"Papa mengumpulkan kalian malam ini karena ada pengumuman yang penting." Julian memandang satu persatu anaknya. Julian berhenti pada Julio yang sibuk dengan ponsel di tempatnya. "Itu juga berlaku untuk kamu, Julio."Suara Julian menghentikan Julio. Pemuda itu menatap papanya. Julian lebih serius dari dugaan Julio. "Letakkan ponselmu." Julian berbicara dengan tegas. Dalam kalimatnya dia memberikan penekanan. "Papa harap kamu menghargai acara malam ini."Julian memandang Jenar. "Hargai juga mama kamu yang meluangkan waktu malam ini.""Bukankah seharusnya Papa yang menghargai kita?" Jasmine melipat tangannya di atas meja. "Aku ada ujian minggu depan. Kak Julio juga harus menyelesaikan projek skripsinya."Jasmine memicingkan mata. "Tidak ada yang tidak sibuk di sini.""Untuk itu dengarkan dan papa akan membiarkan kalian pergi setelah ini." Julio bersikeras. "Papa tidak akan lama."Tidak ada yang membantah lagi, Julian memulai pengumumannya."Jean akan bersama dengan Mama Luce selama sat
Julio memilih menepi. Julio tahu perdebatannya dengan Jenar tidak akan selesai. Kalau dipikir-pikir, Jenar akan keras kepala dengan pendiriannya. Untuk saat ini Jenar pasti ingin mempertahankan rumah tangganya."Kak Julio gak tidur?" Jasmine menyela heningnya malam. Dia datang menghampiri Julio yang duduk di belakang rumah. Julio memandangnya. "Teman kamu minta nomor aku?" Julio asal menebak, melihat dari sorot mata Jasmine yang menginginkan sesuatu darinya.Jasmine tertawa. "Jika pun mereka minta, gak akan aku kasih," jawabnya ketus. "Kecuali mereka membayar.""Uang saku dari Papa kurang?" kekeh Julio. Membiarkan adiknya duduk di sebelahnya. "Mau aku beri uang sakuku juga?" Jasmine hanya menatapnya. Mereka saling tersenyum satu sama lain. "Ngomong-ngomong tentang ayah kandungmu," seloroh Jasmine pelan. "Kamu tidak bertemu dengan dia lagi?""Dua minggu yang lalu. Dia berpamitan mau pergi ke luar kota." Julio menjawab seadanya, yang terpenting dia mengatakan apa adanya.Tidak ada al
Jenar tak yakin harus datang ke tempat ini. Akan tetapi, cemasnya menuntun langkah Jenar untuk mendatangi Sarah. "Kenapa tidak masuk?" Sarah datang dari arah berlawanan. Pertanyaannya tidak aneh, pintu terbuka lebar untuk Jenar masuk ke dalam rumah. Meskipun jarang datang kemari, tetapi persahabatan mereka melegalkan hal demikian. "Kamu habis jadi warung?" Jenar menatap barang bawaan Sarah. "Beli apa?"Sarah malah tertawa. "Kamu ditanya apa jawabnya apa." Dia mempersilahkan Jenar masuk tanpa kata-kata. Anggukan kepala dan tangannya sudah menyambut kedatangan Jenar.Chemistry keduanya sudah terjalin, Jenar tahu maksud Sarah."Tumben datang ke sini?" Sarah meletakkan belanjaannya di atas meja. "Tidak ada kerjaan di rumah?"Jenar menganggukkan kepalanya yakin. "Jean masih tinggal bersama mamanya. Minggu depan aku akan menjemputnya," ucap Jenar. "Kalau Julio dan Jasmine ...." Sekarang Jenar menaikkan kedua bahu. "Mereka sudah dewasa, aku tidak perlu tahu apa yang mereka lakukan."Sarah
Sarah masih terguncang dengan pengakuan Jenar hari ini. Sarah ingin memprotes sejadi-jadinya, mengatakan kalau benar tidak seharusnya bodoh seperti itu.Sayang sekali, Sarah terlalu menyayangi sahabatnya itu. Perasaan Jenar adalah sesuatu yang berharga untuknya. "Sarah?" Seseorang memanggilnya. Sarah yang baru saja ingin membuang sampah, harus dihentikan oleh kedatangannya. Wajahnya tak asing, dia ini adalah pesuruh Nyonya Luce. "Kenapa?" Sarah membalasnya malas. "Aku kira itu tidak ada hubungan lagi setelah aku menjalankan misiku.""Tugasku sudah selesai sesuai dengan kontrak perjanjian," ucap Sarah lagi. "Tidak perlu datang ke sini untuk memastikan apapun. Aku juga tidak akan membocorkan rahasia ini ke siapa pun."Sarah berdusta. Uang membuatnya melakukan kejahatan, tetapi rasa cintanya pada Jenar sebagai seorang sahabat membuatnya mengaku pada akhirnya.Lelaki itu memberikan sesuatu pada Sarah. Catatan dokter yang mengatakan ibu Sarah harus segera dioperasi. Sarah terkejut keti
Jenar tidak bisa mengalihkan pandangan matanya, pernak-pernik cantik di depannya menyita seluruh fokus Jenar. "Ah, haruskah aku beli salah satu?" Jenar bimbang pada dirinya sendiri. Bukannya Julian tidak memberikan uang saku padanya, Jenar bahkan bisa membeli seluruh pernak-pernik di dalam toko itu, tetapi dia masih sungkan membelanjakan uang Julian untuk keinginannya sendiri. "Mau aku belikan satu?" Julio tiba-tiba berdiri di samping Jenar. Seakan ikut memandang jajaran etalase dengan pernak-pernik yang begitu cantik.Jenar menoleh padanya. "Kamu kok ada di sini?""Aku tidak boleh ada di sini?" Julio tertawa. "Ini adalah tempat umum, siapa pun bisa ada di sini."Jenar menganggukkan kepalanya setuju. "Kamu benar juga. Pertanyaanku memang sedikit aneh.""Kamu dari kampus?" tanya Jenar lagi, dia berusaha membuat topik pembicaraan agar tidak monoton. Meskipun sebenarnya pertanyaan Jenar sangatlah monoton."Aku membolos hari ini," ucap Julio seadanya. Jenar langsung menoleh dan memand
"Aku ingin bicara sama kamu, Julian.""Ini penting sekali jadi, aku harap kamu mau datang dan menyempatkan waktu." Julian datang karena pesan itu. Dia tidak bisa mengabaikan Luce, setelah semua bantuan yang dikirim Luce untuk menopang perusahannya. "Katanya mau bicara?" Julian memulai. Menu makanan yang mereka pesan sudah datang semua, jadi tidak akan ada yang mengganggu pembicaraan mereka.Luce tidak benar-benar yakin mengatakan semua ini. Pada kenyataannya, dia sedikit ragu. Keputusannya tidak benar-benar mantap untuk dia lakukan. "Kenapa malah diam saja?" Julian mencoba untuk menebak apa kiranya yang akan menjadi topik pembicaraan mereka. "Bukan tentang bisnis?"Luce menggelengkan kepala. "Sebelum aku mengatakan itu, aku ingin bertanya sesuatu padamu."Julian manggut-manggut. "Katakan saja. Aku akan mendengarnya.""Belakangan ini apakah kamu melihat sesuatu yang aneh pada Julio?" Luce menatap Julian tanpa jeda. "Mungkin dia menunjukkan perilaku yang tidak biasanya."Julian menco
"Jangan menggodaku!" Jenar berusaha mendorong tubuh Julio agar menjauh darinya. "Aku bilang aku tidak nyaman kalau kamu begitu terus!" Jenar menggerutu habis-habisan sejak turun dari bus kota, sedangkan Julio tak mau berhenti untuk menempel padanya. "Kalau ada orang yang lihat, nanti mereka salah paham!" Jenar menggerutu lagi.Tetap keras kepala, Julio terus mengikuti kemanapun Jenar pergi. Hingga mereka tidak sadar, jikalau keduanya sudah berada di depan halaman rumah. "Julio!" "Bukankah ini hal yang mau jadi lakukan oleh ibu dan anak tirinya?" kekeh Julio. "Kita mencoba saling akrab satu sama lain, Jenar."Jenar mendesah panjang. "Kamu ini!" "Bukankah itu yang kamu mau sejak dulu?" Julio tertawa. "Sekarang ini aku hanya sedang mengabulkan permintaanmu saja."Jenar berhenti sejenak, sebelum akhirnya dia kembali melanjutkan langkah kaki. Jenar masuk ke dalam rumah. "Mas Julian?" Dia terkejut ketika Julian sudah berdiri di ambang pintu, tidak menyangka kalau suaminya akan pulang
"Papa tahu apa yang sudah kamu lakukan dengan Jenar.""Julio, Papa tidak akan menghukum kamu atau Jenar. Akan tetapi, Papa harus memisahkan kalian berdua.""Papa tidak bisa membiarkan kalian terus bersama, itu akan berdampak buruk pada keluarga kita.""Apa yang Papa takutkan? Papa takut aku akan tidur dengan Jenar lagi? Itu hanya kesalahan! Kita tidak akan mengulanginya lagi. Jenar juga tidak mau! Aku yakin itu!""Papa hanya takut ... jika Jenar menyukaimu."Julio berdiam diri. Dia memilih menepi dari orang-orang di rumahnya. Julio sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun malam ini. Dia berharap semua orang memahaminya. Sayangnya, tidak untuk Jasmine. Dia mendapati Julio sendirian di taman belakang rumah. "Kakak nggak masuk?" tanya Jasmine mendekatinya. Julio mendongak. "Pergi saja, jangan ganggu aku." Dia menolak kedatangan Jasmine mentah-mentah. "Aku sedang tidak mau diganggu."Bukan Jasmine kalau menurut begitu saja pada Julio. Julio mengerutkan dahi ketika melihat Jasmine m
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?