Jenar menyodorkan kaleng soda pada Julio. Dia duduk di sisi Julio, sembari ikut memandangi jalanan di depan mereka.
"Maaf," ucap Jenar tiba-tiba. Dia melirik Julio yang tak acuh.
Sepertinya ada guncangan besar di dalam hati Julio saat ini. Dia tidak seperti biasanya.
"Maaf karena aku jadi ikut campur." Jenar menyadari kesalahannya. "Maaf juga karena aku jadi menampar pacar kamu di depan semuanya."
Jenar diam kala Julio berdecak kasar. Namun, itu bukan untuknya. Jenar lupa Julio tidak akan bisa membuka kaleng soda dengan tangan kirinya.
Jenar membuka kaleng soda miliknya. "Maaf juga karena aku datang, semua teman-teman kamu jadi tahu
"Kamu punya pacar?" Julio tiba-tiba saja memulai pembicaraan dengan Jenar. Nada bicaranya tidak se-ketus biasanya.Jenar menoleh ke arah Julio dan tersenyum ringan. "Kenapa sekarang kamu jadi penasaran tentang itu?"Julio terdiam. Dia juga tidak tahu kenapa perasaanku jadi begini. Belakangan ini dia terlibat masalah, dan Jenar adalah orang yang selalu menolongnya.Kalau ditelisik mundur ke belakang, sebelum Jenar datang, Julio selalu saja menyelesaikan permasalahannya sendiri. Dia berusaha untuk melindungi dirinya sendiri dari orang-orang yang terus menekannya."Hanya ingin tahu saja. Kamu tidak pernah menceritakan apapun tentang kehidupanmu pada kita semua," jawab Julio. "Kita hanya tahu nama, bahkan kita tid
Senja purna dari tugasnya. Julian yang memimpin acara makan malam sederhana kali ini. Suasana hening, tanpa ada suara selain dentingan sendok dan garpu di atas piring. "Di mana Jasmine?" tanya Julian pada akhirnya. "Sedari tadi aku menunggu dia kembali. Aku bahkan memperlambat makanku agar putriku bisa bergabung," tukas Julian. Julian memandang kursi kosong di sisi Jenar. "Dia berpamitan denganmu, Jenar?" Jenar menoleh. Dia tidak jadi menyantap nasi goreng miliknya. Dengan ragu, Jenar menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Dia berpamitan pagi tadi."Julian manggut-manggut. "Katakan apa katanya, selain dia bersekolah dan pulang pergi les." Jenar tidak punya jawaban. Dia diam di tempatnya, sesekali melirik Julio yang tak acuh. Pemuda itu mulai terbiasa beraktivitas menggunakan tangan kirinya. "Kenapa diam saja?" tanya Julian. Jujur saja, Jenar sedikit was-was dengan pandangan suaminya itu. Julian banyak berubah setelah mereka menikah. Terkadang Julian menjadi pria yang hangat, manj
Jenar masuk ke dalam ruang bawah tanah. Ini adalah pertama kalinya dia menjelajah rumah mewah ini, dan langkah kakinya di bawa ke tempat asing seperti ini. "Wah, aku tidak tahu kalau ada ruang olahraga di di bawah rumah ini," tutur Jenar. "Pak Julian benar-benar di luar dugaan."Tak berselang lama dia melihat Jasmine keluar dari sebuah pintu kecil yang ada tak jauh di depannya. "Jasmine?" Jenar mempercepat langkah kakinya. "Ini sudah malam. Bukannya pakai baju tidur dan segera tidur, kenapa kamu malah pakai baju tinju seperti ini?" tanyanya. Jenar yang kalang kabut seorang diri. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya. "Kamu bisa tidur kalau mengantuk," sahut Jasmine dengan ketus. Dia melepaskan tangan Jenar yang menahan langkah kakinya. Jenar memandang Jasmine yang naik ke atas ring tinju. Jasmine begitu menikmati apa yang sedang dia lakukan. "Jasmine?" Jenar mendesaknya. "Aku tahu besok adalah akhir pekan dan kamu tidak perlu bersekolah. Namun, aku benar-benar tidak bi
"Lihat ke sini?" Jenar berusaha untuk menarik fokus Jasmine. Sesekali dia menarik dagu lancip Jasmine agar mereka saling memandang. Jasmine menggerutu. "Aku bisa mengobati lukaku sendiri." "Tidak ada bantahan kali ini!" Jenar mulai meninggikan nada bicaranya. Dia tak bisa tidur nyenyak jika belum memastikan Jasmine baik-baik saja. Jenar mulai mengambil kain basah untuk membersihkan luka Jasmine. Dia menatap sudut bibir Jasmine yang memerah, bekas tonjokan kuat dari Julian. "Lagian kenapa juga kamu harus bertengkar sama papa kamu?" Jenar terus aja mengutarakan pertanyaan yang sama. Dia sudah menanyakan itu tadi. Jasmine tidak memberi jawaban. Dia menoleh ke arah lain. "Kalau hanya karena uang jajan kamu kurang, kamu bisa minta padaku. Aku dapat uang bulanan yang berlebih, jadi kamu bisa memintanya." Jenar berucap. Suaranya dibuat begitu lembut agar tidak mengintimidasi Jasmine. Jenar tidak mau kalau dirinya malah menambah luka di hati Jasmine malam ini. "Kamu tidak perlu berteng
