Wulan dan Hendrik sama-sama terdiam, mereka skakmat oleh ucapan Agatha. "Sayangnya aku bukan milik kalian lagi. Ah-- sejak awal memang bukan milik kalian, aku milik orangtuaku dan milik suamiku. Tolong berhenti menganggapku robot rakitan yang bisa kalian kontrol." Agatha melanjutkan kalimatnya. "Maaf …." Ucap Hendrik lirih, penuh penyesalan dan perasaan bersalah. Lewat tatapan dingin akan tetapi sendu–milik Agatha, dia memahami maksud perkataan cucunya. Hanya karena melahirkan anak, orangtua merasa jika kehidupan anak-anak mereka adalah milik mereka. Orangtua merasa berhak untuk mengatur jalan hidup anak-anak mereka dan bahkan menentukan nasib sang anak. Kenyataannya anak terlahir untuk melengkapi kebahagiaan sebuah keluarga. Mengenai kehidupan, setiap anak punya kehidupan masing-masing. Orang tuanya hanya bertanggung jawab untuk merawat, mendidik dan mengarahkan, bukan merasa menguasai kehidupan anaknya. Ini kesalahan Hendrik dan sekarang dia menyadarinya. "Kamu menyadarkan Kake
SELAMAT DATANG DI MUSIM BARU, PADA KISAH STARLA KIANA MELVIANO. SELAMAT MEMBACA, MyRe!! ---20 tahun kemudian--- "Daddy dan Mommy tenanglah. Aku di sini baik-baik saja." Seorang gadis cantik berusia 23 tahun mendudukkan tubuhnya di atas sofa, apartemen miliknya. Senyuman manis muncul di bibir ketika mendengar suara khawatir mommynya dari seberang sana. 'Mommy tetap saja khawatir padamu, Kiana. Kamu sendiri di sana.' Starla Kiana Melviano, atau gadis yang lebih akrab disapa Kiana tersebut terkekeh kecil. Dia salah tingkah oleh ucapan sang mommy yang tengah mengkhawatirkannya. "Mom, aku sudah dua puluh tiga tahun. Sudah sangat dewasa menurutku untuk mulai belajar hidup mandiri. Dulu, Mommy bahkan hidup sendiri saat berusia 18 tahun. Mommy inspirasiku dan aku akan sehebat Mommy," ucapnya, meyakinkan mommynya jika dia aman di negara ini. Sudah dua puluh tahun berlalu, Kiana tumbuh menjadi gadis cantik yang sangat giat mengejar mimpinya. Kiana perempuan yang gigih dan pantang menye
Jantung Kiana berdebar kencang, merasa jika CEO tersebut sepertinya berjalan ke arahnya. Lalu tiba-tiba saja perempuan di sebelahnya yang ia tebak adalah staf baru atau sepertinya, berbisik padanya. "Kenapa kamu mengenakan baju merah dan menggerai rambut? Apa sebelum ke sini, kamu tidak mencek peraturan kantor ini? Tuan CEO melarang siapapun untuk mengenakan pakaian merah, dan bagi perempuan diwajibkan menguncir rambut. Tuan CEO sepertinya marah melihatmu," bisik orang tersebut–membuat Kiana menahan nafas karena panik bukan main. CEO di sini membuat peraturan yang sangat aneh. Perempuan dilarang menggerai rambut dan harus menguncir rambut. Lalu semua orang dilarang mengenakan pakaian merah. 'Ja-jangan-jangan ucapan Kak Saga benar. Di-dia mayat penghisap darah karena dia menghindari warna merah dan leher adalah sumber makanannya, darah dihisap dari leher. Oleh sebab itu perempuan berambut panjang dilarang menggerai rambut supaya dia bisa memantau kualitas mangsanya melalui lehe
Zahra Aurelia menghela napas sebab tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Saat ini dia sedang sibuk menyusun agenda dari sang CEO di perusahaannya bekerja, tak lain adalah suaminya sendiri–Zein Melviano Adam. Dia sekretaris Zein, sudah tujuh tahun bekerja dengan perusahaan ini. Akhir akhir ini Zahra kurang fokus pada pekerjaannya sebab mantan dari suaminya yang sangat dicintai telah kembali. Sekarang wanita tersebut berada di ruangan Zein–suaminya. Harusnya mereka membicarakan proyek kerja sama tetapi sejak tadi mereka terlihat bercanda dan terus tertawa riang. Zahra bisa melihat cukup jelas sebab ruangannya dan Zein dipisah oleh dinding kaca transparan. Melihat Zein yang hangat pada Belle (mantan Zein) itu membuat Zahra sakit hati. Zahra cemburu! Akan tetapi Zahra bisa apa? Sejak dulu, bahkan sebelum mereka menikah, Zein memang telah mencintai Belle. Pernikahannya dan Zein, tiga tahun yang lalu, juga terjadi karena kesalahan satu malam. Dia dan Zein tidak sengaja melakukan one nigh
