Tangis Andin menggema dengan sangat memilukan, diikuti Vella yang memiringkan wajah ke arah pintu.
Vella tersenyum simpul. Kini dia tahu penyebab terjatuhnya Andin secara mendadak. Ternyata adiknya yang penuh muslihat sudah menangkap kedatangan papa mereka hingga gadis busuk itu bertindak rendahan untuk menjatuhkannya. Edgar mendekat ke arah Andin dan membantunya berdiri. "Apa yang terjadi? Seharusnya kamu tidak melakukan ini pada adikmu?" Dengan santainya Vella kembali duduk di tempat tidur, dan bertanya, "Memang apa yang aku lakukan?" "Vella ...." Edgar sungguh tak mengerti dengan sikap dingin putri sulungnya ini. "Lain kali papa harus memasang CCTV di setiap ruangan, agar papa tahu apa yang dilakukan adik kesayanganku ini," ucap Vella tenang, dia sangat yakin meskipun dia mengatakan yang sebenarnya, Edgar tidak akan percaya melihat Andin yang sangat teraniaya seperti itu. Adiknya ini benar-benar sangat hebat, menuntun orang untuk melindunginya meski sebenarnya dia bukan korban. Sikap santai Vella membuat Andin was-was, dia mulai menarik perhatian Edgar dengan sok baik. "Pa, jangan marah pada kak Vella. Pasti dia mempunyai alasan tertentu hingga dia bersikap kasar padaku." "Cih ...," decak menghina keluar dari celah bibir Vella. "Vella, jaga sikapmu?! Tidak seharusnya kamu bersikap buruk pada adikmu!" Hardikan Edgar kembali menggema, namun tak mengubah sikap acuh tak acuh Vella. "Aku tidak melakukan apapun padanya. Tapi aku rasa jika itu benar, dia pantas mendapatkannya." Vella berucap santai dengan ketidakpedulian kental dari setiap kata yang dia ucapkan. Raut wajah Edgar semakin buruk mendapati perubahan sikap pada putri sulungnya. Selama ini Vella memang pendiam dan tegas. Namun, tak sekalipun dia berujar untuk mencela orang lain, termasuk adiknya yang memang lemah dan gampang menangis. Meskipun Andin merengek dan merebut apa yang dia miliki, Vella tak pernah bersikap jahat atau berucap kasar pada Andin. "Andin, kamu kembali ke kamarmu. Papa ingin bicara dengan kakakmu secara pribadi." Edgar mencoba memutus ketegangan ini. Andin belum puas menjatuhkan Vella, tapi Edgar sudah memerintah, dia tidak mungkin membantah. Dia mengangguk menunjukan seorang putri yang patuh. Saat Andin keluar, Vella menangkap sudut mata Andin yang kembali melirik pepper bag miliknya. Sepertinya gadis itu masih menginginkan benda pemberian Rino. Vella dibuat tersenyum mencela karenanya. Setelah Andin keluar dan menutup pintu. Terdengar Edgar menghela napas berat. Kemudian dia duduk perlahan di samping Vella yang terdiam. "Ada apa?" Edgar mengulangi pertanyaannya, tapi kali ini dia menggunakan nada pelan yang terdengar mengayomi. Edgar cukup tahu Vella tidak akan bertindak lebih jika tidak ada hal yang memicu. Vella juga menghela napas sejenak, dan bertanya, "Apakah Papa percaya jika aku mengatakan yang sebenarnya?" "Apa papa pernah meragukanmu? Bahkan saat orang lain menatapmu dengan rendah, aku adalah orang pertama yang menentang hal itu." Vella menelan saliva dengan kasar, memang benar Edgar masih memperjuangkan keadilan untuknya sejak kejadian seminggu yang lalu. Namun, apakah dia percaya jika dalang dari semua itu adalah istrinya yang lembut dan penuh perhatian palsu itu? "Papa