“Bunda, Ratih! Kita berangkat sekarang yah, ayah sudah membuat janji di rumah sakit. Dokternya praktek satu jam lagi.” Tiba-tiba Darman masuk menginterupsi percakapan serius ibu dan anak ini.
“Ba-baiklah, Ayah,” sahut Ratih lalu memapah Lusi keluar dari kamarnya.
Keduanya memilih bungkam dan bermain dengan pikirannya sendiri selama perjalanan menuju ke Rumah Sakit.
Benar saja, sampai di rumah sakit setelah melewati berbagai pemeriksaan, hasil rontgen pun keluar. Ternyata terdapat keretakan pada tulang ekor. Pencegahan awal sudah dilakukan, Ratih bernafas lega.
“Satu cikal bakal sebuah masalah telah terlewati,” batin Ratih lalu kembali ke rumah megahnya.
“Ayah, Ratih mau belajar mengandarai mobil dan sepeda motor, bisakah Ayah mengajarkannya?” tanya Ratih, sambil melirik Lusi yang memilih untuk menatap Ratih dalam diam.
Sambil menundukkan kepalanya, Ratih masih ingat betul bagaimana berulang kali dia sadar jika dirinya sering sekali dibohongi oleh suami dan adik tirinya. Mereka bisa pergi kemana pun dengan menggunakan fasilitas keluarga yang disediakan oleh ayahnya, sedangkan Ratih hanya diam di rumah, bagai katak dalam tempurung karena tak dapat mengendarai kendaraan apapun.
“Loh, kok mendadak kepingin latihan menyetir, Nduk? Ada apa?” tanya Darman menatap heran kepada anaknya.
“Sudah saatnya, Ayah. Hari ini, usiaku sudah dua puluh satu tahun. Aku, tidak bisa lagi bergantung sama Ayah, apalagi sama Pak Bagio,” jawab Ratih.
Sebisa mungkin Ratih menyembunyikan fakta yang dia sadari, sejak tadi juga Ratih berusaha untuk tidak berkontak mata dengan bundanya sama sekali.
“Hem, baiklah. Besok, akan Ayah ajarin ya, Nduk. Tapi, ada syaratnya,” sahut Darman sambil tersenyum.
“Apa itu, Ayah?”
“Minta maaflah dengan Deva, Nduk. Ayah dan Bunda malu dengan sikapmu semalam, Ayah hanya ingin kamu punya masa depan yang cerah. Deva itu pria yang baik, sudah berapa kali kamu bersikap kasar dengannya? Tapi, Deva sama sekali tidak membalas atau menghirauannya. “
Ratih justru diam tidak menjawab, seolah sedang mempertimbangkan hingga membuat Darman kembali menghela nafas.
Dua minggu lagi, Deva akan datang ke rumah Ratih untuk memberitahu tentang perselingkuhan Rangga dan Nia. Itu adalah terakhir kalinya Ratih bertemu dengan Deva, setelah kembali mempermalukan Deva untuk yang kesekian kali. Ratih bertekad untuk tidak mau mengulangi kesalahan itu lagi. Ayahnya benar! Ratih merasa harus meminta maaf kepada Deva.
Bebannya terasa sangat berat saat ini, Ratih kembali mengingat detail kejadian di masa depan sambil memandang pohon karet yang berjajar di sepanjang jalan menuju ke rumah. “Dia pasti sudah ada di rumah,” gumamnya sekali lagi.
“Ratih, kamu dikasih syarat kok malah ngedumel sendiri.” Darman salah paham, ia kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
“Iya, Ayah, Ratih akan mencari waktu untuk bertemu dengan Deva,” jawab Ratih tidak ingin membantah Darman lagi.
Darman langsung sumringah sepanjang jalan, tapi raut wajahnya berubah saat mobil yang dikendarai memasuki halaman rumah mereka. “Ck! Kok malah ke rumah, anak ini mengganggu saja,” dengus Darman saat memarkir mobilnya.
