Julia duduk di sofa sambil menimang-nimang ponselnya, pikirannya terus berputar mencari cara untuk menarik perhatian Henry. Dia menatap layar ponsel yang kosong, jari-jarinya dengan lembut menekan layar ponsel, membiarkan menyala dan mati berkali-kali. Karena baru saja keluar dari rumah sakit karena sakit pura-puranya itu, Henry melarangnya bekerja dua hari ke depan. Tak bertemu dengan Henry tentu saja membuatnya terasa hampa.Sakit pura-puranya sudah cukup untuk menarik perhatian Henry, tetapi sekarang dia ingin lebih dari itu. Dia ingin membuatnya merasa bahwa dia adalah satu-satunya.Dia berdesis pelan, berbicara pada dirinya sendiri. “Kalau aku memintanya datang, apa dia akan datang?”“Hmm … dia pasti tidak akan menolak, bukan? Aku akan membuat dia hanya mengingatku.” Julia tersenyum sinis penuh dengan percaya diri. Dengan cepat Julia mengetik pesan di ponselnya memulai basa-basi : “Henry, bolehkah aku besok bekerja? Aku merasa sangat kesepian dan bosan di apartemen. Please … ak
Eva meregangkan semua otot-ototnya setelah seharian full bekerja hingga tengah malam. Tubuhnya terasa pegal-pegal, setiap gerakan menimbulkan rasa nyeri yang menyengat. Dia menghela napas, berusaha mengusir kelelahan yang menyelimuti. Hari-hari belakangan ini terasa begitu berat, dan dia tahu sudah saatnya untuk mengambil sedikit waktu untuk dirinya sendiri.Dengan langkah lambat, Eva menuju kamar mandi. Dia mulai menanggalkan satu per satu pakaian lalu menyalakan shower, air dingin mulai membasahi dirinya, membantu merelaksasi otot-ototnya yang tegang. Setelah beberapa saat, Eva keluar dari kamar mandi, merasa lebih segar. Dia mengenakan piyama yang nyaman dan menyeduh secangkir teh chamomile, yang memberi rasa tenang dari setiap aromanya.Eva membuka ponselnya, melihat jumlah uang yang ada di tabungannya. Uang sebesar 50.000 dollar tersimpan di dalamnya.Napasnya berhembus berat, uang itu masih sangat sedikit untuk mencapai jumlah 50 juta dollar. Dia harus mengumpulkan lebih banya
Julia melangkah masuk ke ruangan Henry dengan semangat baru. Setelah beberapa hari libur, dia merasa siap untuk kembali menghadapi dunia kerja. Henry mengalihkan pandangannya melihat kedatangan Julia. “Kau sudah datang?” Dia bergerak mundur tanpa beranjak dari kursi kebesarannya, mengambil dokumen di dalam lacinya dan memberikannya pada Julia. “Ini adalah jadwal terbaruku, kau bisa mempelajarinya.”Henry kembali fokus pada layar komputer, karena banyak yang harus dia selesaikan hari ini. Julia mengerutkan keningnya saat mendengar ‘jadwal terbaru’ dari mulut Henry, matanya menelisik setiap lembar demi lembar dari susunan jadwal tersebut.“Henry,” panggilnya, berusaha menahan nada kecewa. “Kenapa jadwal yang sudah aku susun berubah tanpa pemberitahuan? Dan kenapa tiba-tiba banyak sekali jadwal kosong?”Henry, yang sedang fokus di layar komputernya, menoleh dengan cepat. “Oh, maaf, aku harus mengubahnya. Aku meminta Ryan memperbarui jadwalku saat kau sakit, tidak mungkin aku memintamu
Julia melangkah cepat menuju ruangan Henry, tangan kanannya menggenggam berkas penting yang sudah dia persiapkan. Saat dia membuka pintu, suasana di dalam ruangan terasa sepi. Meja kerja Henry tertata rapi, namun ia tidak melihat sosok pria itu di mana pun. Julia melangkah masuk, mengamati sekeliling. “Henry?” panggil Julia, suaranya menggema di dinding-dinding ruangan. Tak ada jawaban. Dia menaruh berkas di atas meja dan menyusuri setiap sudut ruangan. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Henry, sementara pikirannya terus bertanya-tanya di mana Henry saat ini.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari koridor. Julia menoleh, harapannya tumbuh. Namun, yang muncul adalah rekan kerjanya Ella, yang terlihat terburu-buru. “Kau melihat Henry? Eh … maksudku Tuan Henry,” tanya Julia, wajahnya tampak serius.Ella menggelengkan kepala. “Tidak. Aku baru saja datang membawa berkas penting untuknya.”Batinnya berbicara, “Dia ke mana, ya? Kenapa aku tidak melihatnya keluar?” “Sepertinya
Henry dan Samuel kembali melempar pandangan sengit, ketegangan di antara mereka membara. Moccacino yang diletakkan Eva di meja mengeluarkan uap, menciptakan suasana yang kontras dengan perasaan mereka. Sementara Eva yang berdiri di tengah-tengah mereka terkejut, merasakan ketidaknyamanan. Dia harus pergi dari sana, jika tidak, pasti semua tahu siapa dirinya. Dan bisa saja akan menimbulkan keributan saat di Kafe.“Tuan-Tuan, jika kalian punya masalah, tolong selesaikan berdua. Saya ingin kembali bekerja.”Di sana Samuel menatap Henry dengan tatapan menantang. “Jauhkan tanganmu darinya!”Karena tidak terima, Henry sedikit menarik Eva ke arahnya, kemudian berkata tegas, “Dia Istriku! Jadi kau tidak berhak mengatakan itu padaku!”Dalam hati, Eva merasa terjebak di antara dua pria yang kuat, dan dia hanya ingin pergi dari situasi yang tidak nyaman ini.Bukannya takut, Samuel justru menarik Eva mendekat ke arahnya. “Kau tidak bisa menjaga Istrimu sendiri!”Eva yang merasa kesal saat tubuhn
Di belakang sana, Eva menghela napas panjang, sedikit frustasi dengan keributan kecil yang terjadi. dia membutuhkan momen untuk menenangkan pikirannya.Di balik kafe, dia duduk di atas bangku kayu, mengamati daun-daun yang berguguran. Setiap helai daun yang jatuh seolah menggambarkan pikirannya yang berantakan. “Kenapa mereka harus bersikap seperti itu, sih?” pikirnya.“Kenapa tiba-tiba Henry berada di sini?” bisiknya pada diri sendiri. “Sepertinya dia sengaja.”Dia menatap ke arah jalanan, melihat orang-orang berlalu-lalang, tampak ceria dan penuh semangat. Sementara itu, hatinya terasa berat.Eva mengingat semua usaha yang dilakukannya untuk menyenangkan Henry, berharap bisa mendapatkan sedikit perhatian dan pengakuan. Namun seiring berjalannya dia merasa semakin terpinggirkan.Satu sisi dirinya ingin berjuang untuk mendapatkan tempatnya, tetapi sisi lain merasa lelah berperang melawan angin. Dan akhirnya, tiba di titik sekarang.Namun semuanya tidak berjalan dengan mudah. Proses pe
Di ruang kerja Samuel yang tenang, Dave menatapnya yang duduk di depannya dengan serius. Setelah beberapa saat, Dave membuka percakapan dengan suara rendah, “Tuan, besok adalah ulang tahun Nyonya Elise. Seluruh keluarga besar akan berkumpul, Nyonya meminta saya agar Tuan menyempatkan untuk hadir.”Samuel mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya ada keraguan yang menggelayut. Dia sebenarnya tidak begitu bersemangat untuk menghadiri acara tersebut. Keluarga besar Henry terkenal dengan standar tinggi dan ekspektasi yang sulit dipenuhi. Sering kali, pertemuan semacam itu lebih menyerupai ajang pameran kesempurnaan daripada acara keluarga.Samuel bermonolog dalam hati, merasa ada alasan kuat untuk tidak datang. “Sebenarnya aku sangat malas untuk datang, aku sudah bisa menebak isi acara yang hanya menjadi ajang pamer dan kesempurnaan. Tapi… bagaimana jika Eva di sana?" Pikiran itu segera tergantikan oleh bayangan wajah Eva. Eva adalah istri Henry, yang sering kali menjadi sasaran kritik pe
Ryan duduk tenang, menunggu Eva. Ketika pintu terbuka, dia terpaku. Eva muncul dengan riasan yang begitu cantik, wajahnya bersinar dan matanya berkilau.Gaun hitam yang elegan itu memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna, menampilkan keanggunan yang tak terbantahkan. Kulit mulus lengannya terlihat indah, menambah kesan glamor.Ryan terdiam, tidak bisa berkata-kata, terpesona oleh transformasi Eva. Dia tidak hanya terlihat cantik, dia tampak berbeda, seolah mengeluarkan aura baru yang membuatnya tak dapat berpaling.Dalam hati, Ryan merasa bangga, pasti dengan begini, tuannya juga tidak akan bisa berpaling nanti.“Asisten, Ryan, Saya merasa gaun ini terlalu ketat,” keluh Eva sambil menarik sedikit bagian gaun itu agar lebih turun.Gaun hitam yang elegan dan mewah yang dia kenakan itu memperlihatkan lekuk tubuh dan menampilkan punggung mulusnya.Eva merasa sedikit tidak nyaman. Ini adalah pertama kalinya dia mengenakan model seperti ini, dia merasakan ketegangan di setiap gerakannya. Set
2 hari kemudian. Mobil berjenis marcedes itu telah terparkir rapi di basement, berjejer dengan mobil mewah lainnya. Suasana di sana cukup hening, hanya terdengar suara pelan mesin ventilasi yang berputar. Eva menoleh ke arah kursi pengemudi, di sana terdapat Henry yang baru saja mematikan mesin mobilnya. Wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan. “Aku ingin pulang, kenapa kau membawaku ke sini?” Keningnya berkerut, hingga alianya itu hampir menyatu. Henry melepas sabuk pengaman, menatap ke arah Eva sekilas. “Bukankah ini rumahmu?” jawabnya dengan santai.Henry tahu, bahwa Eva pasti akan menolak kembali ke penthouse, tempat tinggal mereka berdua sebelumnya. Dia memang sengaja membawa Eva kembali ke penthouse untuk memulai kehidupan mereka setelah drama perceraian. Eva menegang di tempat duduknya, jari-jarinya mengepal di atas pangkuan. "Aku sudah bilang, aku tidak akan kembali ke sini," ucapnya dengan suara rendah, nyaris bergetar.Henry tersenyum kecil, bukan senyum yang hangat, mela
Henry tertawa ringan, tapi ada nada ejekan di dalamnya. “Heh, Samuel?” gumamnya, menatap Eva yang masih duduk di brankar.Ada perasaan aneh saat Eva menyebutkan nama Samuel di depannya. Rasa seperti tak dihargai. Tapi dia tak bisa menyalahkan Eva, karena dia juga yang menutupinya. Eva mengerutkan kening, bingung dengan ekspresi di wajah suaminya. “Kenapa tertawa?” tanyanya. Henry melipat tangannya, menyandarkannya di atas brankar milik Eva, posturnya tegak, tapi tetap santai. Kedua matanya menatap Eva, seperti menyimpan sesuatu yang sulit dibaca. “Jadi, kau pikir operasi ini semua karena inisiatif Samuel?” katanya, suaranya terdengar datar namun tajam.Eva menatapnya, perlahan mulai memahami arah pembicaraan ini. “Bukankah begitu?”Henry mendengus kecil, lalu tersenyum miring. “Sebenarnya, semuanya terjadi atas perintahku.”Eva terdiam, menatap Henry lekat-lekat, mencoba memastikan apakah dia serius. “Maksudmu…?”Henry mengangkat bahu, seolah itu bukan hal besar. “Aku yang mengur
Bukan hanya Eva, rasa lega terpancar dari wajah para dokter itu. Operasi ini berhasil, dan dengan itu, karir mereka tetap utuh. Tak henti-hentinya mereka mengucapkan rasa syukur. Eva tersenyum penuh haru, air matanya mulai menggenang. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, memerhatikan satu per satu dari mereka. Matanya berhenti pada sosok Henry yang berdiri tak jauh dari jangkauan para dokter. Wajahnya tampak tegas, tapi menunjukkan kelegaan dalam hatinya. Namun tiba-tiba saja senyum di wajah Eva perlahan luntur. Hatinya merasa sesak ketika orang yang selalu ada untuknya tak berada di sana. Pada momen bahagia ini, seharusnya Samuel berada di sana, turut merayakan kebahagiaan yang ada. Namun, di sisi lain, ia teringat bahwa Samuel memang membutuhkan waktu untuk beristirahat, agar kesehatannya kembali pulih. Meskipun hati ingin sekali bersama, kesadaran akan pentingnya istirahat membuatnya merelakan ketidakhadiran Samuel di momen tersebut."Senang sekali mendengar Anda bisa me
Eva terdiam, merasa setiap kata yang hendak keluar dari mulutnya seperti terjebak di tenggorokannya. Dia ingin menjawab setiap ucapan Henry, tetapi tak tahu harus berkata apa.Ada perasaan bingung yang menghimpit, seolah semua pikiran bercampur aduk. Dia ingin menjelaskan bahwa dia tidak merasa terganggu dengan kehadiran Henry, tapi kata-kata itu terasa begitu sulit untuk diungkapkan.Di satu sisi, Eva tahu bahwa Samuel masih membutuhkan perhatian, dan Henry hanya melakukan apa yang menurutnya benar. Harusnya dia memang menyadarinya, Samuel sudah berkorban banyak hingga membuatnya selalu dalam masalah. Namun, di sisi lain, ada rasa kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa dia hanya dianggap sebagai tanggung jawab, bukan seorang istri yang benar-benar dibutuhkan dan dianggap.Tapi semenjak dia berada di rumah sakit, dia bisa merasakan perubahan drastis dari sikap Henry. Eva masih terdiam, perasaan bingung dan tak percaya menguasainya. Apakah perubahan sikap Henry ini benar-benar da
Kring!Di dalam ruangan yang hening itu, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Pandangan mata Henry mengikuti bunyi ponselnya. Tak perlu waktu lama, dia pun bangkit dan segera mengambil ponsel miliknya. Takut jika suara itu mengganggu waktu tidur Eva. Sebelum menekan tombol hijau, Henry melihat nama kontak yang tertera di layar. Dia memandang Eva sejenak, setelah itu melangkah menjauh dan menekan tombol hijau itu sekali tekan. “Halo.” Suaranya terdengar semakin menjauh. Langkah kakinya semakin dekat dengan pintu keluar. Tanpa dia ketahui, di belakang sana, kening Eva berkerut. Itu adalah tanda bahwa dia baru saja terbangun dari tidurnya, meski kedua matanya tetap terpejam rapat, seolah berusaha menahan rasa kantuk yang masih melingkupi dirinya.Akan tetapi samar-samar telinganya mendengar suara yang begitu dia kenali. Sayangnya suara itu akhirnya hilang di balik pintu yang kembali tertutup. Apa dia ada di sini?Uhuk!Pikirannya itu teralihkan dengan rasa haus yang dia derita kali
Matahari mulai menampakkan diri, langit perlahan berubah warna, menunjukkan gradasi lembut dari biru gelap menuju keemasan yang membentang di cakrawala. Setelah hujan, udara terasa segar dan menenangkan. Udara yang masih basah itu terasa sejuk dan menyegarkan, seolah bumi bernapas lega setelah hujan mengguyurnya. Genangan air di jalanan menjadi cermin, memantulkan bayang-bayang kota dan langit biru yang mulai cerah. Tetesan air yang berjatuhan dari dedaunan dan atap rumah seperti irama yang menenangkan hati. Sama halnya seperti dua insan manusia yang saat ini masih tertidur pulas di dalam satu ruangan yang sama. Keduanya tampak pulas, tanpa terusik sedikitpun. Perlahan pintu terbuka, ujung dari sepatu pantofel itu terlihat di celah-celah pintu. Pintu pun terbuka sepenuhnya, ternyata dia adalah Ryan. Namun pergerakannya terhenti saat di ambang pintu. Kedua matanya tertuju pada dua insan yang tengah tertidur pulas di dalam sana.Eva yang masih berbaring di atas brankar, masih dalam