belum menemukan pelaku itu 'kan?" tanya Vella pelan. "Kamu tenang saja, papa akan segera menemukannya." Edgar mencoba menenangkan Vella yang sebenarnya sangat sia-sia. "Dia berada di luar negeri sekarang." Segera mata Edgar memicing mendengar ujaran putri sulungnya. "Bagaimana kamu tahu?" "Mama Indina yang lebih tahu dengan semua ini. Aku hanya mendengarnya sebagian percakapan mereka." Vella begitu blak-blakkan tak ingin menutupi sedikitpun hal yang dia ketahui. Alis Edgar semakin berkerut. "Vella!" "Papa sudah mengatakan, bahwa tidak pernah meragukanku," tegas Vella tanpa menatap Edgar. Kemudian Edgar menghela napas untuk meredam amarahnya. "Apa yang kamu dengar?" "Mama Indina menyuruh penjahat itu agar tetap berada di luar negeri selama papa masih mencoba mengusut masalah ini." Edgar semakin terperanjat mendengar penjelasan putrinya, matanya berkilat tajam menunjukan ketidakpercayaan. "Vella, papa harap kamu tahu apa yang sedang kamu bicarakan? Indina adalah orang yang selalu merawatmu saat Vita sibuk dengan pekerjaannya." Vella langsung mendengkus kasar mengingat kenyataan dia pernah menerima Indina sebagai ibu yang baik dalam hidupnya, bahkan dia sangat menghormatinya, sangat layak jika dia menyesalinya sekarang. Dengan sangat putus asa Vella berkata, "Aku sudah tahu papa akan berkata seperti itu." Kemudian Vella melepas sepatunya dan meringkuk di tempat tidur dengan posisi miring membelakangi Edgar yang masih duduk memperhatikannya. Lagi-lagi Edgar menghela napas berat menatap putrinya. Dia tahu Vella masih terpukul dengan kepergian Vita. Dia juga sempat mendengar percakapan kedua putrinya sebelum mendapati Andin terjatuh. Edgar berpikir usia Vella yang masih sangat muda, mungkin saja memicu rasa iri saat adiknya masih mempunyai seorang mama, hingga anak sulungnya mulai bertindak di bawah kendali untuk memuaskan kekesalannya. Ada rasa prihatin melihat putri sulungnya seperti ini, Edgar pun menyentuh kepala Vella lembut dan berucap, "Papa tahu kamu lelah, lebih baik kamu istirahat. Jangan sampai kepuasan egomu menusuk orang yang salah. Dan ingatlah, kami semua sangat menyayangimu seperti Vita yang mengasihimu." Kecupan hangat dapat Vella rasakan di puncak kepalanya. Kemudian terdengar suara pintu yang terbuka kemudian tertutup pelan. Vella sudah tahu Edgar pasti tidak akan percaya padanya. Bahkan dia sadar, dari apa yang diucapkan papanya barusan, dia dapat merasakan bahwa Edgar malah mengira dia iri dengan apa yang dimiliki Andin. Sesungguhnya meskipun sejak awal dia tidak mempunyai ibu, dan dilahirkan dari celah batu sekalipun, dia sama sekali tak pernah mengidamkan mempunyai ibu seperti Indina. Wanita yang melempar anak tirinya, dan nyaris terjungkal ke lembah kegelapan, tentu saja tak pantas disebut sebagai seorang ibu. Vella sangat ingat bagaimana Indina terus menyibukkannya dan tak memberinya kesempatan untuk makan, ternyata tujuannya jelas, agar Vella tidak punya tenaga untuk melawan laki-laki yang sengaja dia umpankan untuknya. Vella harus mempunyai bukti yang kuat untuk membuka kedok Indina pada semua orang. Sayang sekali percakapan di telepon tadi tak menunjukan kemana pria itu melarikan diri. "Sejauh mana mama Indina menyembunyikanmu, aku