"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Hello, Wife," sapa Nail, tersenyum tipis dan menahan geli melihat ekspresi istrinya yang sedang kaget. Sejujurnya pukulan Agatha pada kepalanya cukup sakit. Mungkin memang benar adanya jika senjata ampuh perempuan adalah sandal karena terbukti bagi Nail, sandal Agatha lebih sakit daripada pukulan papanya. Agatha mengerjap beharap kali, masih terkejut dan tak dapat menguasai diri karena sosok di hadapannya saat ini. Sungguh? Ini Nail suaminya? "Kau tidak ingin memelukku?" tanya Nail, merentangkan tangan sembari mengibarkan senyuman yang lebih lebar dari yang sebelumnya. Agatha masih membeku di tempat, dia menatap Nail dari atas hingga bawah lalu bergerak mundur. Alih-alih memeluk suaminya, perempuan itu malah sebaliknya–bergegas masuk ke dalam rumah. "Agatha Aditya Melviano." Nail memanggil, menatap bingung pada Agatha yang meninggalkannya begitu saja. Sedangkan Agatha, dia berlari menjauh dari sana. Ah, tidak! Agatha sepertinya terlalu merindukan Nail sehingga dia berhalusinasi
"Mon Tresor sebaiknya istirahat. Pasti Mon Tresor lelah. Iya kan?" ucap Agatha, menoleh ke samping saat Nail akan menciumnya. Saat ini mereka dalam kamar, melepas rindu dengan hal yang lebih intim. Nail sudah melakukannya berkali-kali, akan tetapi dia belum puas dan mengulang lagi. Sejujurnya Agatha tidak ingin menolak akan tetapi dia sudah kelelahan untuk melayani hasrat suaminya yang masih tinggi."Jangan menolakku, Agatha Aditya Melviano," dingin Nail, langsung menahan pipi Agatha supaya tidak menolak ciuman darinya. "Aku sangat merindukanmu dan sudah lama aku memendamnya." "I-iya, aku tahu. Tetapi ada baiknya kita beristirahat dulu." Agatha berkata terbata-bata, cukup gugup oleh nada dingin Nail. Nada bicaranya lemah, karena sudah tak bertenaga. Sialnya, pria ini terus memaksanya. "Sekali lagi," ucap Nail, menaikkan sebelah alis sembari menyunggingkan smirk tipis. Agatha menggembungkan pipi, menatap Nail dengan mata berkaca-kaca dan mimik cemberut. Sekali lagi? Astaga, Agatha
Agatha membawa masuk para tamunya tersebut ke sebuah ruangan, di mana dalam ruangan tersebut ada seorang anak kecil perempuan dan pria dewasa yang sedang menonton bersama. "Agatha, siapa lelaki itu?" panik Wulan, kaget melihat seorang laki-laki di rumah ini. Apa karena Nail telah lama tak pulang, Agatha menjadi kesepian dan berakhir membawa pria ke rumah ini? Tetapi dia mengenal cucunya, Agatha bukan orang yang seperti itu. "Kamu membawa pria asing masuk ke dalam rumah? Agatha! Di mana moralmu?!" marah Hendrik, berucap dengan nada tinggi dan menggelegar. Agatha menaikkan alis, menatap aneh pada kakeknya. Moral? Pria tua ini berbicara tentang moral sedangkan dia memaksa seorang perempuan yang sudah bersuami menikah dengan pria lain. Pantaskah?Di sisi lain, Nail mengatupkan ragang–marah karena mendengar suara bentakan tersebut. Di rumahnya! Ada seseorang yang berani meninggikan suara pada istrinya. Nail langsung berdiri dari sofa, memutar tubuh untuk menatap orang-orang tersebut. W
Zahra Aurelia menghela napas sebab tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Saat ini dia sedang sibuk menyusun agenda dari sang CEO di perusahaannya bekerja, tak lain adalah suaminya sendiri–Zein Melviano Adam. Dia sekretaris Zein, sudah tujuh tahun bekerja dengan perusahaan ini. Akhir akhir ini Zahra kurang fokus pada pekerjaannya sebab mantan dari suaminya yang sangat dicintai telah kembali. Sekarang wanita tersebut berada di ruangan Zein–suaminya. Harusnya mereka membicarakan proyek kerja sama tetapi sejak tadi mereka terlihat bercanda dan terus tertawa riang. Zahra bisa melihat cukup jelas sebab ruangannya dan Zein dipisah oleh dinding kaca transparan. Melihat Zein yang hangat pada Belle (mantan Zein) itu membuat Zahra sakit hati. Zahra cemburu! Akan tetapi Zahra bisa apa? Sejak dulu, bahkan sebelum mereka menikah, Zein memang telah mencintai Belle. Pernikahannya dan Zein, tiga tahun yang lalu, juga terjadi karena kesalahan satu malam. Dia dan Zein tidak sengaja melakukan one nigh