"Jadi begitukah aku di matamu, Pak? Hanya robot pekerja? Aku tidak berharga sebagai i-istri?"Zein melayangkan tatapan tajam ke arah Zahra, mendekat dengan mengatupkan rahang secara kuat. "Kau berharap apa, Humm? Mencintaimu? Kau adalah perempuan licik dan busuk. Karena jebakan mu tiga tahun yang lalu, Kakekku memaksa untuk menikahiku dan sekarang aku terjebak dengan perempuan busuk sepertimu," ucap Zein, berdesis marah dengan tatapan menjatuhkan pada Zahra. Zahra membatu di tempat, kali ini membiarkan air matanya jatuh. Dia tidak bisa membendung, perkataan Zein sangat menyakitkan. Sedangkan Zein, setelan mengatakan itu, dia langsung pergi–menggenggam tangan Belle secara mesra. Zahra tertunduk sedih, semakin sakit hati ketika melihat Zein pergi dengan menggenggam mesra tangan Belle. "Aku tidak menyangka jika kamu masih menganggapku menjebak mu. Setelah apa yang kulakukan tiga tahun ini sebagai istri, ternyata sama sekali tak membuatmu luluh, Pak," gumam Zahra, menangis sedih seba
Zahra sekarang di pemakaman neneknya, memeluk boneka yang pernah neneknya jahitkan untuknya saat dia kecil dahulu. Zahra menjatuhkan tubuhnya, bersimpuh di kuburan neneknya. Air matanya berlinang dan jatuh dengan deras, terpukul–hancur sebab kehilangan sosok neneknya. Zahra meletakkan bunga kesukaan neneknya di atas kuburan, mengusap batu nisan sang nenek dengan bulir kristal yang berjatuhan. "Terimakasih sudah merawat Zahra dengan baik, Nek. Terimakasih untuk semua cintanya. Dan maaf … maaf jika Zahra belum bisa menjadi cucu yang baik untukmu, Nek," ucap Zahra dengan nada bergetar hebat. Dia kembali menangis, sesenggukan sembari memeluk erat batu nisan neneknya. Tiba-tiba saja sebuah tangan menyentuh pundaknya, Zahra pikir dia adalah Zein. Namun dia salah, dia Raka. Hah, apa yang Zahra harapkan pada Zein? Mungkin sekarang pria itu sedang bahagia dengan kekasihnya, tengah berpesta sebab sebentar lagi akan punya anak dari perempuan yang dia cintai. "Maaf terlambat datang, Zahra. Da
"Ayo bercerai, Pak," dingin Zahra, mendongak dengan melayangkan tatapan kosong pada Zein. Zein kaget, terkesima serta tak percaya. Dia menatap Zahra lekat, memperhatikan perempuan tersebut secara teliti. Zahra terlihat serius dan tidak main-main dengan perkataannya. Itu membuat Zein sangat bingung. Tidak mungkin! Zahra tergila-gila padanya, Zahra menginginkannya dan sangat terobsesi menjadi nyonya Melviano. Tidak mungkin perempuan ini meminta cerai. "Kau sedang berdua, jadi berhenti berbicara omong kosong," tegur Zein, tiba-tiba menggenggam tangan Zahra. Entah kenapa dia melakukan hal itu. Zahra menepis tangan Zein lalu menggelengkan kepala. "Yah, karena aku sedang berduka, Pak. Oleh sebab aku ingin menghentikan duka dan penderitaan ini. Anda tidak mencintaiku, dan wanita yang anda tunggu telah kembali. Jadi, mari bercerai, Pak," ucap Zahra tegas. "Diam!" marah Zein, melayangkan tatapan membunuh serta penuh peringatan pada Zahra. Dia tidak suka perempuan ini mengatakan omong koso
Zahra termenung dalam kamar, dia di rumah Zein karena paksaan Zein saat itu. Sekarang dia sedang beristirahat, tubuhnya lemah karena kehamilannya. Zahra sedang menunggu Zein, akan tetapi setelah hari pemakaman neneknya Zein tak pernah lagi pulang ke tempat ini. Zein sepertinya memang sudah tak menginginkannya. Sudah ada Belle, pengganti Zahra. Ah, salah. Selama tiga tahun ini Zahra lah yang menjadi pengganti. Sekarang Belle kembali dan posisinya sebagai istri Zein bisa dikatakan telah berakhir. "Aku harus pergi dari sini. Aku tidak boleh membiarkan diriku terus-terusan menderita," monolog Zahra, bangkit dari ranjang lalu buru-buru mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Selagi Zein tak di sini, Zahra akan pergi dari rumah. Toh, sejak awal Zein tidak mengharapkan kehadirannya. Selama tiga tahun Zahra berjuang untuk cinta Zein. Meskipun selama ini dia mendapatkan perlakuan dingin, tetapi Zahra percaya jika suatu saat Zein akan membalas cintanya. Namun, mungkin itu mustahil. Belle tetap
