadi tercemar, kotor, mampet dan baunya astaga!” Renata ngedumel.
“Kamu harus terbiasa dengan bau sungai ini sampai empat atau lima bulan ke depan.” Ujar Jono.
“Loh memangnya kenapa Mas Jono?” tanya Renata tak mengerti.
“Iya, soalnya rumahku tepat berada di bantarannya. Di sana itu!” Jono menunjuk ke arah rumahnya.
Renata menatap rumah yang ditunjukkan oleh Jono, rumah mungil berlantai dua itu terbuat dari kayu dan beratapkan seng. Sangat, sangat, sangat berbeda jauh dengan rumah mewahnya. Rumah Jono dengan rumah Renata memang bagaikan bumi dengan langit.
Jono berhenti di halaman sempit rumahnya.
“Kita sudah sampai.” Ujar Jono sambil mematikan mesin motornya.
Renata turun dari motor, ia celingukan. Meski berada di bantaran kali yang bau, dan walaupun rumah Mas Jono ini sangat kecil, tapi kondisinya berbeda dengan tetangga mereka. Rumah si Mas Jono terbilang jauh lebih bersih dan rapi.
“Kamu sudah pulang Le?” tanya seorang perempuan tua yang muncul dari dalam rumah karena mendengar suara motor Jono.
“Sudah Mbok.” Sahut Jono yang sedang meletakkan helm di dashboard motor.
“Ini siapa, cantik sekali Cah Ayu ini?” tanya Si Mbok menatap Renata berbinar.
“Ini Renata Mbok. Renata ini ibuku.” Jono memperkenalkan mereka berdua.
“Olah Le, kamu kenapa gak bilang kalau bawa calon mantu kesini sih? Kalau bilang kan si Mbok bisa masak dulu tadi.” Ucap ibunya Jono salah paham. Wajar saja sebab selama ini Jono tidak pernah membawa perempuan atau pacar ke rumah mereka. Jadi si Mbok langsung mengira kalau Renata pastilah wanita yang istimewa buat Jono.
Renata dan Jono saling pandang tapi mereka tidak mungkin bilang yang sebenarnya kan sama ibunya Jono?
“Ayo masuk Cah Ayu! Oalah Gusti Allah benar-benar telah mengabulkan doa si Mbok ini. Akhirnya si Jono bisa punya istri yang cantik kayak bidadari ini. Ayo masuk!” Si Mbok menggamit tangan Renata dan menyuruhnya masuk ke dalam rumah.
Renata terpaksa ikut masuk, ia menatap ruangan sederhana rumah Jono. Ternyata bersih dan rapi, beberapa pengharum ruangan tergantung di sudut rumah meski tetap saja tidak bisa mengusir bau sungai sepenuhnya.
Jono ikut masuk.
“Mbok, Renata ini mau ikut menumpang bersama kita empat atau lima bulan sambil menunggu ayahnya datang. Ayahnya Renata sedang keluar negeri dan rumahnya kegembok jadi dia gak bisa masuk ke dalam rumahnya.” Jono menjelaskan kepada ibunya.
Si Mbok menatap Jono lalu berpaling menatap Renata dan tersenyum.
“Owalah kasihan ternyata Cah ayu ini gak bisa pulang ke rumah. Boleh-boleh, kamu mau tinggal berapa lama pun di sini boleh. Si Mbok malah senang dapat teman, si Jono ini kalau bekerja suka lupa waktu. Pulangnya gak tentu dia.” Ucap ibunya Jono.
“Terima kasih Bu.” Renata berterima kasih.
“Jangan panggil ibu panggil si Mbok aja biar lebih nyaman.” Sahut ibunya Jono.
“Iya Mbok.” Renata meralat.
“Baiklah kalau begitu. Mbok dan Renata, aku pergi dulu ya!” Jono pamit.
“Loh mau kemana lagi Mas?” tanya Renata.
“Nganterin paket yang tersisa!” ujar Jono menunjuk ke arah motornya.
“Begitulah si Jono ini Cah Ayu. Kalau belum beres mengantarkan paketnya dia gak akan pulang.” Jelas Si Mbok.
Jono melambaikan tangan dan kembali melajukan motornya, masih banyak paket yang harus ia antarkan. Sejak tadi pagi ia baru mengantar sekitar belasan paket doang padahal targetnya harus bisa mengantar lima puluh paket hari ini.
Renata mengangguk dan mengiringi kepergian Jono dengan tatapannya. Ia lalu melihat ke arah si Mbok yang sedang tersenyum kepadanya. Ia menatap sekitarnya, empat sampai lima bulan ia harus hidup di tempat yang bau ini. Bisakah ia bertahan?
***
Jam delapan, sinar matahari pagi menyelusup ke dalam kamar melalui jeruji jendela. Renata memicingkan mata dan menatap sekitarnya. Semalaman dia nyaris tidak bisa tidur sebab berada di tempat yang tidak nyaman dan bau sungai yang tercium begitu menyengat.“Hadeuh benar-benar bikin pusing dan sebal, bau sekali di sini. Tapi aku tidak punya tujuan lain!” keluh Renata sambil beranjak dari ranjang dan melangkah keluar, perutnya terasa lapar.“Sudah bangun, Cah Ayu?” sapa si Mbok ibunya Jono yang melihat Renata turun dari lantai dua rumahnya.“Sudah Mbok, Mas Jono mana?” tanya Renata yang tidak meihat kehadiran Jono.“Jono sudah berangkat tadi sejak subuh, dia memang rajin anaknya. Katanya kalau tidak begitu maka bakalan kalah saing sama tukang paket temannya. Kalau paket yang dia antarkan sedikit maka dapat uangnya pun sedikit. Si Jono sedang mengumpulkan uang buat bekal nikahnya, Cah Ayu!” jelas si Mbok.Renata tersenyum tipis sebagai basa-basi dan menghargai si Mbok.“Mbok, aku lapar ma
Renata jelas terkejut, ia benar-benar tidak menduga kalau komplotan pria berjas hitam itu berhasil menemukan dirinya yang sedang bersembunyi di rumah Jono si Tukang Paket dengan mudahnya.“Kalian semua! Cepat tangkap wanita itu!” teriak pria berjas itu kepada rekan-rekannya yang masih berada di dalam mobil. Niatnya untuk membeli sarapan ia urungkan karena ada masalah yang lebih genting, menangkap Renata!Maka ketiga rekannya yang lain segera keluar dan hendak menangkap Renata.Renata tentu saja langsung membalikkan badan dan mengambil langkah seribu, kabur dari kejaran para pria berjas hitam yang dulu adalah anak buah ayahnya sendiri.Si Togar pun kebingungan dengan situasi yang mendadak seperti itu, tapi satu hal yang ada di dalam benaknya adalah ia harus melindungi Renata. Gadis cantik yang telah memikat hatinya dan merupakan teman dari sahabatnya si Jono.‘Bughk!’ si Togar dengan cepat menggebuk seorang pria berjas di dekatnya yang hendak mengejar Renata. Pria malang itu tidak mend
Jono melangkah sambil menenteng sebuah paket menuju ke sebuah rumah mewah, ia memarkirkan motor bututnya di pinggir jalanan. Mengecek smartphone dan mengangguk setelah berhasil menyamakan alamat dan nomor rumah yang tertera di layar dengan yang ada di tembok di pinggir gerbang rumah mewah tersebut.“Pakeeet…!” teriak Jono dengan sangat lantang di gerbang rumah tersebut.Tidak ada jawaban, tentu saja sebab jarak dari gerbang menuju ke rumah tersebut masih berjarak sekitar dua puluh meteran. Sekencang apa pun Jono berteriak, suaranya pasti sudah lenyap ditelan angin saat masih setengah jalan.“Buset dah! Nih rumah halamannya dah kayak lapangan bola aja!” keluh Jono setelah ia menyadari kalau bakalan percuma berteriak sekencang apapun.Jono mengecek smartphonenya, tidak ada instruksi untuk menaruh paket itu di halaman atau menitipkannya ke rumah tetangga sebelah atau Pak RT. Paket ini harus diterima langsung sama orang yang memesannya.“Apa gue lempar aja ya nih paket?” gumam Jono
Mbak Sebenarnya mereka siapa dan kenapa sepertinya ingin membunuh Mbak-nya?” tanya Jono.“Sudah aku katakan bukan, mereka itu penjahat yang ingin menculik dan membunuh diriku. Mereka pasti suruhan dari si Jamal.” Jelas Renata.“Si Jamal itu siapa ya?” Jono mengerutkan dahinya.“Dia itu bos para penjahat tadi. Dia tangan kanan,” Renata menggantungkan ucapannya.“Tangan kanan siapa, Mbak?” Jono jadi penasaran.“Awas Bodoh!” pekik Renata menunjuk ke arah depan mereka.Di mulut gang yang akan mereka lalui, di depan sana mobil para ketiga pria berjas serba hitam itu telah menghadang.Jono sigap mengerem dan memberhentikan motornya, ia melihat ketiga pria yang disebut penjahat oleh Renata itu mulai turun dari mobilnya. Jono segera memutar balik motornya, kembali ke dalam gang.“Sial!” maki salah seorang di antara pria berjas serba hitam itu geram karena buruan mereka berhasil kabur lagi.Di tengah gang itu Jono memutuskan berbelok ke arah lain, kalau ke arah mereka tadi datang mungkin para
“Hampir saja!” Jono mengintip ke belakang dari spion motornya, sepertinya mereka berhasil lolos. Ia harus segera masuk kembali ke gang dan terus berusaha sebisa mungkin mengambil jalan kecil sampai tujuan mereka.“Iya Mas Bodoh, nyaris saja kita kena dor.” Sahut Renata.“Kita coba masuk gang yang di sana itu. Mulai sekarang kita sebisa mungkin terus lewat jalan kecil atau gang yang gak muat mobil saja.” Jono menjelaskan.Renata mengangguk “Iya Mas, bagaimana baiknya saja.”Dengan lincah Jono kembali masuk ke dalam dan meliuk-liuk melewati setiap tikungan kecil dan juga kadang membingungkan karena kadang gang yang mereka lalui seperti halaman rumah orang.“Permisi Bu Ibu!” ucap Jono ketika melewati sekelompok ibu-ibu berdaster yang sedang merumpi di depan rumah tersebut.“Silakan!” ucap seorang ibu.“Eh Kang Paket! Kenapa lu lewat dimari sih?!” kesal seorang ibu mema
Renata memeluk sang paman dan membuka telinganya selebar mungkin untuk mendengar wasiat apa yang harus ia lakukan.“Kamu bersembunyilah beberapa waktu sampai ayahmu tiba. Ia akan menghabisi semua pengkhianat itu. Kamu paham maksud Paman bukan?” tanya Pamannya.Renata mengangguk “Iya Paman, Renata mengerti. Tapi ayah masih akan lama berada di luar negerinya. Ia akan kembali setelah situasi kondusif, mungkin empat sampai lima bulan ke depan. Paman siapa yang telah melakukan semua ini?” “Ada ular yang menyamar menjadi tikus dalam sarang kita Renata. Saat ayahmu tidak ada, ular itu mulai melancarkan serangannya. Bisa dan taringnya sangat berbahaya karena ekornya dipegang oleh banyak pihak yang tidak menyukai keluarga kita. Kita semua dalam bahaya termasuk kamu, karena itu bersembunyilah dan jangan sampai mereka tahu siapa dirimu yang sebenarnya.” Jelas sang Paman.“Renata mengerti paman, kalau begitu sekarang lebih baik kita segera ke rumah sakit untuk merawat luka paman ini!” sahut Rena