"Kamu membolos dan pergi ke mana?" tanya Julian lagi. Sekarang ini pandangan matanya benar-benar tidak ramah. Jenar mulai ketakutan dengan kemarahan Julian malam ini.Jenar masih ingat bagaimana Julian menendang tubuh Julio dan menonjok wajah Jasmine. Nyatanya, pria ini tidak benar-benar ramah seperti yang dia duga."Mas," ucap Jenar dengan lirih. "Biarkan dia beristirahat dulu dan aku juga yakin kamu lelah bekerja seharian.""Berhenti untuk ikut campur, Jenar!" Julian akhirnya mau menjawab kata-katanya. "Ini adalah urusanku dengan putriku. Aku yang akan mendidiknya dengan caraku."Julian menatap Jenar. "Selama ini aku sudah terlalu lunak padanya. Aku seharusnya tidak melakukan hal seperti itu. Dia menja
"Pada akhirnya kamu mengadukan aku sama papa?" Jasmine mendekati Jenar yang sedang menyiram tanaman. Dia memandang dengan tak suka, sisa kejadian kemarin malam. Jenar menatapnya. Dia hanya mengembangkan senyum yang begitu manis. "Jadi pada akhirnya kamu mulai menunjukkan sisi asli dalam dirimu?" tanya Jasmine lagi. Jasmine memendam amarah. Dia jengkel semalaman penuh. Jasmine mengerjap kasar. "Aku kira kamu akan memihak aku sesuai dengan janjimu. Namun, pada akhirnya kamu malah mengkhianatiku.""Kapan aku berjanji kalau aku akan memihakmu?" tanya Jenar. Jenar tertawa kecil menutup kalimatnya. "Aku rasa aku tidak pernah mengatakan itu sebelumnya."Jasmine berdecak. Amarahnya tidak bisa dia olah lagi. Jasmine sudah menunggu Papanya untuk berangkat kerja, meskipun ini adalah akhir pekan. Itulah Julian Liandra, si pekerja keras yang tak kenal lelah. "Lagian kenapa juga kamu selalu menentang papa kamu?" tanya Jenar. Dia meletakkan penyiram tanaman di sisi kakinya. "Dia berharap kamu me
Julio mengobati luka bakar Jenar dengan begitu hati-hati, seakan dia takut jika itu akan merusak kulit indah milik Jenar.Jenar sedari tadi tidak berani berkata-kata, Bahkan dia sesekali menahan napasnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan badai. Petir tidak menyambar-nyambar dan semua keadaan baik-baik saja. Namun, anehnya Julio berubah begitu drastis hanya dalam satu malam."Sudah selesai," kata Julio memecah keheningan. Pandangan matanya tertuju pada Jenar. "Sudah selesai," katanya lagi mengulang. Sepertinya Julio tahu Jenar gagap dan kikuk tiba-tiba.Jenar langsung menggeser posisi duduknya, sedikit menjauh dari Julio saat dirinya kembali mendapati Julio yang ketus dan dingin."Terimakasih," ujar
Luce menunggu di depan kantor Julian. Katanya, Julian sedang menemui seorang klien untuk urusan yang penting. Cukup lama dia menunggu, akhirnya mobil Julian terlihat menepi di sisi trotoar tak jatuh dari tempatnya menunggu. Anehnya, alih-alih kembali ke kantor di memilih berhenti di restoran Jepang di sisi jalanan.Luce keluar dari dalam mobilnya. Dia menyeberang jalan, menghampiri Julian. "Julian!" Luce mempercepat langkah kaki. Julian berhenti di ambang pintu masuk restoran. "Aku sudah menunggumu, tetapi kamu malah mampir ke sini," kekehnya. Luce memandang raut wajah Julian yang tak seperti biasanya. Luce mencoba menerka. "Kamu ... sedang ada masalah?" Julian menghela napas. "Aku belum makan siang. Aku lapar," sahut Julian seadanya. "Kamu mau makan siang bersamaku?" Julian tiba-tiba bersifat lunak padanya. Tak ketus seperti biasanya.Luce awalnya hanya terdiam, sesekali dia menatap keadaan sekitar. Seakan dirinya sedang memastikan, tidak ada yang melihat mereka. "Kalau tidak
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?