"Perusahaan, kekayaan, kedudukan dan …-" Yolanda menatap sayu pada Zahra, tersenyum tipis entah karena apa. "Istri yang sempurna. Kamu begitu beruntung, Nak. Ka-kamu mendapatkan semuanya.""Keberuntungan yang Zein dapat bukan alasan untukmu mengkhianati Zein. Kesensaraan yang dialami putra pertamamu, anak harammu, bukan alasan untukmu mendukung kejahatannya," ucap Brian, dingin tetapi dengan tatapan iba. Bukan pada Yolanda yang berbaring lemah di bed hospital, tetapi pada cucunya. "Aku tahu, Ayah. A--aku mengakui dan menyadari kesalahanku. Namun, aku hanyalah seorang ibu-- ibu yang ingin kedua anaknya sama-sama berhasil. Zein mendapatkan semuanya, apa salah jika dia me-menyerahkan Zahra pada Nolan? Zein sempurna dengan cinta dari …-"Zein yang sudah tak tahan, langsung memotong ucapan mamanya. "Cinta? Cinta dari siapa? Kau dan suamimu?" geram Zein dingin, menatap tajam ke arah mamanya. Tak peduli lagi jika perempuan ini yang melahirkannya, hatinya terlalu sakit. Orangtua yang seharun
Setelah kematian ibunya, Zein selalu termenung. Ini sudah tiga hari dari kematian ibunya, akan tetapi Zein masih berdiam dalam kamar. Selain dari itu, demam Zein juga semakin tinggi, membuatnya lebih sulit untuk beraktivitas. "Zein, kamu makan dulu," ucap Zahra, datang dengan membawa nampan berisi makanan untuk Zein. Zein menatap Zahra, menggelengkan kepala lalu kembali menunduk dalam. "Zein, aku tahu kamu sedih tetapi jangan berlarut-larut seperti ini. Jangan biarkan sedih menguasai ikutan dan menyerang kesehatanmu," nasehat Zahra lembut, meletakkan nampan di atas nakas. "Kamu makan yah?" Alih-alih menjawab ucapan Zahra, Zein lebih memilih membahas hal lain. "Sekarang aku sendiri, Zahra Aurelia. Dia meninggalkanku tanpa ingin memperbaikinya. Padahal aku berharap … dia mendatangiku lalu mengajakku untuk memulai hubungan baru. Aku mengharapkan kasih sayang yang tulus darinya, aku ingin dia mencintaiku seperti dia mencintai anak pertamanya." "Syutttt …." Zahra menarik Zein ke peluk
Sudah dua minggu setelah kehilangan ibunya, Zein telah sembuh dari demam akan tetapi masih kacau. Dia tak pernah lagi datang ke kantor, hanya diam di rumah lalu minum-minuman. Zahra tiap hari menemui Zein untuk membujuknya kembali, dia selalu datang untuk menenangkan Zein. Akan tetapi, Zein tetap sama–berlarut-larut dalam kesedihan serta keterpurukan. "Apa sebenarnya yang kau mau, Hah?!" marah Raka, kembali datang menemui Zein karena kesal Zein enggan datang ke perusahaan. "Apa semua orang harus peduli pada penderitaanmu?" "Pernah kalian dikhianati oleh ibu kandung sendiri?" balas Zein, sinis dan dingin. Lalu dia dengan tenang kembali menghisap rokok. Wajahnya menampilkan ekspresi datar dan maniknya kosong, hanya ada keputusasaan di sana. "Tidak." Raka menjawab kesal. "Tapi aku paham apa yang kau rasakan, Zein. Kau sedih, kecewa dan marah. Iya bukan?"Zein hanya diam, tak melirik Raka dan hanya sibuk merokok. Dia duduk di sofa ruang tengah rumah mewahnya, melipat kaki–di mana kak
"Fiuhhh … hampir saja Zein menangkap kita." Zahra menghela napas lega, mengelus dada setelah merasa aman dari kejaran Zein. Mereka sudah memasuki mansion ayahnya, sedangkan Zein yang mengejar dihadang oleh para bodyguard di depan sana. Meskipun lega sedikit, tetapi Zahra tetap merasa akan adanya ancaman."Aku hampir dibunuh olehnya," celetuk Raka pelan, berjalan masuk dalam rumah–beriringan dengan Zahra. Keduanya disambut oleh Lucas, melayangkan tatapan khawatir pada keduanya. Saat dijalan, Raka sempat menghubungi tuannya, menginformasikan jika Zein mengamuk dan sedang mengejar mereka. "Ayah, Zein ada di luar," ucap Zahra pelan, sejujurnya masih khawatir pada Zein. "Tenang saja. Ayah akan menemui anak gila itu. Sekarang pergilah istirahat."Zahra menganggukkan kepala, segera masuk dalam kamar. Sedangkan Lucas, dia menemui Zein yang masih tertahan oleh para bodyguard di depan rumah. "Zein Melviano!" sentak Lucas marah, berdiri tegap lalu menghunuskan tatapan membunuh ke arah Zein.
