Setelah mobil berhenti dengan sempurna, Ratih membuka sabuk pengamannya. Baru saja sabuk pengamannya selesai dilepas. Deva telah membuka pintu mobil dan keduanya sama-sama terkejut melihat satu sama lain. Pak Ratmin yang ada di sana hanya mengulum senyum saja, melihat kedua insan muda ini saling terpanah satu sama lain. Tapi, kok terpananya lama sekali, akhirnya Pak Ratmin mengambil inisyatif untuk berdeham. “Ehem, ehem!” Suara Pak Ratmin langsung membuat Deva dan Ratih salah tingkah. “Em, silahkan masuk. Kamu, sudah sarapan?” tanya Deva sampai lupa tujuannya mengundang Ratih ke rumahnya. “Terima kasih, iya aku sudah sarapan,” sahut Ratih lalu mengikuti Deva dari belakang. Ternyata di meja makan, Deva sudah menyediakan dua piring dan ada roti bakar. Sepertinya Deva menyiapkan sarapan ini untuk Ratih. “Oh sudah yah,” sahut Deva sambil mengambil piring yang disiapkan untuk Ratih, tapi dengan cekatan Ratih mencegahnya. “Eh, mau apa? Aku jadi ngiler liat rotinya. Aku sengaja sarapan s
“Kenapa kamu selalu saja mengancamku?!” protes Ratih.Dia mulai emosi setiap kali Deva mengatakan tidak akan ada pernikahan. Bayangan wajah Darman dan Lusi yang kecewa membuat Ratih selalu mati kutu jika sudah mendengar tentang pembatalan pernikahan mereka.“Kan, kamu sendiri yang mengatakan kalau akan memenuhi semua syarat yang aku ajukan sekali pun itu merugikanmu. Asalkan aku mau menikah dengan mu? Apa kamu sudah lupa dengan perkataanmu sendiri?” sindir Deva sambil menatap tajam Ratih.“Yah, kalau begitu ngapain kamu suruh aku membaca dan mendiskusikan isi perjanjian pernikahan ini, kalau pada akhirnya kata diskusi itu hanya sebuah isapan jempol belaka. Harusnya kamu langsung suruh aku menandatangi perjanjian ini saja dong!” Ratih tanpa sadar meninggikan suaranya.“Aku tidak suka sekali mendengar nada dan cara bicaramu kepadaku. Sepertinya aku harus menambah satu poin mutlak lagi!” dengus Deva sambil menulis angka sepuluh dan kalimat yang cukup panjang pada bagian bawah kertas yang
Ratih juga baru menyadari jika rencananya di pagi hari sebelum berangkat ke rumahnya Deva ternyata gagal dia laksanakan. Sejak tadi, rambut lembutnya justru menutupi jepit mutiara yang tersemat di sisi kiri belahan rambutnya. Jepit Mutiara ini baru tampak jelas saat Ratih menjepit poni depannya ketika tadi menandatangani Married Agreement. “Ini? Iya, ini punya Tante Nadira. Kok kamu tau?” tanya Ratih pura-pura kaget. “Tentu saja aku tau semua barang milik mamaku.” Deva lalu mengambil sebuah pigura foto yang ditaruh di meja menghadap ke arah kursinya. “Jepit rambut ini, sering sekali dipakai mamaku dan kebetulan lebih dari setengah foto mamaku almarhumah selalu memakai jepit itu. Pertanyaannya, kok bisa ada di kamu?” tanya Deva curiga. Apakah Abizar yang memberikannya? Rasanya tidak mungkin. Kalau pun Nadira yang memberikannya langsung kepada Ratih, Deva sedikit heran kenapa selama ini dia tidak tau. “Ini hadiah ulang tahunku yang ke sebelas. Waktu itu Tante Nadira merasa gerah mel
“Iya benar, Tuan Muda. Saya saja tidak menyangka Nona Ratih bisa mengajak saya bercerita. Satu saja pesan saya, Tuan Muda. Jangan enggan untuk membuka hati Tuan Muda untuk Nona Ratih, semua yang terjadi saat ini bisa saja menjadi jawaban dari doa keluarga Nona Ratih dan juga papanya Tuan Muda.” Nasehat Pak Ratmin memang benar, hanya saja Deva masih memiliki keraguan yang besar.“Iya, kita lihat nanti bagaimananya Pak Ratmin. Saya tidak bisa menjanjikan hati saya untuk Ratih, semua ini saya lakukan untuk memenuhi janji saya kepada Mama Nadira. Untuk urusan kepercayaan, Ratihlah yang harus berjuang mendapatkan kepercayaan dariku. Setelahnya, bukan tidak mungkin aku akan membuka hatiku untuknya,” jawab Deva.Selebihnya Deva menghabiskan waktu untuk berpikir dan sesekali membaca laporan keuangan yang baru saja dikirimkan oleh tim auditor tadi pagi.Di sisi lain, Ratih baru saja sampai di gudang penyimpanan kasil karet. Terlihat bundanya menggunakan jumpsuit kerja dan masker. “Bang Parlin,
Suara tak asing itu membuat Ratih spontan berbalik. Tampak Rangga sedang berdiri dengan membawa sebilah celurit di tangannya. Wajahnya tampak lusuh, matanya juga tampak agak sembab dengan bagian bawah mata yang berwarna lebih gelap.“Rangga? Apa yang kamu lakukan di sini?” Suara Ratih terdengar gugup sambil sesekali melirik ke benda tajam yang digenggam erat oleh Rangga.“Apa kamu lupa, kalau aku ini buruh panen getah karet harian di kebun ayah kamu? Kenapa kamu sangat terkejut melihat aku seperti ini? Apa yang dilakukan oleh si Deva brengsek itu, sampai kamu tega meninggalkanku seperti ini?” Rangga terlihat sangat geram, matanya juga memerah dan berair sangking kesalnya perasaan Rangga.“Rangga, kamu tenanglah. Kalau kamu memang mau bicara baik-baik sama aku, kita atur waktu untuk bertemu diluar jam kerjamu yah. Jangan seperti ini, kamu kan harus menyelesaikan dulu tanggung jawabmu hari ini.” Ratih berbicara selembut mungkin dengan sedikit membujuk Rangga.Ratih takut Rangga emosi da
“Deva, selamatkanlah aku. Ku mohon Deva, datanglah kepadaku. Aku, kembali ke masa sekarang bukan untuk dibunuh oleh bajingan ini untuk yang kedua kalinya. Ku mohon Deva selamatkanlah aku ….”Tangan kanan Rangga semakin mendekat ke arah wajah Ratih.BUG!Sebuah pukulan telak menumbangkan Rangga dan membuat cengkeraman tangan di leher Ratih terlepas. Tetapi karena cekikan Rangga cukup membuat Ratih kehilangan banyak oksigen di otaknya, saat itu juga Ratih langsung pingsan di tempat.“Ratih!” pekik Lusi dan Darman bersamaan dan segera menolong anak mereka.Untunglah sebelum Rangga mendaratkan sebuah pukulan di wajah Ratih, Parlin datang lebih dahulu menolong Rating dengan memukul Rangga dengan siku tangannya. Rangga langsung di ikat dan diserahkan ke pihak berwajib saat itu juga.Sedangkan Ratih segera di bawa ke rumah sakit, kedua orang tuanya takut terjadi apa-apa dengan Ratih. Apalagi wajah Ratih terlihat sangat pucat saat itu.“Ratih, sadarlah Nak.” Wajah Darman terlihat sangat kacau
“Aku hanya akan ke sebelah ranjangmu untuk memencet bel saja. Aku tidak kemana-mana,” jawab Deva.Ratih hanya bisa menganggukk lemah, rasa ngilu di leher membuat Ratih kesulitas untuk banyak bicara. Tak lama kemudian dokter Aldo dan seorang perawat kembali datang lalu memeriksa Ratih. Terlihat bekas cengkeraman di leher Ratih membiru, Deva menyadarinya saat Aldo memeriksa dengan seksama.“Nona Ratih, apa leher Anda sakit untuk dipakai untuk menelan ludah?” tanya Aldo dijawab anggukan singkat Ratih.“Baiklah saya akan memberikan obat penghilang rasa sakit dan sementara makanlah bubur dulu,” terang dokter Aldo lalu pamit meninggalkan kembali Ratih dan Deva berdua.Deva menatap Ratih dengan pandangan sendu, ia tidak tau apa yang dirasakannya saat ini apa karena kasihan atau perduli. Yang jelas perasaan Deva saat itu tidak tenang dengan kondisi Ratih.“Mulai saat ini, aku sendiri yang akan menjagamu sampai tanggal pernikahan kita. Kamu tinggal pilih, aku yang tinggal di rumahmu atau kamu
“Kamu yang kenapa?! Kamu kerjain aku yah kemarin?!” amuk Ratih sambil melotot. Deva baru sadar akan sesuatu, dia langsung menepuk jidatnya. Seharusnya Deva tidak memencet tombol apa-apa untuk setelan pengaturan warna anak tangga tersebut. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, keusilannya telah tertangkap basah oleh Ratih. “A-aku baru saja memasangnya agar kamu nyaman,” bohong Deva sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ratih memicingkan kedua matanya tidak percaya dan menunjuk kedua mata Deva dengan hari telunjuk serta jari tengahnya seolah sedang mengancam dan mengawasi Deva. “Awas saja kalau kamu bohong! Aku pasti bisa mengendusnya,” desis Ratih sambil melengos. Ratih segera naik ke lantai dua terlebih dahulu sambil disusul oleh Deva yang langsung menggigit bibirnya menahan tawa. “Buka saja pintunya tidak aku kunci,” ucap Deva saat melihat Ratih berhenti di depan pintu kantor sambil menatapnya. Deva lalu mengambil sebuah berkas dan menunjukkannya kepada Ratih yang sudah duduk d
Deva dan Ratih saat itu juga langsung menghubungi Lusi dan Abizar. Selama ini, Deva dan Ratih sengaja menutupi dan menyembunyikan kalau ingatan Ratih sudah kembali untuk kepentingan penangkapannya Rangga.“Bunda, bisakah kita bertemu malam ini juga?” tanya Ratih pada Lusi.Malam ini sudah pukul sebelas malam, Lusi mengira ada masalah baru lagi. “Baiklah, Nak. Bunda akan ke sana sekarang yah,” jawab Lusi segera bergegas.“Bunda, nanti dijemput sama pak Ratmin yah,” ucap Ratih.“Baiklah, Bunda akan bersiap sekarang juga,” jawabnya.Benar saja, saat dirinya sudah siap dengan jaket di tubuhnya, mobil pribadi Deva sudah menunggunya di depan."Selamat malam, Pak Ratmin. Maafkan, anakku yang memerintahkanmu malam-malam menjemputku ke sini," sapa Lusi merasa tidak enak hati dengan sopir setianya Deva.Ratmin menatap prihatin kepada Lusi. "Saya tahu kondisi kesehatan anak anda, memang sangat mengkhawatirkan dan sangat menyedihkan, Nyonya Lusi. Tetapi, yakinlah Tuhan pasti berpihak kepada yang
“Saudara Tania dan Leni, anda ditangkap karena sudah melakukan penipuan dan penggelapan serta pembunuhan berencana terhadap korban Susantio!”Alan datang dan langsung segera memborgolnya, sedangkan anak buah yang lainnya langsung datang bergerak meringsek masuk.Mereka segera menuju ke dalam kamar hotel mewah tersebut untuk menangkap Leni. Keduanya digeret ke lantai satu dan dimasukkan ke dalam mobil tahanan.Habis sudah mimpi mereka untuk menjadi orang kaya raya. Saat itu juga Leni masih berusaha untuk melepaskan dirinya menggunakan kekuatan hipnotisnya kepada para polisi. Tetapi sayang, semua itu tidak berlaku bagi para polisi yang saat ini bersama dengannya.“Apa yang sedang kau lakukan, Bu? Kenapa, dari tadi mulutmu umak umik tidak jelas,” kekeh salah satu anak buahnya Alan.Leni pun geram mendengar ejekan tersebut. “Kalian harus melepaskan kami saat ini juga! Ini, adalah perintahku,” ucap Leni tegas berusaha untuk menghipnotis orang yang mengejeknya.Tetapi Alan datang dan menepu
“Tentu saja, aku ingin mencari para wanita tetapi bukan hanya satu wanita. Aku ingin sepuluh wanita tercantik dan terseksi, yang ada di tempat ini.” Rangga tampak sangat takabur.“Satu malam akan ku bayarkan dua juta setengah untuk mereka. Aku akan menyewa mereka selama waktu yang aku inginkan,” sambung Rangga.Wanita di hadapannya langsung mengalungkan tangannya di leher Rangga. “Di mana anda akan menginap? Kami akan menuju ke sana, Tuan tampan,” ucap wanita itu.“Berikan saja nomor ponselmu, aku akan mengirimkan waktu dan tempatnya,” jawab Rangga.Wanita itu pun segera bergegas mengeluarkan sebuah kartu nama kepada Rangga. “Anda bisa memanggil saya kapan saja dan sembilan wanita lainnya akan siap melayani anda.” Rangga tertawa dengan puas.Ia lalu beranjak pergi ke sebuah showroom mobil. Dilihatnya, sebuah mobil Lamborghini berwarna merah tua dengan harga dua setengah milia
“Ah, Tuan!” ucap Ara saat dadanya menabrak dada bidangnya Rangga, hingga membuat darah Rangga berdesir.“Kapan kau akan pulang kerja, hari ini?” tanya Rangga to the point, masih dalam kondisi memeluk Ara tanpa ada jarak diantara tubuh keduanya.“Aku akan pulang dua jam lagi, bagaimana?” tanya Ara menahan senyuman lebar di bibir.Ia sudah tau apa niatan pria yang dikenalnya sebagai Raka ini. Hanya dengan saling menatap saja, Ara sudah bisa menebak kalau Raka tertarik padanya.“Bisakah sebelum kau pulang, kau mengirimkan seorang desainer dan belikan aku beberapa pakaian yang sekiranya tampak casual? Juga, aku membutuhkan beberapa pakaian resmi untuk pertemuan bisnisku,” ucap Rangga sambil tertawa geli dalam hatinya.“Oke bisnis man, sambil kau menunggu, aku aku akan mengirimkan beberapa orang yang kau perlukan,” jawab Ara yang tanpa segan meraba dadanya Rangga dengan lembut, se
“Okay, Sayang. Aku pasti akan membei rumah yang terbaik untuk kita. Pergilah dari kekangan keluargamu dan hiduplah berdua denganku di sana. Aku yakin, kau dan aku akan hidup bahagia selamanya,” kekeh Rangga.Ratih mengangguk dan berusaha menatap Rangga dengan bahagia. “Baiklah, Sayang. Aku percayakan semuanya padamu,” jawab Ratih sambil mencium punggung tangannya Rangga.“Kalau begitu, bisakah kau pesankan aku tiket pesawat hari ini? Aku sudah bosan di sini dan aku ingin segera menggunakan nama baruku Raka Sagabara, bagus tidak?” kekeh Rangga.Ratih mengangguk. “Nama yang sangat indah, cocok dengan tampilanmu yang sangat tampan,” jawab Ratih membuat Rangga juga terbahak dan tampak bangga.“Terima kasih, Sayang. Berarti, kita akan langsung mengambil tiket tersebut?” tanya Rangga dan Ratih menunjukkan e-tiket pada ponselnya.“Pesawat akan berangkat tiga jam lagi. Kau tida
“Lalu, kapan kau mengirim uangnya? Aku tidak mungkin menunggu kau selesai sampai masa pemulihan. Rumah itu harus segera dibayar, Rangga.” Nia mendengus saat membaca pesannya Rangga.“Aku tidak bisa menunggu sampai kau selesai masa pemulihan yang baru akan berakhir tiga minggu lagi!” dengus Nia.Rangga pun sudah mulai kesal, ia memilih untuk mengarsipkan pesan dari Nia dan mengirimkan pesan pada Ratih. “Ratih, kapan kau datang ke tempatnya dokter Charles? Aku, merindukanmu,” ucap Rangga.Ratih yang pada saat itu sementara berbelanja di sebuah supermarket yang besar bersama dengan Saka dan Deva lantas terdiam. Ia mematung saat membaca pesannya Rangga dan menunjukkan pesan itu kepada Deva.“Lihatlah apa yang harus aku lakukan?” Deva tersenyum menanggapi pertanyaannya Ratih.“Lakukan saja apa yang dia inginkan, bukankah dia baru saja meminta uang tambahan. Kirim saja sepuluh miliar lagi. Dengan begitu, dia akan terus memberikan kabar padamu tanpa kau perlu bertemu dengannya.” Ratih pun me
Saat melihat wajahnya sendiri, Rangga tampak sangat takjub. “Gila! Aku, sangat tampan!” ucapnya sangat puas saat menatap gambar dirinya di sebuah cermin kecil.Ia tahu kalau dirinya saat ini sudah siap untuk mengubah identitas aslinya. Cermin di tangan Rangga diberikan kembali pada dokter Charles, sambil menyeringai puas.“Terima kasih, Dokter. Ternyata uang yang dibayarkan oleh calon istriku, sepadan dengan hasil yang kau berikan!” Charles pun tersenyum, hingga membuat mata sipitnya semakin menghilang.“Hari ini kau sudah bisa melakukan proses foto untuk keperluan mengganti identitasmu. Tulis saja siapa nama yang kau inginkan di sebuah kertas putih. Tanggal lahir dan untuk alamat, aku sudah memberikan alamat yang tidak akan ditemukan oleh siapapun,” terang Charles.Ia sudah terbiasa membantu pelarian para mafia, maupun bandar narkoba. Dirinya cukup berpengalaman, untuk hal-hal illegal seperti ini. “Raka Sagara! Aku menginginkan namaku menjadi Raka Sagara, Dokter Charles,” ucapnya sam
Leni sedikit mendapatkan firasat tidak enak. Akhirnya, Nia pun menganggukkan kepalanya. “Okey, Bu. Kita, berangkat sekarang.”Keduanya pun segera menuju ke sebuah kantor pemasaran, tampak gedung bertingkat yang sangat tinggi. Dengan penampilan bak artis ibukota, mereka jalan penuh percaya diri.Siapa saja yang menatap mereka, tahu kalau orang-orang ini memakai pakaian mahal. Juga, tas serta sepatu yang bernilai fantastis. Mereka pun segera menunduk hormat dan membukakan pintu untuk Nia dan Leni.“Selamat pagi, Bu. Silahkan masuk,” sambut salah satu penerima tamu dan memberikan welcome drink kepada kedua wanita yang tampak kaya raya tersebut.Mereka sangat menikmati pemujaan yang luar biasa tersebut. “Ya, selamat siang. Aku mau membeli rumah, apa aku bisa melihat beberapa tipe-tipe rumah yang saat ini siap huni?” tanya Nia dengan sombong.“Oh baik, Ibu. Boleh, Ibu perkenalkan nama Ibu siapa ter
“Bu, pakaian di sini pun di bandrol paling murah senilai satu juta setengah, tolong jangan mempersulit pekerjaan kami,” ucap pelayan tersebut berusaha menyadarkan Leni.“Lancang mulutmu!” pekik Nia dan Leni langsung mengangkat tangannya untuk mencegah kemarahan anaknya.Leni ingin tetap tampi dengan elegan dan bersikap seperti orang kaya pada umunya. Leni lantas mengatupkan bibirnya dan menoleh kepada pelayan tersebut.Sedangkan, Nia sudah hendak menghajar pelayan itu. tetapi dicegah oleh Leni. “Oh, benarkah harga pakaian ini satu juta lima ratus paling murah? Kalau begitu, ini!” Leni menjeda sebentar ucapannya seraya memberikan tumpukan pakaian yang ada di pelukannya pada pelayan tersebut.Ia menatap tajam pelayan itu dan berbicara dengan kesan yang sangat mengintimidasi. “Hitung semua pakaian ini, aku akan membayarnya sekarang. Bila perlu, kau dan seisi ruangan ini pun akan kubeli,” ucap Leni dingin dengan menatap nyalang pada wanita itu.