"Zein Melviano!" marah Lucas dengan nada membentak, mendidih melihat tingkah Zein yang seenaknya naik ke atas ranjang putrinya kemudian berbaring di sana–memeluk paksa Zahra yang enggan dipeluk olehnya. Zein mendongak ke arah Lucas. "Jika tidak ada yang ingin dibicarakan, silahkan keluar, Ayah. Aku dan istriku ingin beristirahat," jawab Zein tenang, memejamkan mata setelahnya sembari memeluk erat Zahra supaya tidak kabur. Zahra menyikut kuat perut Zein, berharap jika dengan demikian Zein akan melepasnya. Namun, yang ada pria ini semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Zahra. "Zein, tolong lepaskan aku!" pekik Zahra setengah marah dan kesal pada sikap Zein. "Tidur," jawab Zein dingin, tanpa peduli dengan raut muka kesal Zahra. "Anak ini-- benar-benar tidak tahu tatakrama," geram Lucas halus, memijat pangkal hidung sembari menatap berang ke arah Zein. Sedikitnya dia kasihan pada putrinya yang terjebak pada Zein. Dia tak menyangka jika Zein se keras ini, bahkan di depan mat
Pagi sekali Zahra sudah berangkat ke kantor, Zein sama sekali tak bertemu dengan istrinya padahal Zein sangat ingin merecoki Zahra. Zein juga ingin menyusul ke kantor Zahra, akan tetapi Marcus tiba-tiba menghubunginya, ingin mengatakan hal serius pada Zein. Zein akhirnya memilih menemui Marcus, di perusahaan milik Zein sendiri. Setelah di ruangannya, Zein berbicara dengan Marcus. "Tuan, saya telah menemukan bukti kejadian tentang tiga tahun yang lalu. Ini adalah data bukti yang telah saya temukan, Tuan," ucap Marcus, menyerahkan sebuah laporan berisi bukti dari kejadian tiga tahun yang lalu pada Zein. Meskipun telah menyerahkan laporan tersebut pada Zein, Marcus tetap menjabarkan secara langsung. "Ternyata dalang dari masalah tiga tahun yang lalu adalah Nona Belle, Tuan. Mengetahui dirinya tak direstui menikah dengan anda, oleh Kakek anda, Belle nekat menjebak anda untuk tidur dengannya. Kakek anda mendapat informasi jika Belle memiliki hubungan gelap dengan seorang pebisnis dari ne
"Bayi di perutnya bukan milik anda, melainkan sugar Daddynya yang telah mencampakkannya.""Brengsek!" Zein mengumpat marah, mengepalkan tangan dengan raut muka yang terlihat sudah seperti iblis. Dia mengharapkan jika bayi itu bukan miliknya, tetapi tetap saja dia marah saat yang dia harapkan terjadi. Zein merasa bodoh! Dia tutup mata pada Zahra hanya karena dia kira Belle mengandung anaknya. Dia bertanggung jawab pada bayi tersebut tetapi ternyata …-'Kau membuatku kehilangan bayiku, Belle. Dan kau juga menipuku. Tunggu pembalasanmu, Wanita sialan. Demi Tuhan, aku sangat membencimu!' batin Zein dengan aura marah yang kental. Matanya melebar dengan urat memerah di sekitar bola mata. Rahang mengatup serta gigi yang bergemelutuk. "Belle dihamili oleh sugar daddynya, tetapi sang sugar daddy menolak bertanggung jawab. Dia mencampakkan Belle begitu saja saat setelah Belle hamil. Belle memilih kembali ke tanah air, menargetkan anda untuk menanggung jawabi bayi dalam kandungannya. Dia tahu
"Minggir." Belle dengan tegas mengusir paparazi yang menghalangi langkahnya mendekati Zein. Setelah di dekat Zein, dia langsung mengalungkan tangan secara mesra di lengan Zein. "Zein, aku kira kamu akan mencampakkan Zahra setelah dia menggugurkan kandungannya hanya demi proyek ini dan kamu akan menikahiku karena aku sedang mengandung anak kamu, Zein," ucap Belle tiba-tiba, berkata lantang supaya semua orang bisa mendengarnya. Semua orang berbising-bising, melirik Zahra dengan tak percaya. Apakah benar Zahra mengugurkan kehamilannya hanya demi proyek ini? Dan … Belle mengandung anak dari sang Tuan Zein yang katanya sangat mencintai istinya? "Jangan jangan selama ini Tuan Zein dan Bu Zahra tak pernah saling mencintai. Jika iya, kenapa Bu Zahra menggugurkan kandungannya dengan mudah dan kenapa Tuan Zein menghamili Belle?" Bisik-bisik tak benar mulai terdengar. Zahra menundukkan kepala, sedih karena dia difitnah melenyapkan bayinya sendiri. Perasaan marah ada, akan tetapi rapuh dan s
Zahra terdiam dan mematung, kaget oleh perlakuan Zein. Pria arogan ini bersimpuh di hadapannya?"Maafkan aku," ucap Zein dengan nada yang jauh lebih serak dan rendah, mendongak sembari menatap penuh penyesalan bercampur penuh cinta pada Zahra. Dia masih memeluk lutut Zahra–bak memohon agar Zahra tak meninggalkannya. Zahra yang merunduk menjatuhkan air mata, menatap Zein tulus dan iba–tak tega serta luluh melihat Zein yang memohon maaf padanya. "Yah, aku memaafkanmu, Zein." Zahra menganggukkan kepala, tersenyum sembari meletakkan tangan di atas pucuk kepala Zein–mengusap lembut rambut lebar suaminya. "Tetapi jangan seperti itu lagi, Zein. Aku benar-benar tidak bisa. Aku memaafkanmu tetapi tidak akan mentoleransimu jika kamu kembali melukaiku. Jujur saja, apa yang kamu lakukan-- sangat menyakitkan, Zein. A--anak kita … dia tiada karena …-" ucapan Zahra berhenti, terlalu tak kuat untuk melanjutkan perkataannya. Sakit hatinya karena kehilangan bayinya tak akan pernah bisa ia lupakan. R
"Kebetulan, aku juga ingin membicarakan hal serius denganmu, Nyonya Melviano," dingin Zein, melayangkan tatapan membunuh pada mamanya. Deg'Yolanda menatap kaget pada Zein, tak percaya karena Zein memanggilnya nyonya Melviano. Ada apa dengan putranya? Zein duduk di sebuah sofa–duduk bossy dengan aura alpha yang terasa mencekam dan mengancam. Sedangkan Marcus, pria itu berdiri di sebelah Zein. Yolanda mendatangi Zein kemudian duduk di sebelah putranya tersebut. "Ada apa, Nak? Kamu sepertinya terlihat marah. Apa Zahra juga mempengaruhimu supaya membenci …-""Diam!" desis Zein marah, melayangkan tatapan tajam pada mamanya. "Tidak ada wanita yang lebih jahat dibandingkan dirimu! Kau wanita kejam dan membunuh," ucap Zein tiba-tiba, berkata kesal tetapi dengan tatapan penuh kekecewaan. "A-apa maksdunmu, Sayang?" Yolanda menatap semakin tak percaya pada Zein. Belle mendekati Yolanda, memanfaatkan keadaan tersebut supaya bisa terlihat sangat baik di mata Yolanda. Sekarang dia sudah tak p
"Zein …," panggil Zahra lembut, mengusap rambut Zein berulang-ulang untuk menyalurkan kehangatan serta kekuatan. Zahra sadar jika Zein sedang menangis, dan untuk itu Zahra merasa sedih–walau Zahra sendiri tak tahu alasan kenapa Zein menangis. "Tolong peluk aku lebih erat," bisik Zein bersuara, nadanya rendah, serak dan lirih. Zahra menganggukkan kepala, membalas pelukan Zein dengan memeluk tubuh besar tersebut secara erat. Zahra dapat merasakan adanya kesedihan mendalam pada Zein. Namun, apa yang membuat Zein seperti ini? Suaminya yang terkenal dingin, kejam dan bengis bahkan sampai menitihkan air mata–diam-diam menangis di pundak Zahra. Apakah lukanya sangat besar dan parah? Tetapi siapa memangnya yang dapat melukai seorang Zein? Selama beberapa menit, mereka hanya berpelukan. Zahra diam untuk memberikan ruang pada suaminya, supaya Zein bisa meluapkan semua yang ia rasakan lewat pelukan tersebut. Sedangkan Zein, dia berupaya menetralkan perasaan menusuk dalam hatinya. Usapan dan b
'Zein sepertinya belum berubah sepenuhnya. Dia masih semena-mena, dia meninggalkanku setelah dia mendapatkan apa yang dia mau.' batin Zahra, menunduk dengan raut muka sedih. Sejenak dia merasa dirinya sedikit murahan karena membiarkan Zein dengan mudah mempermainkannya. Tetapi di sisi lain dia berusaha berpikir jernih. 'Siapa tahu Zein ada keperluan mendesak. Ya-yah, mungkin Zein pergi karena ada hal penting,' batin Zahra, berupaya menenangkan dirinya. Ceklek' Hingga tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan seorang pria berdiri di ambang pintu–menatap sayu bercampur sendu ke arah Zahra."Zein …," panggil Zahra, menatap cukup kaget pada suaminya. Dia langsung merasa lega tetapi secara bersamaan merasa malu karena sudah berpikir yang bukan-bukan pada suaminya. Zahra mengukir senyuman pada Zein, duduk di atas kasur dan bersitatap dengan suaminya yang masih di ambang pintu kamar mandi. Zein berjalan ke arah Zahra, pria itu menampilkan raut muka datar tetapi dengan manik