Nenek masih menunggu jawaban Nara, tapi Nara masih terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu."Nara, katakan ada apa?" ulang Nenek Miranti."Nek, semalam aku bermimpi kalau tuan JL akan bunuh diri.""Cucuku mau bunuh diri? Memangnya kenapa dia sampai ingin bunuh diri?" "Dalam mimpiku itu setelah menghadiri acara pertunangan mantan kekasihnya dengan sahabatnya, Tuan JL merasa sangat terpukul dan akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat dari atas tebing. Nek, aku tidak mau hal itu sampai terjadi, aku sangat takut." Tangan Nara menggenggam tangan nenek Miranti dengan cemas."Oh Tuhan!" Ekspresi Nenek Miranti pun seketika berubah menyiratkan jika akan ada suatu hal yang terjadi."Nek, ada apa?" tanya Nara sekali lagi dengan wajah masih diliputi kecemasan."Tadi aku bertemu cucuku dan dia mengatakan ingin jalan-jalan pagi. Jaden menuju ke dalam hutan sendirian memakai kruknya, aku merasa dia tumben sekali melakukan hal itu." Pandangan kedua mata Nenek Miranti pun terlih
"Tidakkk!" "Nara, kamu mimpi buruk lagi?" tanya wanita paruh baya yang ada di samping Nara. Wajah pucat dan peluh yang membasahi dahi wanita bernama Nara itu tampak sangat jelas, bahkan napas naik turun juga terlihat pada dadanya. "Iya, Bu. Aku bermimpi lagi tentang pria itu," ucapnya dengan bibir bergetar. Seketika wanita yang dipanggil ibu oleh Nara memberikan segelas air minum dan dengan cepat Nara menghabiskannya. "Kamu sebaiknya tenang dulu. Coba tarik napas dalam dan embuskan perlahan." Nara pun mengikuti apa yang ibunya sarankan, dan tentu saja hal itu berhasil membuat Nara sedikit tenang. "Bu, aku minta tolong agar Ibu menjaga Nio di sini selama aku menjalankan rencanaku nanti. Apa Ibu bisa membantuku?"Tangan yang tampak keriputan itu mengusap lembut pucuk kepala putrinya. "Kamu tenang saja, ibu akan menjaga Nio dengan baik di sini, kamu lakukan saja rencanamu itu, Nara." "Terima kasih, Bu, karena selama ini selalu mendukung apa yang aku lakukan, dan maaf jika selama
Nenek Miranti membawa Nara ke kamar Jaden, dan saat pintu dibuka, Nara melihat seorang pria dengan kursi rodanya duduk membelakanginya, dia sedang melihat ke arah luar jendela kamarnya."Jaden, nenek ingin bicara denganmu.""Nek, aku sudah katakan jika aku tidak membutuhkan seorang pelayan untuk merawatku! Kenapa Nenek menganggap aku pria lumpuh yang tidak bisa apa-apa?" Pria bernama Jaden itu bicara tanpa melihat pada lawan bicaranya."Jaden, nenek mencarikan kamu seorang pelayan bukan karena nenek menganggap kamu tidak bisa apa-apa, tapi agar kamu ada yang memperhatikan lebih baik di sini.""Tidak perlu ada yang memperhatikanku, Nek, aku bisa mengurus hidupku sendiri." "Bagaimana kamu bisa mengurus dirimu sendiri? Kamu sendiri saja duduk di kursi roda," ucap Nara tegas.Nenek Miranti yang mendengar hal itu seketika menoleh pada Nara yang berdiri tepat di sampingnya. Wajah Nara menunjukkan aura dinginnya."Siapa kamu berani mengatakan hal itu padaku?" Jaden seketika memutar kursi ro
Nara sudah berada di depan pintu kamar lelaki yang tadi mengusirnya dengan kasar. Dia sekali lagi menarik napasnya dalam sebelum akhirnya tangannya mengetuk pintu itu. Satu ketukan, Nara tidak mendapat jawaban. Nara kembali mengetuk pintu kamar itu hingga tiga kali ketukan. "Aku tidak mau diganggu!" seru suara Jaden terdengar begitu jelas di telinga Nara. "Tuan Muda Jaden, waktunya makan siang dan minum obatmu," Nara akhirnya memberanikan diri mengatakan sesuatu. "Sudah aku bilang, aku tidak mau diganggu. Kamu pergi dari sini!" bentaknya marah. Nenek dan Reno yang melihat hal itu tampak cemas. "Ren, Jaden kenapa hari ini terlihat begitu marah?" "Sebenarnya tadi Tuan Jaden melihat berita di sosial media jika Nona Kalista akan pergi ke Barcelona untuk pemotretan dan di sana Nona Kalista juga mengatakan akan sekalian liburan. Barcelona, kan, tempat yang sangat ingin didatangi oleh Nona Kalista jika nanti menikah dengan Tuan Jaden. Jadi, Tuan Jaden mungkin merasa kecewa karena dia
Nara menemui Nenek dan Reno yang ada di luar kamar Jaden. Nenek dapat melihat wajah Nara yang sepertinya baru saja menangis.Iya! Nara tadi sempat menitikkan air mata karena perlakuan Jaden di dalam kamar tadi."Nara, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Nenek Miranti dengan wajah khawatirnya. "Nek, aku tidak apa-apa.""Nona Nara, tadi aku sempat mendengar suara piring pecah. Apa Tuan Jaden sudah menyakitimu?" Gantian Reno yang wajahnya cemas. "Tuan Muda Jaden tadi melempar piring makanannya saat aku menyuapinya.""Sudah aku duga, dia memang sering sekali seperti itu saat para pelayan yang aku tunjuk untuk merawatnya sedang membawakan dia makanan."Reno melihat warna merah pada kulit pipi Nara dan Reno tahu jika selain melempar piring makannya, bosnya itu juga menyakiti Nara."Apa Tuan Jaden juga menyakiti Nona Nara?" Telunjuk Reno menunjuk pada wajah Nara."Ya Tuhan! Cucuku benar-benar keterlaluan! Nara aku minta maaf karena cucuku sudah kasar sama kamu.""Nenek tidak perlu khawatir. O
Hari itu juga Nenek Miranti menyiapkan banyak sekali keperluan untuk dibawa ke rumah kenangan.Nara malam ini juga tidur di rumah Jaden, dia meninggalkan rumah lamanya dengan membawa beberapa barang yang dia butuhkan. Malam itu, Jaden yang terbangun dan ingin mengambil air minum, tapi dia melihat gelas airnya tidak ada isinya."Pelayan di sini benar-benar tidak bisa bekerja dengan benar. Sebaiknya aku berhentikan saja mereka semua," umpatnya kesal.Jaden mencoba bangkit dari tempat tidurnya dan meraih kursi rodanya, tapi yang ada dia malah terjatuh."Tuan Muda Jaden!" suara yang Jaden kenali tiba-tiba ada di dalam kamarnya.Nara mencoba membantu, tapi pria itu terkejut melihat Nara ada di dalam kamarnya. Jaden malah mendorong tubuh Nara hingga Nara terjatuh dengan duduk dan tangannya menabrak pada kursi roda Jaden."Aduh!" Nara memegang sikutnya yang ternyata berdarah terkena tepi kursi roda Jaden."Kenapa kamu ada di sini?""Saya memang tinggal di sini sekarang, Tuan JL." Nara tetap
Pagi itu Nara sudah bangun dan segera menyiapkan makan pagi untuk Jaden. Nenek yang berada di dalam dapur sedikit terkejut melihat ada Nara di sana. "Kamu sedang apa di sini, Nara?" "Pagi, Nek, aku sedang membuat makan pagi untuk tuan JL." Tangan Nara sembari mengaduk sesuatu di dalam panci berukuran sedang. "Tuan JL?" Nenek melihat bingung pada Nara. "Tuan JL itu ya cucu Nenek." "Kenapa kamu memanggil cucuku dengan sebutan Tuan JL?" "Tuan Jaden Luther dan aku singkat Tuan JL saja." "Hm! Kamu ini bisa-bisa mendapat masalah memanggil cucuku seperti itu. Dia itu orang yang tidak suka dikatai aneh-aneh." "Itu bukan aneh, Nek, tapi itu inisial nama saja. Dia kalau mau marah ya aku biarkan saja, kan memang dia suka sekali marah-marah." "Cucuku itu dulu memang orang yang tegas dan kaku, tapi dia selalu menunjukan rasa sayangnya padaku, Nara, tapi sejak kejadian itu dia bahkan sama sekali tidak pernah memeluk neneknya ini, padahal aku sangat merindukan dia memanggilku wanita tua ca
Nara tampak berdiri terdiam di tempatnya, dia memikirkan tawaran yang Jaden baru saja berikan padanya.Tersungging senyum licik pada bibir lelaki yang sedang menatap Nara. "Bagaimana? Apa kamu mau melakukan apa yang aku inginkan, dan aku akan melakukan apa yang kamu inginkan?""Kenapa lelaki ini jadi mesum begini? Dari informasi yang aku dapatkan, dia bukan orang seperti itu? Apa dia sengaja agar aku menyerah menjadi pelayannya. Kamu salah jika mencari lawan, Tuan JL," Nara berdialog di dalam hatinya."Pelayan tidak tau diri! Kenapa malah diam saja? Apa kamu mendadak jadi tuli tidak mendengar apa yang aku katakan?""Baik, Tuan JL. Saya akan membantu Tuan JL mandi dan bahkan sampai berganti baju, tapi setelah itu Tuan JL harus makan dan pergi terapi."Jaden terhenyak mendengar apa yang Nara katakan, dia tidak mengira jika Nara akan mengiyakan apa yang dia inginkan."Aku kira dia seorang wanita baik-baik, tapi ternyata aku salah. Dia murahan," umpat Jaden dalam hati.Nara membantu Jaden
Nenek masih menunggu jawaban Nara, tapi Nara masih terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu."Nara, katakan ada apa?" ulang Nenek Miranti."Nek, semalam aku bermimpi kalau tuan JL akan bunuh diri.""Cucuku mau bunuh diri? Memangnya kenapa dia sampai ingin bunuh diri?" "Dalam mimpiku itu setelah menghadiri acara pertunangan mantan kekasihnya dengan sahabatnya, Tuan JL merasa sangat terpukul dan akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat dari atas tebing. Nek, aku tidak mau hal itu sampai terjadi, aku sangat takut." Tangan Nara menggenggam tangan nenek Miranti dengan cemas."Oh Tuhan!" Ekspresi Nenek Miranti pun seketika berubah menyiratkan jika akan ada suatu hal yang terjadi."Nek, ada apa?" tanya Nara sekali lagi dengan wajah masih diliputi kecemasan."Tadi aku bertemu cucuku dan dia mengatakan ingin jalan-jalan pagi. Jaden menuju ke dalam hutan sendirian memakai kruknya, aku merasa dia tumben sekali melakukan hal itu." Pandangan kedua mata Nenek Miranti pun terlih
Nara sekali dibuat mendelik mendengar permintaan Tuan Mudanya itu. Nyanyi? Tidak salah Jaden menyuruh Nara nyanyi meskipun itu nyanyian buat menidurkan anak kecil? Yang ada Jaden tidak tidur, tapi malah mimpi buruk mendengar suara Nara. "Ayo nyanyikan! Kenapa malah diam saja? Katanya ingin membuat aku cepat tidur," sergah Jaden yang membuat Nara sadar dari lamunannya. "Tuan JL yakin mau mendengarkan aku menyanyi lagu Nina bobo?" tanya Nara menyakinkan Jaden. "Iya, Nara, cepat bernyanyi, tapi jangan lagu Nina Bobo, nyanyikan lagu lainnya." "Lagu apa?" Nara tampak berpikir keras mencari lagu yang diminta Jaden. "Lama," omel Jaden. Nara pun mengerucutkan bibirnya kesal pada Jaden. "Twinkle-twinkle Little Star, How I Wonder What You Are ...." Nara tidak meneruskan nyanyiannya karena melihat pria di depannya itu malah seolah menahan tawa. Jaden yang ketahuan oleh Nara pun mencoba seolah-olah dirinya kembali dingin. "Kenapa tidak diteruskan? Kamu tidak hafal lagunya?" "Kenapa Tuan
Nenek Miranti berjalan dengan wajah senangnya menuju kamar di mana Nara sedang membantu Jaden memakai baju piyamanya. Reno pun tampak mengikuti di belakangnya."Maaf ya, Jaden, jika Nenek mengganggu kamu, tapi Nenek tidak sabar ingin segera menunjukan gaun ini padamu dan Nara." Wanita tua itu pun memperlihatkan sebuah gaun berwarna hitam dengan hiasan Swarovski di bagian bawahnya. Gaun yang masih ada di dalam plastik pembungkus itu terlihat sangat mewah.Jaden mengkerutkan kedua alisnya melihat gaun yang dibentangkan di depannya."Nenek memangnya mau ke mana memakai gaun itu? Nenek juga tidak salah dalam memilih gaun yang akan Nenek gunakan?""Iya, Nek. Model gaun itu terlihat terlalu seksi kalau Nenek pakai," lanjut Nara.Reno yang berada di sana seketika mencoba menahan tawanya. Nenek Miranti pun terlihat mendelik ke arah Reno."Maaf, Nek, aku benar-benar tidak menyangka jika Tuan Muda dan Nara akan berpikir seperti itu," ujar Reno sembari menutup mulutnya lagi.Nenek Miranti pun me
Jaden tidak mau memberikan obat itu pada Nara dan Jaden tidak mau Nara terlalu ikut campur pada semua hal tentang dirinya."Tuan, aku bukannya ingin ikut campur, tapi aku hanya ingin agar Tuan JL bisa sembuh. Jangan mengkonsumsi obat yang tidak disarankan oleh dokter, tuan JL juga jangan langsung percaya akan hal seperti itu," terang Nara terlihat kesal."Nara, Andrew itu adikku, dan aku sangat kenal dengannya, dan dia tidak mungkin akan mencelakaiku. Malahan dia orang pertama yang membawaku ke rumah sakit saat kecelakaan itu dan dia juga yang menjagaku saat aku tidak sadarkan diri di sana karena nenek masih sakit dan berada di luar negeri. Jangan berpikiran negatif dengannya," ujar Jaden marah."Aku tidak berpikiran negatif dengannya, hanya saja aku mengatakan kalau Tuan JL itu lebih baik mengkonsumsi obat dari dokter Tuan sendiri. Apa aku salah?""Sebaiknya kamu dia saja dan urus pekerjaanmu saja, Nara." Jaden pun kembali terfokus pada ponselnya."Tuan, apa keinginan Tuan JL untuk s
Nara yang baru bangun dari pingsannya tampak terkejut karena melihat ada nenek dan juga Reno di sana. Nara pun menceritakan kejadian sebenarnya pada nenek dan itu sama persis seperti apa yang Jaden katakan."Sekarang Tuan JL ke mana?" tanya Nara yang tidak melihat ada pria lumpuh yang semalam menemaninya tidur."Dia ngambek, Nara," celetuk Reno."Ngambek kenapa?" Nara pun melihat heran."Reno, kamu jangan bicara sembaranga. Dia ada di kamarnya seperti biasa, kamu tau sendiri bagaimana cucuku itu, Nara."Nara pun menganggukan kepalanya. "Kalau begitu, aku akan menyiapkan makan pagi untuk tuan JL dan setelahnya aku akan membawanya ke ruang terapi untuk memijit kakinya." Nara pun bangkit dari tempat tidurnya.Di sana Reno kembali berbisik tentang undangan yang baru saja Reno terima, dan tentu saja membuat Nara heran. "Ada apa sih, Nek?" tanya Nara yang terlihat penasaran."Ini tuan Jaden dapat undangan dari mantan tunangannya dulu, Nara. Nona Kalista akan bertunangan dengan tuan muda De
Nara pun beralasan jika dia sedang mimpi buruk, padahal bayangan akan rasa bersalah pada Jaden itu kembali muncul, di tambah juga Nara yang merindukan suaminya. "Aku tadi memang mimpi buruk, Tuan. Maaf kalau sudah membuat Tuan Jaden terbangun.""Aku tadi mau mengambil air minum karena air di gelasku habis, tapi aku mendengar kamu mengigau apalagi pintu tidak kamu tutup dengan rapat. Kamu itu ceroboh sekali. Bagaimana kalau ada orang masuk?" Sekarang Jaden malah ngomel sama Nara."Orang lain siapa? Di sini hanya ada Tuan, Nenek dan Reno, lagi pula kalau salah satu dari kalian masuk pun tidak apa-apa.""Tidak bisa begitu, Nara! Kalau aku atau nenek tidak masalah, tapi kalau Reno jangan!" seru Jaden tegas."Memangnya kenapa dengan Reno?""Dia ... Pokoknya tidak boleh! Dia mau apa masuk ke kamar kamu?" Jaden pun bingung mau menjelaskan bagaimana yang dia rasakan jika Reno dekat dengan Nara."Mungkin saja dia ingin membangunkan aku seperti yang Tuan JL lakukan, atau ....""Kamu masih menga
Jaden pun mencoba membantu Reno menyalakan perapian. Nara yang juga membantu malah diusili Reno dengan menorehkan sisa kayu bakar yang sudah menjadi abu pada wajah Nara."Reno!" seru Nara kesal.Reno malah cekikikan. "Muka kamu lucu sekali seperti boneka anabel," ejek Reno."Awas kamu, ya!" Nara mengambil sisa kayu bakar yang sudah menjadi abu, tapi matanya malah kelilipan. "Aduh!" Erang Nara malah kebingungan sendiri karena tangannya pun kotor. Di tengah kebingungannya itu, Nara pun merasakan tangannya ditarik oleh seseorang dan sebuah sentuhan lembut pada pipi Nara."Biar aku tiup, kamu tenang dulu," suara itu sangat Nara kenali, meskipun kedua matanya masih tertutup menahan perih.Nara pun seketika menurut suara yang berbicara dengannya. Dia merasakan embusan udara yang terasa hangat pada matanya.Perlahan, wanita itu mencoba membuka kedua matanya dan dia melihat wajah seseorang yang baginya menyebalkan, tapi entah kenapa dia mulai menyukai wajah itu."Sudah tidak apa-apa, kan?" t
Reno yang melihat Nara pergi menyusul Jaden pun khawatir. "Nek, apa aku juga ikut menyusul Nara dan Tuan Muda?" "Tidak perlu, Ren. Nara pasti bisa mengatasi sikap cucuku yang memang sejak kelumpuhan itu sangat membuat orang lain kesal." Nenek cantik itu malah santai menikmati teh hangatnya."Oh ya sudah kalau begitu, tapi memang benar apa kata Nenek. Nara itu penjaganya Tuan JL." Reno pun malah santai menikmati tehnya.Nara mencari di mana keberadaan si pria lumpuh yang menjadi majikannya itu. Jaden ternyata sedang duduk di atas batu besar dengan kruk yang dia sandarkan tepat di sebelahnya."Dia sedang melamun apa? Pasti ingat dengan wanita yang sudah meninggalkan itu. Tuan Jaden harus bisa melupakan wanita itu dan satu-satunya cara dia jatuh cinta pada wanita lain yang tentu saja bisa menerimanya keadaanya," Nara malah berdialog sendiri di tempatnya berdiri saat ini."Tuan JL, Tuan kenapa malah duduk di sini sendirian?" Nara pun duduk di sebelah majikannya itu.Jaden hanya melirik p
Nara seketika berjongkok di depan kuris roda Jaden. "Tuan Muda kenapa tidak mau ikut? Kita sudah berjanji, kan, kalau Tuan Muda mau melupakan masa buruk yang Tuan JL alami." Tangan Nara pun menggenggam tangan pria itu.Nenek dan Reno yang melihat hal itu seketika saling melempar pandangan dengan wajah tentu saja tidak percaya."Nek, itu benaran cucu nenek ya?" tanya Reno lirih."Dia cucuku, Ren, dan sepertinya kita sudah menemukan orang yang tepat untuk pria arogan itu." Wanita tua itupun tersenyum lebar melihat hal itu.Tatapan mata Jaden yang tadinya tajam, sekarang terlihat lebih teduh. Dia pun melihat pada tangannya yang digenggam oleh Nara."Aku memang sudah berjanji sama kamu, tapi tidak berarti aku harus mengikuti semua yang kamu perintahkan. Kalau kamu mau pergi, pergi saja." Jaden menarik tangannya dari tangan Nara. Dia pun mendorong kursi rodanya masuk ke dalam kamar. Nara yang masih duduk berjongkok di sana hanya bisa terdiam."Kalau tuan muda tidak mau, kita tidak jadi per