Mariani menutup panggilan suara di telepon. Meletakkannya dengan hati-hati, seakan takut jika seseorang mendengar dan mengetahuinya. "Habis dapat telepon dari siapa, Bi?" Suara Jenar menginterupsi kekosongan. "Kenapa nutupnya pelan-pelan gitu." Dia terkekeh. Berjalan masuk ke dalam rumah. "Bu Jenar sudah balik?" Mariani berusaha untuk bersikap wajar, meskipun dia sedang kalang kabut tertangkap basah. "Swalayan di depan sana tidak menjual yang aku cari," katanya. Tersenyum kecut, kecewa. "Jadi aku pulang saja." Mariani manggut-manggut. "Ngomong-ngomong gimana sama Jean?" tanyanya. "Dia siap berangkat sekolah?" tanyanya lagi. Mariani mengangguk. "Aku akan mengantarkannya sebentar lagi, Bu." Jenar menggelengkan kepalanya. "Biarkan aku yang antar," sahut Jenar. "Sekolahnya di perempatan jalan keluar dari komplek ini bukan?" Mariani ragu untuk menjawab dan menganggukkan kepalanya, karena m
Ini adalah pengalaman pertama untuk Jenar. Kehidupan pernikahannya langsung disambut dengan masalah yang jujur saja dia sendiri tidak yakin apakah dia bisa menanganinya, Julio. "Sekali lagi ini adalah peringatan yang terakhir yang diberikan pada Julio, Bu." Wanita tua di depannya mengembalikan kertas yang baru saja ditandatangani olehnya. "Jika hal serupa terjadi, maka kita akan mengeluarkan Julio," imbuhnya lagi. Jenar tersenyum seadanya. "Sekali lagi, aku benar-benar meminta maaf atas nama putraku, Bu." "Meminta maaflah juga pada keluarga saudara Martin. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit karena lukanya." Jenar mengangguk. "Tentu." ... Mereka keluar dari dalam ruangan, Julio berjalan terlebih dahulu yang kemudian diikuti Jenar. "Julio!" panggilnya. Untung saja lorong menuju bimbingan
Dia tersenyum aneh pada Jenar. "Kamu bahkan tidak tahu sebrengsek apa Pak Julian, tetapi malah menikah dengan dia."“Kalau begitu ajari aku untuk memahami ayah kamu!” Jenar menukas dengan tajam. “Kamu selalu berbicara kalimat yang sama, maka tunjukan solusinya.”Julio mendengus kesal. Dia sudah berusaha untuk menghentikan percakapan di antara mereka berdua.“Aku tidak mau dan aku tidak peduli.” Dia menyahut dengan ketus.“Lebih baik akhiri pernikahan kamu karena semuanya akan jadi, jauh lebih buruk nantinya,” sambung Julio. Dia hampir meninggalkan Jenar, tetapi Jenar masih ingin berbicara dengan dia.“Memangnya apa yang sudah dilakukan sama papa kamu, sampai kamu tidak menyukai dia begini?” Jenar memberi penekanan di dalam kalimatnya.“Dia merawat kamu dan dia membesar kamu. D
“Cappuccino less sugar!” Lamunan Jenar teralihkan oleh segelas cappuccino yang dia pesan. Sarah duduk di depan Jenar. “Kamu sudah kaya, kenapa datang ke tempat murahan tempat nongkrong anak muda begini?” Dia memprotes kedatangan Jenar. Jenar mengabaikan Sarah, dia memilih meminum cappuccino-nya. “Jenar!” Sarah menjentikkan jari di depan wajah Jenar. “Kamu sudah lupa dengan teman kamu yang miskin ini setelah menikah dengan Pak Julian?” Sarah menutup kalimat dengan senyum picik. “Kamu benar-benar tidak setia kawan.” “Julio berulah lagi,” sahut Jenar tiba-tiba. Dia menjauhkan sedotan dari depan bibirnya. “Aku baru saja mendatangi temannya itu.” Sarah mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?” “Julio bertengkar hebat dengan temannya. Sekarang temannya itu dirawat di rumah sakit karena tulang hidungnya retak.” Jenar menghela n
Luce meletakkan tanda terima dari pelunasan biaya rumah sakit dan perawatan yang diperlukan Martin.“Saya meminta maaf atas anak saya, Julio.” Luce menundukkan kepalanya sejenak. Tersenyum seadanya kemudian. “Saya datang mewakili Julio yang sedang ada keperluan di luar sana,” ujar Luce lagi.“Sekali lagi, saya mohon untuk Anda bisa memaafkan putraku.”Dari luar kamar rumah sakit, Jenar menatapnya.“Sekarang kamu tahu kenapa kamu tidak bisa menggantikan posisi Mama Luce?” Jasmine tiba-tiba saja menyela Jenar. Dia membuat pandangan mata mereka saling bertemu satu sama lain.“Kamu hanya mengeluh tanpa ada tindakan apapun, Jenar,” imbuhnya lagi.Jenar tidak mau membahasnya. Apa yang dilihat olehnya hari ini, sudah cukup memberi tamparan luar biasa.“Lalu kamu masih bisa berdiri sebagai ibu untuk kita?” Jasmine menukas lagi.Dia mendekati Jenar dan menghalang langkah kakinya untuk pergi dari sana.“Kamu bahkan kabur seperti pengecut,” timpalnya lagi. Senyum itu jelas-jelas meremehkan Jena
Jenar meletakkan secangkir teh di atas meja. Matanya memandang perawakan tubuh Luce yang jauh lebih tinggi dan besar dari dirinya.“Di minum tehnya, Nyonya Luce.” Jenar menawarkan dengan sopan padanya. “Aku mendapat informasi dari Bi Mariani kalau Nyonya Luce tidak menyukai minuman yang terlalu manis,” tuturnya dengan senyuman.Luce memutar tubuhnya dan tersenyum pada Jenar. “Kamu pandai memahami tamu.”Luce mendekati Jenar dan duduk di depannya. “Ngomong-ngomong, Julian belum pulang?” tanyanya lagi. Memandang suasana rumah.Jenar menggelengkan menggelengkan kepalanya. “Paling sebentar lagi,” jawab Jenar seadanya.Jenar merasakan canggung yang luar biasa di sini, baru kali ini, dia tidak bisa berbicara banyak. Pada dasarnya, dia sama sekali tidak mengenal Luce.“Ngomong-ngomong, bagaimana rasan
“Siapa ayah kandung Julio?” Jenar tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang. Hanya Julian yang dia harapkan mampu menjelaskan semua pertanyaan yang ada di dalam kepalanya.“Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga ini?” Jenar memaksa. Dia duduk di sisi Julian. “Aku butuh penjelasan darimu sebagai ibu sambung Julio sekaligus sebagai istrimu, Pak Julian.”Julian mengusap wajahnya dengan kasar. “Ceritanya panjang,” katanya menjawab seadanya. “Aku tidak ingin membahas itu karena pikiranku sedang kacau.”“Itu sebabnya kamu pulang dalam keadaan marah?” Jenar mengerutkan keningnya.Dia menggelengkan kepalanya kemudian. “Sebenarnya itu adalah ulahku,” ujar Jenar membuat pengakuan.Julian menatap sepasang mata Jenar. “Aku yang mendatangi keluarga Martin di rumah sakit untuk meminta maaf, tetapi mengancam akan menjebloskan Julio ke penjara jika aku tidak memberi uang ganti rugi,” tukasnya. Mata Jenar dipenuhi kekhawatiran.“Aku minta maaf karena aku tidak menjelaskan sejak ta
Julian tersenyum miring. “Kamu mirip sekali dengannya jika begini.”“Aku ingin menanyakan ....”Bugh! Julian menjejak Julio hingga jatuh tersungkur ke lantai. Jenar terkejut mendapati adegan itu di depan matanya sendiri.“Sudah berapa kali papa bilang untuk tidak memancing perhatian dan permasalahan?” Dia berkacak pinggang dengan tatapan penuh marah.“Hanya satu tahun, sampai papa bisa mengirim kamu ke luar negeri untuk menjalankan bisnis papa yang ada di sana!” Julio habis kesabarannya.Julio menyeringai. Dia bangkit perlahan-lahan sembari memegangi dadanya yang sesak. Kemeja biru mudanya kotor bekas jejak alas sepatu milik Julian.“Hampir membunuh Martin?” Julian tertawa gila. “Kamu serendah itu sampai tidak bisa menahan emosi kamu?”Jenar mendekati Julian. Na
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?