Jarum jam semakin bergerak ke arah kanan, menandakan waktu terus berjalan. Meski waktu menunjukkan dini hari, kedua mata Samuel masih terjaga. Dia menatap ke arah langit-langit di kamarnya. Matanya tampak kosong, seperti merasakan beban berat di pundaknya. Merasa pikirannya penuh, dia pun bangun dari tidurnya, menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Perlahan, Samuel menurunkan kakinya, menyentuh lantai marmer yang terasa dingin. Dengan langkah hati-hati dia melangkah menuju balkon yang ada di kamarnya. Saat pintu kaca itu terbuka, angin malam menyapu wajah tampannya. Meski waktu sudah begitu larut, tetapi kota itu masih terlihat ramai. Benar. Dia memutuskan mempercepat kepulangannya seusai Eva melakukan operasi. Alasannya sudah sangat jelas. Dia menepati janjinya yang sudah dia katakan pada Henry tempo hari. Walau Henry tiba-tiba berubah pikiran, tetapi dia tetap memenuhi ucapannya. Sebagai laki-laki, dia tidak ingin ingkar dengan janji yang sudah dia ucapkan sendiri. Lagipu
Bandara. Pesawat perlahan mulai merendah, roda-rodanya menyentuh landasan dengan lembut, diiringi getaran halus yang merambat ke seluruh kabin. Suara gesekan roda dengan aspal terdengar samar, disusul rem yang perlahan memperlambat laju pesawat. Dari jendela, lampu-lampu bandara berkilauan di bawah langit malam, menyambut para penumpang yang bersiap untuk kembali ke darat.Dini hari waktu Manhattan, Henry tiba dengan selamat. Semua pertemuan dengan klien dia percepat. Tanpa berlama-lama lagi, Henry segera menuruni pesawat diikuti Christian. Dengan langkah terburu-buru mereka memasuki terminal khusus. “Kau bisa pulang dan istirahat,” ujar Henry dengan tegas. Christian mengangguk, mengiyakan. “Baik, Tuan. Saya permisi dulu. Selamat beristirahat.” Dia membungkukkan badan kemudian melangkah menuju taksi yang ada di sana.“Tunggu!”Langkah kaki Christian terhenti. Dia kembali menoleh kebelakang, dan bertanya, “Apa ada yang harus saya bantu, Tuan?”“Besok ambillah bonusmu di keuangan,
Liliana merogoh ponsel di dalam tasnya. Jari-jemarinya mulai menggulir layar ponselnya.Namun aktivitasnya terhenti saat Samuel mulai mengatakan sesuatu, “Tidak perlu, Ma. Henry sedang ada urusan penting di Chicago. Ini hanya sebentar, tidak apa-apa untuk Samuel.”Liliana mengangkat kepalanya, menatap ke arah putranya. Ada kilatan amarah di dalam bola matanya. “Itu urusan Henry! Harusnya dia yang ada di sini, bukan kamu. Sudah tahu kalau Istrinya dalam masa pengobatan, kenapa dia lebih mementingkan pekerjaannya dan tidak bertanggung jawab dengan Istrinya sendiri!” Amarahnya tidak bisa ditutupi. Di dalam hatinya seperti ada sekumpulan api yang menyebar dengan cepat. Tetapi amarah itu tidak dia tujukan pada Samuel, melainkan pada Henry. Yang menjadi tanggung jawab Eva adalah dirinya, bukan putranya. Terletak di mana hati dan pikirannya saat ini? Istrinya tengah berada di antara hidup dan mati, sementara dia tidak berada di sana. Sikap tanggung jawab Henry itu sama saja dengan mamany