Jantung Kiana berdebar kencang, merasa jika CEO tersebut sepertinya berjalan ke arahnya. Lalu tiba-tiba saja perempuan di sebelahnya yang ia tebak adalah staf baru atau sepertinya, berbisik padanya. "Kenapa kamu mengenakan baju merah dan menggerai rambut? Apa sebelum ke sini, kamu tidak mencek peraturan kantor ini? Tuan CEO melarang siapapun untuk mengenakan pakaian merah, dan bagi perempuan diwajibkan menguncir rambut. Tuan CEO sepertinya marah melihatmu," bisik orang tersebut–membuat Kiana menahan nafas karena panik bukan main. CEO di sini membuat peraturan yang sangat aneh. Perempuan dilarang menggerai rambut dan harus menguncir rambut. Lalu semua orang dilarang mengenakan pakaian merah. 'Ja-jangan-jangan ucapan Kak Saga benar. Di-dia mayat penghisap darah karena dia menghindari warna merah dan leher adalah sumber makanannya, darah dihisap dari leher. Oleh sebab itu perempuan berambut panjang dilarang menggerai rambut supaya dia bisa memantau kualitas mangsanya melalui lehe
SELAMAT DATANG DI MUSIM BARU, PADA KISAH STARLA KIANA MELVIANO. SELAMAT MEMBACA, MyRe!! ---20 tahun kemudian--- "Daddy dan Mommy tenanglah. Aku di sini baik-baik saja." Seorang gadis cantik berusia 23 tahun mendudukkan tubuhnya di atas sofa, apartemen miliknya. Senyuman manis muncul di bibir ketika mendengar suara khawatir mommynya dari seberang sana. 'Mommy tetap saja khawatir padamu, Kiana. Kamu sendiri di sana.' Starla Kiana Melviano, atau gadis yang lebih akrab disapa Kiana tersebut terkekeh kecil. Dia salah tingkah oleh ucapan sang mommy yang tengah mengkhawatirkannya. "Mom, aku sudah dua puluh tiga tahun. Sudah sangat dewasa menurutku untuk mulai belajar hidup mandiri. Dulu, Mommy bahkan hidup sendiri saat berusia 18 tahun. Mommy inspirasiku dan aku akan sehebat Mommy," ucapnya, meyakinkan mommynya jika dia aman di negara ini. Sudah dua puluh tahun berlalu, Kiana tumbuh menjadi gadis cantik yang sangat giat mengejar mimpinya. Kiana perempuan yang gigih dan pantang menye
Wulan dan Hendrik sama-sama terdiam, mereka skakmat oleh ucapan Agatha. "Sayangnya aku bukan milik kalian lagi. Ah-- sejak awal memang bukan milik kalian, aku milik orangtuaku dan milik suamiku. Tolong berhenti menganggapku robot rakitan yang bisa kalian kontrol." Agatha melanjutkan kalimatnya. "Maaf …." Ucap Hendrik lirih, penuh penyesalan dan perasaan bersalah. Lewat tatapan dingin akan tetapi sendu–milik Agatha, dia memahami maksud perkataan cucunya. Hanya karena melahirkan anak, orangtua merasa jika kehidupan anak-anak mereka adalah milik mereka. Orangtua merasa berhak untuk mengatur jalan hidup anak-anak mereka dan bahkan menentukan nasib sang anak. Kenyataannya anak terlahir untuk melengkapi kebahagiaan sebuah keluarga. Mengenai kehidupan, setiap anak punya kehidupan masing-masing. Orang tuanya hanya bertanggung jawab untuk merawat, mendidik dan mengarahkan, bukan merasa menguasai kehidupan anaknya. Ini kesalahan Hendrik dan sekarang dia menyadarinya. "Kamu menyadarkan Kake
