"Vella!" pekik semua orang terkejut dengan tindakan Vella, yang memukul Indina secara mendadak. Indina tersungkur lemah ke samping, namun sepertinya Vella tak ingin berhenti sampai di situ. Dia sudah menahan sejak lama amarahnya, kali ini dia tak ingin memendamnya lagi. Kembali Vella mengacungkan tinjunya dengan keras menghantam wajah perempuan jahat hingga tersungkur ke lantai. Semua orang kembali menjerit, namun tak berani mencegah Vella melakukan tindakan yang tak patut ditiru. Sejak awal Vella memang tidak suka berbasa basi, dia hanya melakukan apa yang ada di pikirannya dengan spontan, tak ingin menutupi bahwa dia kejam dan jahat, memberi ketakutan pada setiap orang yang melihatnya. Tepat pada saat itu Edgar tiba dan sudah pasti sangat terkejut melihat keributan di rumahnya. Dia berlari meraih Vella yang tampak kesetanan ingin kembali menghajar Indina yang terlihat tak berdaya di lantai. "Vella, hentikan! Ada apa denganmu sebenarnya?" Vella tidak ingin menjawab hanya menata
Sejak Vella tak ingin meredam kekakuannya, Edgar hanya bisa menghela napas kasar.Minggu sore yang redup menjadi senyum ejekan untuk Vella dari Indina dan Andin.Seberapapun nenek Lola mencegah, nyatanya Edgar tak mengurungkan niat untuk mengantar Vella menuju asrama.Edgar masih menganggap selama ini terlalu memanjakan Vella, hingga gadis itu tumbuh menjadi anak yang dingin dan arogan.Menyuruh mama tirinya untuk berlutut itu menurutnya sangat keterlaluan bagi seorang anak."Bukan papa tidak menyayangimu, Vella. Tapi papa ingin kamu belajar menjadi rendah hati dan menghargai orang lain. Papa harap kehidupan sederhana di asrama dapat mendisiplinkanmu."Ucapan Edgar sangat jelas di telinga Vella, namun gadis itu sama sekali tak menanggapi, ekspresi wajahnya datar tak menunjukkan emosi sedikitpun.Hanya menatap nyalang anak-anak seusianya keluar masuk menuju bangunan yang nanti akan menjadi tempat tinggalnya. "Ini uang sakumu, papa tidak akan memberikan kartu kredit untukmu kali ini. J
Teriakan itu membuat dua gadis yang duduk menghadap meja belajar menoleh secara serempak.Seorang gadis berambut pendek sebahu masuk diikuti dua gadis lain di belakangnya, wajahnya terlihat sombong dan meremehkan tatkala memasuki ruangan. Sedikit membeku ketika melihat Vella ada di situ, salah satu alisnya pun terangkat, kemudian dia berucap, "Oh, ternyata kamu sudah punya teman sekamar ya?"Salah satu teman yang mengikutinya tampak maju selangkah dan membisikkan sesuatu padanya.Seketika dua mata itu melebar mendengar bisikan, lantas dia pun tersenyum mencela ketika melihat Vella dengan seksama. "Oh, dia adalah Kabut Suram itu ya?"Gadis itu menjeda ucapannya sejenak kemudian kembali berkata, "Tapi ... bukankah dia putri dari keluarga kaya? Kenapa dia bisa terdampar di sini sekarang?""Pasti keluarganya sudah menyerah menangani kelakuannya yang kejam seperti itu, makannya dia dibuang ke sini." Gadis lain terdengarnya nyeletuk dengan nada cibiran kental.Vella menghela napas kasar, s
Cahaya lampu malam jatuh menerpa lima anak gadis yang tengah berdiri di hadapan dua perempuan paruh baya dengan binar ketegasan yang tak bisa dibantah.Vella sudah tahu bahwa ini akan terjadi. Dia berdiri tenang kemudian mengangguk setelah mendapatkan pertanyaan yang panjang.Tentu saja Vella mengakui jika dia memang memukul Nadia di kamarnya.Namun, rona wajahnya yang tenang tanpa rasa bersalah, malah membuat dua wanita paruh baya itu menghela napas kasar."Vella, belum ada setengah malam kamu datang ke asrama ini, tapi kamu sudah membuat keributan. Kamu tahu hukuman apa bagi siswa-siswi yang menggunakan kekerasan di sini?" tanya kepala pengurus asrama.Vella menggeleng datar, dan menjawab, "Tidak."Kepala pengurus asrama terlihat mengangguk-anggukkan kepala samar, kemungkinan besar dia memaklumi karena Vella baru datang. Tapi nyatanya perintah hukuman itu tetap Vella dengar."Meski baru datang, bukan berarti kamu lolos dari hukuman, Vella. Ayahmu menyerahkan kamu di sini, maka kami
Segera pengawas itu menoleh dan melihat Vella yang hanya berdiri menatap piring-piring kotor. "Apa kamu ingin hukuman tambahan?" tanyanya.Vella hanya menghela napas kasar, sepertinya kali ini dia memang tak bisa menghindar.Tapi sebelum menyentuh piring-piring yang ada di depannya, manik hitam dingin itu sempat melihat tiga gadis yang tersenyum mencela kepadanya. Tapi detik berikutnya tiga gadis itu kehilangan keberanian untuk tersenyum. Tatapan Vella cukup untuk menenggelamkan nyali mereka.Waktu hampir menunjukkan pukul sembilan malam, manakala keempat gadis itu menyelesaikan hukuman mereka.Vella berjalan santai menuju ke kamarnya, seorang gadis culun yang tidak lain adalah Sabrina tengah menunggunya dengan binar lemah dan ketakutan setibanya di kamar tersebut. Vella lelah, sesungguhnya dia muak melihat ketakutan itu terus-menerus.Vella mendesah kasar. Dan bergegas naik ke tempat tidur yang berada di atas. Tapi segera dia mengurungkan niat kala Sabrina tiba-tiba memegang tanganny
Entahlah, rasanya begitu tidak terima saat Vella tersenyum hangat sembari menyambut lambaian tangan Samuel. Dengan penuh emosi dia menyahut tangan Vella dan mengajaknya pergi. "Ish, lepaskan aku tidak perlu menyeretku seperti ini." Vella mengibaskan tangannya. "Vella, berhenti ya, aku tidak suka kamu terlalu dekat dengan anak kelas sepuluh itu!" Senyum seringai terbit begitu mendengar keluhan Rino. "Lalu bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan baru-baru ini, ha? Aku tidak menamparmu saja itu sudah bagus." "Vella, kenapa kamu masih secemburu itu dengan adikmu? Sudah aku bilang cuma ada kamu satu-satunya." "Menjijikkan!" Segera Vella meninggalkan Rino usai mengucapkan kata ketus. "Vella ... jangan marah terus seperti itu. Oke, aku tidak akan menjemput Andin lagi mulai sekarang," ucap Rino sembari mengejar langkah lebar Vella. "Terserah!" "Vella ...." Dari sudut yang berbeda Samudera tengah memperhatikan bagaimana cara Rino mengejar-ngejar Vella. Wajah tampannya menunjukkan ron
Seketika Vella terkesiap mendengar ancaman Samudera. Dan entah mengapa dia selalu tidak bisa mengimbangi sikap dingin Samudera, laki-laki yang menggenggam tangannya ini selalu mempunyai sisi dominan yang sangat kuat hingga bisa mengendalikannya.Vella tak bisa berkutik, kala Samudera mengajaknya masuk ke dalam mobil.Vella juga kembali terkesiap kala Samudera menunduk tepat di depan wajahnya."Kamu mau apa? Jangan dekat-dekat!" pekik Vella sembari mendorong dada Samudera agar tidak terus mendekat.Tapi setelah melihat senyum seringai yang sangat menjengkelkan milik Samudera, dia baru sadar jika Samudera hanya ingin memasang sabuk pengaman di tubuhnya.'Menyebalkan!' batin Vella kesal.Segera mobil itu melaju setelah semua penghuninya tenang."Ke mana sopirmu?" tanya Samudera acuh tak acuh."Tidak ada. Tidak ada antar jemput lagi untukku sekarang."Samudera tersenyum samar dan bertanya, "Kenakalan apa lagi yang kamu lakukan?"Sejenak Vella mencerna pertanyaan Samudera. 'Apa benar selam
"Sepertinya itu sangat sulit, Nyonya Arganta," ucap Ramzi setelah tersenyum hambar pada Indina. "Apa maksudnya sulit? Vita sudah tidak ada sekarang, jadi pihak keluarga juga punya hak untuk mengelola aset tersebut selama ahli waris belum bisa mengelolanya." Suara Indina mulai meninggi. "Benar, tapi kekayaan mendiang nyonya Vita terpisah dengan kekayaan tuan Edgar. Itu sudah menjadi perjanjian mereka saat menikah, jadi tidak ada yang bisa mengambil alih kekayaannya selain ahli waris asli, termasuk tuan Edgar sekali pun. Jadi mustahil jika ada pihak lain bisa mengelolanya," terang Ramzi tenang. "Tapi sekarang aku adalah mamanya Vella. Jadi apapun yang berkaitan dengan Vella juga menjadi tanggung jawabku termasuk kekayaan yang dia punya." Indina masih saja ngotot. "Iya Nyonya Arganta, semua orang juga tahu itu, hanya saja saya pikir Anda tidak cukup bodoh untuk mengetahui jika hanya orang yang mempunyai hubungan darah asli yang bisa mewarisi kekayaan mendiang nyonya Vita." Ramzi m
Asap putih mengepul dari mesin mobil. Dengungan yang menyakiti telinga masih Vella rasakan di pendengaran.Di depan, Virgon langsung menoleh dan bertanya, "Tuan, bagaimana keadaan Anda?"Samudera hanya menggeleng samar, sabuk pengaman yang digunakan dengan benar memang sangat menguntungkan.Ia menoleh ke samping melihat Vella yang masih syok dan pucat. Ia melepas sabuk pengamannya sendiri, lantas memeluk gadisnya."Kamu tidak apa-apa 'kan?"Belum sempat Vella menjawab, tiba-tiba suara rentetan tembak terdengar, ini menunjukkan bahwa kecelakaan ini tidak alami. Mereka diserang.Samudera langsung tahu apa yang harus ia lakukan. Melepas sabuk pengaman Vella dengan cepat dan berkata, "Kamu tidak takut 'kan? Ayo kita keluar!""Um …." Vella mengangguk dengan binar wajah pucat yang belum hilang.Sesungguhnya kaki Vella mati rasa lantaran tabrakan tadi, hingga ia langsung jatuh ketika hendak berjalan keluar mobil."Vella ….""Aku tidak apa-apa, hanya sedikit kram, ayo!" Vella kembali bangkit
Vella perlahan menatap Samudera lembut, senyumnya tertarik samar kemudian bertanya, "Kamu yang melakukan semua ini?"Samudera menatap Vella sejenak, memang iya, dia yang mengatur semua kesialan yang menimpa Andin saat ini. Sejak awal dia sudah curiga bahwa Andin akan berulah sebelum olimpiade panahan dimulai agar Vella didiskualifikasi seperti saat perlombaan fashion show dulu.Karena itu Samudera terus mengawasi Andin, dia juga yang menukar jus jeruk yang mengandung afrosidiak saat Andin terpesona dengan ketampanannya. Hingga jus jeruk yang dibumbui obat cinta itu Andin minum sendiri pada akhirnya.Samudera juga mengatur seseorang untuk memberikan mawar essens di kamar nomor 202 dan menukar nomor tersebut dengan 201. Barulah ketika laki-laki hidung belang itu masuk ke dalam kamar Andin. Nomor itu dikembalikan ke tempat semula.Setelah itu Samudera memanggil adik-adiknya untuk bermain poker di kamar Vella. Mengejutkan gadisnya yang baru saja tiba.
