Waktu menunjukkan pukul enam sore. Pak Guruh terjaga sesaat dalam lelap tidurnya setelah ia merasakan sekelilingnya bergetar pelan, kelopak matanya terangkat seketika.
Getaran itu mampu ia rasakan akibat suara azan yang menggema di mana-mana dari segala penjuru walaupun pendengarannya tidak berfungsi. Nampaknya Tuhan masih menyayanginya.Suasana hari menjelang petang mampu merasuk ke dalam relung jiwanya, sepi dan misterius, seolah hal itu memang sudah biasa terjadi, perasaan itu membuat hatinya campur aduk. Namun, kini ada hal aneh dan baru kali ini dirasakannya.Pengelihatannya gelap seolah tak ada cahaya apa pun yang bisa ditangkap matanya, jikalau memang mati lampu, harusnya ia masih bisa melihat cahaya dari luar kamar tidurnya. Tapi hal itu tidak terjadi, pandangannya benar-benar gelap.Lisannya berusaha memanggil-manggil sang anak, Sakti. Tapi tentu saja hal itu tak bisa ia lakukan karena kemampuannya untuk bicara pun sudah hilang.Air mata perlahan menetes dari sudut mata Pak Guruh, ia menangis, dengan panik berusaha meraba-raba sekelilingnya, ia tak mampu merasakan apa pun.Tangannya berkali-kali menyeka kelopak matanya, namun tak ada perubahan apa pun. Semuanya hitam.Dalam kegelapan itu Pak Guruh merasa sangat tersiksa, ketakutan yang dahsyat menjalar dalam tubuhnya dan mengacaukan pikirannya. Mulai terbayangkan masa-masa buruk yang akan terjadi di kemudian hari jikalau keadaan seperti ini berlangsung terus-menerus. Kenangannya mulai berkelebat tak menentu di balik kelopak matanya itu.Perlahan, pengelihatan Pak Guruh pun sirna.Sementara itu, Sakti sedang dalam perjalanan pulang sehabis bercinta dengan Rosa. Ia pergi begitu saja setelah merasa jika hasratnya sudah terpenuhi, meninggalkan Rosa yang sedang tidur pulas di kamarnya sendirian dalam keadaan tak berbusana.Dalam perjalanan pulang itu, Sakti membeli beberapa makanan untuk makan malam. Waktunya tidak cukup jika harus meladeni setiap permintaan ayahnya. Ia hanya menuruti beberapa keinginan ayahnya yang paling pokok. Hari ini, waktunya habis untuk mengencani Rosa.Dalam benaknya, Sakti berpikir bahwa hari-harinya pasti akan sangat berwarna jika bisa melakukan 'hal itu' setiap hari. Membendung birahinya membuat pikiran Sakti terbelenggu, tapi ia tidak berminat untuk menikahi perempuan rusak seperti Rosa.Walaupun jauh dalam hatinya, ada kemungkinan Sakti memang mencintai Rosa, karena tiap kali ia habis bercinta dengannya, mood Sakti membaik dengan sangat drastis, sensasi ini tidak pernah ia rasakan dengan perempuan manapun.Terlebih lagi untuk hari ini, mood-nya benar-benar serasa didongkrak melebihi ekspektasinya, perasaan bahagia itu seperti memang datang akibat dirinya bercinta dengan Rosa, beban pikirannya mengenai sang ayah seketika mereda akibat belaian Rosa yang penuh gairah itu.Saat memikirkannya, Sakti sempat berpikir untuk kembali menuju kediaman Rosa. Hanya saja, jarak menuju rumahnya sudah lebih dekat daripada kediaman Rosa.Sakti segera mempercepat laju motornya, memantapkan hatinya untuk kembali ke rumah. Toh perempuan seperti Rosa pasti akan selalu ada waktu untuk meladeninya kapan pun saat ia mau.Akhirnya, Sakti sudah sampai di rumah.Saat memasuki kamar ayahnya, Sakti terkejut karena melihat ayahnya dalam posisi tidur