"Nyonya! Panggil istriku Nyonya!" bentak Nail murka. "Be-benar." Jidan mengatakan dengan cepat, "maksudku apa yang nyonya Agatha katakan itu semua bohong, Tu-Tuan. Ma-mana mungkin saya berani padamu, Tuan," lanjutnya susah payah, menatap memohon pada Nail–berharap pria itu tak memukulinya lagi. "Haiss." Agatha memutar bola mata jengah, bersedekap di dada sembari menatap datar pada Jidan, "katanya tadi tidak takut. Kenapa sekarang menjadi takut?" Nail menatap istrinya kemudian mendekat pada Agatha. "Apa saja yang mereka katakan padamu, Tata?" datar Nail. "Tu-Tuan, Agatha sepertinya salah paham. Tolong jangan dengarkan Agatha," ucap Wulan berucap cepat ketika melihat Agatha akan bersuara. Nail tak menoleh sama sekali pada nenek dari istrinya tersebut, menatap istrinya secara lekat–memegang kedua pundak sang istri. "Katakan." "Mereka bilang kamu meninggalkanku dan tak menginginkanku lagi. Aku terlantar dan aku harus menikah dengan Jidan karena menurut mereka Jidan jauh lebih b
Agatha membawa masuk para tamunya tersebut ke sebuah ruangan, di mana dalam ruangan tersebut ada seorang anak kecil perempuan dan pria dewasa yang sedang menonton bersama. "Agatha, siapa lelaki itu?" panik Wulan, kaget melihat seorang laki-laki di rumah ini. Apa karena Nail telah lama tak pulang, Agatha menjadi kesepian dan berakhir membawa pria ke rumah ini? Tetapi dia mengenal cucunya, Agatha bukan orang yang seperti itu. "Kamu membawa pria asing masuk ke dalam rumah? Agatha! Di mana moralmu?!" marah Hendrik, berucap dengan nada tinggi dan menggelegar. Agatha menaikkan alis, menatap aneh pada kakeknya. Moral? Pria tua ini berbicara tentang moral sedangkan dia memaksa seorang perempuan yang sudah bersuami menikah dengan pria lain. Pantaskah?Di sisi lain, Nail mengatupkan ragang–marah karena mendengar suara bentakan tersebut. Di rumahnya! Ada seseorang yang berani meninggikan suara pada istrinya. Nail langsung berdiri dari sofa, memutar tubuh untuk menatap orang-orang tersebut. W
"Mon Tresor sebaiknya istirahat. Pasti Mon Tresor lelah. Iya kan?" ucap Agatha, menoleh ke samping saat Nail akan menciumnya. Saat ini mereka dalam kamar, melepas rindu dengan hal yang lebih intim. Nail sudah melakukannya berkali-kali, akan tetapi dia belum puas dan mengulang lagi. Sejujurnya Agatha tidak ingin menolak akan tetapi dia sudah kelelahan untuk melayani hasrat suaminya yang masih tinggi."Jangan menolakku, Agatha Aditya Melviano," dingin Nail, langsung menahan pipi Agatha supaya tidak menolak ciuman darinya. "Aku sangat merindukanmu dan sudah lama aku memendamnya." "I-iya, aku tahu. Tetapi ada baiknya kita beristirahat dulu." Agatha berkata terbata-bata, cukup gugup oleh nada dingin Nail. Nada bicaranya lemah, karena sudah tak bertenaga. Sialnya, pria ini terus memaksanya. "Sekali lagi," ucap Nail, menaikkan sebelah alis sembari menyunggingkan smirk tipis. Agatha menggembungkan pipi, menatap Nail dengan mata berkaca-kaca dan mimik cemberut. Sekali lagi? Astaga, Agatha
"Hello, Wife," sapa Nail, tersenyum tipis dan menahan geli melihat ekspresi istrinya yang sedang kaget. Sejujurnya pukulan Agatha pada kepalanya cukup sakit. Mungkin memang benar adanya jika senjata ampuh perempuan adalah sandal karena terbukti bagi Nail, sandal Agatha lebih sakit daripada pukulan papanya. Agatha mengerjap beharap kali, masih terkejut dan tak dapat menguasai diri karena sosok di hadapannya saat ini. Sungguh? Ini Nail suaminya? "Kau tidak ingin memelukku?" tanya Nail, merentangkan tangan sembari mengibarkan senyuman yang lebih lebar dari yang sebelumnya. Agatha masih membeku di tempat, dia menatap Nail dari atas hingga bawah lalu bergerak mundur. Alih-alih memeluk suaminya, perempuan itu malah sebaliknya–bergegas masuk ke dalam rumah. "Agatha Aditya Melviano." Nail memanggil, menatap bingung pada Agatha yang meninggalkannya begitu saja. Sedangkan Agatha, dia berlari menjauh dari sana. Ah, tidak! Agatha sepertinya terlalu merindukan Nail sehingga dia berhalusinasi
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk