Aku menangis sejadinya, tak menyangka ternyata Egi dan Mas Dimas menjalin hubungan. Aku menangis dan meraung-raung hingga rasanya dada ini terasa sesak. Rasanya aku kesulitan bernafas dan hendak berteriak sekerasnya. Namun suara itu hanya tercekat di tenggorokan. “Sayang... Sayang... Naya... !!“Sayup-sayup aku mendengar suara Mas Dimas dan aku merasa ada yang menepuk-nepuk pipiku. Aku membuka mata perlahan dan melihat ada Mas Dimas yang terlihat sangat Khawatir di depan wajahku. “Naya kamu mimpi, bangun, kamu udah bangun kan?? “ tanya Mas Dimas lagi. Aku mengangguk dalam kebingungan. Melihat ke kiri dan ke kanan. Ternyata aku tidur di atas sofa di ruang TV. “Egi mana? “ tanyaku sambil mengusap sisa air mata di pipi. “Egi? Tak ada Egi di rumah ini, kamu pulang kerja, terus tiba-tiba kamu tertidur di sini. Saat aku sedang mandi tiba-tiba kamu teriak dan Nangis-nangis,” Jawab Mas Dimas menjelaskan. “Benaran?? “ tanyaku. “Iya, aku sampai kaget lho. kamu mimpi apa? Kok sampai segit
Aku tiba di depan rumah Egi yang tampak sunyi, namun ada mobil Mas Dimas di depan rumah itu. Untuk apa Mas Dimas berkunjung ke rumah Egi? Apa yang mereka lakukan? Bermain game? Atau... Gegas aku turun dari mobil, aku merasa kakiku tak berpijak di tanah, tubuhku gemetaran dan tanganku dingin. Aku mengatur nafas dan berusaha untuk tenang. Kemudian masuk ke rumah Egi, kebetulan pintu rumahnya tak dikunci. Aku masih berharap mereka hanya sekedar bermain game sambil makan kuaci atau hanya sekedar bercengkerama sambil merokok. Pintu utama terbuka, aku menutup nya kembali dengan perlahan. Aku menuju ruangan tengah, tak ada siapa pun. Rumah besar ini terasa sangat sunyi apa lagi penghuninya hanya Egi saja. Aku kembali mencari keberadaan Mas Dimas di ruangan yang lain namun mereka tak ada. “Apa mungkin mereka berada di kamar?? “ gumamku. Sambil melirik pintu kamar. “Ya Allah.. Apa mimpi beberapa hari yang lalu akan menjadi kenyataan?” Aku berdiri di depan pintu kamar Egi, mengambil ponsel
Aku bisa melihat laki-laki itu melambaikan tangan nya padaku. Entah mau apa lelaki itu aku tak tahu. Akhirnya aku bisa bernafas lega, Setidaknya aku selamat dari pria yang mencurigakan itu. Gegas aku mencari penginapan terdekat karena aku sangat lelah dan ingin beristirahat. Menenangkan diri sejenak, berharap ini hanya lah mimpi. Walaupun sebenarnya aku tahu, mungkin hubungan ini tak bisa bertahan. Esok harinya, aku baru membuka ponselku dan ternyata banyak pesan dan panggilan dari Mas Dimas. Aku menghapus pesan mas Dimas tanpa membacanya. Beberapa saat kemudian ada panggilan masuk dari Mela. Sahabatku, baru saja aku akan meneleponnya dia sudah meneleponku duluan. Kebetulan sekali. “Ya Mel..waalaikumsalam.” “Lo kok nggak masuk kerja?? “ tanya Mela di ujung sana. “Aku kurang sehat Mel. Baru aja aku mau telepon kamu tadi.” “Lo udah minta izin sama Bos? “ tanya Mela cemas. “Udah, syukurlah aku diizinkan libur sehari oleh Bos.” “Ya udah nanti pulang kerja gue mampir ke rum
Kami duduk bertiga di ruang tengah, Mas Dimas duduk bersebelahan dengan Egi. Mereka seperti sepasang kekasih yang saling cinta dan tak bisa lepas satu sama lain, kesepakatan apa lagi yang ingin ia buat denganku? Tiba-tiba saja aku ingat saat Mela bilang di hotel saat itu, ia seperti mengenal teman lelaki Mas Dimas. “Apa lagi yang ingin kamu jelaskan Mas, rasanya semua sudah jelas kan?? “ tanyaku sinis. “Bukan begitu Nay... “ mas Dimas melihat ke arah Egi. “Ini demi Abah,” ucapnya. Aku tahu Mas Dimas takut jika aku mengatakan rahasia ini pada keluarga nya. Selain di keluarkan dari kartu keluarga ia juga akan membuat Abah Shock karena hal ini. “Lantas? “ tanyaku lagi dengan nada dingin. Ia kembali menoleh pada Egi. Egi menganggguk meyakinkan Mas Dimas untuk bicara. “Mengenai hal ini aku mohon jangan beri tahu keluarga ku, aku hanya minta satu hal ini saja dari kamu, “ ucap Mas Dimas. Aku diam dan membuang tatapanku ke arah lain. “Jadi kali ini aku ingin jujur padamu Naya..
