Kabut pagi menyelimuti hutan Kalimantan seperti selimut bisu yang menyembunyikan rahasia dunia. Udara terasa lembab dan sunyi, hanya suara gemerisik daun dan sesekali cicitan burung terdengar samar.Di tengah rimba belantara itu, berdirilah seorang pria tua dengan mata setajam pedang, mengenakan pakaian lusuh dari kain kasar, namun aura yang memancar darinya tak bisa disangkal: ini bukan pria biasa.Namanya Mr. Storu, nama yang terdengar aneh bagi lidah lokal, namun mengandung sejarah panjang yang terpendam. Dahulu kala, ia adalah ninja elit dari Dinasti Aman Keshogunan Ashikaga, dilatih untuk menjadi senjata hidup.Namun, saat negeri itu dipenuhi perang saudara, tipu daya, dan kebrutalan yang dibungkus kehormatan, Mr. Satoru memilih jalan lain.Ia melarikan diri ke Nusantara, menemukan kedamaian di Kalimantan, jauh dari darah dan bayang-bayang masa lalu. Di sinilah ia bertapa, menyatu dengan alam, hingga tubuhnya nyaris tidak menua. Tak ada yang tahu berapa usianya. Mungkin ratusan t
“Serahkan padaku!” teriak Ghenadie. Ia melompat dan mengayunkan tangannya, menciptakan gelombang energi yang membelah tanah. Namun makhluk itu menangkisnya, dan menyerang balik dengan pukulan yang menciptakan kawah di tanah.Mr. Satoru melompat ke udara dengan kecepatan yang mustahil bagi usianya, dan mendarat di atas bahu makhluk itu, menancapkan jarinya ke titik tertentu di lehernya.“Teknik Pemutus Roh,” bisiknya.Makhluk itu mengerang, tubuhnya bergetar, lalu roboh seketika.“Kau... masih menguasai teknik itu?” tanya Ghenadie kagum.“Ilmu kuno tak akan pudar, selama niatnya tetap murni.”Mereka terus melangkah ke dalam, hingga mencapai sebuah dataran tinggi, di mana sebuah gerbang batu raksasa berdiri. Di atasnya tertulis dalam aksara kuno: Gerbang Dunia Bawah.“Segel Hitam ada di balik sana,” kata Ghenadie.“Tapi kau belum siap membukanya,” jawab Mr. Storu. “Jika kau buka sekarang, dan kau tak kuat... kau bisa hancur.”“Aku tidak sendiri,” balas Ghenadie, menatapnya. “Kau bersama
Tubuh Ghenadie melesat menembus langit malam, seolah angin malam tak sanggup mengejarnya. Suara ledakan kecil terdengar sesaat ketika dia melewati penghalang kecepatan suara, menciptakan gelombang kejut yang menggetarkan awan tipis di atas kota.Namun dia memperlambat laju tubuhnya begitu mendekati pinggiran kota, tidak ingin menimbulkan kehebohan di antara penduduk.Dia mendarat ringan di area semi-urban, tempat menara BTS masih bisa menggapai sinyal. Lampu jalan temaram, dan hanya ada beberapa kendaraan melintas. Ghenadie segera membuka aplikasi ojek online di ponselnya.“Aku harus seperti manusia biasa,” gumamnya, setengah tersenyum.Dalam waktu singkat, sebuah mobil tua mendekat, suara knalpotnya parau dan kasar. Di atasnya, dua orang lelaki menatap Ghenadie dari balik kaca mobil mereka. Satu di antaranya memegang kemudi, yang lain duduk di kursi depaan, tampak gelisah.Ghenadie menyipitkan mata. Dua orang? Biasanya ojek mobil itu hanya berisi satu orang sopir. Tapi dia tidak ingi
Denting halus hujan sore itu jatuh perlahan di atas atap mobil hitam yang parkir diam di bawah pohon mahoni tua. Jakarta tengah tenggelam dalam keremangan mendung yang pekat, seperti menyembunyikan rahasia kelam negeri ini.Di dalam mobil itu, Ghenadie memelototi layar laptop dengan rahang mengeras. Foto-foto satelit, catatan keuangan, jadwal perjalanan, semuanya berserakan di dashboard digital.Di sampingnya, Pak Anton, ayah Ghenadie, pria paruh baya dengan bekas luka memanjang di pipi kanan, merokok pelan tanpa berkata sepatah kata pun.“Aku masih nggak percaya… total kekayaan si bajingan itu hampir setengah APBN kita,” gumam Ghenadie, menahan amarahnya.Pak Anton menjawab tanpa menoleh. “Karena dia bukan sekadar pengusaha, anakku. Dia gurita. Tiap tentakelnya menjulur ke tambang emas, batubara, timah, minyak, dan perkayuan. Dan semua yang disentuhnya… jadi miliknya.”“Termasuk pejabat kita?” Desy masuk ke dalam mobil dari pintu belakang, jas hujan plastiknya basah kuyup. Di tangann
Langit biru membentang di atas pegunungan tempat bendungan raksasa itu berdiri, seolah turut merayakan keberhasilan bangsa. Ratusan orang berkumpul, mulai dari pejabat tinggi hingga rakyat biasa, menyambut peresmian bendungan yang digadang-gadang akan menjadi tulang punggung irigasi dan listrik wilayah Timur.Di tengah-tengah panggung megah yang berdiri kokoh dengan tirai merah dan bendera berkibar, seorang pria berdiri gagah: Insinyur Budi Dharmawan, ST, pemborong utama proyek ini.Tubuhnya dilapisi rompi anti peluru yang nyaris tak tampak di balik jas abu-abu formalnya. Di sekelilingnya, lima bodyguard berkaca mata hitam berdiri tegap, mengawasi segala arah tanpa mengedip dengan alat komunikasi di telinga mereka.Di belakangnya, dua pasukan Paspampres turut berjaga, karena di acara ini, Presiden sendiri akan memotong pita peresmian.Namun, di antara lautan manusia dan keramaian yang tampak meriah, satu sosok berdiri tenang, tak terlihat mencolok. Wajahnya tersembunyi di balik kacama
Langit di kota itu tak pernah benar-benar cerah. Seolah mendung abadi menggantung, menekan dada orang-orang yang tinggal di bawahnya. Di balik gedung megah milik perusahaan pak Anton, seorang pria duduk di ruang kerja mewahnya.Ghenadie menatap bayangannya sendiri. Mata itu… tidak lagi memancarkan cahaya seorang pemuda biasa. Kini, ada nyala api dingin yang menyala di sana.Di tangannya tergenggam sebuah buku catatan kulit usang. Di halaman pertamanya tertulis satu kalimat dalam huruf tebal dan mencolok: DAFTAR YANG HARUS DIHAPUS.“Aku harus melakukannya, Pak Arif,” kata Ghenadie, saat mereka dalam perjalanan bersama pak Anton ke kantor pagi itu. Mobil hitam mereka meluncur pelan menyusuri Jalan Sudirman.Pak Arif, pria paruh baya yang telah menjadi pengawal sekaligus penasihat bayangan pak Anton selama ini, melirik ke arah kaca spion. Sorot matanya penuh khawatir.“Anak muda… kau bicara soal membunuh. Ini bukan main-main.”“Aku tak main-main,” jawab Ghenadie pelan tapi tegas. “In
Malam itu sunyi. Angin bertiup pelan membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang luruh. Rumah Pak Anton berdiri kaku di tengah pekarangan yang luas, temaram oleh lampu beranda yang sudah mulai redup.Kamera CCTV di sudut atas pagar rumah sesekali berkelip, menandakan aktivitasnya masih menyala. Tak ada suara, hanya desiran rumput yang bergesekan pelan, seperti menyembunyikan sesuatu.Dari arah kiri, seorang pria bertubuh tegap dengan jaket lusuh menyelinap di balik semak-semak. Matanya tajam memperhatikan gerakan di sekitar rumah. Itu Joko, dan dia tengah memburu seseorang, Pak Anton.Sementara dari sisi berlawanan, seorang pria lain dengan hoodie hitam, wajahnya sebagian tertutup masker, mengendap pelan. Namanya Reza. Dia sedang mencari Desy, dan dia punya alasan kuat percaya bahwa gadis itu pasti berada di dalam rumah Pak Anton.Tanpa mereka sadari, jalur pengintaian mereka bersilangan. Dan…"BRAK!"Dua tubuh saling bertabrakan di balik pohon mangga tua yang rimbun. Joko segera menc
Panas mentari siang menyengat jalanan ibukota, namun ketegangan yang merayap di dada Reza dan Joko membuat suhu udara tak lagi terasa. Mereka melangkah cepat ke kantor polisi sektor tengah, ke tempat sahabat akrab mereka, Kompol Wirya, yang sedang bertugas.Wajah Reza penuh ketegasan, sedangkan Joko berkeringat meski ruangan ber-AC."Ada yang harus kau dengar, Wirya," ucap Reza tanpa basa-basi.Kompol Wirya menoleh, membuang senyum formalitas, lalu bangkit dari kursinya. “Masuklah. Tutup pintunya.”Begitu pintu ditutup, Joko membuka map dari dalam tasnya dan menghamparkan beberapa lembar bukti foto.“Pak Anton dan anaknya, Ghenadie, menyembunyikan seorang wanita bernama Desy. Kami yakin, dia tidak tinggal di sana atas kemauannya sendiri,” tegas Joko.Kompol Wirya menatap foto-foto itu, lalu mencondongkan tubuhnya. “Kalian sadar ini tuduhan berat?”“Desy mantan pacar ku. Tapi setelah hubungan mereka putus, dia menghilang. Kami curiga dia disekap,” jawab Reza.Diam sesaat. Lalu sesuatu
Musim semi menyelimuti Sydney dengan suhu hangat yang lembut. Udara segar, langit biru bersih, dan aroma laut yang samar membuat setiap pagi terasa seperti lembaran baru dalam hidup Ghenadie.Tujuh hari bersama Liana telah menyisakan jejak yang sulit dihapuskan. Tapi semua harus kembali pada kenyataan. Liana harus kembali bertugas, dan Ghenadie… harus mulai membangun sesuatu.Ia tidak melupakan Hana, tetapi sudah beberapa kali dia menghubungi Hana, tetapi gadis itu ttidk pernah membaalasnya atau mengangkat telponnya. Ghenadie hanya curiga saja gadis itu kehilangan ponsel.Ia duduk sendiri di sebuah kafe pinggir pelabuhan Darling Harbour, menatap laptopnya dengan layar kosong. Sudah beberapa jam ia hanya menatap layar, jari-jarinya enggan bergerak.“Mau kopi lagi, sir?” tanya pelayan ramah.“Ya, satu cappuccino. Terima kasih.”Langkah awal selalu yang paling sulit. Bukan karena dia tidak tahu caranya, Ghenadie pernah membangun divisi dari nol, pernah mengelola proyek lintas negara.Tap
Pesawat berbadan besar itu perlahan mengangkat tubuhnya dari landasan, menembus langit biru menuju benua jauh di selatan. Di balik jendela kecil kelas satu, Ghenadie duduk dengan pandangan kosong menatap awan yang menggumpal seperti kapas.Australia, benua yang ia pilih bukan tanpa alasan. Luas, sunyi, dan baginya, penuh kemungkinan. Ia sudah terlalu lama hidup dalam keramaian penuh kepalsuan.Dunia bisnis yang keras, hubungan kekeluargaan antara karyawan yang penuh tekanan, dan kota yang tak pernah tidur. Ia ingin menghilang atau lebih tepatnya, menemukan dirinya kembali.Namun perjalanannya bukan semata-mata pelarian. Ada sesuatu yang menuntunnya ke sana, entah mimpi, entah takdir. Ia hanya tahu, ia harus pergi.Baru saja ia hendak memejamkan mata, sebuah keributan kecil terdengar dari lorong pesawat tak jauh dari tempat duduknya."Waduh, pak …! Apa tidak bisa lihat? Barang Bapak kan terlalu besar! Ini mengganggu orang lain!"Ghenadie menoleh. Seorang pria bertubuh besar dan berwaja