Pandangan Ratih langung teralih di dekat ayunan rumahnya. Ratih juga sudah tau jika saat ini Rangga sedang menunggunya di halaman rumahnya. Melihat wajah Rangga kali ini bukan hanya Darman yang muak, tapi Ratih juga merasa muak apalagi setelah tau apa yang akan Rangga lakukan kepadanya di sama depan.
“Ratih! Selamat ulang tahun, Sayang!” sapa Rangga begitu melihat Ratih turun dari mobil sambil mencium pipi Ratih tanpa ada rasa segan di depan kedua orang tuanya.
Darman dan istrinya sangat tidak menyukai Rangga, entahlah mungkin karena firasat orang tua. Berulang kali Ratih dilarang, tetapi berulang kali Ratih selalu melawan.
Dengan keras kepalanya Ratih ngotot selama ini untuk terus mempertahankan hubungannya dengan Rangga. Puncaknya adalah semalam saat Ratih mempermalukan Deva di depan umum pada saat pesta peresmian pabrik baru keluarga Deva, dirinya sama sekali tidak perduli kalau Deva adalah pria pilihan kedua orang tuanya.
“Tenanglah, Ayah, Bunda, aku tidak akan mengecewakan kalian lagi, sebentar lagi … aku akan menyingkirkan para benalu dari kehidupan keluarga kita,” janji Ratih pada dirinya sendiri.
“Ratih, masuklah ke dalam! Tidak baik mesra-mesraan begitu di halaman rumah. Apalagi kalian bukan sepasang suami istri,” tegur Darman mendengus dan meninggalkan Ratih sambil memapah istrinya.
Saat Ratih hendak membantu ayahnya, tangan Rangga langsung mencegah Ratih. “Biarkan saja, kita di sini saja. Kenapa, ayahmu selalu saja membenciku seperti itu? Apa karena aku hanya anak dari buruh pabrik? Aku memang tidak pantas bersanding di sisimu. Tetapi, salahkah aku yang berharap diterima di keluargamu ini? Salahkah aku mencintaimu dengan segenap hatiku,” lirih Rangga seperti biasanya.
Jika sudah begini, biasanya Ratih akan langsung memeluk Rangga dan balik marah dengan Ayah. Tak jarang saat Rangga sudah pulang dia otomatis akan membela Rangga habis-habisan. Hal itu tentu saja membuat Lusi sebagai Ibu menangis cemas. Lusi bahkan sering kali tidak bisa makan dengan enak serta tidur tenang.
"Ck! Sungguh kelakuanku selama ini sangat keterlaluan," gumam Ratih sendiri.
Ratih bersumpah sambil menatap Rangga dengan seyum tersungging di wajahnya, dirinya tidak akan tertipu rayuan mautmunya, Rangga. Permainan ini baru saja di mulai dan Ratih tidak mau mengakhirinya sebelum memberikan pelajaran kepada Rangga dan para komplotannya.
“Pulanglah dulu, Mas. Bunda lagi sakit, aku … tidak enak jika harus berdebat dengan Ayah di saat seperti ini. Nanti, datanglah ke acara pesta ulang tahunku, yah. Aku tunggu di sana.” Ratih berusaha bersikap seperti biasanya. Walau, dirinya harus menahan rasa muak dan jijik saat melihat senyuman palsu Rangga.
Apa yang dilakukan Rangga di masa lalu sangatlah keterlaluan, bahkan tidak manusiawi. Cinta butanya kepada Rangga yang sangat pandai memainkan kata membuat Ratih selalu memusuhi Deva. Siapa sangkah, jika semua peringatan yang diberikan oleh Deva justru menjadi kenyataan.
“Apa, kamu tidak mau pergi denganku seperti yang kita rencanakan sebelumnya, Sayang?” Rangga kembali membuat wajahnya tampak sepolos mungkin, seolah dia sangat menginginkan untuk selalu bersama dengan Ratih.