Raka menghela napas, berjalan dengan pikiran ke mana-mana. Akhirnya, meskipun pura-pura, Raka berhasil menjadi pasangan perempuan yang sangat ia cintai. Raka bersemangat karena dia dan Zahra akan menikah, tetapi di satu sisi dia sedih sebab pernikahannya dengan Zahra hanya pura-pura. Setelah di depan pintu kamar Zahra, Raka mengetuk pintu. "Zahra," panggil Raka, mengetuk pintu pelan. Beberapa kali dia mengetuk pintu dan memanggil, tetapi tak ada yang menyahut. Curiga akan sesuatu, Raka buru-buru membuka pintu. Sebenarnya, dia datang untuk menjemput Zahra–akan melangsungkan pernikahan palsu di sebuah hotel bintang lima. Meskipun hanya pura-pura tetapi Lucas tak setengah-setengah, mengurus semuanya dengan maksimal sehingga pernikahan ini terlihat asli. "Zahra!" teriak Raka panik, menatap ke seluruh penjuru kamar yang dipenuhi asap, sudah menipis tetapi asapnya masih ada. Orang-orang pada tumbang di dalam, akan tetapi Zahra tak ada di antara orang tumbang tersebut. Raka yang panik ka
"Zein." Zahra mundur perlahan saat Zein melangkah mendekatinya, dia mendongak–menatap Zein waspada dan secara lekat. Dia berusaha menganalisa apa yang akan Zein lakukan padanya, tetapi tampang datar wajah Zein membuat Zahra sulit melakukannya. Dug' Zein tiba-tiba secara cepat meraih pergelangan tangan Zahra lalu menariknya, membuat Zahra berakhir dalam dekapan pria itu. Zein langsung mengangkat tubuh Zahra, tak membiarkan sedikitpun pada perempuan itu untuk berniat kabur. Tuk' Zein menutup pintu kamar lalu berjalan membawa Zahra ke arah ranjang. "Zein, turunkan aku." Zahra memekik pelan, memukul pundak Zein beberapa kali sembari mendorongnya–berupaya bebas dari Zein. Dia bahkan menjambak rambut Zein, supaya pria itu menurunkannya. Bug'Zein memang menurunkannya, tetapi dengan cara melempar tubuh Zahra secara kasar ke arah ranjang. "Ahk." Meskipun tidak sakit, tetapi Zahra tetap menjerit. Dia cukup terkejut dengan apa yang Zein lakukan. "Ze-Zein, apa yang ingin kamu lakukan? Tol
"A--aku hanya berpura-pura menikah dengan Paman Raka, Zein," cicit Zahra kemudian, berhambur dalam pelukan suaminya. "Untuk?" dingin Zein, tetapi menerima pelukan Zahra dan bahkan membalasnya tak kalah erat dari dekapan mungil sang istri. "Ayah tidak ingin kamu berlarut-larut dalam kesedihan. Ayah tidak ingin kamu terus terusan mengonsumsi alkohol, merokok dan terus menerus mengurung diri." Zahra mendongak pada Zein, menatap pria itu dengan sendu. "Ayah sengaja merencanakan ini supaya kamu kembali ambisius. Se-setudaknya ambisius untuk mendapatkan ku kembali," jelas Zahra melanjutkan. Zein menunduk, menatap wajah istrinya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ternyata hanya pancingan! Dang it! Tunggu! Mengapa Zein merasa jika Lucas peduli padanya? Apa ini hanya sekedar karena dia suami dari Zahra atau sungguh peduli pada Zein?! "Meskipun begitu, kau tetap harus dihukum." Tangan Zein mengalungkan erat di pinggang Zahra, tiba-tiba naik ke atas–menarik resleting gaun pengant
"Sekarang minuman beralkohol dan rokok adalah hal menakutkan untukku. Aku berjanji tidak akan menyentuhnya lagi, Wife."Zahra mendongak ke arah Zein, menanggukkan kepala lalu tersenyum pada suaminya. "Tuhan memberikan kita anugerah untuk menjadi orangtua. Berjanjilah untuk menjadi Ayah yang baik, Zein."Zein menganggukkan kepala, menangkup pipi Zahra lalu mendaratkan kecupan lembut di bibir istrinya. "Ajari aku," ucapnya kemudian. Kali ini Zahra yang menganggukkan kepala, senyumannya melebar–senang karena Zein antusias dan bahkan bersedia berjanji menjadi ayah yang baik. "Sekarang kau akan kembali padaku," ucap Zein, meraih kemeja miliknya lalu mengenakannya pada Zahra. Setelah itu dia membaringkan tubuh dengan menarik Zahra dalam pelukannya. "Kau akan tinggal bersamaku," tambahnya, mendekap Zahra secara hangat. "Bagaimana dengan Ayah?" tanya Zahra ragu. Zein menculiknya, kemungkinan ayahnya akan marah lalu semakin mempersulit Zein supaya mendapatkan Zahra. Zein tiba-tiba menyung