yang tidak lazim, lebih lagi ayahnya itu seperti habis terjatuh dari ranjang tidurnya.Sakti segera menghampiri ayahnya itu, membopongnya dengan sigap, membaringkannya di atas ranjang dan menghamparkan selimut di atas tubuh sang ayah.Keadaan ayahnya itu membuat Sakti kebingungan, pandangannya tertuju pada mata Pak Guruh yang terbelalak melotot tapi seperti tidak menyadari kehadirannya."Pah!!" Sakti berteriak seraya mengayunkan tangannya di depan mata Pak Guruh, dan benar saja, tidak ada reaksi apa pun. Tatapannya kosong.Ayahnya bagaikan seonggok gedebong pisang, diam terpaku tanpa adanya reaksi.Hal itu membuat Sakti panik, ia mengguncang tubuh ayahnya itu sambil memanggil-manggil ayahnya, "Pah!! Papah!!"Perlahan namun pasti, isak tangis mulai terdengar, tapi itu adalah suara tangisan Sakti yang sedang putus asa. Terbersit niatnya untuk memanggil Abah Karsa yang sepertinya lebih tahu masalah ini.Saat hendak melangkah untuk pergi ke rumah Abah Karsa, kaki Sakti terantuk sesuatu. Sebuah buku tertendang pelan hingga menarik perhatiannya.Sakti mengambil buku itu dan mulai membuka-buka tiap halaman yang terkandung di dalamnya. Itu adalah tulisan ayahnya sendiri mengenai masa lalunya.Beberapa halaman awal ia baca dengan seksama, benaknya terbawa menuju imajinasi yang digambarkan oleh tulisan ayahnya tersebut. Seraya pikirannya melayang hanyut dalam kisah ayahnya yang terkandung dalam buku itu, Sakti memandang tubuh ayahnya yang terbaring di atas kasur dengan tatapan penuh rasa penasaran.Tak percaya jika ayahnya dulu sebobrok ini.Di rumah Rosa, seorang wanita berusia pertengahan dua puluhan memasuki kamar Rosa dengan brutal. Ia menendang pintu kamar, membuat keributan, hingga menggugah Rosa yang sedang lelap tertidur."Dasar perempuan murahan!" Hardik perempuan brutal itu.Rosa langsung terkesiap, terbangun disertai rasa kaget. Ia beberapa kali mengusap muka untuk memberikan pengelihatan lebih jelas akan siapa yang datang mengganggu.Belum sempat Rosa mengumpulkan konsentrasinya, perempuan brutal itu melempar-lemparkan pakaian Rosa ke arah wajah sambil membentak."G*blok! Dibilangin masih gak ngerti juga, hah!" Hardikan perempuan brutal itu semakin menjadi.Rosa menanggapinya dengan santai, "Ah, kamu lagi, kamu lagi.""Harus gimana lagi sih biar ngerti kalo kamu gak boleh ng*we!! Yang terancam bukan cuma kamu entar!" Teriak perempuan brutal itu sambil terus saja melempar-lempar pakaian Rosa yang tercecer, setelah pakaian itu sudah habis ia lempar semua, kini sepatu hak tinggi miliknya yang dilemparkan.Sepatu itu berhasil mengenai muka Rosa, ia memekik kesakitan, "Aw!""Bilang aja kalo iri!" Lanjut Rosa lagi.Kemarahan perempuan brutal itu kembali tersulut, ia berjalan dengan buru-buru mendekat ke arah Rosa yang masih berada di atas kasurnya sambil berusaha sembunyi di balik selimut.Tanpa keraguan apa pun, perempuan galak itu mengangkat ranjang tidur Rosa dan membalikkannya dengan kasar. Seketika itu juga Rosa ikut jatuh ke samping dan tertimpa ranjang miliknya sendiri.Rosa memekik kesakitan, "Aduh!"Masih belum puas, perempuan itu melompat ke atas ranjang yang sudah dalam posisi terbalik, ia menginjak-nginjak kasur yang menimpa Rosa."Rasain, nih!!" Teriak perempuan itu dengan sekuat tenaga menginjak-nginjak kasur tersebut, berharap Rosa kapok.Terdengar suara Rosa mengerang, memohon ampun agar perempuan gila itu berhenti menyiksanya. Namun suara Rosa teredam oleh tebalnya busa kasur yang menekannya.Tak lama kemudian, Rosa mulai jengah dengan perilaku perempuan gila tersebut. Ia segera berusaha untuk bangkit memberikan perlawanan.Rosa berhasil menembus kasur busanya, tenaganya itu mampu merobek kasurnya hingga ia terbebas. Bahkan kayu dipan yang menghalangi kasur tersebut berhasil dipatahkan dengan mudahnya.Kemudian, Rosa segera menjambak rambut perempuan brutal yang menyiksanya itu, lalu membantingkan tubuh mereka berdua ke lantai. Busa kasur yang tersobek berhamburan ke segala arah.Mereka berdua sama-sama memekik histeris."Aduh!" Jerit perempuan brutal itu kesakitan, ia pun segera menjambak rambut Rosa dan mengguncang-guncangnya tanpa ampun, sambil menendang-nendangakan kakinya sembarangan seraya bergelimpangan di lantai.Tendangan itu beberapa kali mengenai perut Rosa, segera saja dibalas kembali dengan tendangan pula.Tapi perempuan itu lebih gesit, ia menggulingkan badannya sambil menghempaskan tubuh Rosa ke belakang, Rosa terbanting, kepalanya membentur tembok."Aw! ..." Rosa memekik kesakitan, sambil memegang kepalanya, ia kembali meledek perempuan gila itu. "... Bilang aja kamu iri karena gak bisa bebas nge*e, kan!""B*ngsat! Harusnya kamu bisa jaga kehormatan, kita ini dewi! Harusnya kita jadi jodoh keturunan para raja terdahulu!!" Teriak perempuan itu, kini sudah tak ada lagi nada kemarahan di setiap ucapannya."Cih! Kelamaan! Mending sama Sakti aja, enak punya dia lebih gede." Rosa kembali menyerocos tak menentu, membuat perempuan brutal itu kembali emosi.Dengan disertai kemarahan, perempuan itu berjalan ke arah Rosa, suara kakinya terdengar ganas siap menerkam Rosa yang sudah terpojok."Gara-gara kelakuan kamu, lihat tuh aura dewi punyamu berkurang!" Perempuan itu dengan cepat menampar pipi kanan Rosa sekuat tenaga."Gak peduli sama yang kayak gitu lagi! Aw!" Rosa berusaha bertahan terhadap tamparan yang mendarat di wajahnya.Tamparan lain segera menyusul, terdengar suara antara tangan perempuan itu dan pipi Rosa."Plaak!" Kali ini tamparan itu berhasil membuat Rosa tak sadarkan diri. Perkelahian telah berakhir."Hufft!" Perempuan itu menghela napas lega setelah berhasil membuat Rosa pingsan.Tak lama, beberapa perempuan lain datang memasuki kamar Rosa yang berantakan itu. Salah satu di antara mereka bergumam, "Loh, katanya janji gak maen kasar lagi."Perempuan brutal yang membuat Rosa pingsan hanya tersenyum kecut mendengar hal itu. Sambil menyerahkan ponsel milik Rosa, perempuan itu berkata, "Lihat, Kak! Orang ini nih biang keroknya!"Terlihatlah foto Sakti di layar ponsel itu. Bahaya kini mengintainya.Pak Karsa sedang sibuk mencari-cari buku yang dibawa dari rumah Pak Guruh, ia bahkan kelupaan bahwa buku itu sebenarnya justru tertinggal."Ditaruh di mana ya, asem tenan!" Gerutunya tanpa henti.Sementara tangannya masih bergerak sibuk untuk memeriksa keberadaan buku tersebut, suara pintu terdengar diketuk dari luar."Abah, punten...!" Abah Karsa terkejut mendengar suara yang sudah ia kenal, yaitu Sakti."Ada apa gelap-gelap begini, Cah, apa bapak kumat?" Teriak Abah Karsa dari dalam rumah.Tak ada jawaban, namun suara ketukan pintu semakin keras.Abah Karsa merasakan kepanikan terdengar dari suara ketukan pintu itu, sepertinya memang terjadi sesuatu hingga membutuhkan dirinya saat ini. Ia segera cepat-cepat menuju ke arah pintu lalu membukanya.Terlihat wajah Sakti menghitam terkena bayangan cahaya lampu, Sakti menyodorkan sebuah buku yang selama ini sedang dicari Abah Karsa."Asem!" Jerit Abah Karsa dalam hati, ternyata buku itu sudah ada di tangan Sakti."Ini apa toh, Bah!?" Suara
Rasa penasaran Guruh terhadap para saudari istrinya semakin menjadi, ia merasakan dorongan itu semakin kuat dan sulit sekali ditahan-tahan lagi. Entah kenapa perasaan terhadap istrinya, Asih, malah kian hambar.Dimulailah akal-akalan Guruh demi mendekati salah satu saudari sang istri yang paling disukainya, yaitu Safiah. Dengan meletakkan sejumlah uang yang diikat lalu dimasukkan ke dalam tas milik Safiah, Guruh mengaku kalau ia kehilangan uang itu.Seisi rumah gempar dengan berita hilangnya uang yang dimaksud, apalagi jumlahnya tidaklah kecil. Guruh membujuk Asih untuk menggeledah setiap barang bawaan para saudarinya itu.Merasa tersinggung, Asih merasa perlu untuk membela para saudarinya. Ia hendak mengganti setiap lembar uang yang hilang itu."Beraninya! Biar kuganti uangmu!" Ucap Asih sambil menahan emosi.Walaupun Guruh merasa tak lagi cinta dengan istrinya, tapi kemarahan Asih membuatnya khawatir. Untungnya para saudari Asih mengerti situasi itu dan mengizinkan Guruh untuk mengg
Guruh menyaksikan kegilaan yang sedang terjadi di dapur, ayahnya sedang melakukan hal kotor terhadap Safiah. Sesaat tatapannya membeku.Terlihatlah aura sayap misterius yang berada di belakang Safiah, mulai tersedot ke arah Pak Bahja. Jelaslah Guruh paham dengan situasi yang terjadi.Guruh memalingkan wajahnya kepada sosok lain yang tersandar lemah di pojokan, Kemala, ia terlihat rapuh, pelan-pelan wajahnya berpaling ke arah di mana Guruh sedang terpaku menatapnya, matanya berkedip perlahan, sebagai ganti permintaan tolong yang tak bisa terucapkan.Reaksi wajah Pak Bahja yang kaget melihat Guruh memergokinya, justru tetap bergerak santai seolah tak terjadi apa pun. Tapi matanya menggambarkan kekhawatiran yang sangat. Menelisik respon anaknya dengan hati-hati.Ia pikir, untunglah hasratnya telah tersalurkan. Ia merelakan tubuh Safiah dan membiarkannya tergeletak begitu saja, walaupun sebenarnya hasrat terlarangnya masih ingin ia lampiaskan lagi, tapi kini ada urusan yang lebih mendesak
Suasana di dapur masih berantakan, Guruh tidak mampu menghentikan Pak Bahja. Kini ia sudah terkapar tak sadarkan diri. Perkelahian keduanya berakhir dengan keleluasaan Pak Bahja untuk mengatasi keadaan dapur sebelum Asih kembali. Keterampilan Pak Bahja dalam urusan mempertahankan diri dan menyakiti orang lain berada di atas Guruh, ditambah lagi, Pak Bahja pemegang salah satu Pusaka Iblis yang ia dapat dari Abah Karsa. Guruh juga memegang pusaka sejenis, bedanya adalah, Pak Bahja sudah lebih dulu menyadari potensi pusaka tersebut daripada Guruh. Di sela-sela perkelahian sebelum Guruh pingsan, Pusaka Iblis milik Pak Bahja bereaksi karena di sana ada kekuatan beberapa dewi, setelah Guruh datang, reaksi pusaka tersebut semakin tidak menentu karena ada dua Pusaka Iblis yang bersitegang. Energi dari pusaka itu mampu mempengaruhi isi kepala orang-orang di sekitarnya, terutama Pak Bahja, kekuatan manipulasi merasuk dalam benaknya, menghasut Guruh untuk sama-sama melakukan kebejatan yang dil
Isak tangis Asih terdengar hilang perlahan-lahan, kepanikannya sudah sedikit mereda. Walaupun begitu, ia masih tetap berusaha mencerna kejadian itu dengan susah payah.“Aku akan membalas lelaki jahat itu, sampai akhir hayatnya tiba.” Suara Nafika bergetar penuh kemarahan.Asih melepaskan tubuh Nafika dari dekapannya, ia hanya bisa mengangguk pelan, tak bisa lagi mengelak atas kesalahan mertuanya. Bahkan kalau perlu, suaminya pun pantas dihukum juga. Dari sudut pandangnya, Guruh pun memiliki itikad yang sama buruk dengan Pak Bahja. Lewat Aura Dewi yang kembali kepada Asih, semuanya terlihat bak memori yang tak akan bisa dihapus.Nafika terbangun dari posisi duduknya, memulihkan diri dari setiap goresan lukanya yang tersisa, lalu ia menjulurkan tangannya ke arah gundukan-gundukan tanah yang ada di hadapannya.Seketika itu juga tanah merekah, terbuka lebar, jasad yang ada di dalamnya terbangun. Safiah dan Kemala terlihat bangkit dari dalam tanah
Sakti baru saja membaca beberapa bagian isi buku harian milik ayahnya, sesekali ia bertanya pada Abah Karsa tentang kejadian yang menurutnya di luar nalar tersebut.Terutama di bagian saat kakek yang ia kenal ternyata tidak seperti yang diduganya. Pertanyaan lainnya yang dilontarkan oleh Sakti adalah kenapa rahasia besar seperti ini tidak ada yang cerita.Walaupun Sakti tidak terlalu dekat dengan kakeknya, tapi ia sangat prihatin dengan keadaan kakeknya yang juga menderita karena penyakit tertentu. Apalagi saat di mana istri-istri kakek mulai meninggalkannya dengan menggasak harta benda yang jumlahnya tak sedikit. Kecuali istri pertamanya yang senantiasa menemani.Sudah jatuh tertimpa tangga pula.Pada saat itu, Abah Karsa sering mendatangi kediaman kakeknya Sakti, yaitu Pak Bahja, untuk memberikan pengobatan tertentu. Sampai akhirnya Pak Bahja tidak tertolong lagi, ia meninggal saat Sakti berusia lima tahun. Dalam kondisi yang membuat siapa pun ber
Berubahnya suasana yang dialami Rosa terjadi begitu cepat, walaupun Rosa tahu bahwa ia sedang berada dalam ilusi saudarinya, tapi suasana di sekitarnya begitu terasa sangat nyata, seolah benar terjadi.Cahaya matahari memancar ke arah mata Rosa, silau, matanya tak bisa ia biarkan lama-lama menatap langit.Jiwa Rosa sedang terjebak di dalam dewi yang hendak dihukum mati.Di depannya, algojo sedang menunggu perintah. Sepertinya orang tampan di sebelahnya itulah yang memegang kendali.“Oh..,” gumam lelaki tampan itu. “…katanya kau perlu bicara sesuatu?” Lanjutnya lagi. Pandangan lelaki itu seolah sedang menunggu Rosa bicara.“Bukan a…” belum selesai Rosa bicara, lelaki itu menyelanya.“Baiklah, hukum dia!” Ucap lelaki itu, diikuti dengan algojo yang seketika itu juga bersiap mengayunkan pedang.Suasana penonton semakin riuh, “Hukum! Hukum! Hukum dia!”&ldquo
Rosa masih belum tersadar dari ilusi yang diberikan oleh saudarinya, yaitu Malea. Saudari Rosa yang lain, Anggi, mulai sedikit khawatir.Bahkan, Malea sendiri tidak menduga kalau Rosa tetap tak sadarkan diri, padahal kekuatannya sudah ia hentikan beberapa saat lalu.“Kenapa belum sadar juga?” Anggi bertanya.Dengan wajah khawatir, Malea sedikit gelagapan, “Ti, tidak tahu, terawanganku hanya sampai para dewi kembali ke Suarga. Ha, harusnya Rosa sudah sadar.”Anggi menghampiri tubuh Rosa yang masih belum terbangun, ia menepuk-nepuk pipi Rosa perlahan. “Rosa! Rosa! Sadarlah!”Rosa masih tetap tak sadarkan diri.Para saudari Rosa hanya bisa saling menatap, apakah mereka sudah melakukan hal buruk? Gumam masing-masing dari mereka dalam hati.Mungkin saja pertanyaan itu ada benarnya. Karena dalam bawah sadar Rosa yang masih merasuki tubuh Anggana, dan juga pengaruh ilusi milik Malea, menghasilkan kombinasi
Sakti berlari kencang menerobos dedaunan dan rumput liar ke dalam hutan sambil menggendong Nafika, kakinya bergerak cepat namun tak tentu arah.Nafika setengah panik, tak menyangka kalau ia akan dibawa kabur oleh Sakti. Karena situasi genting dan tak terduga, Nafika berusaha untuk menahan diri serta tetap tenang karena tidak ada pilihan lain lagi.Saat dirasa sudah cukup aman, Nafika menepuk-nepuk pundak Sakti, memberi isyarat agar berhenti berlari.Sakti akhirnya menghentikan pelariannya, ia menurunkan Nafika ke tanah, sambil melihat kesana-kemari memastikan situasi benar-benar aman.Sakti terlihat kebingungan, ia berusaha untuk mengucapkan kata-kata namun yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan tak lazim. Sepertinya ia melupakan banyak hal setelah bangkit dari kematiannya.Nafika tentu paham dengan keadaan tersebut, Sakti sudah tiada pada saat itu, kondisi ini membuat Sakti butuh waktu untuk kembali beradaptasi dengan kehidupan yang dijalaninya.Nafika segera memberikan penyembuha
Sudah hampir seminggu sejak Sakti menghilang, ia ditolong oleh seorang wanita yang tinggal di sebuah hutan yang secara kebetulan menemukan jasad Sakti tersangkut di sungai.Wanita itu melihat perubahan tubuh Sakti yang semakin memburuk, seolah sedang membusuk perlahan.“Ayo kamu pasti bisa, Nak! Bisa!” Wanita itu komat-kamit tidak jelas, di depan jasad Sakti yang terlihat tak lagi segar, sepertinya ia sedang melakukan sesuatu terhadap jasad Sakti yang tak bernyawa.Sorot mata wanita itu menunjukan kekecewaan, “Hm sepertinya memang harus dikubur dulu, ya.”Akhirnya wanita itu membawa sebuah balok kayu tajam, kemudian ia menggali tanah tak jauh dari tempat jasad Sakti terbaring menggunakan balok kayu itu.Sambil menggerutu tak jelas, wanita itu terus saja menggali dan menggali, sedikit demi sedikit tanahnya berhasil dikeruk balok kayu itu. Entah sampai sedalam apa wanita itu akan menggali, semuanya dilakukan tanpa diketahui ol
Dinginnya air sungai dan arusnya yang deras menghanyutkan jasad Sakti mengikuti ke manapun jalurnya akan berakhir. Gelapnya malam membuat jasad itu semakin tersembunyi, terombang-ambing tak menentu meunggu takdir yang akan menyapanya.Jasad itu tak bernyawa, selama beberapa jam ini sudah menempuh jarak cukup jauh dari lokasi awal diceburkannya jasad Sakti oleh seseorang.Sampai akhirnya, jasad Sakti tersangkut sesuatu. Dan dari balik rindangnya pepohonan, seseorang mengawasinya lekat-lekat, tahu kalau jasad itu adalah seseorang, bukan jasad hewan liar seperti biasanya, orang itu akhirnya keluar dari persembunyiannya, terlihatlah sesosok wanita dengan rambut yang agak berantakan berjalan tergesa-gesa ke arah di mana jasad Sakti tersangkut.“Malang nian nasibmu,” ucap wanita itu. Ia dengan susah payah mencoba menarik jasad Sakti sekuatnya. Menceburkan badannya sendiri ke sungai itu, lalu mengikat jasad Sakti dengan seutas tali yang ia simpan di balik pakaiannya.Setelah yakin tali itu m
Keadaan Pak Guruh tiba-tiba memburuk hingga membuat Abah Karsa ketakutan, memang sudah beberapa hari ini keadaan cukup membuat Abah Karsa kalut karena Sakti tak kunjung pulang ke rumah.Pak Guruh meronta-ronta dengan ganas, terlihat mulutnya mencoba untuk mengatakan sesuatu namun tentu saja tak bisa. Abah Karsa menganggap memang terjadi sesuatu, kecurigaannya mengarah kepada Sakti yang baru-baru ini memakai Pusaka Iblis Pemikat miliknya, atau memang sudah waktu bagi Pak Guruh untuk mengikhlaskan kehidupan ini.“Ada apa ini Ruh, yang kuat. Anakmu sebentar lagi pasti pulang.” Abah Karsa mencoba menenangkan Pak Guruh, tapi sepertinya tidak berhasil, amukan Pak Guruh semakin menjadi.Abah Karsa hanya melihat air mata Pak Guruh menetes, terlihat begitu menyakitkan baginya karena keadaan itu tidak akan terbayangkan oleh seseorang pun.Abah Karsa mencoba sebuah ritual yang dipahaminya untuk menenangkan Pak Guruh, ia mengerahkan segala ilmu yang dipelajarinya selama ini tanpa ragu-ragu agar k
Sudah tiga hari ini Malea berusaha menembus ingatan Anggi demi mencari keberadaan seorang Dewi Penyembuh yang dibutuhkannya, namun petunjuk yang didapat masih belum cukup.Mahendra, suami Anggi, sudah beberapa kali mendatangkan dokter-dokter hebat untuk penanganan sementara, menyembuhkan efek samping yang terjadi pada tubuhnya akibat luka batin itu.“Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, asal jangan telat makan, ya. Dan obatnya juga.” Begitulah kata para dokter yang memeriksa Anggi.Walaupun Mahendra tahu para dokter itu tidak bisa menyembuhkan Anggi sepenuhnya, namun tanpa bantuan mereka, kondisi fisik Anggi semakin memprihatinkan, dalam tiga hari saja tubuh Anggi sudah terlihat menyusut.“Bagaimana ini? Apa yang bisa kulakukan untuknya??” Ucap Mahendra dengan nada khawatir.Malea dan Rubi hanya bisa terdiam. Mereka mencoba menenangkan Mahendra.“Pah, mamah kenapa?” Anak Anggi bertanya tiba-tiba. Semuan
Sakti sudah berada di tempat kerjanya, ia sibuk menemani salah satu penanggung jawab sebuah perusahaan produsen suku cadang kendaraan berat. Orang itu menggunakan jasa perusahaan ekspor impor tempat Sakti bekerja dan kini sebuah proses pengiriman sedang bermasalah.Dalam waktu kurang dari dua puluh menit, Sakti sudah membuat presentasi baru tentang kenapa pengiriman tersebut bermasalah, dan bagaimana solusinya.Sebuah rapat telah diadakan antara Sakti, atasannya, dan juga kedua pihak penanggung jawab masing-masing perusahaan.Selama rapat itu, Bram, selaku penanggung jawab perusahaan suku cadang kendaraan berat, tidak habis-habisnya memperhatikan Sakti di ruang rapat. Urusan masalah perusahaannya justeru tidak disimak baik-baik.“…Itulah hal yang bisa kita lakukan, Pak Bram. Betul begitu, Pak Wendy?” Sakti menjelaskan presentasinya, ia memastikan teorinya dengan rekannya yang lain selaku penanggung jawab perusahaan ekspor impor ini.
Bram berusaha untuk bangkit dari tidurnya tanpa harus menggugah Ramona yang masih pulas tertidur, semalaman ia mencumbu istrinya itu dan tentulah mereka akan bangun kesiangan karena kelelahan.Kepala Ramona yang masih menyandar di bahu Bram, kini berusaha melesak masuk di antara himpitan ketiak suaminya itu, mencoba untuk menghalau Bram agar tidak segera pergi.Bram mengangkat bahunya perlahan, berusaha melepaskan kepala Ramona yang menindihnya, lalu ia merapikan posisi kepala istrinya agar tidak terlalu jauh dari bantal tidur. Pelan-pelan Bram meninggalkan kamarnya.Ramona tetap nyenyak tertidur namun insting dan panca indranya tetap bekerja, tak lama, ia mencium aroma kopi dan mentega yang menggugah seleranya, kemudian ia berusaha untuk bangun.Terlihatlah sebuah nampan berisi roti lapis cokelat dan secangkir kopi, salah satu menu favoritnya untuk sarapan. Di hadapan Ramona, Bram terlihat sedang menunggu, pakaiannya sudah rapih dan siap untuk pergi bekerja.“Ee, Ayah mau dibikinin s
Malea memperhatikan tiap detail apa saja yang terjadi di antara adiknya, Rosa, dan juga Sakti. Terawangannya mungkin tak sehebat Anggi, namun cukup jelas baginya untuk menilai seberapa intimnya mereka berdua yang sedang dalam pengawasannya. Pergumulan malam itu berakhir tidak sesuai harapan Malea, Rosa dan Sakti malah bercinta di halaman rumah kosong dengan beralaskan tumpukan daun kering. Suara daun berserakan mengiringi tiap desahan dan gejolak birahi mereka. Bajingan benar lelaki ini, pikir Malea. Sudah enak merudapaksa Ramona, kini malah menggauli adiknya yang lain pula. Malea segera memutuskan kontak batin pengelihatannya itu setelah mendapati Sakti diam-diam melepas pengaman dari miliknya tanpa sepengetahuan Rosa dan mulai mencumbu Rosa bagaikan anjing yang sedang kelaparan. Sakti mendorong-dorong pinggulnya hingga Rosa merasakan kejantanan Sakti semakin melesak menjelajahi kewanitaannya. Malea merasakan jijik. Ia tak tahan melihat seberapa murahannya Rosa. Sementara itu, S
Sakti merasakan hebatnya sensasi saat ia menyerap dua jenis Aura Dewi yang berbeda, Abah Karsa yang secara tak langsung melihat keseluruhan proses itu, hanya bisa mengira-ngira apa yang sedang terjadi, tetapi secara perlahan tetap bisa merasakan ada sesuatu yang beda atas diri Sakti. Sebuah daya tarik dan energi aneh tertentu.“Ini yakin boleh dipake, Bah?” Tanya Sakti seraya menunjuk kalungnya.“Tentu saja, Cah Bagus, tapi pergunakan dengan bijak, jangan sampai nanti seperti bapakmu.” Lagi-lagi Abah Karsa mewanti-wanti perihal efek samping penggunaan pusaka miliknya.Sakti hanya bisa mengangguk, badannya yang dirasa penat karena seharian mengalami kejadian di luar nalar seolah menjerit meminta dibersihkan, Sakti segera bangun dari duduk silanya, lalu ia beranjak ke kamar mandi.Tak lama kemudian.“Abah tolong jagain bapak, ya.” Ucap Sakti dari dalam kamar mandi, mulai terdengar suara ceburan air memecah keheningan.Dinginnya air mengguyur tubuh Sakti, indera perasanya semakin tajam m