“Seharusnya, kita bersama-sama. Tapi, bundaku baru saja kecelakaan. Aku, tidak bisa meninggalkannya. Maafkan aku yah, Sayang. Ini, buat isi bensin, jangan ditolak harus diterima.” Ratih memberikan Rangga uang sebesar lima ratus ribu rupiah agar kekasih benalunya itu pulang dan tidak merengek lagi.
Mata Rangga langsung berbinar saat melihat lima lembaran merah di tangan Ratih. “Aku, tidak bisa menerimanya, Sayang. Apa, kata ayah kamu kalau tau aku menerima uang ini. Yang ada nanti aku akan semakin dihina.”
“Munafik!” batin Ratih terus memasang seulas senyum tulus di wajahnya.
“Sudah terimalah, ayo cepat bersiaplah. Gunakan kemeja yang kemarin aku belikan, pakai minyak rambut juga supaya rapi yah, Sayang. Sampai jumpa di Hotel Siak nanti malam.” Ratih memeluk dan mencium pipi Rangga lalu memasukkan uang tersebut ke saku kemeja Rangga.
“Baiklah, sampai jumpa, Sayang. Terima kasih yah, kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, aku akan menggantinya,” janji Rangga ini persis seperti kejadian di masa depan. Saat, akhirnya Rangga meminjam uang lima ratus ribu dengan alasan untuk mengisi bensin mobilnya.
Walau lokasi dan cara Rangga menerima uang tersebut yang berbeda, tapi kalimat yang terucap dari bibirnya tetap sama. Ratih tersenyum kecut dan menunduk. “Baiklah, aku masuk dulu yah,” pamitnya tidak mengantarkan Rangga seperti biasa.
Setelah mendengar suara mobil hartop milik Rangga menjauh, Ratih melangkah masuk ke dalam kamar Lusi, bundanya. Terlihat bundanya sedang tertidur, mungkin efek dari minum obat. “Ayah, Rangga sudah pulang.” Ratih sengaja membahas soal Rangga untuk mengetahui isi hati Darman.
Darman kembali menghela nafas, menatap Ratih dengan perasaan yang campur aduk. “Ratih, kenapa kamu masih mempertahankan hubunganmu dengan Rangga? Tidak bisakah kamu nurut sama perkataan orang tuamu ini, Nduk? Ayah dan Bunda hanya ingin yang terbaik untukmu.”
“Ayah, apa alasan Ayah dan Bunda menjodohkanku sama Deva? Kenapa harus Deva, Ayah?”
Bukan untuk melawan yang kesekian kalinya lagi, tapi Ratih hanya ingin memastikan jika langkah yang akan diambilnya adalah langkah yang benar. Ratih juga tidak tau, apakah dia bisa kembali ke masa lalu lebih dari sekali atau tidak? “Karena itu adalah amanat dari bundanya Deva, sebenarnya Eyang Buyut bundamu dengan Eyang Buyutnya memiliki sebuah perjanjian, Nduk.” Sebuah rahasia baru kembali terungkap. “Apa, perjanjiannya Ayah? Apa, Ayah tau?” Ratih menjadi penasaran. “Entahlah, yang pernah Ayah dengar, turunan mereka harus ada yang menikah. Tapi, lebih tepatnya kamu bisa tanyakan kepada bundamu. Yang jelas, terlepas dari perjanjian itu, Deva adalah anak yang baik. Tidak ada pilihan yang paling sempurna di tempat ini selain Atmadeva, Nduk.” Ratih tidak menyangka perkataan ini akan terucap saat ini. Seharusnya ayahnya mengatakan ini sepulang persta ulang tahunnya. Ayah juga akan mengatakannya sambil menahan amarahnya, tapi saat ini Ayah justru menjelaskannya dengan santai. Sama, se
Bingung, harus dari mana Ratih menjelaskan semuanya, hingga akhirnya dia mencoba untuk menggenggam Kembali liontin pada kalungnya sambil menutup mata. Ia ingin menunjukkan sinar kuning keemasan yang keluar dari liontin itu. Ratih Kembali merasakan, sensasi panas di dadanya setiap kali ia mengingat jika dirinya ditenggelamkan dengan sengaja. Nafasnya Kembali tersengal, keringat dingin juga mulai membasahi dahinya. “RATIH! RATIH! Kamu kenapa sih?! Kok malah kayak gini? Jangan buat aku takut dong!” Suara Deva sontak membuat Ratih membuka matanya dan kembali memegang dadanya yang tersara panas. Dirinya sampai mengambil air minum Deva yang disediakan di meja kantornya, Ratih masih tidak bisa menjawab Deva selain menelan tiap teguk air pada gelas itu hingga tandas. “Okay! Sekarang kamu habisin air minumku,” keluh Deva. “Tadi, kamu lihat nggak? Ada cahaya nggak dari liontin giok yang aku genggam?” tanya Ratih penuh harap. Deva semakin kesal mendengar pertanyaan Ratih, dirinya merasa ke
“Ratih, sini Nduk. Deva sudah menunggu kamu sejak tadi,” panggil Darman saat melihat Ratih baru saja datang mendekat kepadanya. Deva menatap Ratih tanpa berkedip, wajah cantik Ratih membuatnya kagum, tetapi melihat penampilan calon tunangannya Deva heran. Di acara peresmian pabriknya, kenapa Ratih malah datang dengan kaos oblong dan celana jeans belel. Akhirnya Deva memberikan sebuah kotak kado yang disiapkan untuk Ratih, karena kebetulan besok adalah hari ulang tahun Ratih yang ke dua puluh satu. “Ratih, mungkin kamu bisa ganti baju dulu, ini kado buat kamu besok. Tapi, kamu bisa pakai gaun pemberianku hari ini, sebentar lagi pertunangan kita akan diumumkan. Kamu ganti yah.” Deva lalu menyodorkan sekotak kado berisikan gaun saat dirinya mendekati Ratih yang berdiri dekat Darman dengan raut wajah tak ramah. Wajah Deva menunjukkan seulas senyum bahagia saat Ratih mengambil kotak kado tersebut, begitu juga dengan Darman dan anggota keluarga keduanya. Tapi, tiba-tiba saja Ratih melemp
BAB 7. Rangga Terusir Dari Pesta. Entah kenapa Deva selalu melontarkan kata demi kata yang bertujuan untuk meruntuhkan dan menggoyahkan tekad bulatnya Ratih. Walau Ratih tampak berpikir sejenak tapi dirinya tetap berkomitmen untuk memenuhi semua syarat yang diberikan oleh Deva. Mungkin inilah perjuangan awal Ratih, untuk mendapatkan kepercayaan Deva. “Deva, jangan ragukan diriku jika aku sudah berjanji kepadamu. Harusnya kamu bisa menilai bagaimana keras kepalanya aku saat aku memperjuangkan sesuatu yang ku anggap penting. Memperjuangkan keluargaku adalah prioritas utamaku.” Ratih menatap tajam Deva dan segera turun dari mobil. “Ratih?! Kok kamu turun dari mobilnya Deva?” Rangga terbelalak kaget melihat Ratih. Tak lama kemudian terdengar suara pintu mobil tertutup, Deva turun dan memberikan kunci mobil pada petugas valet. Lalu Deva mensejajarkan dirinya di samping Ratih sambil memasukan tangannya di dalam saku celana. “Rangga, kita putus! Aku, akan menikah dengan Deva. Kamu bisa m
“Mau seribu kali kamu bertanya kepadaku, jawabanku tidak akan berubah!” tegas Ratih lalu berjalan meninggalkan Deva menuju ke toilet. “Dasar, keras kepala,” gumam Deva sembari menggelengkan kepalanya. Deva lalu berjalan menuju ke meja tempat Abizar dan Darman sedang berbincang. “Om Darman, Tante Lusi mana?” tanya Deva tidak melihat calon ibu mertuanya. “Tante lagi menyusul Ratih ke toilet,” sahut Darman sambil memberikan segelas sirup untuk Deva. “Pa, Om, ada yang mau saya bicarakan malam ini. Apa kita perlu mencari tempat yang agak tenang untuk membahasnya?” tanya Deva sambil mengedarkan pandangan melihat suasana pesta yang sebenarnya sudah mulai lengang. Banyak para tamu yang sudah berpamitan satu per satu, dari sejak tadi saat dirinya berbincang dengan Ratih di sudut ruangan. Hanya tersisa beberapa yang masih terlihat asik dengan obrolan mereka sendiri. “Disini saja, masih ada beberapa tamu yang belum pulang. Apa yang mau kamu sampaikan, Deva?” saran Abizar sekaligus bertanya
Jantung Ratih kini sudah tidak lagi bersabat dengannya, sengatan kecil juga merasuk di atas permukaan kulitnya. “Deva?” panggil Ratih sambil menahan nafasnya sejenak tanpa berani menoleh.“Hem? Acara pernikahan kita akan dilaksanakan minggu depan,” sahut Deva lalu menarik kursi di samping Ratih untuk bergabung dengan calon mertua dan papanya.Ratih tidak lagi mempertanyakan segala hal yang bersangkutan dengan urusan pernikahan mereka. Ia hanya mengulas senyum tipis saat mendengar Abizar dan Darman saling berkelakar dan juga menceritakan kisah masa kecil kedua anaknya.Begitu juga dengan Lusi yang sesekali ikut menimpali percakapan kedua bapak-bapak ini, lalu sesekali ikut tertawa bersama. Ratih sangat menikmati pemandangan ini, sampai Deva kembali berbisik kepadanya.“Aku pinjam ponsel kamu.” Merasakan kembali hembusan nafas Deva, Ratih mendengus dan membuka tas pesta yang dibawanya.“Kenapa sih, suka banget bisik-bisik? Bicara normal kan juga bisa,” omel Ratih sambil memberikan ponse
“Ratih, berjanji akan belajar menerima pernikahan ini dan membuka hati Ratih untuk Deva. Tetapi Ratih tidak yakin Deva bisa membuka hatinya, rasa dendam dan kekecewaannya selama ini sepertinya akan menjadi tembok penghalang dalam pernikahan kami,” lirih Ratih.Menanggapi keputus asaan Ratih akan sikap Deva, Lusi hanya mengulas senyum saja. “Semua harus dimulai dari diri kita dulu. Jika, hatimu memang tulus kepadanya, Bunda yakin suatu saat hati Deva pasti akan tersentuh. Sekarang tidurlah, jangan lagi kamu berprasangka buruk. Tuhan sudah memberikanmu kesempatan untuk kembali menata hidupmu, bersyukurlah dan berprasangka baiklah,” tutur Lusi memang selalu dapat menyejuk jiwa Ratih yang rapuh.“Terima kasih, Bunda … karena selalu mau menerima Ratih walau selama tiga tahun ini Ratih selalu menyakiti hati Bunda dan Ayah. Sungguh, Ratih merasa tidak layak,” sesal Ratih lalu membaringkan tubuhnya dan mengecup punggung tangan Lusi yang setia mengusap lembut surai rambut anaknya.Lusi lalu me
Setelah mobil berhenti dengan sempurna, Ratih membuka sabuk pengamannya. Baru saja sabuk pengamannya selesai dilepas. Deva telah membuka pintu mobil dan keduanya sama-sama terkejut melihat satu sama lain. Pak Ratmin yang ada di sana hanya mengulum senyum saja, melihat kedua insan muda ini saling terpanah satu sama lain. Tapi, kok terpananya lama sekali, akhirnya Pak Ratmin mengambil inisyatif untuk berdeham. “Ehem, ehem!” Suara Pak Ratmin langsung membuat Deva dan Ratih salah tingkah. “Em, silahkan masuk. Kamu, sudah sarapan?” tanya Deva sampai lupa tujuannya mengundang Ratih ke rumahnya. “Terima kasih, iya aku sudah sarapan,” sahut Ratih lalu mengikuti Deva dari belakang. Ternyata di meja makan, Deva sudah menyediakan dua piring dan ada roti bakar. Sepertinya Deva menyiapkan sarapan ini untuk Ratih. “Oh sudah yah,” sahut Deva sambil mengambil piring yang disiapkan untuk Ratih, tapi dengan cekatan Ratih mencegahnya. “Eh, mau apa? Aku jadi ngiler liat rotinya. Aku sengaja sarapan s
Deva dan Ratih saat itu juga langsung menghubungi Lusi dan Abizar. Selama ini, Deva dan Ratih sengaja menutupi dan menyembunyikan kalau ingatan Ratih sudah kembali untuk kepentingan penangkapannya Rangga.“Bunda, bisakah kita bertemu malam ini juga?” tanya Ratih pada Lusi.Malam ini sudah pukul sebelas malam, Lusi mengira ada masalah baru lagi. “Baiklah, Nak. Bunda akan ke sana sekarang yah,” jawab Lusi segera bergegas.“Bunda, nanti dijemput sama pak Ratmin yah,” ucap Ratih.“Baiklah, Bunda akan bersiap sekarang juga,” jawabnya.Benar saja, saat dirinya sudah siap dengan jaket di tubuhnya, mobil pribadi Deva sudah menunggunya di depan."Selamat malam, Pak Ratmin. Maafkan, anakku yang memerintahkanmu malam-malam menjemputku ke sini," sapa Lusi merasa tidak enak hati dengan sopir setianya Deva.Ratmin menatap prihatin kepada Lusi. "Saya tahu kondisi kesehatan anak anda, memang sangat mengkhawatirkan dan sangat menyedihkan, Nyonya Lusi. Tetapi, yakinlah Tuhan pasti berpihak kepada yang
“Saudara Tania dan Leni, anda ditangkap karena sudah melakukan penipuan dan penggelapan serta pembunuhan berencana terhadap korban Susantio!”Alan datang dan langsung segera memborgolnya, sedangkan anak buah yang lainnya langsung datang bergerak meringsek masuk.Mereka segera menuju ke dalam kamar hotel mewah tersebut untuk menangkap Leni. Keduanya digeret ke lantai satu dan dimasukkan ke dalam mobil tahanan.Habis sudah mimpi mereka untuk menjadi orang kaya raya. Saat itu juga Leni masih berusaha untuk melepaskan dirinya menggunakan kekuatan hipnotisnya kepada para polisi. Tetapi sayang, semua itu tidak berlaku bagi para polisi yang saat ini bersama dengannya.“Apa yang sedang kau lakukan, Bu? Kenapa, dari tadi mulutmu umak umik tidak jelas,” kekeh salah satu anak buahnya Alan.Leni pun geram mendengar ejekan tersebut. “Kalian harus melepaskan kami saat ini juga! Ini, adalah perintahku,” ucap Leni tegas berusaha untuk menghipnotis orang yang mengejeknya.Tetapi Alan datang dan menepu
“Tentu saja, aku ingin mencari para wanita tetapi bukan hanya satu wanita. Aku ingin sepuluh wanita tercantik dan terseksi, yang ada di tempat ini.” Rangga tampak sangat takabur.“Satu malam akan ku bayarkan dua juta setengah untuk mereka. Aku akan menyewa mereka selama waktu yang aku inginkan,” sambung Rangga.Wanita di hadapannya langsung mengalungkan tangannya di leher Rangga. “Di mana anda akan menginap? Kami akan menuju ke sana, Tuan tampan,” ucap wanita itu.“Berikan saja nomor ponselmu, aku akan mengirimkan waktu dan tempatnya,” jawab Rangga.Wanita itu pun segera bergegas mengeluarkan sebuah kartu nama kepada Rangga. “Anda bisa memanggil saya kapan saja dan sembilan wanita lainnya akan siap melayani anda.” Rangga tertawa dengan puas.Ia lalu beranjak pergi ke sebuah showroom mobil. Dilihatnya, sebuah mobil Lamborghini berwarna merah tua dengan harga dua setengah milia
“Ah, Tuan!” ucap Ara saat dadanya menabrak dada bidangnya Rangga, hingga membuat darah Rangga berdesir.“Kapan kau akan pulang kerja, hari ini?” tanya Rangga to the point, masih dalam kondisi memeluk Ara tanpa ada jarak diantara tubuh keduanya.“Aku akan pulang dua jam lagi, bagaimana?” tanya Ara menahan senyuman lebar di bibir.Ia sudah tau apa niatan pria yang dikenalnya sebagai Raka ini. Hanya dengan saling menatap saja, Ara sudah bisa menebak kalau Raka tertarik padanya.“Bisakah sebelum kau pulang, kau mengirimkan seorang desainer dan belikan aku beberapa pakaian yang sekiranya tampak casual? Juga, aku membutuhkan beberapa pakaian resmi untuk pertemuan bisnisku,” ucap Rangga sambil tertawa geli dalam hatinya.“Oke bisnis man, sambil kau menunggu, aku aku akan mengirimkan beberapa orang yang kau perlukan,” jawab Ara yang tanpa segan meraba dadanya Rangga dengan lembut, se
“Okay, Sayang. Aku pasti akan membei rumah yang terbaik untuk kita. Pergilah dari kekangan keluargamu dan hiduplah berdua denganku di sana. Aku yakin, kau dan aku akan hidup bahagia selamanya,” kekeh Rangga.Ratih mengangguk dan berusaha menatap Rangga dengan bahagia. “Baiklah, Sayang. Aku percayakan semuanya padamu,” jawab Ratih sambil mencium punggung tangannya Rangga.“Kalau begitu, bisakah kau pesankan aku tiket pesawat hari ini? Aku sudah bosan di sini dan aku ingin segera menggunakan nama baruku Raka Sagabara, bagus tidak?” kekeh Rangga.Ratih mengangguk. “Nama yang sangat indah, cocok dengan tampilanmu yang sangat tampan,” jawab Ratih membuat Rangga juga terbahak dan tampak bangga.“Terima kasih, Sayang. Berarti, kita akan langsung mengambil tiket tersebut?” tanya Rangga dan Ratih menunjukkan e-tiket pada ponselnya.“Pesawat akan berangkat tiga jam lagi. Kau tida
“Lalu, kapan kau mengirim uangnya? Aku tidak mungkin menunggu kau selesai sampai masa pemulihan. Rumah itu harus segera dibayar, Rangga.” Nia mendengus saat membaca pesannya Rangga.“Aku tidak bisa menunggu sampai kau selesai masa pemulihan yang baru akan berakhir tiga minggu lagi!” dengus Nia.Rangga pun sudah mulai kesal, ia memilih untuk mengarsipkan pesan dari Nia dan mengirimkan pesan pada Ratih. “Ratih, kapan kau datang ke tempatnya dokter Charles? Aku, merindukanmu,” ucap Rangga.Ratih yang pada saat itu sementara berbelanja di sebuah supermarket yang besar bersama dengan Saka dan Deva lantas terdiam. Ia mematung saat membaca pesannya Rangga dan menunjukkan pesan itu kepada Deva.“Lihatlah apa yang harus aku lakukan?” Deva tersenyum menanggapi pertanyaannya Ratih.“Lakukan saja apa yang dia inginkan, bukankah dia baru saja meminta uang tambahan. Kirim saja sepuluh miliar lagi. Dengan begitu, dia akan terus memberikan kabar padamu tanpa kau perlu bertemu dengannya.” Ratih pun me
Saat melihat wajahnya sendiri, Rangga tampak sangat takjub. “Gila! Aku, sangat tampan!” ucapnya sangat puas saat menatap gambar dirinya di sebuah cermin kecil.Ia tahu kalau dirinya saat ini sudah siap untuk mengubah identitas aslinya. Cermin di tangan Rangga diberikan kembali pada dokter Charles, sambil menyeringai puas.“Terima kasih, Dokter. Ternyata uang yang dibayarkan oleh calon istriku, sepadan dengan hasil yang kau berikan!” Charles pun tersenyum, hingga membuat mata sipitnya semakin menghilang.“Hari ini kau sudah bisa melakukan proses foto untuk keperluan mengganti identitasmu. Tulis saja siapa nama yang kau inginkan di sebuah kertas putih. Tanggal lahir dan untuk alamat, aku sudah memberikan alamat yang tidak akan ditemukan oleh siapapun,” terang Charles.Ia sudah terbiasa membantu pelarian para mafia, maupun bandar narkoba. Dirinya cukup berpengalaman, untuk hal-hal illegal seperti ini. “Raka Sagara! Aku menginginkan namaku menjadi Raka Sagara, Dokter Charles,” ucapnya sam
Leni sedikit mendapatkan firasat tidak enak. Akhirnya, Nia pun menganggukkan kepalanya. “Okey, Bu. Kita, berangkat sekarang.”Keduanya pun segera menuju ke sebuah kantor pemasaran, tampak gedung bertingkat yang sangat tinggi. Dengan penampilan bak artis ibukota, mereka jalan penuh percaya diri.Siapa saja yang menatap mereka, tahu kalau orang-orang ini memakai pakaian mahal. Juga, tas serta sepatu yang bernilai fantastis. Mereka pun segera menunduk hormat dan membukakan pintu untuk Nia dan Leni.“Selamat pagi, Bu. Silahkan masuk,” sambut salah satu penerima tamu dan memberikan welcome drink kepada kedua wanita yang tampak kaya raya tersebut.Mereka sangat menikmati pemujaan yang luar biasa tersebut. “Ya, selamat siang. Aku mau membeli rumah, apa aku bisa melihat beberapa tipe-tipe rumah yang saat ini siap huni?” tanya Nia dengan sombong.“Oh baik, Ibu. Boleh, Ibu perkenalkan nama Ibu siapa ter
“Bu, pakaian di sini pun di bandrol paling murah senilai satu juta setengah, tolong jangan mempersulit pekerjaan kami,” ucap pelayan tersebut berusaha menyadarkan Leni.“Lancang mulutmu!” pekik Nia dan Leni langsung mengangkat tangannya untuk mencegah kemarahan anaknya.Leni ingin tetap tampi dengan elegan dan bersikap seperti orang kaya pada umunya. Leni lantas mengatupkan bibirnya dan menoleh kepada pelayan tersebut.Sedangkan, Nia sudah hendak menghajar pelayan itu. tetapi dicegah oleh Leni. “Oh, benarkah harga pakaian ini satu juta lima ratus paling murah? Kalau begitu, ini!” Leni menjeda sebentar ucapannya seraya memberikan tumpukan pakaian yang ada di pelukannya pada pelayan tersebut.Ia menatap tajam pelayan itu dan berbicara dengan kesan yang sangat mengintimidasi. “Hitung semua pakaian ini, aku akan membayarnya sekarang. Bila perlu, kau dan seisi ruangan ini pun akan kubeli,” ucap Leni dingin dengan menatap nyalang pada wanita itu.