Renata jelas terkejut, ia benar-benar tidak menduga kalau komplotan pria berjas hitam itu berhasil menemukan dirinya yang sedang bersembunyi di rumah Jono si Tukang Paket dengan mudahnya.“Kalian semua! Cepat tangkap wanita itu!” teriak pria berjas itu kepada rekan-rekannya yang masih berada di dalam mobil. Niatnya untuk membeli sarapan ia urungkan karena ada masalah yang lebih genting, menangkap Renata!Maka ketiga rekannya yang lain segera keluar dan hendak menangkap Renata.Renata tentu saja langsung membalikkan badan dan mengambil langkah seribu, kabur dari kejaran para pria berjas hitam yang dulu adalah anak buah ayahnya sendiri.Si Togar pun kebingungan dengan situasi yang mendadak seperti itu, tapi satu hal yang ada di dalam benaknya adalah ia harus melindungi Renata. Gadis cantik yang telah memikat hatinya dan merupakan teman dari sahabatnya si Jono.‘Bughk!’ si Togar dengan cepat menggebuk seorang pria berjas di dekatnya yang hendak mengejar Renata. Pria malang itu tidak mend
Jam delapan, sinar matahari pagi menyelusup ke dalam kamar melalui jeruji jendela. Renata memicingkan mata dan menatap sekitarnya. Semalaman dia nyaris tidak bisa tidur sebab berada di tempat yang tidak nyaman dan bau sungai yang tercium begitu menyengat.“Hadeuh benar-benar bikin pusing dan sebal, bau sekali di sini. Tapi aku tidak punya tujuan lain!” keluh Renata sambil beranjak dari ranjang dan melangkah keluar, perutnya terasa lapar.“Sudah bangun, Cah Ayu?” sapa si Mbok ibunya Jono yang melihat Renata turun dari lantai dua rumahnya.“Sudah Mbok, Mas Jono mana?” tanya Renata yang tidak meihat kehadiran Jono.“Jono sudah berangkat tadi sejak subuh, dia memang rajin anaknya. Katanya kalau tidak begitu maka bakalan kalah saing sama tukang paket temannya. Kalau paket yang dia antarkan sedikit maka dapat uangnya pun sedikit. Si Jono sedang mengumpulkan uang buat bekal nikahnya, Cah Ayu!” jelas si Mbok.Renata tersenyum tipis sebagai basa-basi dan menghargai si Mbok.“Mbok, aku lapar ma
Jono memberhentikan motor setelah ia yakin kalau ketiga pria berjas itu tidak bisa mengikuti mereka. Saat ini dia dan Renata sedang berada di sebuah gang di dekat sebuah warung yang cukup ramai pengunjung. Ia berhenti parkir di bawah sebuah pohon rindang.“Jadi bagaimana sekarang?” tanya Jono.“Bagaimana apanya?” Renata balik bertanya.“Kita kemana lagi? Kamu punya tujuan kan?” Jono kembali bertanya.Renata menghela nafas dan kemudian menggeleng “Tidak ada Mas Jono, saat ini saya tidak mungkin kembali pulang ke rumah sementara tidak ada kerabat atau teman yang bisa saya percayai dan datangi lagi.”Jono diam sejenak.“Apa kamu haus?” tanya Jon mengubah topik pembicaraan.Renata mengangguk “Sedikit.”“Tunggu sebentar aku mau beli minuman, kamu mau minum apa?” Jono menawarkan.“Soda atau apapun juga boleh, asal dingin.” Ucap Renata.“Oke, bentar!” Jono lalu menuju ke warung tersebut, mengambil dua minuman bersoda dari show case-nya, ia memilih minuman yang dingin sesuai permintaan dari
Renata memeluk sang paman dan membuka telinganya selebar mungkin untuk mendengar wasiat apa yang harus ia lakukan.“Kamu bersembunyilah beberapa waktu sampai ayahmu tiba. Ia akan menghabisi semua pengkhianat itu. Kamu paham maksud Paman bukan?” tanya Pamannya.Renata mengangguk “Iya Paman, Renata mengerti. Tapi ayah masih akan lama berada di luar negerinya. Ia akan kembali setelah situasi kondusif, mungkin empat sampai lima bulan ke depan. Paman siapa yang telah melakukan semua ini?” “Ada ular yang menyamar menjadi tikus dalam sarang kita Renata. Saat ayahmu tidak ada, ular itu mulai melancarkan serangannya. Bisa dan taringnya sangat berbahaya karena ekornya dipegang oleh banyak pihak yang tidak menyukai keluarga kita. Kita semua dalam bahaya termasuk kamu, karena itu bersembunyilah dan jangan sampai mereka tahu siapa dirimu yang sebenarnya.” Jelas sang Paman.“Renata mengerti paman, kalau begitu sekarang lebih baik kita segera ke rumah sakit untuk merawat luka paman ini!” sahut Rena
“Hampir saja!” Jono mengintip ke belakang dari spion motornya, sepertinya mereka berhasil lolos. Ia harus segera masuk kembali ke gang dan terus berusaha sebisa mungkin mengambil jalan kecil sampai tujuan mereka.“Iya Mas Bodoh, nyaris saja kita kena dor.” Sahut Renata.“Kita coba masuk gang yang di sana itu. Mulai sekarang kita sebisa mungkin terus lewat jalan kecil atau gang yang gak muat mobil saja.” Jono menjelaskan.Renata mengangguk “Iya Mas, bagaimana baiknya saja.”Dengan lincah Jono kembali masuk ke dalam dan meliuk-liuk melewati setiap tikungan kecil dan juga kadang membingungkan karena kadang gang yang mereka lalui seperti halaman rumah orang.“Permisi Bu Ibu!” ucap Jono ketika melewati sekelompok ibu-ibu berdaster yang sedang merumpi di depan rumah tersebut.“Silakan!” ucap seorang ibu.“Eh Kang Paket! Kenapa lu lewat dimari sih?!” kesal seorang ibu mema
Mbak Sebenarnya mereka siapa dan kenapa sepertinya ingin membunuh Mbak-nya?” tanya Jono.“Sudah aku katakan bukan, mereka itu penjahat yang ingin menculik dan membunuh diriku. Mereka pasti suruhan dari si Jamal.” Jelas Renata.“Si Jamal itu siapa ya?” Jono mengerutkan dahinya.“Dia itu bos para penjahat tadi. Dia tangan kanan,” Renata menggantungkan ucapannya.“Tangan kanan siapa, Mbak?” Jono jadi penasaran.“Awas Bodoh!” pekik Renata menunjuk ke arah depan mereka.Di mulut gang yang akan mereka lalui, di depan sana mobil para ketiga pria berjas serba hitam itu telah menghadang.Jono sigap mengerem dan memberhentikan motornya, ia melihat ketiga pria yang disebut penjahat oleh Renata itu mulai turun dari mobilnya. Jono segera memutar balik motornya, kembali ke dalam gang.“Sial!” maki salah seorang di antara pria berjas serba hitam itu geram karena buruan mereka berhasil kabur lagi.Di tengah gang itu Jono memutuskan berbelok ke arah lain, kalau ke arah mereka tadi datang mungkin para
Jono melangkah sambil menenteng sebuah paket menuju ke sebuah rumah mewah, ia memarkirkan motor bututnya di pinggir jalanan. Mengecek smartphone dan mengangguk setelah berhasil menyamakan alamat dan nomor rumah yang tertera di layar dengan yang ada di tembok di pinggir gerbang rumah mewah tersebut.“Pakeeet…!” teriak Jono dengan sangat lantang di gerbang rumah tersebut.Tidak ada jawaban, tentu saja sebab jarak dari gerbang menuju ke rumah tersebut masih berjarak sekitar dua puluh meteran. Sekencang apa pun Jono berteriak, suaranya pasti sudah lenyap ditelan angin saat masih setengah jalan.“Buset dah! Nih rumah halamannya dah kayak lapangan bola aja!” keluh Jono setelah ia menyadari kalau bakalan percuma berteriak sekencang apapun.Jono mengecek smartphonenya, tidak ada instruksi untuk menaruh paket itu di halaman atau menitipkannya ke rumah tetangga sebelah atau Pak RT. Paket ini harus diterima langsung sama orang yang memesannya.“Apa gue lempar aja ya nih paket?” gumam Jono