Nara memberikan ponsel Jaden. Pria itu menerimanya dengan mendongak menatap wajah Nara."Tidak ada orang yang berani membuka ponselku, bahkan Reno pun tidak akan berani, tapi kenapa aku malah memberikannya padamu?" Jaden menggeleng tidak percaya.Nara duduk bersimpuh di bawah kaki Jaden. Dia pun tak segan memegang kedua tangan pria itu. "Itu artinya, Tuan JL sudah percaya padaku. Tuan JL, percayalah jika aku benar-benar ingin Tuan JL sembuh dan bahagia dalam hidup ini," ucap Nara yang terdengar hal yang tulus di telinga Jaden. "Apa sebenarnya motivasimu, Nara? Kenapa aku merasa kalau kamu sangat menginginkan kesembuhan dan kebahagiaanku, terlepas dari kontrak kerja itu? Aku merasa tidak hanya kontrak kerja itu yang membuatmu melakukan semua ini." Jaden menatap Nara dengan penasaran.Nara berusaha menunjukan wajahnya yang biasa agar Jaden tidak curiga. "Jujur saja, selain karena kontrak kerja itu, aku ingin menjadi orang yang bisa dibanggakan oleh orang lain dan diriku sendiri karena
Nara tampak mondar mandir di depan pintu kamar Jaden. Setelah melihat berita di televisi tadi, Jaden sekarang malah mengurung diri di dalam kamar. Nara bisa tahu apa yang sedang Jaden rasakan. Pemberitaan tentang model terkenal, yaitu Kalista yang saat ini sedang dekat dengan seorang pria yang belum diketahui identitasnya secara jelas. Sontak saja hal itu membuat Jaden merasa sangat sakit hati. "Bagaimana ini?" Nara dibuat terkejut saat dia mendengar suara benda yang dibanting secara bergantian, dan Nara tau pasti Jaden sudah membuat kamarnya seperti kapal pecah. "Apa aku menerobos masuk saja? Aku takut kalau dia nantinya akan berbuat hal yang buruk pada dirinya." Nara akhirnya mengambil keputusan untuk menerobos masuk ke dalam kamar Jaden, dan saat dia baru masuk. Tiba-tiba dahinya malah terkena lemparan kotak kayu yang ada di sana. "Aduh!" Nara memegangi dahinya dan dia merasakan sesuatu di jarinya. "Darah?" Jaden melihat dahi Nara yang mengeluarkan darah tampak terkeju
"Anak? Bagaimana aku bisa memiliki anak kalau calon istriku malah pergi meninggalkan aku karena kakiku yang lumpuh?" ucap Jaden getir."Tuan JL lupa kalau di dunia ini, wanita bukan hanya mantan tunanganmu itu? Masih banyak wanita yang akan mau menerima Tuan JL dengan tulus.""Mereka mungkin mau hanya karena apa yang aku punya, tapi tidak akan dengan tulus mencintaiku dan mau menerima keadaanku yang lumpuh ini."Nara tampak mengerutkan kedua alisnya, dia tampak kesal jika diajak oleh Jaden berdebat seperti ini."Hal itu memang bisa saja terjadi, tapi wanita yang mencintai dengan benar-benar tulus pun masih ada. Contohnya aku. Aku jika jatuh cinta dengan seseorang, tidak akan mau memandang harta atau kekurangan yang dia miliki karena harta bisa menghilang. kekurangannya akan bisa tertutupi dengan cinta tulus yang kita miliki.""Apa kamu mau denganku?""Hah?" Mulut Nara seketika terbuka lebar karena kaget dengan apa yang Jaden tanyakan."Tidak perlu sekaget itu. Aku juga tidak akan mau