Dua minggu kemudian, persiapan keberangkatan pun dilakukan. Tapi Ghenadie menyimpan satu rencana terakhir. Ia ingin menikah sebelum pergi.Perempuan cerdas yang ditemukan Ghenadie beberapa bulan ini. Mereka bertemu dalam sebuah forum diskusi yang membahas tentang etika hukum dan bisnis.Ghenadie datang karena rasa ingin tahunya tentang sistem hukum yang kerap dimanipulasi. Hana hadir sebagai salah satu panelis muda, mewakili kelompok advokat HAM independen.Sejak itu, mereka sering bertemu lagi, kadang dalam forum debat, kadang dalam diskusi-diskusi kecil di kafe kampus, dan kadang karena Ghenadie butuh teman bicara.Hana jadi tempat Ghenadie mencurahkan keresahan, tentang bisnis keluarganya, tentang pengkhianatan pak budi dan keponakannya Joko, tentang ketakutannya akan menjadi bagian dari sistem yang ia benci.Awalnya semua berjalan biasa. Hana mendengarkan dengan kepala dingin, kadang menyela dengan kritik tajam, kadang menantangnya dengan pertanyaan filosofis yang membuat Ghenadie
Ghenadie menatap layar laptopnya yang menampilkan salinan laporan resmi yang ia serahkan dua bulan lalu. Semua bukti sudah ia lampirkan. Video rekaman, dokumen transaksi gelap, bahkan kesaksian karyawan internal yang bersedia menjadi whistleblower.Namun semuanya... lenyap. Tidak ada tindak lanjut. Tidak ada penyelidikan. Tidak ada kabar.Selembar surat dari kejaksaan yang hanya berisi satu kalimat pengembalian dokumen membuat dadanya terasa sesak.“Laporan Anda tidak memenuhi unsur pidana.” Singkat, dingin, seakan tak pernah terjadi apa-apa.Ia bangkit dari kursi, lalu berjalan ke jendela ruang kerjanya. Kota terlihat damai dari lantai delapan kantor pusat perusahaannya.Tapi ia tahu, di balik gedung-gedung tinggi dan jalanan yang sibuk itu, para pemangku hukum sedang mempermainkan segalanya. “Sia-sia...” gumamnya lirih. “Semua jalur hukum ini... sia-sia.”Ia menekan nomor ayahnya. Panggilan tersambung. “Ayah, kita harus bicara lagi. Segera.”Suara dari seberang terdengar ber
Sudah sebulan sejak rapat darurat itu. Pak Budi dan Joko telah dinonaktifkan dari perusahaan, seluruh akses mereka ke sistem internal dicabut, dan semua berkas serta rekaman suara sudah diserahkan ke pihak berwajib.Ghenadie menyangka proses hukum akan berjalan cepat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Cuma sekarang dia punya kawan, karena Hana sekaarang di rekrut jadi pegawainya.Setiap kali Ghenadie menghubungi penyidik, jawabannya selalu sama, “Kami masih dalam tahap verifikasi,” atau “Kami butuh waktu karena ini melibatkan audit keuangan lintas tahun.”Bahkan ada satu panggilan dari kantor polisi yang berakhir dengan nada bicara menggantung.Hana menutup telepon dengan geram. “Ini sudah keterlaluan. Bukti lengkap, saksi ada, tapi mereka terus menunda.”Ghenadie menatap jendela ruang kerjanya. Hujan turun deras siang itu. Udara dingin, tapi bukan karena cuaca. Tapi karena firasat buruk yang terus menghantuinya.“Dalam mimpiku... keadilan juga lambat. Bahkan tak pernah datang. Kar
Sudah tiga bulan sejak Ghenadie keluar dari rumah sakit. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi pikirannya justru terasa lebih hidup dari sebelumnya.Ia menulis setiap hari tentang mimpinya, tentang dunia penuh darah, sihir, dan pengkhianatan yang ia alami selama koma. Tapi seiring tulisan itu berkembang, sesuatu yang aneh mulai terjadi.Pagi itu, Ghenadie duduk di ruang kerjanya, menyeduh kopi sembari membuka laporan internal perusahaan yang dikirimkan secara rutin oleh sekretaris ayahnya. Di halaman ketujuh, matanya terpaku pada sebuah angka. Ada selisih besar dalam laporan pengeluaran biaya promosi."Ini... tidak masuk akal," gumamnya.Ia membuka kembali catatan mimpi yang ia tulis beberapa minggu lalu. Dalam dunia bawah sadarnya, ia pernah ‘mengadili’ Pak Budi karena terbukti menggelapkan dana perusahaan bersama keponakannya, Joko.Kini, angka itu seperti bukti nyata bahwa cerita itu bukan hanya mimpi. Seakan garis tipis antara dunia tidur dan bangun mulai pudar.Malam itu, Ghenadi
Hening. Putih. Bau obat-obatan. Suara detak mesin monitor.Ghenadie membuka mata perlahan. Cahaya lampu menyilaukan pandangannya. Tenggorokannya kering, lidahnya terasa pahit. Saat mencoba menggerakkan tangan, hanya gemetar kecil yang ia rasakan.“Ghenadie?” suara berat dan hangat itu terdengar, samar, seperti gema dari masa lalu.Ia menoleh perlahan. Sosok berjubah putih berdiri di samping ranjang, memegang tangan kirinya dengan mata berkaca-kaca.“Pak… Anton… Ayah?” gumam Ghenadie pelan.Pria itu, ayah kandungnya, mengangguk, tersenyum lega. “Kau akhirnya bangun, Nak. Hampir setahun kau koma.”“Setahun?”Hati Ghenadie seperti diremukkan oleh kenyataan. Ingatannya berloncatan liar: ledakan, darah, Desy menangis, mantra gaib, Joko terlempar dari atap, Reza menjerit, Pak Budi terbakar hidup-hidup.Namun, semua itu kini terasa… jauh. Seperti mimpi.“Perusahaan kita… sudah kita rebut lagi, ya, Pak? Joko sudah mati, kan? Dan Desy… dia selamat? Kita… kita mau menikah waktu itu…”Pak Anton
Malam itu hujan turun perlahan, seperti tetes-tetes luka yang tak kunjung sembuh di hati Desy. Ia duduk di ruang tamu rumah mereka Ghenadie, sebuah tempat yang terasa terlalu sunyi untuk menampung begitu banyak rahasia.Aroma kayu manis dari lilin aroma terapi melayang samar di udara, tak cukup kuat untuk mengusir hawa dingin yang merayap dari dalam dada mereka masing-masing.Di layar ponsel Desy, berita kematian Reza dan Joko menyebar cepat. Dua pria itu ditemukan di tempat yang sama, pasar malam tempat nongkrong, dengan kondisi jantung mereka seolah pecah dari dalam, tanpa bekas luka luar sedikit pun.Desy menatap layar dengan tangan gemetar, lalu mengangkat wajahnya menatap pria di depannya. Ghenadie duduk tenang, seolah berita itu hanya angin lalu. Tapi Desy tahu, ia tahu betul siapa Ghenadie sebenarnya.“Kamu… kamu membunuh mereka?” tanya Desy dengan suara nyaris berbisik.Matanya tak berkedip, jantungnya berdetak cepat, tak jauh berbeda dari korban yang kini terbujur kaku di dal
Hujan turun tipis di atas atap rumah itu. Suara rintiknya mengalun pelan, mengiringi detak jam dinding yang seolah melambat. Ghenadie duduk di ruang tengah dengan pandangan tajam menatap layar laptopnya.Pencarian terakhirnya nihil. Tak ada jejak, tak ada alamat. Joko dan Reza seperti lenyap ditelan bumi.Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Api amarah di dadanya makin menyala. “Mereka harus dilenyapkan,” bisiknya lirih, tapi penuh tekad. “Mereka adalah duri dalam daging. Dan aku tidak akan membiarkan mereka menghalangi pernikahanku dengan Desy.”Desy... Gadis itu kini berada di dalam rumahnya. Sudah lama ia dilindungi dari dunia luar, terutama dari Reza, lelaki keji yang dulu hampir merenggut kehormatannya.Sekarang Reza malah bekerja sama dengan Joko. Joko, pengkhianat berhati licik, yang dulu menguasai perusahaan Pak Anton, ayah Ghenadie, dengan cara-cara kotor. “Satu mencoba memperkosa kekasihku,” gumamnya pelan. “Yang satu mencuri perusahaan keluargaku. Mereka berdua p