"Mumu, kamu ini kenapa? Gintuan apa?" tanya Vella terkejut melihat kedatangan Samuel yang mendadak.Tapi Samudera, ia malah tersenyum. Melihat adiknya mimisan, ia sudah tahu apa yang terjadi. Dengan pelan Samudera memanggil, "Sini!"Samuel mendekat dengan patuh, lantas duduk di lantai sambil mendongakkan wajah.Segera Samudera meraih tisu kemudian mengelap hidung adiknya dengan lembut dan telaten seperti kakak yang baik.Vella tidak ingin mempedulikan tingkah kakak beradik yang kadang penuh penindasan, tapi kadang juga hangat dan lembut membuat hati orang meleleh seperti ini. Ia segera keluar memeriksa apa yang terjadi.Semua orang berjubel memenuhi kamar no. 202, Vella pun menelusup masuk di sela-sela kerumunan semua orang. Harum aroma mawar pekat segera memenuhi ruang hidung Vella.Keterkejutan tak bisa dielakkan manakala berhasil menerobos kerumunan orang banyak."Andin!!!" Itu hardikan seorang kakak yang kecewa terhadap kelakuan adiknya.Andin yang menangis terisak sambil menutupi
"Tu-tuan muda kedua?" Kepala sekolah langsung gagap mendengar pertanyaan Samuel. Sementara semua orang masih tercengang melihat pemandangan ini. Di atas kasur ada Samuel, Zio, Zoya dan juga Sabrina yang sedang bermain poker. Sementara di sofa single ada Samudera yang duduk dengan tenang sembari memainkan ponsel. Tentu saja semua orang bertanya-tanya, bagaimana para tuan muda ini bisa di kamar Vella? Terutama Rino yang pernah mencurigai Samudera adalah kekasih tersembunyi Vella. Sekarang terkaan itu semakin kuat. "Kalian ngapain ramai-ramai masuk ke sini? Ingin ikut bermain poker bersama kita?" Lagi Samuel bertanya ketus. "Tuan muda kedua, sepertinya ini hanya salah paham. Tadinya kami mendapat laporan yang tidak pantas, jadi kami buru-buru datang ke sini." Kepala sekolah mulai menjelaskan. "Laporan tidak pantas apa?" Samuel kembali bertanya ketus. "Katanya Vella membawa laki-laki ke kamarnya, makanya kami ingin meluruskan?" Kepala sekolah kembali menjelaskan. "Kalau ada laki-l
Saat Andin duduk tenang bersama Vella nyatanya Rino juga tak bisa menahan diri untuk mendekat ke arahnya. Saat itu juga Vella mulai merasa tidak nyaman. Dia menghabiskan jus jeruk yang ia pegang kemudian beranjak berdiri."Vel, kamu mau kemana?" tanya Rino segera."Bukan urusanmu." Vella berlenggang pergi usai menyelesaikan kalimatnya.Senyum Andin semakin merekah ketika melihat gelas Vella kosong. Ia juga sudah tidak tertarik berdiam diri di tempat itu."Kak Rino, aku akan beristirahat. Besok aku akan berkompetisi, jadi aku harus mempersiapkan diri dengan baik. Aku pergi dulu ya." Tidak menunggu jawaban dari Rino, Andin segera berdiri dan menyusul Vella.Vella sadar itu, sesampainya di koridor wisma atlet, ia menghentikan langkah dan menatap Andin lekat."Kamu mau apa?" tanya Vella dingin."Aku … aku mau kembali ke kamarku, Kak. Kamu menginap di kamar nomor berapa? Aku di kamar nomor 202."Vella mendengkus ding
Vella tertegun sembari berbaring menyamping di tempat tidurnya tanpa merasakan kenyamanan.Pandangannya kosong, sesekali diwarnai dengan embusan napas kasar yang terasa hangat menyentuh ujung bibir.Sampai telinganya mendengar suara pintu terbuka, perlahan Vella segera memejamkan mata.Tempat tidur bergoyang ringan, aroma maskulin semakin mendekat diikuti pelukan hangat dari belakang."Kamu sudah tidur?" bisik Samudera di dekat telinga Vella.Vella bergeming, tak ingin merespon pertanyaan Samudera. Dia tidak ingin meledak, hanya mencoba meredam kekacauan hati seorang diri.Kecupan sayang Vella rasakan di atas telinganya. Berikut suara rendah yang menenangkan."Jangan takut, aku tidak akan pernah meninggalkanmu."Meski Vella tidak terisak, tapi Samudera tahu Vella baru saja menangis. Bantal yang basah sudah cukup mewakili perasaan Vella saat ini.Kecupan sayang itu kembali mendarat, pelukan Samudera juga