Pagi harinya aku bangun seperti biasa menyiapkan sarapan untuk Mas Dimas. Walaupun sebenarnya hati ini hancur berkeping-keping, karena Mas Dimas tak bisa meninggalkan pacarnya Egi. Ini kenyataan yang harus aku hadapi dan aku tak bisa lagi bertahan dengan Mas Dimas. Walaupun aku tahu rasa cinta ini masih ada tersimpan jauh di lubuk hatiku. Sekarang aku sedang mengumpulkan bukti untuk berpisah dari Mas Dimas, agar proses perceraian ini tak berlarut-larut.Aku menata menu sarapan di atas meja dan menyiapkan kopi pagi untuk Mas Dimas. Mas Dimas tiba dan sudah berpakaian rapi ia memberikan aku senyuman terbaiknya. “Pagi sayang.. “ ucap Mas Dimas sambil mengecup pipiku sekilas. Aku hanya membalas senyuman Mas Dimas sekilas. Kemudian duduk dan sarapan tanpa bersuara. “Terima kasih Naya.. Kamu sudah mengerti aku, kamu juga bisa menerima aku apa adanya seperti ini, “ ucap Mas Dimas sambil tersenyum. “Ya.” Aku hanya membalas Mas Dimas singkat. “Semua akan berjalan normal seperti biasa, ak
Bukti-bukti CCTV juga sudah aku kantongi, walau pun tak ada adegan terlarang yang terekam, namun kedekatan mereka saat bermain game dan bersama memang agak terlihat janggal. Mereka sering berpegangan tangan dan juga saling tatap seperti orang yang sedang jatuh cinta. Hari ini, Aku dan Mela duduk di kantin kantor, berita putusnya hubungan Mela dan Egi cepat menyebar. Walaupun mereka tak tahu dengan jelas apa penyebab Mela dan Egi putus. “Mamanya Shock Nay.. aku harus jujur saat mereka tanya kenapa aku memutuskan pertunangan itu. Aku harus mengorbankan rasa malu dan rasa cintaku juga. ”“Jadi bagaimana hubungan mu dengan Egi? “ tanyaku penasaran. “Gue tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Egi. Berusaha untuk tegar dan move on. Gue belajar dari rumah tangga lo Nay, lihat Mas Dimas katanya dia sudah berubah, namun sampai sekarang dia tak akan bisa melepas kesenangan sesaat nya itu. Gue rasa itu berlaku juga pada Egi, “ ungkap Mela. “Yahh... Memang harus begitu, aku juga sudah sampa
“Mas jangan berani macam-macam Mas. Aku tidak mau disentuh olehmu lagi.” Pintaku memohon sambil mengarahkan kedua telapak tanganku padanya. Aku melirik 'rudal' Mas Dimas yang sudah berdiri tegak, berarti Mas Dimas memang tak bernafsu pada perempuan. Lihat, saat Mas Dimas bersama Egi, miliknya berfungsi dengan baik. “Tolong! Tolong! “ Aku berteriak minta tolong. Berharap ada yang mendengar ku walaupun aku tahu jika hal ini mustahil. Mas Dimas tertawa kecil. Dulu, dulu sekali aku sangat menginginkan disentuh oleh Mas Dimas, namun sekarang aku jijik disentuh olehnya. “Naya... Naya aku ini suami kamu! Kenapa harus minta tolong sih?? kayak siapa aja. Lagian siapa yang bisa mendengar kamu di sini, “ ungkap Mas Dimas. Ia terus mendekatiku dan aku mundur perlahan ke beberapa langkah hingga tubuhku mentok di dinding kamar. Mas Dimas mendekatkan wajahnya padaku, ia hendak menciummu, gegas aku menghindar dengan memalingkan wajahku darinya. “Naya.. Ayolah, kamu ingin anak kan?! “ “Ti
Mendung di langit malam ini menyisakan luka di hati, berdiri di sini, menengadah ke langit yang gelap. Tak ada bintang apa lagi rembulan yang menyinari malam ini, hanya ada kegelapan malam. Persis seperti hatiku yang pilu saat ini. Aku benar-benar belum bisa mencerna setiap apa yang dilakukan Mas Dimas padaku. “Ternyata benar, aku belum terlalu mengenal Mas Dimas. Saat menerima Mas Dimas kala itu,, aku hanya melihat penampilan luarnya saja. Aku bahkan tak mencari tahu seperti apa latar belakang Mas Dimas, pergaulannya, Teman-teman nya." Walaupun kedua orang tua nya adalah orang terpandang dan mengerti agama tak menutup kemungkinan jika Mas Dimas terpengaruh saat dia menempuh pendidikan di luar negeri. Karena Mas Dimas kuliah di Jepang saat dia menempuh S-1 nya. Dingin malam menusuk kulit, untuk menangis pun aku tak lagi sanggup. Rasanya air mata ini sudah kering. “Nay.. Yuk masuk! Di luar dingin banget, udah larut juga.“ Aku menoleh ke belakang. Mela sudah ada di belak
Aku menunggu jawaban dari Barra, namun saat aku akan mengalihkan panggilan vedio, tiba saja dia berseru, “Naya.. Nanti aku telpon lagi mendadak aku mulas nih! “Mendadak panggilan terputus, Barra agak mencurigakan kali ini, aku yakin sepertinya Barra dan Keivandra itu adalah orang yang sama. Aku hanya bisa menghela nafas. “Sepertinya aku harus mencari tahu tentang hal ini, “ ungkapku dalam hati. Hari berlalu, Pak Zayn kini terang-terangan menunjukkan perasaan nya padaku. Ia selalu menghubungiku dan memberikan perhatian lebih dari seorang karyawan dan atasan. Teror demi teror aku Terima, entah itu secara langsung atau melalui telepon. Pagi ini aku datang lebih cepat ke kantor, rencananya ingin menemui Pak Zayn. Aku ingin agar dia bersikap bisa saja baik itu di kantor atau di luar kantor. Namun saat kemarin aku meminta untuk menjauhiku Pak Zayn mengatakan hal yang membuat aku tak percaya.“Aku nggak bisa Nay.. Aku jatuh cinta saat melihat mu pada pandangan pertama, saat kamu masuk
“Oh ini rupanya anak baru yang diajak makan oleh Zayn?? “ Ucap seorang wanita cantik, dia Katerina. Ia sedang memoles bibirnya dengan lipstik. “Maaf.. “ ucapku sambil tersenyum. Kemudian ia menghentikan aktivitasnya dan menatap ke arahku. “Nggak usah sok lugu lah, kamu kan orangnya? Kamu kan yang sudah mendekati Zayn?” ungkap wanita itu dengan mata melotot. Aku tersenyum dan berusaha untuk tenang, sepertinya kabar aku makan bersama Pak Zayn sudah tersebar. Pantes saja Gaby yang satu ruangan denganku, agak sedikit memperlihatkan raut wajah masam padaku.“Kalau yang diajak makan oleh Pak Zayn memang saya, tapi kalau saya mendekati Pak Zayn itu tidak benar, Mbak.. Katerina, “ ucapku tegas. Bisa-bisanya aku mendapatkan masalah seperti ini, sementara aku tak tertarik sedikit pun untuk mendekati Pak Zayn. “Dasar munafik, tak ada satu orang pun yang tak suka pada Pak Zayn. Bohong! Apa lagi kamu yang Cuma karyawan biasa di sini. Pakai pelet apa kamu tiba-tiba Pak Zayn apa kamu, ha??”Aku
Aku menunggu ponselnya berdering. Namun hingga beberapa saya lamanya menunggu, tak ada bunyi dering yang berasal dari ponsel nya. Aku kembali menghubungi nomor Barra tapi tetap saja tak diangkat namun Kay yang ada di depanku juga terlihat santai dan ponselnya juga tak berdering. “Kenapa melihat saya terus? “ tanyanya. Aku kaget dan hampir saja ponselku terjatuh ke lantai. “Eh, eh maaf... pak., “ ucapku agak kikuk dan segera memutar tubuhku agar tak menghadap ke arah Kay. “Kenapa? “ tanyanya lagi dingin sambil terus menatap layar ponsel nya. “Em, saya pikir Bapak mirip seseorang, teman saya, “ ungkapku. “Oh ya? Jadi karena itu kamu terus memperhatikan saya? “ tanyanya. “I-iya Pak! “jawabku lagi agak kikuk. “Em.. Boleh saya bertanya? “ tanyaku hati-hati. “Ya.” Ia mengangkat kepalanya dan menatapku lama. Sorot mata itu, persis seperti Barra. Sangat mirip. “Apa kah Pak Kay punya suadara kembar?” tahyaku penasaran. “Tidak.” Aku mengangguk-angguk mengerti. Sepertinya Kay memang ta
Ah, untuk apa pusing memikirkan urusan petinggi-petinggi perusahaan ini, toh aku hanya karyawan biasa, karyawan baru pula. Aku juga belum terlalu paham tentang masalah internal perusahaan ini. Lagi pula siapa yang akan menggantikan Pak Wijaya tak menjadi masalah bagiku. Yang paling penting adalah bekerja dengan baik, hitung-hitung bisa jadi pegawai terbaik, siapa tahu akhir tahun dapat bonus. Pikirku sambil tersenyum. “Hai.. Senyum-senyum aja, nggak lapar?? “ Tiba-tiba Mbak Maya menepuk pundakku sehingga membuat aku kaget dan terlonjak. “Ya Allah Mbak Maya aku sampai kaget lho.. “ Mbak Maya dan Eli tertawa geli melihat aku kaget dan memekik. “Lagi mikirin Pak Zayn ya.. Jangan dek ya.. Jangan ..Mamanya seram, lagi pula si centil Katerina itu memang naksir berat sama Zayn. Kemudian di ruangan ini, tuh si Gaby juga naksir banget sama Pak Zayn, banyak saingan..“ ungkap Mbak Maya sambil menujuk ke arah Gaby yang memang cantik dan stylish. Aku tertawa lebar. “Enggaklah Mbak, ngapain mi
Aku menganggukkan kepalaku dan masuk ke dalam, menutup pintu ruangan dengan pelan dan kemudian berdiri di dekat sofa mereka duduk. Pak Zayn melihat ke arahku dan tersenyum. “Duduk aja, nggak apa-apa, “ ungkapnya. Aku duduk di sofa di antara mereka berdua dengan perasaan canggung yang amat sangat. Mereka kembali melanjutkan perbincangan. Aku hanya duduk diam dan menunggu Pak Zayn selesai bicara. “Seharusnya kamu segera mundur dan sadar diri. Kami tidak menerima yang bukan anggota keluarga, “ ungkap Pak Zayn. “Ya, aku tahu dan cukup sadar diri. Kamu nggak usah memberitahu aku, Zayn. “ Aku kaget saat mendengar suara itu, suara itu persis seperti suara Barra. Tak ada bedanya. “Bagus kalau kamu sadar. Biar aku dan Axel saja yang bersaing untuk mendapatkan perhatian dari kakek, aku harap kamu mendukungku, Kay. “ ungkap Pak Zayn. “Pasti! “ Nah.. Benar namanya bukan Barra tapi Kay. Jadi dugaanku ternyata memang salah. Mengetahui nama pria yang agak mirip Barra ini membuat aku sed
Ah.. Mungkinkah pria itu adalah... Tapi tak mungkin, ia sangat rapi dan tak ada kumis maupun jambang di bagian wajahnya. Ia juga tak memakai pakaian preman nya saat setiap kali bertemu denganku. Entah kenapa tiba-tiba aku ingat pada Barra. Sudah begitu lama aku tak mendengar kabar dari Barra. Apa lagi bertemu dengan nya secara langsung. Tak mungkin Barra tiba-tiba bisa berubah Sedrastis itu. Pak Wijaya berdiri dengan tegap di tengah-tengah para karyawan dan juga orang-orang kepercayaannya yang ada di sekitarnya. Ia masih tampak gagah walau pun umurnya sudah tak lagi muda. “Selamat pagi. Senang bisa bertemu dengan kalian semua. Terima kasih karena kalian semua telah mendedikasikan diri kalian di perusahaan Wijaya grup. Saya menghargai kerja keras kalian.” “Selamat datang untuk karyawan baru yang telah bergabung di tahun ini, berikan yang terbaik untuk perusahaan ini. “ Aku mendengar kan pidato dan arahan ketua Wijaya grup ini dengan saksama. Ia begitu berwibawa saat bicara di depan
Pagi ini, aku terbangun dengan perasaan yang lebih ringan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar aku membuatku merasa lebih hidup dan merasakan hangatnya sinar mentari. Aku meregangkan tubuhku dan mengambil napas dalam-dalam, merasakan udara segar yang masuk ke dalam paru-paruku.Aku melihat sekeliling kamar dan merasa bersyukur atas semua yang aku miliki. Kamar yang sederhana namun nyaman, tempat tidur yang empuk, dan jendela yang menghadap ke taman yang hijau. Aku juga bersyukur bisa berkumpul lagu dengan kedua orang tuaku, walaupun aku harus berpisah dengan pasangan hidupku. Semua ini membuatku merasa lebih baik dan lebih bersemangat untuk menghadapi hari ini. Dari pada saat bersama Mas Dimas, hidup dengan orang yang tak pernah mau menghargai aku. Aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke jendela. Aku membuka jendela dan merasakan angin pagi yang sejuk. Aku jadi ingat masa kecil dulu, aku belum berani tidur sendirian karena takut ada yang mengintip dari jendela, mam
Masih teringat tragedi aku terjatuh di depan lift di kantor Wijaya group. Itu adalah pengalaman yang sangat memalukan bagiku. Rasanya aku tidak ingin muncul lagi di sana. Namun takdir berkata lain, aku malah dipanggil untuk wawancara kerja. Sebuah email masuk dari perusahaan Wijaya Group jika lusa dipanggil untuk wawancara kerja. "Padahal aku nggak berharap lho Bu, rasanya perusahaan itu nggak cocok deh sama aku,“ ungkapku memberi alasan. “Semua orang berharap bisa bekerja di perusahaan itu, kamu malah nggak mau, aneh. “ Tiba-tiba Mama seperti mengingat sesuatu. “Kamu malu kan karena pernah terjatuh di depan lift itu ya... “Aku tertawa. “Iya Ma, rasanya memalukan sekali, Ma.”“Ah, palingan orang udah lupa sama wajah kamu, ini kesempatan kamu bisa bekerja di perusahaan besar Naya. Ini adalah kesempatan emas untukmu, “ ucap Mama memberikan semangat padaku. Hari ini aku sudah berpakaian rapi, make up tipis-tipis, dan setelan hitam putih, dan jilbab senada. Setelah perceraian denga
Lift berhenti di lantai tiga, aku segera keluar dari lift tersebut, sedangkan dua orang yang aku pikir mungkin adalah keluarga dari Wijaya group itu melanjutkan naik ke lantai selanjutnya. Mungkin ke ruangan pemimpin perusahaan ini. Aku segera menuju ruangan HRD, menemui Mbak Anya sesuai arahan dari resepsionis di lantai dasar tadi. “Saya mau melamar pekerjaan, katanya ada lowongan kerja di sini?? “ tanyaku begitu bertemu dengan Mbak Anya. "Benar Mbak, Mbak bawa persyaratannya?? “ tanya balik. “Iya, ada. “ Aku menyerahkan beberapa berkas lamaran padanya. Ia menerima nya dan sesekali memerhatikan dengan aku seksama. “Tahu dari siapa ada lowongan pekerjaan di sini? “ tanya wanita itu. “Dari Papa, beliau mendapatkan informasi dari temannya, “ jawabku. Ia hanya tersenyum tipis, apa dia ingin menanyakan aku dapat rekomendasi dari siapa lagi. Sepertinya perusahaan ini sudah tak baik-baik saja. Aku juga tak terlalu berharap untuk bekerja di sini. “Baik lamaran Anda kami terima.