Berhasil mencelakai Zein, Zahra buru-buru kabur. Sayangnya, pintu telah terkunci. Zahra tidak bisa kemana-mana. "Sudah kukatakan, kau tidak bisa kemana-mana, Sweetheart," ucap Zein penuh kemenangan, berjalan mendekati Zahra lalu menarik perempuan itu untuk kembali ke ranjang. "Ck, aku tidak mau, Zein. Aku tidak--" Zahra memberontak, berupaya mendorong Zein yang saat ini sedang menindih tubuhnya. "Aku bukan wanita pelampiasan nafsu bejadmu! Menyingkir!" jerit Zahra, menitihkan air mata sebab dia tidak suka cara Zein yang sangat kasar dan memaksakan kehendak. "Kau sangat suka ketika Si Bajingan Raka memperlakukanmu manis, heh?!" Zein mengabaikan jeritan dan tangisan Zahra, melakukan aktivitas atas kemarahan dan kecemburuannya. Zahra membela Raka saat Zein mendorong pria itu. Zahra juga menerima kebaikan Raka. Sedangkan Zahra padanya, Zahra sinis dan terkesan menghindar. Zein cemburu! Zein tidak suka melihat Zahra tersenyum pada Raka, Zein marah ketika Zahra menerima kebaikan R
"Kenapa dia mendadak manis?" gumam Zahra, menatap kepergian Zein dengan tampang muka bingung. Zahra menatap tubuhnya yang sedang memakai kemeja Zein, kali pertamanya dia mengenakan baju suaminya. Bagi Zahra ini adalah hal manis, pipinya kini bahkan memerah–blushing karena tersipu malu dirinya mengenakan kemeja Zein tadi. "Wife, kau ingin segera mandi atau istirahat dulu?" Zahra tersentak sangat kaget mendengar suara Zein. Dia takut ketahuan oleh Zein sedang tersipu malu. Dengan panik, Zahra menatap Zein–berupaya memperlihatkan wajah datar, tetapi gagal menyembunyikan semburan merah di pipinya. "Kau ingin mandi?" tanya Zein mengulangi, saat sudah di dekat istrinya. Dia sudah menyiapkan air pemandian, dia sangat Zahra akan mandi bersama–jika istrinya bersedia segera mandi. Jika Zahra ingin istirahat, Zein akan menunggu. Zahra mengerjap beberapa kali, pipinya semakin panas saat Zein mendekat ke arahnya. Dia baru menyadari jika Zein tak mengenakan atasan, bertelanjang dada sehing
Zein memangut pelan. "Aku tahu." Lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis di bibir. "Oleh sebab itu aku dengan berusaha menghamili istriku sendiri. Kau ingin cucu yang lucu, tampan atau cantik?" santai Zein, berkata tanpa beban sedikitpun. "Brengsek!" marah Lucas. "Kau tidak tahu malu, Hah?! Setelah membuat putriku menderita lalu keguguran, kau masih …-" Brak' Zein memukul meja secara kuat, membuat Lucas terdiam seketika. "Kau pikir hanya Zahra saja yang kehilangan? Aku juga kehilangan. Bayi yang Zahra kandung adalah darah dagingku! Aku baru merasakan senang dan bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai anak dari wanita yang kucintai. Tetapi semuanya hancur dan gelap! Kau pikir aku tidak sedih?! Katakan, ayah mana yang tidak sedih bayinya tiada?! Kau pernah meninggalkan Zahra dan wanita yang kau cintai, seharusnya kau tahu bagaimana rasa sakitnya!" amuk Zein, meluapkan perasaan sedih yang ia pendam sebulan ini. Orang mungkin berpikir jika Zein biasa saja setelah kehilangan ba
Raka menganggukkan kepala. "Satu ayah berbeda ibu," jawab Raka pelan. "Apa Zein memiliki masalah dengan keluarga Melviano? Seperti kau yang bermasalah dengan ayahmu karena telah menyerahkan perusahaan pada Zein." Lucas kembali bertanya. "Tuan, sebenarnya tidak ada yang boleh mengetahui rahasia ini," ucap Raka setelah sebelumnya menyuruh bodyguard dan Alana keluar dari ruangan tersebut, sehingga hanya dia dan Lucas lah yang berada di ruangan ini. "Tetapi karena saya mempercayaimu melebihi apapun, saya akan memberitahumu.""Sebenernya Arlond Melviano, Kakakku dijebak oleh keluarga Yolanda untuk bisa menjadikan Yolanda sebagai menantu keluarga Melviano. Saat itu Yolanda sedang hamil muda, anak dari kekasihnya yang telah meninggal dunia sebelum menikahi Yolanda. Lalu Yolanda dan Arlond yang bersahabat dijebak untuk tidur bersama. Keluarga Yolanda mengatakan anak itu adalah anak Arlond, akhirnya mereka menikah. Arlond tahu jika anak itu bukan miliknya, tetapi dia tetap bersikap baik pada
"Baik. Cukup katakan jika kau masih mencintaiku maka kau boleh ikut denganku ke kantor."Deg Sempat terdiam karena gugup mendengar ucapan Zein tersebut, tetapi setelah dipikir kembali Zahra menggelengkan kepala. Zahra menggelengkan kepala, membantah jika dia masih mencintai Zein. "Dulu aku pernah mencintaimu, Zein. Aku berjuang supaya kamu melihat ke arahku. Tiga tahun-- itu bukan waktu yang sebentar, tetapi hanya kesia-siaan yang kudapat. Wanita itu kembali lalu kamu dengan mudah mengabaikanku. Jika sekarang kamu menuntut cinta dariku, maaf … aku tidak mencintaimu lagi. Aku pernah sangat bodoh menyakiti diriku sendiri dengan cara mencintaimu, sekarang aku ingin bebas dari kebodohan itu. Daripada mencintaimu lagi, lebih baik aku belajar mencintai diriku sendiri," jawab Zahra, melepas pelukan Zein di pinggangnya. Zein termenung sesaat mendengar penuturan istrinya. Benarkah dia sangat keji dan jahat pada Zahra dahulu sehingga Zahra sampai menganggap jika mencintainya adalah sebuah ke
"Kemari, Wife. Suamimu sudah datang menjemputmu." Zahra menatap lelah pada Zein, mendengus pelan kemudian berjalan menghampiri pria tersebut. Dia sudah menghubungi ayahnya, tetapi kenapa orang-orang ayahnya belum datang? Sekarang Zein lebih dulu tiba di sini, Zahra akan kembali terjebak dengan pria ini. Zahra sudah menebak Zein akan ke sini untuk menjemputnya. Drrt'Zahra merogok handphone dalam tas, kemudian mengangkat telepon dari ayahnya–masuk dalam mobil Zein secara pasrah. Percuma! Bodyguard Zein ada di mana-mana.Zahra menoleh sejenak ke arah beberapa orang misterius yang terlihat mencurigakan–menutupi wajah dengan topi dan masker serta membawa kamera. 'Paparazzi?' batin Zahra, mengerjap beberapa kali kemudian memilih menoleh ke depan. Dia berusaha tak acuh walau kepalanya terus memikirkan. 'Aurelia ku sayang, maafkan Ayah.' Suara ayahnya dari sebrang sana lah yang telah berhasil membuat Zahra terabaikan oleh tiga orang misterius yang ia tebak paparazzi tersebut. Zahra m
"Ini makanan kesukaanmu."Deg'Awalnya Zahra kita ini hanya kebetulan. Namun …-'Darimana Zein tahu?' batin Zahra, bertanya-tanya darimana Zein tahu tentang makanan favoritnya. Selama tiga tahun menjadi istri pria ini, Zein tak pernah peduli dan perhatian padanya. Lalu, darimana Zein tahu? "Darimana kamu tahu kalau aku suka semua makanan ini, Zein?" tanya Zahra–Zein mendongak ke arahnya lalu tersenyum tipis. "Kau telah menjadi istriku selama tiga tahun. Tentu saja aku tahu," jawab Zein, memotong daging steak kemudian setelahnya meletakkan piring tersebut di depan Zahra. "Silahkan makan, Sweetheart.""Aku bilang aku tidak lapar, Zein. Kamu makan saja, aku akan menunggu." Zahra menolak makanan tersebut, menaruh piring kembali ke hadapan Zein. "Humm." Zein berdehem singkat. Zahra pikir Zein tak memaksa lagi, makan sendiri dan membiarkan Zahra menunggunya. Namun, Zahra salah. Zein tiba-tiba saja mengarahkan garpu yang menusuk potongan daging tersebut ke arah mulut Zahra. "Kamu ingin di
"Ze-Zein, bagaimana bisa kamu ada di sini?" gugup Zahra, menyilangkan tangan di depan dada. "Keluar!" titah Zahra selanjutnya. Alih-alih keluar, Zein semakin mendekati Zahra. Senyumannya semakin menyungging indah, tatapannya gelap dan berkabut gairah. Setelah di dekat Zahra, Zein langsung mengalungkan tangan di pinggang Zahra–menjauhkan tangan Zahra yang menyilang di dada lalu meletakkannya dengan mengalungkannya di leher Zein. "Kau yakin ingin mengusirku, Sweetheart?" ucap Zein serak dan berat, satu tangannya yang bebas terangkat–menyentuh dan membelai pipi Zahra. Zahra terlihat gelisah, menatap Zein gugup bercampur waspada. Ini kamarnya, mansion ayahnya. Jika ayahnya datang, Zein bisa dalam masalah. "Zein, tolong kembali." Zahra menepis pelan tangan Zein di pipinya. "Ayah bisa semakin ragu padamu jika dia tahu kamu di sini. Jadi tolonglah kembali ke rumahmu," pinta Zahra. Zein menampilkan raut muka dingin. Kemudian mendadak berdecis sinis pada Zahra. "Aku tidak peduli dengan re