“Ratih, sini Nduk. Deva sudah menunggu kamu sejak tadi,” panggil Darman saat melihat Ratih baru saja datang mendekat kepadanya.
Deva menatap Ratih tanpa berkedip, wajah cantik Ratih membuatnya kagum, tetapi melihat penampilan calon tunangannya Deva heran.
Di acara peresmian pabriknya, kenapa Ratih malah datang dengan kaos oblong dan celana jeans belel. Akhirnya Deva memberikan sebuah kotak kado yang disiapkan untuk Ratih, karena kebetulan besok adalah hari ulang tahun Ratih yang ke dua puluh satu.
“Ratih, mungkin kamu bisa ganti baju dulu, ini kado buat kamu besok. Tapi, kamu bisa pakai gaun pemberianku hari ini, sebentar lagi pertunangan kita akan diumumkan. Kamu ganti yah.” Deva lalu menyodorkan sekotak kado berisikan gaun saat dirinya mendekati Ratih yang berdiri dekat Darman dengan raut wajah tak ramah.
Wajah Deva menunjukkan seulas senyum bahagia saat Ratih mengambil kotak kado tersebut, begitu juga dengan Darman dan anggota keluarga keduanya. Tapi, tiba-tiba saja Ratih melempar kotak kado tersebut dan menginjak beberapa kali.
“Aku, nggak sudi yah tunangan sama kamu! Apalagi nikah sama kamu, Deva! Kalian semua hanya jadikan aku alat untuk melancarkan bisnis kalian kan? Iya kan?! Pokoknya jangan pernah kamu berharap, bahkan hanya sekedar berpikir sepintas saja untuk memilikiku. Karena aku jamin! Hal itu tidak akan pernah terjadi!” teriak Ratih hingga membuat dirinya dan Deva beserta seluruh keluarga menjadi tontonan para tamu pesta.
“Ratih! Kamu keterlaluan!” Darman sangat malu malam itu, tidak cukup sampai di sana Ratih kembali memberontak Darman dengan frontal.
“Benar Ayah! Ratih memang keterlaluan, bakal calon istri seperti yang kamu mau, Deva? Tidak kan?! Jangan paksa Ratih, Ayah! Ratih, masih menahan diri jangan sampai Ratih kehilangan kontrol atas diriku sendiri. Aku pergi dari sini! ” pamit Ratih dengan arogan, ia berjalan membelah kerumunan para tamu dan dengan bangga dia menggandeng Rangga yang tersenyuman sinis saat bertemu tatap dengan Deva.
Deva lantas mengejar dan menarik pergelangan tangan Ratih. “Ada apa dengamu? Apa laki-laki ular ini sudah sedemikian rupa mencuci otakmu? Jika kamu menolak pertunangan ini tidak masalah bagiku, tapi apa perlu kamu sampai melawan Om Darman seperti itu, Ratih? Di mana letak baktimu kepada kedua orang tua yang sudah membesarkanmu, hah?!” Deva menatap tidak percaya Ratih bisa mempermalukan keluarganya sendiri.
“Ular? Kamu bilang aku ular? Apa tidak salah? Bukankah kamu yang ular, dengan menggunakan status sosialmu sebagai Sang Konglomerat bisa memaksa kekasihku untuk menikah denganmu. Ini hanyalah pernikahan bisnis, kamu tidak pernah tulus mencintai Ratih seperti perasaanku. Aku memang hanya seorang buruh panen karet dan sawit, tapi untuk urusan ketulusan kamu bukan tandinganku, Tuan Atmadeva.” Rangga ikut angkat suara sambil mencari muka di depan Ratih yang menatap Rangga penuh cinta.
“Kamu dengar itu, aku tidak akan meninggalkannya, walau kekasihku hanya seorang buruh panen. Minimal dia berjuang sendiri , tidak seperti kamu yang enak. Tinggal ongkang-ongkang kaki, kamu akan mendapatkan warisan dari Om Abizar. Lepaskan!” perintah Ratih sambil menghempaskan cengkeraman tangan Deva dari pergelangannya.
“Rangga, berhentilah ikut campur urusan keluarga Ratih dan aku. Tidak sepantasnya kamu turut berkomentar seperti sekarang. Ratih ….” Deva sudah tidak tau harus berkata apa lagi saat ia mengedarkan pandangannya dan banyak sekali pasang mata memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Apa?! Sudahlah! Rangga akan menjadi suamiku, sudah sepantasnya dia ikut campur. Dengar yah, Tuan Atmadeva, inilah yang namanya perjuangan cinta sejati. Kami tidak perduli sekali pun kami tidak mendapatkan restu!” Ratih sengaja meninggikan suaranya sambil melirik Darman yang menatap Ratih penuh kekecewaan sambil memegang dada kirinya.
“Keterlaluan, kamu sungguh keterlaluan,” desis Deva sambil mengepalkan kedua tangannya dan meninggalkan acara peresmian tersebut.
Itulah yang terjadi semalam, ingatan akan dirinya mempermalukan Deva terputar kembali bak pemutaran layar tancap di pikirannya.
“Bagaimana?! Kamu tidak bisa kan, mempermalukan Rangga sama seperti kamu mempermalukan aku semalam? Sudah ingat apa yang terjadi semalam?” tanya Deva sengaja mengejek Ratih.
Sambil melihat jarum jam dinding ruangan tersebut. Ratih akhirnya memantapkan hatinya, “Bukan aku tidak sanggup atau tidak mau. Tapi, bagaimana kalau aku melakukannya dan ternyata hal tersebut justru akan membuat Rangga dendam hingga timbul keinginnan untuk mencelakai aku dan keluargaku?”
“Aku, akan melindungimu. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau hanya bersama dengan aku, keluargamu akan aman? Maka, jaminannya adalah aku akan melindungi kalian.” Deva dengan yakin menjaminnya.
“Baiklah, aku akan melakukannya. Toh, di masa depan, dia juga akan membunuhku,” gumam Ratih masih bisa di dengar oleh Deva.
Tapi, Deva memilih untuk pura-pura tidak dengar. Sejujurnya Deva sendiri masih belum percaya dengan Ratih, tapi bagaimana pun jika Ratih setuju maka kesepakatan pernikahan kontrak ini harus di lakukan.
“Bagaimana, Ratih? Iya atau tidak? Cepat putuskan, jangan terlalu lama berpikir. Aku lelah terus menunggu kamu menjawab pertanyaanku.” Sengaja Deva berbicara dengan tegas untuk kembali mengintimidasi Ratih.
“Aku, akan melakukan apa pun yang kamu inginkan. Semua syarat yang kamu berikan, akan aku laksanakan Deva. Jadi, jangan tanyakan lagi aku mau atau tidak. Kamu pikirkan saja tanggal pernikahan kita, agar aku juga mendapatkan kepastian darimu.” Ratih sudah pasrah dengan semua bentuk hukuman yang Deva berikan kepadanya.
“Aku tidak akan menentukan tanggal pernikahan kalau kamu belum memutuskan hubunganmu dengan Rangga.” Deva masih berbicara ketus.
“Iya Deva, aku akan melakukan malam ini. Tapi, janji yah … kalau malam ini aku sudah melakukan semua keinginanmu, kamu langsung menghadap ke ayah aku yah Deva. Kumohon,” rengek Ratih.
“Hem, aku berjanji.” Jawaban singkat itu sungguh melegakan hati Ratih.
Ratih langsung mengelus dadanya. “Syukurlah. Apa kita bisa pergi ke pesta ulang tahunku sekarang?”
Deva tidak menjawab Ratih tapi dia segera masuk ke dalam ruang pribadinya, meninggalkan Ratih menunggu Deva dengan wajah bingung. Tidak lama kemudian Deva keluar dengan pakaian yang berbeda.
Mata Ratih berbinar saat melihat rambut bermodel comma hair Deva disisir rapi dengan bantuan sedikit minyak rambut. Penampilannya semakin sempurna tak kala kemeja hitam dilapisi tuxedo maroon membalut tubuh gagah dan jangkung tersebut.
“Tutup mulutmu jangan sampai terbuka begitu, nanti lalat masuk.” Sontak saja Ratih langsung menutup mulutnya dan segera mengikuti langkah kaki Deva menuju ke halaman depan kantor pabrik produksi.
Terlihat mobil sudah menunggu dan seorang supir sudah membukakan pintu untuk Deva di bagian setir serta untuk Ratih di samping Deva. “Silahkan Nona Ratih, hati-hati di jalan Tuan Muda,” pesan Pak Ratmin supir pribadinya Deva.
“Terima kasih yah, Pak,” ucap Ratih lalu masuk ke dalam mobil disusul oleh Deva yang segera menutup pintu dan menjalankan mobilnya menuju ke Hotel Siak.
Sepanjang perjalanan keduanya terdiam seribu Bahasa. Suasana menjadi canggung bagi Ratih yang sesekali melirik Deva. Pria itu sama sekali tidak ada niat sekedar berbasa basi, Ratih merasa tidak dianggap ada oleh Deva.
“Dev, boleh nggak aku putar radio mobilmu?” tanya Ratih sengaja memecahkan keheningan.
“Terserah,” jawab Deva tanpa menoleh.
“Terima kasih yah.” Ratih berusaha bersikap semanis mungkin, ia tidak ingin ada sikapnya yang tidak berkenan di depan Deva.
Tiga puluh menit perjalanan mereka hanya mendengar lagu-lagu yang diputar oleh stasiun radio. Sesekali Ratih menyanyi jika tau dengan lirik lagunya, Tapi, jika tanpa sengaja Ratih menoleh melihat Deva, mulutnya akan kembali terkunci dan akhirnya Ratih memilih untuk diam saja.
Tak lama kemudian, mobil Deva masuk ke dalam pekarangan Hotel Siak dan berhenti di depan lobi. Baru saja dirinya hendak turun dan membukakan pintu untuk Ratih tampak seorang pria berpakaian batik sedang berdiri sambil merokok menatap mobilnya.
“Itu pacarmu, sudah siap untuk memenuhi syarat dari aku? Ini penentuannya, jika kamu berhasil maka aku akan segera menentukan tanggal pernikahan kita dan segera membuat draft kontrak pernikahan kita. Mungkin kamu tidak keberatan membuat Rangga malu, tapi … apa kamu yakin berani menjilat ludahmu sendiri di hadapan para tamu yang juga semalam hadir di acaraku?”
Teman-teman, jangan lupa follow akun IG Author ya @leelizbeth88
BAB 7. Rangga Terusir Dari Pesta. Entah kenapa Deva selalu melontarkan kata demi kata yang bertujuan untuk meruntuhkan dan menggoyahkan tekad bulatnya Ratih. Walau Ratih tampak berpikir sejenak tapi dirinya tetap berkomitmen untuk memenuhi semua syarat yang diberikan oleh Deva. Mungkin inilah perjuangan awal Ratih, untuk mendapatkan kepercayaan Deva. “Deva, jangan ragukan diriku jika aku sudah berjanji kepadamu. Harusnya kamu bisa menilai bagaimana keras kepalanya aku saat aku memperjuangkan sesuatu yang ku anggap penting. Memperjuangkan keluargaku adalah prioritas utamaku.” Ratih menatap tajam Deva dan segera turun dari mobil. “Ratih?! Kok kamu turun dari mobilnya Deva?” Rangga terbelalak kaget melihat Ratih. Tak lama kemudian terdengar suara pintu mobil tertutup, Deva turun dan memberikan kunci mobil pada petugas valet. Lalu Deva mensejajarkan dirinya di samping Ratih sambil memasukan tangannya di dalam saku celana. “Rangga, kita putus! Aku, akan menikah dengan Deva. Kamu bisa m
“Mau seribu kali kamu bertanya kepadaku, jawabanku tidak akan berubah!” tegas Ratih lalu berjalan meninggalkan Deva menuju ke toilet. “Dasar, keras kepala,” gumam Deva sembari menggelengkan kepalanya. Deva lalu berjalan menuju ke meja tempat Abizar dan Darman sedang berbincang. “Om Darman, Tante Lusi mana?” tanya Deva tidak melihat calon ibu mertuanya. “Tante lagi menyusul Ratih ke toilet,” sahut Darman sambil memberikan segelas sirup untuk Deva. “Pa, Om, ada yang mau saya bicarakan malam ini. Apa kita perlu mencari tempat yang agak tenang untuk membahasnya?” tanya Deva sambil mengedarkan pandangan melihat suasana pesta yang sebenarnya sudah mulai lengang. Banyak para tamu yang sudah berpamitan satu per satu, dari sejak tadi saat dirinya berbincang dengan Ratih di sudut ruangan. Hanya tersisa beberapa yang masih terlihat asik dengan obrolan mereka sendiri. “Disini saja, masih ada beberapa tamu yang belum pulang. Apa yang mau kamu sampaikan, Deva?” saran Abizar sekaligus bertanya
Jantung Ratih kini sudah tidak lagi bersabat dengannya, sengatan kecil juga merasuk di atas permukaan kulitnya. “Deva?” panggil Ratih sambil menahan nafasnya sejenak tanpa berani menoleh.“Hem? Acara pernikahan kita akan dilaksanakan minggu depan,” sahut Deva lalu menarik kursi di samping Ratih untuk bergabung dengan calon mertua dan papanya.Ratih tidak lagi mempertanyakan segala hal yang bersangkutan dengan urusan pernikahan mereka. Ia hanya mengulas senyum tipis saat mendengar Abizar dan Darman saling berkelakar dan juga menceritakan kisah masa kecil kedua anaknya.Begitu juga dengan Lusi yang sesekali ikut menimpali percakapan kedua bapak-bapak ini, lalu sesekali ikut tertawa bersama. Ratih sangat menikmati pemandangan ini, sampai Deva kembali berbisik kepadanya.“Aku pinjam ponsel kamu.” Merasakan kembali hembusan nafas Deva, Ratih mendengus dan membuka tas pesta yang dibawanya.“Kenapa sih, suka banget bisik-bisik? Bicara normal kan juga bisa,” omel Ratih sambil memberikan ponse
“Ratih, berjanji akan belajar menerima pernikahan ini dan membuka hati Ratih untuk Deva. Tetapi Ratih tidak yakin Deva bisa membuka hatinya, rasa dendam dan kekecewaannya selama ini sepertinya akan menjadi tembok penghalang dalam pernikahan kami,” lirih Ratih.Menanggapi keputus asaan Ratih akan sikap Deva, Lusi hanya mengulas senyum saja. “Semua harus dimulai dari diri kita dulu. Jika, hatimu memang tulus kepadanya, Bunda yakin suatu saat hati Deva pasti akan tersentuh. Sekarang tidurlah, jangan lagi kamu berprasangka buruk. Tuhan sudah memberikanmu kesempatan untuk kembali menata hidupmu, bersyukurlah dan berprasangka baiklah,” tutur Lusi memang selalu dapat menyejuk jiwa Ratih yang rapuh.“Terima kasih, Bunda … karena selalu mau menerima Ratih walau selama tiga tahun ini Ratih selalu menyakiti hati Bunda dan Ayah. Sungguh, Ratih merasa tidak layak,” sesal Ratih lalu membaringkan tubuhnya dan mengecup punggung tangan Lusi yang setia mengusap lembut surai rambut anaknya.Lusi lalu me
Setelah mobil berhenti dengan sempurna, Ratih membuka sabuk pengamannya. Baru saja sabuk pengamannya selesai dilepas. Deva telah membuka pintu mobil dan keduanya sama-sama terkejut melihat satu sama lain. Pak Ratmin yang ada di sana hanya mengulum senyum saja, melihat kedua insan muda ini saling terpanah satu sama lain. Tapi, kok terpananya lama sekali, akhirnya Pak Ratmin mengambil inisyatif untuk berdeham. “Ehem, ehem!” Suara Pak Ratmin langsung membuat Deva dan Ratih salah tingkah. “Em, silahkan masuk. Kamu, sudah sarapan?” tanya Deva sampai lupa tujuannya mengundang Ratih ke rumahnya. “Terima kasih, iya aku sudah sarapan,” sahut Ratih lalu mengikuti Deva dari belakang. Ternyata di meja makan, Deva sudah menyediakan dua piring dan ada roti bakar. Sepertinya Deva menyiapkan sarapan ini untuk Ratih. “Oh sudah yah,” sahut Deva sambil mengambil piring yang disiapkan untuk Ratih, tapi dengan cekatan Ratih mencegahnya. “Eh, mau apa? Aku jadi ngiler liat rotinya. Aku sengaja sarapan s
“Kenapa kamu selalu saja mengancamku?!” protes Ratih.Dia mulai emosi setiap kali Deva mengatakan tidak akan ada pernikahan. Bayangan wajah Darman dan Lusi yang kecewa membuat Ratih selalu mati kutu jika sudah mendengar tentang pembatalan pernikahan mereka.“Kan, kamu sendiri yang mengatakan kalau akan memenuhi semua syarat yang aku ajukan sekali pun itu merugikanmu. Asalkan aku mau menikah dengan mu? Apa kamu sudah lupa dengan perkataanmu sendiri?” sindir Deva sambil menatap tajam Ratih.“Yah, kalau begitu ngapain kamu suruh aku membaca dan mendiskusikan isi perjanjian pernikahan ini, kalau pada akhirnya kata diskusi itu hanya sebuah isapan jempol belaka. Harusnya kamu langsung suruh aku menandatangi perjanjian ini saja dong!” Ratih tanpa sadar meninggikan suaranya.“Aku tidak suka sekali mendengar nada dan cara bicaramu kepadaku. Sepertinya aku harus menambah satu poin mutlak lagi!” dengus Deva sambil menulis angka sepuluh dan kalimat yang cukup panjang pada bagian bawah kertas yang
Ratih juga baru menyadari jika rencananya di pagi hari sebelum berangkat ke rumahnya Deva ternyata gagal dia laksanakan. Sejak tadi, rambut lembutnya justru menutupi jepit mutiara yang tersemat di sisi kiri belahan rambutnya. Jepit Mutiara ini baru tampak jelas saat Ratih menjepit poni depannya ketika tadi menandatangani Married Agreement. “Ini? Iya, ini punya Tante Nadira. Kok kamu tau?” tanya Ratih pura-pura kaget. “Tentu saja aku tau semua barang milik mamaku.” Deva lalu mengambil sebuah pigura foto yang ditaruh di meja menghadap ke arah kursinya. “Jepit rambut ini, sering sekali dipakai mamaku dan kebetulan lebih dari setengah foto mamaku almarhumah selalu memakai jepit itu. Pertanyaannya, kok bisa ada di kamu?” tanya Deva curiga. Apakah Abizar yang memberikannya? Rasanya tidak mungkin. Kalau pun Nadira yang memberikannya langsung kepada Ratih, Deva sedikit heran kenapa selama ini dia tidak tau. “Ini hadiah ulang tahunku yang ke sebelas. Waktu itu Tante Nadira merasa gerah mel
“Iya benar, Tuan Muda. Saya saja tidak menyangka Nona Ratih bisa mengajak saya bercerita. Satu saja pesan saya, Tuan Muda. Jangan enggan untuk membuka hati Tuan Muda untuk Nona Ratih, semua yang terjadi saat ini bisa saja menjadi jawaban dari doa keluarga Nona Ratih dan juga papanya Tuan Muda.” Nasehat Pak Ratmin memang benar, hanya saja Deva masih memiliki keraguan yang besar.“Iya, kita lihat nanti bagaimananya Pak Ratmin. Saya tidak bisa menjanjikan hati saya untuk Ratih, semua ini saya lakukan untuk memenuhi janji saya kepada Mama Nadira. Untuk urusan kepercayaan, Ratihlah yang harus berjuang mendapatkan kepercayaan dariku. Setelahnya, bukan tidak mungkin aku akan membuka hatiku untuknya,” jawab Deva.Selebihnya Deva menghabiskan waktu untuk berpikir dan sesekali membaca laporan keuangan yang baru saja dikirimkan oleh tim auditor tadi pagi.Di sisi lain, Ratih baru saja sampai di gudang penyimpanan kasil karet. Terlihat bundanya menggunakan jumpsuit kerja dan masker. “Bang Parlin,
Deva dan Ratih saat itu juga langsung menghubungi Lusi dan Abizar. Selama ini, Deva dan Ratih sengaja menutupi dan menyembunyikan kalau ingatan Ratih sudah kembali untuk kepentingan penangkapannya Rangga.“Bunda, bisakah kita bertemu malam ini juga?” tanya Ratih pada Lusi.Malam ini sudah pukul sebelas malam, Lusi mengira ada masalah baru lagi. “Baiklah, Nak. Bunda akan ke sana sekarang yah,” jawab Lusi segera bergegas.“Bunda, nanti dijemput sama pak Ratmin yah,” ucap Ratih.“Baiklah, Bunda akan bersiap sekarang juga,” jawabnya.Benar saja, saat dirinya sudah siap dengan jaket di tubuhnya, mobil pribadi Deva sudah menunggunya di depan."Selamat malam, Pak Ratmin. Maafkan, anakku yang memerintahkanmu malam-malam menjemputku ke sini," sapa Lusi merasa tidak enak hati dengan sopir setianya Deva.Ratmin menatap prihatin kepada Lusi. "Saya tahu kondisi kesehatan anak anda, memang sangat mengkhawatirkan dan sangat menyedihkan, Nyonya Lusi. Tetapi, yakinlah Tuhan pasti berpihak kepada yang
“Saudara Tania dan Leni, anda ditangkap karena sudah melakukan penipuan dan penggelapan serta pembunuhan berencana terhadap korban Susantio!”Alan datang dan langsung segera memborgolnya, sedangkan anak buah yang lainnya langsung datang bergerak meringsek masuk.Mereka segera menuju ke dalam kamar hotel mewah tersebut untuk menangkap Leni. Keduanya digeret ke lantai satu dan dimasukkan ke dalam mobil tahanan.Habis sudah mimpi mereka untuk menjadi orang kaya raya. Saat itu juga Leni masih berusaha untuk melepaskan dirinya menggunakan kekuatan hipnotisnya kepada para polisi. Tetapi sayang, semua itu tidak berlaku bagi para polisi yang saat ini bersama dengannya.“Apa yang sedang kau lakukan, Bu? Kenapa, dari tadi mulutmu umak umik tidak jelas,” kekeh salah satu anak buahnya Alan.Leni pun geram mendengar ejekan tersebut. “Kalian harus melepaskan kami saat ini juga! Ini, adalah perintahku,” ucap Leni tegas berusaha untuk menghipnotis orang yang mengejeknya.Tetapi Alan datang dan menepu
“Tentu saja, aku ingin mencari para wanita tetapi bukan hanya satu wanita. Aku ingin sepuluh wanita tercantik dan terseksi, yang ada di tempat ini.” Rangga tampak sangat takabur.“Satu malam akan ku bayarkan dua juta setengah untuk mereka. Aku akan menyewa mereka selama waktu yang aku inginkan,” sambung Rangga.Wanita di hadapannya langsung mengalungkan tangannya di leher Rangga. “Di mana anda akan menginap? Kami akan menuju ke sana, Tuan tampan,” ucap wanita itu.“Berikan saja nomor ponselmu, aku akan mengirimkan waktu dan tempatnya,” jawab Rangga.Wanita itu pun segera bergegas mengeluarkan sebuah kartu nama kepada Rangga. “Anda bisa memanggil saya kapan saja dan sembilan wanita lainnya akan siap melayani anda.” Rangga tertawa dengan puas.Ia lalu beranjak pergi ke sebuah showroom mobil. Dilihatnya, sebuah mobil Lamborghini berwarna merah tua dengan harga dua setengah milia
“Ah, Tuan!” ucap Ara saat dadanya menabrak dada bidangnya Rangga, hingga membuat darah Rangga berdesir.“Kapan kau akan pulang kerja, hari ini?” tanya Rangga to the point, masih dalam kondisi memeluk Ara tanpa ada jarak diantara tubuh keduanya.“Aku akan pulang dua jam lagi, bagaimana?” tanya Ara menahan senyuman lebar di bibir.Ia sudah tau apa niatan pria yang dikenalnya sebagai Raka ini. Hanya dengan saling menatap saja, Ara sudah bisa menebak kalau Raka tertarik padanya.“Bisakah sebelum kau pulang, kau mengirimkan seorang desainer dan belikan aku beberapa pakaian yang sekiranya tampak casual? Juga, aku membutuhkan beberapa pakaian resmi untuk pertemuan bisnisku,” ucap Rangga sambil tertawa geli dalam hatinya.“Oke bisnis man, sambil kau menunggu, aku aku akan mengirimkan beberapa orang yang kau perlukan,” jawab Ara yang tanpa segan meraba dadanya Rangga dengan lembut, se
“Okay, Sayang. Aku pasti akan membei rumah yang terbaik untuk kita. Pergilah dari kekangan keluargamu dan hiduplah berdua denganku di sana. Aku yakin, kau dan aku akan hidup bahagia selamanya,” kekeh Rangga.Ratih mengangguk dan berusaha menatap Rangga dengan bahagia. “Baiklah, Sayang. Aku percayakan semuanya padamu,” jawab Ratih sambil mencium punggung tangannya Rangga.“Kalau begitu, bisakah kau pesankan aku tiket pesawat hari ini? Aku sudah bosan di sini dan aku ingin segera menggunakan nama baruku Raka Sagabara, bagus tidak?” kekeh Rangga.Ratih mengangguk. “Nama yang sangat indah, cocok dengan tampilanmu yang sangat tampan,” jawab Ratih membuat Rangga juga terbahak dan tampak bangga.“Terima kasih, Sayang. Berarti, kita akan langsung mengambil tiket tersebut?” tanya Rangga dan Ratih menunjukkan e-tiket pada ponselnya.“Pesawat akan berangkat tiga jam lagi. Kau tida
“Lalu, kapan kau mengirim uangnya? Aku tidak mungkin menunggu kau selesai sampai masa pemulihan. Rumah itu harus segera dibayar, Rangga.” Nia mendengus saat membaca pesannya Rangga.“Aku tidak bisa menunggu sampai kau selesai masa pemulihan yang baru akan berakhir tiga minggu lagi!” dengus Nia.Rangga pun sudah mulai kesal, ia memilih untuk mengarsipkan pesan dari Nia dan mengirimkan pesan pada Ratih. “Ratih, kapan kau datang ke tempatnya dokter Charles? Aku, merindukanmu,” ucap Rangga.Ratih yang pada saat itu sementara berbelanja di sebuah supermarket yang besar bersama dengan Saka dan Deva lantas terdiam. Ia mematung saat membaca pesannya Rangga dan menunjukkan pesan itu kepada Deva.“Lihatlah apa yang harus aku lakukan?” Deva tersenyum menanggapi pertanyaannya Ratih.“Lakukan saja apa yang dia inginkan, bukankah dia baru saja meminta uang tambahan. Kirim saja sepuluh miliar lagi. Dengan begitu, dia akan terus memberikan kabar padamu tanpa kau perlu bertemu dengannya.” Ratih pun me
Saat melihat wajahnya sendiri, Rangga tampak sangat takjub. “Gila! Aku, sangat tampan!” ucapnya sangat puas saat menatap gambar dirinya di sebuah cermin kecil.Ia tahu kalau dirinya saat ini sudah siap untuk mengubah identitas aslinya. Cermin di tangan Rangga diberikan kembali pada dokter Charles, sambil menyeringai puas.“Terima kasih, Dokter. Ternyata uang yang dibayarkan oleh calon istriku, sepadan dengan hasil yang kau berikan!” Charles pun tersenyum, hingga membuat mata sipitnya semakin menghilang.“Hari ini kau sudah bisa melakukan proses foto untuk keperluan mengganti identitasmu. Tulis saja siapa nama yang kau inginkan di sebuah kertas putih. Tanggal lahir dan untuk alamat, aku sudah memberikan alamat yang tidak akan ditemukan oleh siapapun,” terang Charles.Ia sudah terbiasa membantu pelarian para mafia, maupun bandar narkoba. Dirinya cukup berpengalaman, untuk hal-hal illegal seperti ini. “Raka Sagara! Aku menginginkan namaku menjadi Raka Sagara, Dokter Charles,” ucapnya sam
Leni sedikit mendapatkan firasat tidak enak. Akhirnya, Nia pun menganggukkan kepalanya. “Okey, Bu. Kita, berangkat sekarang.”Keduanya pun segera menuju ke sebuah kantor pemasaran, tampak gedung bertingkat yang sangat tinggi. Dengan penampilan bak artis ibukota, mereka jalan penuh percaya diri.Siapa saja yang menatap mereka, tahu kalau orang-orang ini memakai pakaian mahal. Juga, tas serta sepatu yang bernilai fantastis. Mereka pun segera menunduk hormat dan membukakan pintu untuk Nia dan Leni.“Selamat pagi, Bu. Silahkan masuk,” sambut salah satu penerima tamu dan memberikan welcome drink kepada kedua wanita yang tampak kaya raya tersebut.Mereka sangat menikmati pemujaan yang luar biasa tersebut. “Ya, selamat siang. Aku mau membeli rumah, apa aku bisa melihat beberapa tipe-tipe rumah yang saat ini siap huni?” tanya Nia dengan sombong.“Oh baik, Ibu. Boleh, Ibu perkenalkan nama Ibu siapa ter
“Bu, pakaian di sini pun di bandrol paling murah senilai satu juta setengah, tolong jangan mempersulit pekerjaan kami,” ucap pelayan tersebut berusaha menyadarkan Leni.“Lancang mulutmu!” pekik Nia dan Leni langsung mengangkat tangannya untuk mencegah kemarahan anaknya.Leni ingin tetap tampi dengan elegan dan bersikap seperti orang kaya pada umunya. Leni lantas mengatupkan bibirnya dan menoleh kepada pelayan tersebut.Sedangkan, Nia sudah hendak menghajar pelayan itu. tetapi dicegah oleh Leni. “Oh, benarkah harga pakaian ini satu juta lima ratus paling murah? Kalau begitu, ini!” Leni menjeda sebentar ucapannya seraya memberikan tumpukan pakaian yang ada di pelukannya pada pelayan tersebut.Ia menatap tajam pelayan itu dan berbicara dengan kesan yang sangat mengintimidasi. “Hitung semua pakaian ini, aku akan membayarnya sekarang. Bila perlu, kau dan seisi ruangan ini pun akan kubeli,” ucap Leni dingin dengan menatap nyalang pada wanita itu.