Suara serak di depan pintu yang masih tertutup juga menarik perhatian Edgar untuk menoleh. Sementara Vella langsung menatap Samudera seakan berkata, 'Lakukan sesuatu!'Kedatangan kakek Baswara secara mendadak di hadapan Edgar, tentu akan menimbulkan masalah lain.Sebaiknya hanya sedikit orang yang tahu tentang pernikahan Vella dengan Samudera, paling tidak sampai mereka lulus sekolah.Samudera pikir juga begitu, saat ini dia belum menemukan keberadaan Vita. Membiarkan Edgar dan kakek Baswara bertemu pasti akan membuat masalah lebih runyam.Samudera segera meraih ponsel dan mengirim pesan dengan cepat."Apa kamu datang bersama seseorang di sini?" tanya Edgar pelan.Tapi belum sempat Samudera menjawab, suara gaduh di luar kembali terdengar."Kakek salah tempat, acaranya bukan di sini. Ayo, Kek. Mama dan papa sudah menunggu!""Kakek jangan jauh-jauh dari kami, aku mau menagih oleh-oleh kenapa sudah hilang?""Atau jangan-jangan Kakek datang dengan tangan kosong ya hingga ingin menghindari
Di restoran Galaksi Samudera sudah duduk dengan tenang di mansion 8, ruangan eksklusif yang dia pesan setelah menerima telepon dari Vella bahwa Edgar ingin bertemu. Seperti biasa, Samudera selalu tenang sama sekali tidak menunjukkan kepanikan. Berbeda dengan Vella saat ini, ia mulai sedikit gugup sambil berjalan di sebelah Edgar menuju ke mansion 8. Ini pertama kalinya Edgar bertemu dengan Samudera, Vella takut Edgar akan memberi pertanyaan aneh dan juga menekan. Samudera memang seperti orang asing yang tiba-tiba muncul di kehidupan Vella. Jadi kemungkinan besar Edgar akan lebih protektif terhadap Vella. Sembari merengkuh lengan papanya, Vella mulai berbisik, "Pa, nanti Papa jangan memberi pertanyaan yang aneh-aneh ya? Jangan menakut-nakutinya." Permintaan Vella ini segera menciptakan senyum geli yang terlihat samar di bibir Edgar, ia pun menjawab santai, "Kalau takut ya putus saja." "Tch … mendadak aku menyesal mengajak papa bertemu dengannya," gerutu Vella lirih, tapi masih bi
Di sofa ruang bacanya Edgar tertegun sendirian menatap sebuah foto kebersamaannya dengan Vella dan Vita sebelum Andin dan Indina tiba. Dulu mereka sangat bahagia layaknya keluarga yang sempurna, tapi Edgar menghancurkan semuanya dengan sebuah penghianatan.Sekarang rasa bersalah itu seperti menumbuknya menjadi serpihan debu yang tak berguna.Edgar sadar semua rentetan masalah ini berawal dari penghianatannya terhadap Vita, hingga Vella juga harus menanggung dampak dari perbuatannya.Sekarang dia tidak punya sanggahan jika Vella menilainya sebagai seorang ayah yang buruk. Edgar sendiri juga merasa dirinya bodoh dan hanya menciptakan kesedihan di hati anak dan istrinya.Setelah mengkhianati istri cantik yang setia, dia malah membuang dan menelantarkan Vella di luar sana. Kata 'bajingan' sepertinya tak cukup untuk menggambarkan dirinya saat ini. Edgar sadar itu.Edgar tidak menoleh ketika seseorang hadir di sebelahnya tanpa berkata, dia tahu itu Vella. Hanya saja dia tidak punya kata-k