Nara seketika berjongkok di depan kuris roda Jaden. "Tuan Muda kenapa tidak mau ikut? Kita sudah berjanji, kan, kalau Tuan Muda mau melupakan masa buruk yang Tuan JL alami." Tangan Nara pun menggenggam tangan pria itu.Nenek dan Reno yang melihat hal itu seketika saling melempar pandangan dengan wajah tentu saja tidak percaya."Nek, itu benaran cucu nenek ya?" tanya Reno lirih."Dia cucuku, Ren, dan sepertinya kita sudah menemukan orang yang tepat untuk pria arogan itu." Wanita tua itupun tersenyum lebar melihat hal itu.Tatapan mata Jaden yang tadinya tajam, sekarang terlihat lebih teduh. Dia pun melihat pada tangannya yang digenggam oleh Nara."Aku memang sudah berjanji sama kamu, tapi tidak berarti aku harus mengikuti semua yang kamu perintahkan. Kalau kamu mau pergi, pergi saja." Jaden menarik tangannya dari tangan Nara. Dia pun mendorong kursi rodanya masuk ke dalam kamar. Nara yang masih duduk berjongkok di sana hanya bisa terdiam."Kalau tuan muda tidak mau, kita tidak jadi per
Reno yang melihat Nara pergi menyusul Jaden pun khawatir. "Nek, apa aku juga ikut menyusul Nara dan Tuan Muda?" "Tidak perlu, Ren. Nara pasti bisa mengatasi sikap cucuku yang memang sejak kelumpuhan itu sangat membuat orang lain kesal." Nenek cantik itu malah santai menikmati teh hangatnya."Oh ya sudah kalau begitu, tapi memang benar apa kata Nenek. Nara itu penjaganya Tuan JL." Reno pun malah santai menikmati tehnya.Nara mencari di mana keberadaan si pria lumpuh yang menjadi majikannya itu. Jaden ternyata sedang duduk di atas batu besar dengan kruk yang dia sandarkan tepat di sebelahnya."Dia sedang melamun apa? Pasti ingat dengan wanita yang sudah meninggalkan itu. Tuan Jaden harus bisa melupakan wanita itu dan satu-satunya cara dia jatuh cinta pada wanita lain yang tentu saja bisa menerimanya keadaanya," Nara malah berdialog sendiri di tempatnya berdiri saat ini."Tuan JL, Tuan kenapa malah duduk di sini sendirian?" Nara pun duduk di sebelah majikannya itu.Jaden hanya melirik p
Jaden pun mencoba membantu Reno menyalakan perapian. Nara yang juga membantu malah diusili Reno dengan menorehkan sisa kayu bakar yang sudah menjadi abu pada wajah Nara."Reno!" seru Nara kesal.Reno malah cekikikan. "Muka kamu lucu sekali seperti boneka anabel," ejek Reno."Awas kamu, ya!" Nara mengambil sisa kayu bakar yang sudah menjadi abu, tapi matanya malah kelilipan. "Aduh!" Erang Nara malah kebingungan sendiri karena tangannya pun kotor. Di tengah kebingungannya itu, Nara pun merasakan tangannya ditarik oleh seseorang dan sebuah sentuhan lembut pada pipi Nara."Biar aku tiup, kamu tenang dulu," suara itu sangat Nara kenali, meskipun kedua matanya masih tertutup menahan perih.Nara pun seketika menurut suara yang berbicara dengannya. Dia merasakan embusan udara yang terasa hangat pada matanya.Perlahan, wanita itu mencoba membuka kedua matanya dan dia melihat wajah seseorang yang baginya menyebalkan, tapi entah kenapa dia mulai menyukai wajah itu."Sudah tidak apa-apa, kan?" t
Nara pun beralasan jika dia sedang mimpi buruk, padahal bayangan akan rasa bersalah pada Jaden itu kembali muncul, di tambah juga Nara yang merindukan suaminya. "Aku tadi memang mimpi buruk, Tuan. Maaf kalau sudah membuat Tuan Jaden terbangun.""Aku tadi mau mengambil air minum karena air di gelasku habis, tapi aku mendengar kamu mengigau apalagi pintu tidak kamu tutup dengan rapat. Kamu itu ceroboh sekali. Bagaimana kalau ada orang masuk?" Sekarang Jaden malah ngomel sama Nara."Orang lain siapa? Di sini hanya ada Tuan, Nenek dan Reno, lagi pula kalau salah satu dari kalian masuk pun tidak apa-apa.""Tidak bisa begitu, Nara! Kalau aku atau nenek tidak masalah, tapi kalau Reno jangan!" seru Jaden tegas."Memangnya kenapa dengan Reno?""Dia ... Pokoknya tidak boleh! Dia mau apa masuk ke kamar kamu?" Jaden pun bingung mau menjelaskan bagaimana yang dia rasakan jika Reno dekat dengan Nara."Mungkin saja dia ingin membangunkan aku seperti yang Tuan JL lakukan, atau ....""Kamu masih menga
Nara yang baru bangun dari pingsannya tampak terkejut karena melihat ada nenek dan juga Reno di sana. Nara pun menceritakan kejadian sebenarnya pada nenek dan itu sama persis seperti apa yang Jaden katakan."Sekarang Tuan JL ke mana?" tanya Nara yang tidak melihat ada pria lumpuh yang semalam menemaninya tidur."Dia ngambek, Nara," celetuk Reno."Ngambek kenapa?" Nara pun melihat heran."Reno, kamu jangan bicara sembaranga. Dia ada di kamarnya seperti biasa, kamu tau sendiri bagaimana cucuku itu, Nara."Nara pun menganggukan kepalanya. "Kalau begitu, aku akan menyiapkan makan pagi untuk tuan JL dan setelahnya aku akan membawanya ke ruang terapi untuk memijit kakinya." Nara pun bangkit dari tempat tidurnya.Di sana Reno kembali berbisik tentang undangan yang baru saja Reno terima, dan tentu saja membuat Nara heran. "Ada apa sih, Nek?" tanya Nara yang terlihat penasaran."Ini tuan Jaden dapat undangan dari mantan tunangannya dulu, Nara. Nona Kalista akan bertunangan dengan tuan muda De
"Kak Dean, aku minta maaf jika beberapa hari ini, aku tidak masuk kerja. Aku masih mau menjaga Nenek Miranti di sini. Kak Dean tau sendiri kalau aku merasa sangat bersalah setelah menceritakan hal itu pada Nenek Miranti." Wajah Nara pun tampak pias. "Iya, aku tau." Tangan Dean pun mengusap lembut kepala Nara."Nanti kalau Nenek sudah benar-benar sehat, aku akan kembali bekerja. Aku juga kangen ingin membuat kue lagi di dapur cafe milik Kak Dean." Terlukis senyum kecil pada sudut bibir Nara.Dean pun mengangguk. "Nara, bulan depan rencananya aku mau mengajak kamu pergi menemui Nio dan ibumu. Aku kangen dengan keponakanku itu." "Aku mau, Kak. Kemarin, aku juga sudah menghubungi putra kecilku itu dan juga ibuku. Perkembangan kesehatan Nio juga semakin membaik. Dia terlihat sangat ceria, Kak." Ekspresi wajah Nara pun tampak bahagia saat sedang menceritakan tentang keadaan putranya."Ya sudah, kalau begitu bulan depan kita akan pergi ke sana. Aku pulang dulu dan jangan lupa makan makanan
Nara mendekatkan dirinya pada kaca besar di sana. Dia seolah sedang menyapa wanita tua yang sudah membuka kedua matanya dan melihat ke arahnya. Nara benar-benar merasa senang karena dia bisa melihat Nenek Miranti membuka keduanya. Wanita tua yang masih terpasang begitu banyak alat medis yang menancap pada tubuhnya tampak tersenyum tipis."Reno! Nenek sudah sadar!" seru Nara yang memeluk Reno di sana. Reno pun tak lupa membalas pelukan Nara karena dia pun merasa sangat senang."Iya, Nenek sudah sadar dan aku sebaiknya segera memberitahukan ini pada Tuan Jaden."Nara pun melepaskan pelukannya. "Iya, Ren, beritahu dia jika Nenek sudah sadar. Tuan JL pasti akan sangat senang mengetahui hal ini." Reno pun segera pergi dari sana. Nara masih memperhatikan Nenek Miranti. Nara seolah sedang mengajak Nenek Miranti untuk berbicara menggunakan bahasa isyarat. Wanita tua itu pun hanya menanggapi dengan mengangguk perlahan. Ada suatu kelegaan di hati Nara melihat Nenek Miranti sudah sadar.Tak lam
Pria dengan kursi rodanya itu mengerjapkan kedua matanya. Dirinya tidak sadar jika semalam dia malah ketiduran di depan ruang ICCU, di mana neneknya sedang dirawat. "Selimut?" ujarnya heran melihat ada selimut berwarna biru menutupi tubuhnya yang tidur dia atas kursi rodanya.Tak lama kedua matanya menangkap sosok yang sebenarnya tidak ingin dia lihat, tapi hati kecilnya rindukan. Nara sedang berdiri tepat di depan jendela kaca besar dengan tirai ruangan yang masih tertutup. Tangannya pun menampak pada kaca besar itu, serta terlihat guratan kesedihan pada wajahnya. "Nek, aku mohon nenek bisa bertahan dan sembuh. Aku ingin melihat nenek kembali." Air mata Nara pun perlahan menetes.Sekarang Jaden tahu siapa yang sudah menyelimuti tubuhnya. Dia mengambil selimut itu dan melemparnya dengan kasar. Rasa bencinya pada Nara seketika muncul mengingat apa yang sudah wanita itu lakukan."Untuk apa kamu ke sini? Pergi dari sini! Nenekku tidak membutuhkan dirimu, Pelayan!" bentak Jaden marah.N
"Kenapa wanita tua itu tidak mati saja, sih?" geram Kalista marah. Kedua matanya kini menatap dengan kesal pada sosok pria yang sedang duduk di atas ranjangnya dengan bagian tubuh atas yang tampak polos, sedangkan bagian bawahnya tertutup selimut tebal. Pria dengan wajah datarnya itu tampak sedang memikirkan sesuatu."Malam ini juga aku dan Jaden harusnya pergi makan malam, tapi ternyata wanita tua itu membuat drama," ucapnya masih terdengar kesal.Sekarang kedua mata wanita cantik itu mengalihkan pada pria yang ada di atas ranjangnya. "Devon, kamu sedang memikirkan apa sih? Aku ini sedang bicara sama kamu." Kalista yang hanya mengenakan selimut untuk menutup tubuh polosnya berdiri tepat di depan tempat tidurnya.Devon pun membalas melihat dengan datar pada wanita cantik yang baru saja menemani tidurnya. "Aku masih mencari tau tentang siapa orang yang sudah membebaskan Nara saat aku culik, semua orangku pun tidak ada yang tau sosok itu." Sekarang ekspresi Devon lebih ke penasaran.Ka
Ekspresi kecemasan itu belum hilang dari wajah Nara. Dia menunggu dengan tidak tenang di depan pintu ruangan di mana Nenek Miranti sedang ditangani oleh petugas medis."Nara, aku baru saja menghubungi Tuan Jaden dan dia akan segera ke sini," ujar Reno yang juga tak kalah cemas."Iya, kita juga harus memberitahunya. Reno, aku benar-benar takut terjadi hal yang serius pada Nenek Miranti, kenapa juga dokter dari tadi tidak keluar dari ruangannya. Setidaknya mereka memberitahu bagaimana keadaan nenek saat ini." Nara mengigiti jarinya untuk menghilangkan kecemasannya."Kita tunggu saja semoga Nenek Miranti tidak kenapa-napa. Aku juga sebenarnya takut sekali kalau sampai terjadi hal yang fatal, tapi kita tetap harus berpikiran positif, Nara.""Ini semua salahku, Ren, aku tidak seharusnya mengatakan hal itu pada nenek. Hal yang aku takutkan pun akhirnya terjadi, aku benar-benar bodoh." Nara duduk sembari menjambak rambutnya sendiri karena dia merasa sudah berbuat hal yang sangat bodoh. And
Setelah beberapa hari Nara dirawat di rumah sakit, akhirnya dia diperbolehkan untuk pulang. Kali ini dia pulang ke rumah barunya yang sudah disiapkan oleh Nenek Miranti. Nara awalnya sangat terkejut karena tiba-tiba Nenek Miranti membelikan rumah untuknya. Reno yang sudah memberitahu padanya tentang rumah baru yang nanti saat pulang Nara akan langsung tinggal di sana."Nek, kenapa Nenek membelikan aku rumah ini? Aku bisa tinggal di cafe milik Kak Dean."Nara yang kala itu sedang duduk di ruang tamu bersama dengan Nenek Miranti dan ada Reno di sana. Dean? Dean tidak ikut karena dia pagi ini harus keluar kota untuk proyek cafe satunya. Rumah yang diberikan oleh Nenek Miranti tidak begitu besar, tapi terlihat sangat nyaman. Rumah itu juga sudah lengkap dengan perabotannya."Kamu baru saja keluar dari rumah sakit dan tidak baik jika kamu tinggal di dalam cafe itu. Nara, aku minta maaf karena belum bisa menjenguk kamu waktu di rumah sakit dan kita baru bisa bertemu di sini. Acara pertunan
Setelah mematikan panggilannya. Pria itu tersenyum dengan sangat puas, tangannya pun menarik perut seseorang mendekat ke arahnya. Kedua orang itu pun saling menautkan bibirnya dalam."Sayang, aku ingin menyiksa wanita itu dulu," ucap sang wanita setelah tautan bibirnya terlepas. "Untuk apa? Kamu tidak perlu membuat dirimu capek hanya untuk menyiksanya." Telunjuk pria itu mengusap lembut bibir sang wanita."Ayolah! Aku ingin melihat wanita itu menderita, kenapa kamu malah menyuruh orang suruhanmu membuang ponselnya? Bagaimana kamu menghubunginya nanti dan katakan jangan membuatnya mati dulu." Wajah cantik wanita itu terlihat kesal.Sekali lagi tangan pria itu membelai setiap inci wajah wanita di depannya. "Aku sudah biasa bermain kotor seperti ini dan aku tau bagaimana mengatasinya." Pria itu pun menghubungi seseorang."Kamu menghubungi siapa?" tanyanya tidak sabar.Pria yang adalah kekasihnya itu tidak menjawab. Dia masih menyelesaikan bicaranya dengan seseorang ditelepon. Setelah bi
Nara masih berusaha melepaskan dirinya dari beberapa orang yang sedang memegangi tangannya. Orang-orang itu terlihat ingin berbuat buruk padanya."Lepaskan aku! Kalian mau apa?" pekik Nara dengan tetap berusaha memberontak."Kalian jangan macam-macam dengan Nara!" Reno pun ikut berteriak."Kami akan membawamu untuk dihabisi," ucap salah satu pria di sana sembari tersenyum miring."Apa?" Kedua mata Nara pun mendelik kaget.Reno pun terlihat khawatir jika orang-orang itu melukai Nara. Dia berusaha melawan dua pria yang sedang memegangi tangannya.Bruk!Reno pun dipukul sampai tersungkur. Reno jelas saja kalah, dia kalah jumlah dengan delapan pria berbaju serba hitam di sana.Nara pun yang mencoba mengigit salah satu pria itu, akhirnya tangan satunya terlepas. Dia pun mencoba menendang kaki pria satunya, tapi sayang dua pria lainnya segera memukul perut Nara sampai Nara pun tersungkur. "Hei!" pekik Reno yang ingin menolong Nara, tapi tangannya langsung dicekal oleh dia orang lagi."Le
Pyar!Sebuah pecahan gelas terdengar menggema di ruangan itu. Tampak seorang wanita menahan amarah yang dari tadi ingin dia luapkan."Kamu kenapa, Sayang, bukannya kamu baru saja keluar dengan si lumpuh itu?" tanya Devon yang tengah duduk santai di sofa kecil miliknya."Kamu harus segera menyingkirkan si pelayan tidak tau diri itu, Devon!" Kalista menggeram marah mengingat tadi dia bertemu dengan Nara."Aku sebenarnya punya rencana ingin menyingkirkannya saat bagiku dia berbahaya jika sampai mengatakan semuanya, tapi ternyata dia tidak mengetahui siapa yang menyuruh sebenarnya." Devon kembali menikmati winenya.Kalista berjalan dengan menggoda ke arah pria yang sedang menatapnya dengan pandangan menginginkan. "Kamu benar-benar jahat, Sayang." Kedua tangan wanita itu melingkar pada leher pria yang masih saja terus menatapnya."Aku melakukan semua itu karena aku ingin mendapatkan kamu, Sayang, dan akhirnya aku pun mendapatkan kamu." Devon pun mengecup pipi Kalista dengan lembut."Jujur