"Zein …," panggil Zahra lembut, mengusap rambut Zein berulang-ulang untuk menyalurkan kehangatan serta kekuatan. Zahra sadar jika Zein sedang menangis, dan untuk itu Zahra merasa sedih–walau Zahra sendiri tak tahu alasan kenapa Zein menangis. "Tolong peluk aku lebih erat," bisik Zein bersuara, nadanya rendah, serak dan lirih. Zahra menganggukkan kepala, membalas pelukan Zein dengan memeluk tubuh besar tersebut secara erat. Zahra dapat merasakan adanya kesedihan mendalam pada Zein. Namun, apa yang membuat Zein seperti ini? Suaminya yang terkenal dingin, kejam dan bengis bahkan sampai menitihkan air mata–diam-diam menangis di pundak Zahra. Apakah lukanya sangat besar dan parah? Tetapi siapa memangnya yang dapat melukai seorang Zein? Selama beberapa menit, mereka hanya berpelukan. Zahra diam untuk memberikan ruang pada suaminya, supaya Zein bisa meluapkan semua yang ia rasakan lewat pelukan tersebut. Sedangkan Zein, dia berupaya menetralkan perasaan menusuk dalam hatinya. Usapan dan b
'Zein sepertinya belum berubah sepenuhnya. Dia masih semena-mena, dia meninggalkanku setelah dia mendapatkan apa yang dia mau.' batin Zahra, menunduk dengan raut muka sedih. Sejenak dia merasa dirinya sedikit murahan karena membiarkan Zein dengan mudah mempermainkannya. Tetapi di sisi lain dia berusaha berpikir jernih. 'Siapa tahu Zein ada keperluan mendesak. Ya-yah, mungkin Zein pergi karena ada hal penting,' batin Zahra, berupaya menenangkan dirinya. Ceklek' Hingga tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan seorang pria berdiri di ambang pintu–menatap sayu bercampur sendu ke arah Zahra."Zein …," panggil Zahra, menatap cukup kaget pada suaminya. Dia langsung merasa lega tetapi secara bersamaan merasa malu karena sudah berpikir yang bukan-bukan pada suaminya. Zahra mengukir senyuman pada Zein, duduk di atas kasur dan bersitatap dengan suaminya yang masih di ambang pintu kamar mandi. Zein berjalan ke arah Zahra, pria itu menampilkan raut muka datar tetapi dengan manik
"Benci Papa …."Lucas yang baru saja ingin duduk di sofa kamar putrinya seketika menghampiri Zein. Meskipun suaranya lemah dan terdengar pelan, tetapi Lucas mendengar jelas apa yang Zein katakan. Benci Papa?Lucas mendekati ranjang tempat Zein berbaring, mengamati wajah cemas menantunya yang terlihat masih tertidur. "Papa … benci Papa …." Kalimat itu terucap kembali. Lucas lebih jelas mendengarnya. Entah inisiatif dari mana, Lucas mengulurkan tangan untuk menyentuh kening Zein, di mana dia bisa merasakan suhu yang semakin tinggi di kulit kening Zein. Dia menghela napas kemudian mengusap rambut Zein, bak seorang ayah yang lemah lembut pada putranya. Tatapan Lucas yang awalnya datar, berubah sendu–memperhatikan Zein iba. Dari cerita yang pernah Raka katakan padanya mengenai Zein dan mendiang ayahnya, mungkinkan Zein kekurangan kasih sayang dari orangtuanya? "Ayah di sini, Nak," ucap Lucas tiba-tiba, berbicara serak dan pelan–khawatir sekaligus hangat secara bersamaan. "Ayah ada di
"Harus berapa lama lagi aku menunggu, Mama?!" teriak seorang pria pada Yolanda, memecahkan benda apapun yang berada di sekitarnya. "Perusahaan KrystalRoyal'M tidak bisa kumiliki dan Zahra …-" Nolan melototi Yolanda, mengambil sebuah vas bunga kemudian melemparnya ke arah mamanya."Zahra juga tidak bisa kumiliki. Argkkkk …." Nolan kembali berteriak, "kau sangat tidak becus menjadi Ibu. Kau pilih kasih!" makinya. Yolanda menggelengkan kepala, menangis sesenggukan sebab tak tega bercampur takut melihat kondisi putranya. "Mama menyayangimu, Nak. Mama memberikan semuanya untukmu. To-tolong jangan katakan seperti tadi.""Lalu kenapa Zein yang mendapatkan semuanya? KENAPA?!" Brak' Nolan meraih kotak tissue lalu melemparkannya ke arah mamanya. Kali ini, benda keras tersebut berhasil menghantam Yolanda–kening Yolanda berdarah akibat hantaman kotak tissue tersebut. "Ahk." Yolanda memekik, tak lama melorot ke lantai akibat rasa sakit yang tiba-tiba memenuhi kepala. Berdenyut serta terasa men
"Perusahaan, kekayaan, kedudukan dan …-" Yolanda menatap sayu pada Zahra, tersenyum tipis entah karena apa. "Istri yang sempurna. Kamu begitu beruntung, Nak. Ka-kamu mendapatkan semuanya.""Keberuntungan yang Zein dapat bukan alasan untukmu mengkhianati Zein. Kesensaraan yang dialami putra pertamamu, anak harammu, bukan alasan untukmu mendukung kejahatannya," ucap Brian, dingin tetapi dengan tatapan iba. Bukan pada Yolanda yang berbaring lemah di bed hospital, tetapi pada cucunya. "Aku tahu, Ayah. A--aku mengakui dan menyadari kesalahanku. Namun, aku hanyalah seorang ibu-- ibu yang ingin kedua anaknya sama-sama berhasil. Zein mendapatkan semuanya, apa salah jika dia me-menyerahkan Zahra pada Nolan? Zein sempurna dengan cinta dari …-"Zein yang sudah tak tahan, langsung memotong ucapan mamanya. "Cinta? Cinta dari siapa? Kau dan suamimu?" geram Zein dingin, menatap tajam ke arah mamanya. Tak peduli lagi jika perempuan ini yang melahirkannya, hatinya terlalu sakit. Orangtua yang seharun
Setelah kematian ibunya, Zein selalu termenung. Ini sudah tiga hari dari kematian ibunya, akan tetapi Zein masih berdiam dalam kamar. Selain dari itu, demam Zein juga semakin tinggi, membuatnya lebih sulit untuk beraktivitas. "Zein, kamu makan dulu," ucap Zahra, datang dengan membawa nampan berisi makanan untuk Zein. Zein menatap Zahra, menggelengkan kepala lalu kembali menunduk dalam. "Zein, aku tahu kamu sedih tetapi jangan berlarut-larut seperti ini. Jangan biarkan sedih menguasai ikutan dan menyerang kesehatanmu," nasehat Zahra lembut, meletakkan nampan di atas nakas. "Kamu makan yah?" Alih-alih menjawab ucapan Zahra, Zein lebih memilih membahas hal lain. "Sekarang aku sendiri, Zahra Aurelia. Dia meninggalkanku tanpa ingin memperbaikinya. Padahal aku berharap … dia mendatangiku lalu mengajakku untuk memulai hubungan baru. Aku mengharapkan kasih sayang yang tulus darinya, aku ingin dia mencintaiku seperti dia mencintai anak pertamanya." "Syutttt …." Zahra menarik Zein ke peluk
Sudah dua minggu setelah kehilangan ibunya, Zein telah sembuh dari demam akan tetapi masih kacau. Dia tak pernah lagi datang ke kantor, hanya diam di rumah lalu minum-minuman. Zahra tiap hari menemui Zein untuk membujuknya kembali, dia selalu datang untuk menenangkan Zein. Akan tetapi, Zein tetap sama–berlarut-larut dalam kesedihan serta keterpurukan. "Apa sebenarnya yang kau mau, Hah?!" marah Raka, kembali datang menemui Zein karena kesal Zein enggan datang ke perusahaan. "Apa semua orang harus peduli pada penderitaanmu?" "Pernah kalian dikhianati oleh ibu kandung sendiri?" balas Zein, sinis dan dingin. Lalu dia dengan tenang kembali menghisap rokok. Wajahnya menampilkan ekspresi datar dan maniknya kosong, hanya ada keputusasaan di sana. "Tidak." Raka menjawab kesal. "Tapi aku paham apa yang kau rasakan, Zein. Kau sedih, kecewa dan marah. Iya bukan?"Zein hanya diam, tak melirik Raka dan hanya sibuk merokok. Dia duduk di sofa ruang tengah rumah mewahnya, melipat kaki–di mana kak
"Fiuhhh … hampir saja Zein menangkap kita." Zahra menghela napas lega, mengelus dada setelah merasa aman dari kejaran Zein. Mereka sudah memasuki mansion ayahnya, sedangkan Zein yang mengejar dihadang oleh para bodyguard di depan sana. Meskipun lega sedikit, tetapi Zahra tetap merasa akan adanya ancaman."Aku hampir dibunuh olehnya," celetuk Raka pelan, berjalan masuk dalam rumah–beriringan dengan Zahra. Keduanya disambut oleh Lucas, melayangkan tatapan khawatir pada keduanya. Saat dijalan, Raka sempat menghubungi tuannya, menginformasikan jika Zein mengamuk dan sedang mengejar mereka. "Ayah, Zein ada di luar," ucap Zahra pelan, sejujurnya masih khawatir pada Zein. "Tenang saja. Ayah akan menemui anak gila itu. Sekarang pergilah istirahat."Zahra menganggukkan kepala, segera masuk dalam kamar. Sedangkan Lucas, dia menemui Zein yang masih tertahan oleh para bodyguard di depan rumah. "Zein Melviano!" sentak Lucas marah, berdiri tegap lalu menghunuskan tatapan membunuh ke arah Zein.