"Jadi begitukah aku di matamu, Pak? Hanya robot pekerja? Aku tidak berharga sebagai i-istri?"Zein melayangkan tatapan tajam ke arah Zahra, mendekat dengan mengatupkan rahang secara kuat. "Kau berharap apa, Humm? Mencintaimu? Kau adalah perempuan licik dan busuk. Karena jebakan mu tiga tahun yang lalu, Kakekku memaksa untuk menikahiku dan sekarang aku terjebak dengan perempuan busuk sepertimu," ucap Zein, berdesis marah dengan tatapan menjatuhkan pada Zahra. Zahra membatu di tempat, kali ini membiarkan air matanya jatuh. Dia tidak bisa membendung, perkataan Zein sangat menyakitkan. Sedangkan Zein, setelan mengatakan itu, dia langsung pergi–menggenggam tangan Belle secara mesra. Zahra tertunduk sedih, semakin sakit hati ketika melihat Zein pergi dengan menggenggam mesra tangan Belle. "Aku tidak menyangka jika kamu masih menganggapku menjebak mu. Setelah apa yang kulakukan tiga tahun ini sebagai istri, ternyata sama sekali tak membuatmu luluh, Pak," gumam Zahra, menangis sedih seba
Zahra sekarang di pemakaman neneknya, memeluk boneka yang pernah neneknya jahitkan untuknya saat dia kecil dahulu. Zahra menjatuhkan tubuhnya, bersimpuh di kuburan neneknya. Air matanya berlinang dan jatuh dengan deras, terpukul–hancur sebab kehilangan sosok neneknya. Zahra meletakkan bunga kesukaan neneknya di atas kuburan, mengusap batu nisan sang nenek dengan bulir kristal yang berjatuhan. "Terimakasih sudah merawat Zahra dengan baik, Nek. Terimakasih untuk semua cintanya. Dan maaf … maaf jika Zahra belum bisa menjadi cucu yang baik untukmu, Nek," ucap Zahra dengan nada bergetar hebat. Dia kembali menangis, sesenggukan sembari memeluk erat batu nisan neneknya. Tiba-tiba saja sebuah tangan menyentuh pundaknya, Zahra pikir dia adalah Zein. Namun dia salah, dia Raka. Hah, apa yang Zahra harapkan pada Zein? Mungkin sekarang pria itu sedang bahagia dengan kekasihnya, tengah berpesta sebab sebentar lagi akan punya anak dari perempuan yang dia cintai. "Maaf terlambat datang, Zahra. Da
Agatha membawa masuk para tamunya tersebut ke sebuah ruangan, di mana dalam ruangan tersebut ada seorang anak kecil perempuan dan pria dewasa yang sedang menonton bersama. "Agatha, siapa lelaki itu?" panik Wulan, kaget melihat seorang laki-laki di rumah ini. Apa karena Nail telah lama tak pulang, Agatha menjadi kesepian dan berakhir membawa pria ke rumah ini? Tetapi dia mengenal cucunya, Agatha bukan orang yang seperti itu. "Kamu membawa pria asing masuk ke dalam rumah? Agatha! Di mana moralmu?!" marah Hendrik, berucap dengan nada tinggi dan menggelegar. Agatha menaikkan alis, menatap aneh pada kakeknya. Moral? Pria tua ini berbicara tentang moral sedangkan dia memaksa seorang perempuan yang sudah bersuami menikah dengan pria lain. Pantaskah?Di sisi lain, Nail mengatupkan ragang–marah karena mendengar suara bentakan tersebut. Di rumahnya! Ada seseorang yang berani meninggikan suara pada istrinya. Nail langsung berdiri dari sofa, memutar tubuh untuk menatap orang-orang tersebut. W
"Mon Tresor sebaiknya istirahat. Pasti Mon Tresor lelah. Iya kan?" ucap Agatha, menoleh ke samping saat Nail akan menciumnya. Saat ini mereka dalam kamar, melepas rindu dengan hal yang lebih intim. Nail sudah melakukannya berkali-kali, akan tetapi dia belum puas dan mengulang lagi. Sejujurnya Agatha tidak ingin menolak akan tetapi dia sudah kelelahan untuk melayani hasrat suaminya yang masih tinggi."Jangan menolakku, Agatha Aditya Melviano," dingin Nail, langsung menahan pipi Agatha supaya tidak menolak ciuman darinya. "Aku sangat merindukanmu dan sudah lama aku memendamnya." "I-iya, aku tahu. Tetapi ada baiknya kita beristirahat dulu." Agatha berkata terbata-bata, cukup gugup oleh nada dingin Nail. Nada bicaranya lemah, karena sudah tak bertenaga. Sialnya, pria ini terus memaksanya. "Sekali lagi," ucap Nail, menaikkan sebelah alis sembari menyunggingkan smirk tipis. Agatha menggembungkan pipi, menatap Nail dengan mata berkaca-kaca dan mimik cemberut. Sekali lagi? Astaga, Agatha
"Hello, Wife," sapa Nail, tersenyum tipis dan menahan geli melihat ekspresi istrinya yang sedang kaget. Sejujurnya pukulan Agatha pada kepalanya cukup sakit. Mungkin memang benar adanya jika senjata ampuh perempuan adalah sandal karena terbukti bagi Nail, sandal Agatha lebih sakit daripada pukulan papanya. Agatha mengerjap beharap kali, masih terkejut dan tak dapat menguasai diri karena sosok di hadapannya saat ini. Sungguh? Ini Nail suaminya? "Kau tidak ingin memelukku?" tanya Nail, merentangkan tangan sembari mengibarkan senyuman yang lebih lebar dari yang sebelumnya. Agatha masih membeku di tempat, dia menatap Nail dari atas hingga bawah lalu bergerak mundur. Alih-alih memeluk suaminya, perempuan itu malah sebaliknya–bergegas masuk ke dalam rumah. "Agatha Aditya Melviano." Nail memanggil, menatap bingung pada Agatha yang meninggalkannya begitu saja. Sedangkan Agatha, dia berlari menjauh dari sana. Ah, tidak! Agatha sepertinya terlalu merindukan Nail sehingga dia berhalusinasi
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria