Share

Kehilangan

Aron menoleh kearah sang istri, ia menghela napasnya sejenak. “Caroline meninggal, Mah.”

Aira terkejut. Ia langsung menutup mulutnya mendengar berita duka tersebut. “Kita harus kesana sekarang Pah.” 

Aron mengangguk, lalu mereka bersiap-siap menuju ke rumah Caroline, untuk menghanturkan bela sungkawa. Sedangkan Xena, ditinggal bersama beberapa asisten rumah tangga keluarga mereka di rumah.

Beberapa menit kemudian, mereka pun sampai di Rumah Kediaman Caroline. Bunga papan serta suara tangis semua orang membuat seluruh rumah itu dipenuhi dengan perasaan duka.

Perlahan, Aron dan sang istri berjalan masuk ke dalam rumah. Melihat sosok wanita terbujur kaku dengan kain putih yang menutupi tubuhnya sebatas leher di ruang depan, membuat mereka ikut berduka. 

Suara tangisan histeris dari suami Caroline begitu terdengar jelas ditelinga mereka. Hingga secara tak sadar Aira pun ikut meneteskan airmatanya. Mereka mendekati lelaki itu dan duduk tepat disebelahnya. Aron mengusap lembut pundak sang sahabat, seketika lelaki itupun menoleh menatap Aron dengan mata sembab.

“Kami turut berduka cita.” ucapnya empati.

Lelaki itu mengangguk, ia mengusap airmatanya lalu kembali melihat jenazah sang istri. Ia sangat terpukul akan kepergian istri tercintanya, sungguh Caroline adalah wanita yang paling ia sayangi, betapa hancur hatinya melihat wanita yang ia cintai pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Aron kembali menenangkan sang sahabat. “Sudah. Ikhlaskan kepergiannya, biarkan dia tenang disurga.”

“Saya tidak tahu, bagaimana kehidupan saya selanjutnya, Aron. Jika tidak ada Caroline disampingku. Saya sangat mencintainya.” lirihnya.

“Saya paham apa yang kamu rasakan. Maaf, saya tidak bisa membantunya disaat istrimu sedang ....” Ucapannya terhenti ketika lelaki itu menoleh dan menepuk pelan bahunya.

“Tak apa, Aron. Mungkin ini memang sudah menjadi takdir Caroline, untuk pergi selama-lamanya.”

“Sekali lagi saya minta maaf.” ulang Aron.

Lelaki itu mengangguk, ia mulai mereda tangisnya. Namun, jauh didalam lubuk hatinya ia masih amat sangat terpukul atas kepergian istrinya. 

Disaat suasana haru dan duka menyelimuti rumah itu. Tiba-tiba datang seseorang lelaki muda berkisar usia 22 tahun seraya membawa koper menuju rumah tersebut.

Pandanganya tertuju pada bunga papan yang bertulisan nama ‘Caroline’. Seketika, tubuhnya kaku, lidahnya keluh, sungguh ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun melihat nama itu di bunga papan tersebut, membuat kedua matanya pun mulai berkaca-kaca.

Perlahan, ia mulai melangkahkan kakinya menuju rumah tersebut dengan perasaan campur aduk dan detak jantung yang tak bisa ia deskripsikan. Lelaki tampan dengan alis tebal itu menghentikan langkahnya, ketika melihat bahwa apa yang ia baca didepan rumahnya tadi adalah nama sang Mamah ‘Caroline’.

Seketika jantungnya seperti berhenti berdetak, tubuhnya sangat kaku seperti es yang berada dikutub utara, butiran bening pun mengalir deras dari pelupuk matanya. Sungguh, ini bagaikan mimpi baginya. Wanita yang paling ia sayangi yaitu sang Mamah, pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. 

Lelaki itu berjalan dengan tubuh lemas, bahkan koper yang ia bawa tadi ditinggalkan begitu saja. Ia langsung terduduk tepat didekat sang Papah.

Seketika, lelaki itu menoleh dan terkejut melihat anaknya yang sudah pulang dari luar negri. Sungguh, ia sama sekali tak tahu jika sang anak telah kembali. 

“Kamu sudah pulang?” tanyanya dengan lirih seraya memerhatikan sang anak.

Lalaki itu menoleh, ia menatap sang Papah dengan penuh rasa kesal. “Kenapa Papah tidak memberitahuku akan hal ini? Apa yang sebenarnya terjadi dengan mamah?” tanyanya lirih dengan bibir bergetar menahan tangis.

Lelaki itu terdiam, ia tak mampu menjawab pertanyaan sang anak. Jujur, karena selama ini, ia memang menyembunyikan ini semua dari anaknya, karena itu memang permintaan istri sendiri. Ia tidak mau kalau konsentrasi kuliah sang anak diluar negri akan terganggu jika mengetahui bahwa dirinya sakit.

“Kenapa Pah? Kenapa Papah diam?” desisnya dengan suara gemetar.

Lelaki itu mengela napasnya, perlahan ia menyentuh kedua pundak sang anak. Menatap netra sang anak lebih dalam.

“Maaf, Papah tidak pernah membicarakan hal ini dengan kamu Nak. Karena ....”

“Apa Pah? Karena apa?! Karena Mamah melarangnya untuk mengatakannya, iya?!”

Sang Papah benar-benar tidak bisa menjawab itu semua. Ia tahu anaknya sangat terpukul atas kepergiaan ini, begitu pun juga dengan dirinya. Pemuda itu mengusap seluruh wajahnya, ia mencoba untuk meredam tangisnya walaupun jauh didalam lubuk hatinya ia masih menyimpan rasa amarah akan kematian sang Mamah, lalu fokus menatap Papahnya. 

“Siapa yang melakukan ini, Pah?” tanyanya.

Lelaki itu menatap sang anak. Ia tahu dari tatapannya, sang anak sangat marah akan kejadian tersebut dan menyimpan rasa dendam atas kematian mamahnya ini.

Ia mencoba untuk menenangkan hati anaknya. “Kematian mamah kamu bukan kesalahan orang lain, ini takdir.”

 “Cepat Papah katakan siapa yang melakukan ini Pah?!” tanyanya dengan perasaan emosi akan kerpergian sang Mamah.

Aron yang melihat kejadian itu pun langsung menenangkan pemuda yang tengah emosi itu. “Tenang ... seharusnya kamu bisa tenang. Tidak baik kamu marah seperti ini didepan jenazah mamah kamu.”

Pemuda itu menatap Aron. “Anda tidak pernah merasakan kehilangan seseorang yang paling anda sayangi. Jadi anda tidak usah ikut campur dengan urusan saya.” desisnya.

“Cukup Nak, cukup. Jangan seperti itu, Om Aron datang kesini bersama istrinya untuk mengucapkan bela sungkawa atas kepergian mamah kamu.”

Pemuda itu menghantam diudara, sungguh ia tidak bisa menahan amarah yang tengah menyelimuti dirinya ini. Ia bangkit dan berdiri, mencoba untuk meredam emosinya. 

“Kalau Papah tidak ingin mengatakan siapa orangnya, biar aku yang akan mencari sendiri orangnya.” tegasnya, lalu ia berjalan keluar meninggalkan rumah itu dengan segala amarah yang menyelimuti dirinya.

Aron kembali menenangkan sahabatnya itu. “Mungkin dia perlu waktu untuk sendiri.”

“Tapi dia tipikal orang yang nekad, dia bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang diiinginkan. Saya takut, dia akan melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.”

“Tenang. Dia pasti kembali, ia hanya butuh waktu untuk bisa menerima kepergian mamahnya.” ucap Aron.

Pemuda itu berjalan dengan langkah cepat, perasaan emosi dan juga kesedihan menyelimuti dirinya. Sungguh, ia tak pernah tahu, kepulangannya yang secara tiba-tiba ini malah membuat dirinya menjadi sangat terpukul. Ia marah pada sang Papah, jelas. Karena sang Papah tidak memberitahu akan kondisi sang Mamah. 

Ia hanya mendapat kabar dari asisten rumah tangganya jika Mamahnya mengalami seuatu kecelakaan, dan yang menabrak mamahnya kabur entah kemana. Ia tak tahu kalau sang Mamah sampai dirawat di rumah sakit dan mengalami pendarahan yang sangat banyak dibagian kepalanya, hingga membutuhkan banyak darah. 

Tak lama dari kabar itu, ia mendapat kabar lagi bahwa sang Mamah telah pulang, namun ia tidak mengetahui jika Mamahnya pulang bukan ke rumah, melainkan pulang dan tidak akan pernah kembali. Dan lagi-lagi ia mengetahui itu semua dari asisten rumah tangganya. 

Maka dari itu ia memutuskan untuk pulang secara tiba-tiba dan tidak memberitahu kepada pihak rumah. Alih-alih akan membuat kejutan akan kedatangannya yang tiba-tiba. Malah dirinya yang terkejut akan kepergian sang Mamah.

Napasnya berderu tak beraturan, wajahnya memunculkan merah padam serta rahangnya mengeras. Kedua tangannya pun mengempal dengan keras, ia menghentikan langkahnya tepat disebuah taman yang sepi. Matanya memunculkan tatapan tajam akan dendam. 

“Siapapun orangnya, aku harus cari sampai dapat. Dia harus ikut merasakan kehilangan seseorang yang sangat dicintainya.” geramnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status