pasti bisa menemukanmu," gumam Vella pelan dengan binar mata dingin dan tenang, namun menerawang. Lama terpekur dalam diam, memikirkan apa yang harus dilakukan untuk membuka kedok mama tirinya. Tercetus ide untuk melihat riwayat panggilan telepon di rumahnya. Segera Vella bangkit dari tempat tidur dan menyambangi meja belajar untuk membuka laptop. Dia segera mengakses halaman web layanan pengelola telepon rumah. Senyumnya melengkung samar kala menemukan nomor layanan pengelola telepon. Tak menunda lagi Vella segera menghubungi nomor tersebut melalui ponselnya. Menunggu cukup lama, akhirnya Vella mendapatkan data lengkap dari nomor yang dihubungi Indina. Senyum Vella pun melengkung sinis. "Jadi di situ mama Indina menyembunyikanmu?"Pagi kembali menyingsing. Dua gadis cantik berseragam SMA tengah menuruni tangga menuju ke ruang makan di mana kedua orang tua dan nenek mereka sudah duduk dengan tenang di sana."Pagi semuanya ...," sapa Andin dengan ceria seperti biasanya.Sementara Vella hanya menarik kursi dengan tenang dan duduk di sebelah nenek Lola."Bagaimana malammu?" tanya nenek Lola sembari menyentuh tangan Vella.Vella tersenyum tipis dan menjawab, "Indah."Nenek Lola tergelak ringan mendengar jawaban singkat dari cucu sulungnya yang selalu irit kata."Nenek, kamu tidak ingin menyapaku juga?" Andin terlihat merajuk dengan suara manjanya.Nenek Lola kembali tergelak. "Tentu saja nenek akan menyapa. Tapi melihat wajahmu yang ceria ini tentu saja nenek tahu tadi malam kamu mimpi indah.""Nenek benar," jawab Andin cepat dan tersenyum lebar sembari membalik piringnya.Indina juga tergelak ringan mendapati keceriaan pagi ini. Setelah menyajikan menu makanan di piring Andin, Indina berkata lembut sembari menyendo
Kedatangan Vella dan Rino di sekolah kembali menuai sorotan. Setelah apa yang terjadi mereka malah jalan bergandengan di koridor sekolah. Memupus keinginan siswi yang ingin menarik perhatian Rino yang memang mempunyai wajah rupawan.Tidak lama kemudian Andin juga tiba di sekolah, dia berjalan di belakang menatap dua punggung dengan binar ketidaksenangan.Mendadak langkahnya terhenti, manakala melihat pasangan di depan juga berhenti. Sedikit matanya melirik papan pengumuman. Ada dua poster besar yang menarik perhatian Vella di sana.'Oh, kamu ingin mengikuti kompetisi panahan?' batin Andin mencibir.Lengkungan senyum merekah indah di bibir Rino kala tahu kemana arah pandang Vella, kemudian ia berkata, "Kamu harus mengikuti kompetisi itu. Kali ini aku yakin kamu pasti kembali menang."Vella juga menarik kedua sudut bibirnya ke samping, hingga membentuk senyum setipis tisu.Dia memang berencana mengikuti kompetisi tersebut, dua tahun terakhir Vella memenangkan kompetisi panahan secara be
"Aaargh!!!" Suara Andin melengking kesakitan, setelah Vella beranjak pergi sembari menginjak tangannya dengan acuh tak acuh.Makan siang Vella juga sudah mengguyur ke tubuh Andin sebelum dia melempar piring stainless itu ke sembarang arah.Seketika tak seorang pun berani menarik napas melihat ketegangan ini.Kebanyak mereka membekap mulut guna menutupi indera pengecap yang menganga akibat terkejut.Vella memang pendiam dan dingin, tapi tak pernah sekalipun terlihat menyakiti seseorang.Tapi kali ini, Vella bagaikan dewi kekejaman yang menghakimi adik tirinya tanpa belas kasih.Terlihat keren, tapi itu juga sangat mengerikan dan tak pantas untuk ditiru ataupun dipuji.Dengan tenang Vella terus berjalan menjauhi pusat perhatian.Namun, pendengarannya masih berfungsi dengan baik saat teriakan Feli menggema menghujatnya."Dasar iblis! Kamu iblis betina yang sangat kejam! Kamu tidak pantas untuk mendapat cinta kami! Sudah benar mamamu meninggal dengan begitu cepat, jika dia masih hidup, di
Vella melonjak terkejut, refleks dia berdiri mendengar ujaran mendadak itu.Terlihat Samudera sedang berjalan mendekat ke arahnya dengan langkah ringan.Wajah tampan, keren, dan tenang itu membuat Vella malu dan segera menghapus air mata dengan punggung tangan. Dia tidak suka kesedihannya dilihat oleh orang lain.Tidak banyak ekspresi yang diperlihatkan Samudera setibanya di depan Vella."Jika kamu memainkannya seperti itu. Saat kamu berlari cinta tidak akan menemukanmu. Kamu memainkan nada berlari untuk ditinggalkan, bukan cinta untuk menemukanmu," ucap Samudera dengan suara rendahnya yang entah mengapa itu terasa hangat di hati vella.Vella diam sejenak dan menelan saliva secara perlahan. Kemudian berkata, "Aku tidak pernah berharap ada cinta tulus mendatangiku setelah hari ini."Samudera tersenyum hambar dan berkata, "Bodoh."Vella tak lagi menimpali, dia memang merasa bodoh sudah dipermainkan oleh ibu dan adik tirinya yang selama ini dia cintai segenap hati, dan Rino, Vella sunggu
Kelas sudah kembali dimulai, Vella menatap guru yang sedang menerangkan pelajaran sosiologi dengan tatapan kosong.Pikirannya masih tertuju pada ucapan Samudera yang memotivasi untuk tidak menyerah.'Mau menjadi pemenang ataupun pecundang adalah pilihanmu. Mau mendapatkan cinta atau hinaan juga pilihanmu. Suaramu tidak buruk, jika kamu hanya menyia-nyiakan bakat emasmu untuk menangis, hanya ada kekecewaan yang datang padamu.'Kata itu terus terngiang di benak Vella, dia pikir itu benar. Diri kita sendirilah yang akan menentukan bagaimana orang lain akan memandang kita.Vella sudah gagal membuktikan diri di ajang kompetisi model, dan malah mendapatkan hinaan lantaran fitnah yang dia terima. Sekarang pintu lain terbuka, haruskah dia menyia-nyiakan kesempatan itu?'Sangat boboh!' gumam Vella dalam hati kala ingat dia hampir mengabaikan kesempatan yang ada di depan mata.'Kompetisi ajang menyanyi itu, aku tak akan melewatkannya.''Aku bukan kabut suram yang tidak mempunyai masa depan sepe
Vella meninggalkan ruang musik dengan langkah santai untuk bergegas pulang. Dia berpikir harus mencari guru vokal lain, di mana tidak ada orang yang mengenalnya agar dia bisa belajar dengan nyaman.Sampai di pelataran sekolah, mata Vella memicing tajam begitu melihat wanita paruh baya sedang berdiri di samping mobil mewah keluarganya.'Untuk apa dia di sini? Apa dia ingin membuat perhitungan denganku setelah papa mengetahui kejahatannya?' batin Vella sembari menatap ibu tiri yang hadir di hadapannya."Vella, mama yang menjemputmu hari ini," ucap Indina dengan suara lembut yang khas.Vella tersenyum sengit, dan bertanya, "Kamu pikir aku mau?""Edgar ingin berbicara denganmu."Perlahan kelopak mata Vella terangkat, ada kejanggalan pada ucapan Indina barusan.'Kenapa wanita jahat ini masih berhubungan dengan papa? Seharusnya papa mengusirnya setelah mengetahui perselingkuhannya dengan laki-laki jahat yang ingin melecehkanku.'Vella mengangkat sedikit dagu dengan arogan kemudian berkata s
"Kamu mengenalku?" tanya Vella dingin."Sayangnya tidak. Tapi sejak pertama kali wanita itu membawamu ke sini aku menyukaimu." Mata pemuda itu tiba-tiba mengunci mata Vella dengan kilat tajam.Namun, Vella sama sekali tak terlihat gentar, membuat tatapan pemuda itu sedikit meredup, dan berkata, "Sepertinya kamu cukup berani.""Kalian tidak akan mendapatkan kesenangan apa pun dariku. Aku akan bunuh diri sebelum kalian mencoba mengambil keuntungan dariku."Binar wajah pemuda itu seketika menggelap, memancarkan emosi yang tidak biasa di wajah tampannya."Kamu pikir aku akan membiarkanmu melakukan itu? Saat ayahku mengatakan kamu akan dikirim pada milyader yang berlibur di kapal pesiar, rasanya aku hampir gila, dan langsung menghampirimu kemari, bagaimana bisa aku membiarkanmu menghabisi dirimu sendiri?"Alis Vella semakin berkerut memikirkan setiap perkataan pemuda itu. 'Apa yang barusan aku dengar?' batinnya.Tapi detik berikutnya kerutan di alis Vella memudar, juga ada sedikit napas ke
Kabut putih baru saja tersapu mentari pagi yang hangat, mengetarakan bangunan luas pada dataran tinggi nan hijau, namun juga dekat dengan perkotaan.SMA Pucak Langit, nama yang sombong untuk ukuran tempat mengenyam pendidikan. Begitu pula siswa siswi yang ada di dalamnya, sepertinya memang tak ada kalangan biasa yang bersekolah di sana.Dengan gaya elegan tanpa meninggalkan kesan imut khas anak remaja, mereka berjalan masuk menuju kelas masing-masing setelah mendengar suara lonceng berbunyi.Begitu juga dengan Rino, kini dia berjalan sendiri masuk ke dalam kelas, siap menyambut pelajaran pertama.Beberapa kali dia melirik bangku kosong di sebelahnya, hatinya sedikit tidak nyaman. Kemarin dia tidak menemukan Vella di kelas musik, sekarang dia malah tidak masuk sekolah.Sebenarnya Rino memang kesal, lantaran Vella meninggalkannya tanpa pesan.Dia bertekad tidak akan menghubungi Vella sampai gadis itu menghubunginya terlebih dulu.Tapi, ditungguin sejak tadi malam, tak ada satu pun pesan
Vella perlahan menatap Samudera lembut, senyumnya tertarik samar kemudian bertanya, "Kamu yang melakukan semua ini?"Samudera menatap Vella sejenak, memang iya, dia yang mengatur semua kesialan yang menimpa Andin saat ini. Sejak awal dia sudah curiga bahwa Andin akan berulah sebelum olimpiade panahan dimulai agar Vella didiskualifikasi seperti saat perlombaan fashion show dulu.Karena itu Samudera terus mengawasi Andin, dia juga yang menukar jus jeruk yang mengandung afrosidiak saat Andin terpesona dengan ketampanannya. Hingga jus jeruk yang dibumbui obat cinta itu Andin minum sendiri pada akhirnya.Samudera juga mengatur seseorang untuk memberikan mawar essens di kamar nomor 202 dan menukar nomor tersebut dengan 201. Barulah ketika laki-laki hidung belang itu masuk ke dalam kamar Andin. Nomor itu dikembalikan ke tempat semula.Setelah itu Samudera memanggil adik-adiknya untuk bermain poker di kamar Vella. Mengejutkan gadisnya yang baru saja tiba.
"Mumu, kamu ini kenapa? Gintuan apa?" tanya Vella terkejut melihat kedatangan Samuel yang mendadak.Tapi Samudera, ia malah tersenyum. Melihat adiknya mimisan, ia sudah tahu apa yang terjadi. Dengan pelan Samudera memanggil, "Sini!"Samuel mendekat dengan patuh, lantas duduk di lantai sambil mendongakkan wajah.Segera Samudera meraih tisu kemudian mengelap hidung adiknya dengan lembut dan telaten seperti kakak yang baik.Vella tidak ingin mempedulikan tingkah kakak beradik yang kadang penuh penindasan, tapi kadang juga hangat dan lembut membuat hati orang meleleh seperti ini. Ia segera keluar memeriksa apa yang terjadi.Semua orang berjubel memenuhi kamar no. 202, Vella pun menelusup masuk di sela-sela kerumunan semua orang. Harum aroma mawar pekat segera memenuhi ruang hidung Vella.Keterkejutan tak bisa dielakkan manakala berhasil menerobos kerumunan orang banyak."Andin!!!" Itu hardikan seorang kakak yang kecewa terhadap kelakuan adiknya.Andin yang menangis terisak sambil menutupi
"Tu-tuan muda kedua?" Kepala sekolah langsung gagap mendengar pertanyaan Samuel.Sementara semua orang masih tercengang melihat pemandangan ini. Di atas kasur ada Samuel, Zio, Zoya dan juga Sabrina yang sedang bermain poker.Sementara di sofa single ada Samudera yang duduk dengan tenang sembari memainkan ponsel.Tentu saja semua orang bertanya-tanya, bagaimana para tuan muda ini bisa di kamar Vella?Terutama Rino yang pernah mencurigai Samudera adalah kekasih tersembunyi Vella. Sekarang terkaan itu semakin kuat."Kalian ngapain ramai-ramai masuk ke sini? Ingin ikut bermain poker bersama kita?" Lagi Samuel bertanya ketus."Tuan muda kedua, sepertinya ini hanya salah paham. Tadinya kami mendapat laporan yang tidak pantas, jadi kami buru-buru datang ke sini." Kepala sekolah mulai menjelaskan."Laporan tidak pantas apa?" Samuel kembali bertanya ketus."Katanya Vella membawa laki-laki ke kamarnya, makanya kami ingin
Saat Andin duduk tenang bersama Vella nyatanya Rino juga tak bisa menahan diri untuk mendekat ke arahnya. Saat itu juga Vella mulai merasa tidak nyaman. Dia menghabiskan jus jeruk yang ia pegang kemudian beranjak berdiri."Vel, kamu mau kemana?" tanya Rino segera."Bukan urusanmu." Vella berlenggang pergi usai menyelesaikan kalimatnya.Senyum Andin semakin merekah ketika melihat gelas Vella kosong. Ia juga sudah tidak tertarik berdiam diri di tempat itu."Kak Rino, aku akan beristirahat. Besok aku akan berkompetisi, jadi aku harus mempersiapkan diri dengan baik. Aku pergi dulu ya." Tidak menunggu jawaban dari Rino, Andin segera berdiri dan menyusul Vella.Vella sadar itu, sesampainya di koridor wisma atlet, ia menghentikan langkah dan menatap Andin lekat."Kamu mau apa?" tanya Vella dingin."Aku … aku mau kembali ke kamarku, Kak. Kamu menginap di kamar nomor berapa? Aku di kamar nomor 202."Vella mendengkus ding
Vella tertegun sembari berbaring menyamping di tempat tidurnya tanpa merasakan kenyamanan.Pandangannya kosong, sesekali diwarnai dengan embusan napas kasar yang terasa hangat menyentuh ujung bibir.Sampai telinganya mendengar suara pintu terbuka, perlahan Vella segera memejamkan mata.Tempat tidur bergoyang ringan, aroma maskulin semakin mendekat diikuti pelukan hangat dari belakang."Kamu sudah tidur?" bisik Samudera di dekat telinga Vella.Vella bergeming, tak ingin merespon pertanyaan Samudera. Dia tidak ingin meledak, hanya mencoba meredam kekacauan hati seorang diri.Kecupan sayang Vella rasakan di atas telinganya. Berikut suara rendah yang menenangkan."Jangan takut, aku tidak akan pernah meninggalkanmu."Meski Vella tidak terisak, tapi Samudera tahu Vella baru saja menangis. Bantal yang basah sudah cukup mewakili perasaan Vella saat ini.Kecupan sayang itu kembali mendarat, pelukan Samudera juga
Suara serak di depan pintu yang masih tertutup juga menarik perhatian Edgar untuk menoleh. Sementara Vella langsung menatap Samudera seakan berkata, 'Lakukan sesuatu!'Kedatangan kakek Baswara secara mendadak di hadapan Edgar, tentu akan menimbulkan masalah lain.Sebaiknya hanya sedikit orang yang tahu tentang pernikahan Vella dengan Samudera, paling tidak sampai mereka lulus sekolah.Samudera pikir juga begitu, saat ini dia belum menemukan keberadaan Vita. Membiarkan Edgar dan kakek Baswara bertemu pasti akan membuat masalah lebih runyam.Samudera segera meraih ponsel dan mengirim pesan dengan cepat."Apa kamu datang bersama seseorang di sini?" tanya Edgar pelan.Tapi belum sempat Samudera menjawab, suara gaduh di luar kembali terdengar."Kakek salah tempat, acaranya bukan di sini. Ayo, Kek. Mama dan papa sudah menunggu!""Kakek jangan jauh-jauh dari kami, aku mau menagih oleh-oleh kenapa sudah hilang?""Atau jangan-jangan Kakek datang dengan tangan kosong ya hingga ingin menghindari
Di restoran Galaksi Samudera sudah duduk dengan tenang di mansion 8, ruangan eksklusif yang dia pesan setelah menerima telepon dari Vella bahwa Edgar ingin bertemu. Seperti biasa, Samudera selalu tenang sama sekali tidak menunjukkan kepanikan. Berbeda dengan Vella saat ini, ia mulai sedikit gugup sambil berjalan di sebelah Edgar menuju ke mansion 8. Ini pertama kalinya Edgar bertemu dengan Samudera, Vella takut Edgar akan memberi pertanyaan aneh dan juga menekan. Samudera memang seperti orang asing yang tiba-tiba muncul di kehidupan Vella. Jadi kemungkinan besar Edgar akan lebih protektif terhadap Vella. Sembari merengkuh lengan papanya, Vella mulai berbisik, "Pa, nanti Papa jangan memberi pertanyaan yang aneh-aneh ya? Jangan menakut-nakutinya." Permintaan Vella ini segera menciptakan senyum geli yang terlihat samar di bibir Edgar, ia pun menjawab santai, "Kalau takut ya putus saja." "Tch … mendadak aku menyesal mengajak papa bertemu dengannya," gerutu Vella lirih, tapi masih bi
Di sofa ruang bacanya Edgar tertegun sendirian menatap sebuah foto kebersamaannya dengan Vella dan Vita sebelum Andin dan Indina tiba. Dulu mereka sangat bahagia layaknya keluarga yang sempurna, tapi Edgar menghancurkan semuanya dengan sebuah penghianatan.Sekarang rasa bersalah itu seperti menumbuknya menjadi serpihan debu yang tak berguna.Edgar sadar semua rentetan masalah ini berawal dari penghianatannya terhadap Vita, hingga Vella juga harus menanggung dampak dari perbuatannya.Sekarang dia tidak punya sanggahan jika Vella menilainya sebagai seorang ayah yang buruk. Edgar sendiri juga merasa dirinya bodoh dan hanya menciptakan kesedihan di hati anak dan istrinya.Setelah mengkhianati istri cantik yang setia, dia malah membuang dan menelantarkan Vella di luar sana. Kata 'bajingan' sepertinya tak cukup untuk menggambarkan dirinya saat ini. Edgar sadar itu.Edgar tidak menoleh ketika seseorang hadir di sebelahnya tanpa berkata, dia tahu itu Vella. Hanya saja dia tidak punya kata-k
Waktu terus bergulir, langit yang tadinya terang kini sudah menggelap. Notifikasi di ponsel Vella pun seakan tak berhenti bergetar mengingatkan Vella untuk segera kembali. Diam-diam nenek Lola memperhatikan Vella yang terus mengulum senyum sembari membalas chat. Sudah pasti itu Samudera yang mulai rewel karena ditinggal lama. Vella jadi merasa mempunyai bayi besar sekarang. "Namanya siapa?" Tiba-tiba nenek Lola bertanya dengan suara seraknya yang bernada lembut. Vella yang berbaring tengkurap di sebelah nenek Lola segera mendongak dan menaikan alis sembari tersenyum. "Perlihatkan pada nenek, seperti apa wajahnya?" Kedekatannya dengan nenek Lola membuat Vella tak ragu untuk menunjukkan foto Samudera kepadanya. "Pantas saja, mata cucu nenek memang tidak pernah salah. Sangat tampan," ucap nenek Lola memuji paras mulia seorang Samudera. Vella tersenyum girang lantas memeluk neneknya dan berkata, "Nenek, apakah Nenek baik-baik saja jika aku pergi? Sebenarnya malam ini aku ada janji