“Ah! Iyah Mas, gitu … iya … aku suka, Mas!”
Ratih terbangun, mendengar suara adik tirinya merintih keenakkan di kamar sebelah. Tubuhnya terlalu lemah untuk sekedar bangun dari tempat tidur dan duduk. Apalagi sampai berjalan ke luar dari kamar tidurnya.
Masih lengkap dengan pakaian serba hitam, ia kembali menyeka air matanya. “Ayah …,” lirihnya mengingat jika tadi siang dirinya dan seluruh keluarga baru saja mengubur ayahnya.
Lamunannya buyar, saat suara lelaki yang tidak asing kembali terdengar bersahutan dengan desahan adik tirinya. “Kamu suka, Nia?! Oh! Nia, kamu sangat agresif!”
“Mas Rangga?!” batin Ratih sambil menggeleng tidak percaya. Dengan sisa tenaganya, ia berjalan memegangi tembok kamarnya dan membuka lebar pintu kamar yang memang tidak tertutup rapat.
Persis di sebelah kamar itu, kamar Nia, saudara tirinya terbuka lebar. Seolah memang sengaja, Nia menatap Ratih sambil tersenyum sinis menikmati tiap hentakan brutal penuh nafsu dari Rangga, suami Ratih.
“Apa yang kalian lakukan?!” pekik Ratih tak kuat menahan tangis, tubuhnya gemetar hebat, kakinya lemas. Dia tidak tau apa yang terjadi dengannya, nafasnya tersengal melihat kejutan keji yang diberikan oleh suami dan adik tirinya.
Terlihat Rangga mengambil sehelai kain bali milik Nia dan melilitkannya ke pinggang sambil berjalan mendekati Ratih. Wajahnya tidak menunjukkan penyesalahan tetapi justru sebuah kebencian, dengan kasar tangan kokohnya merengkuh kuat rahang Ratih.
“Kamu adalah wanita sial yang tidak lagi berguna bagiku, Ratih! Waktumu untuk mendampingiku sudah cukup sampai di sini, apa kamu paham?!” desisan suara Rangga terdengar menusuk hingga ke relung batin terdalamnya Ratih.
“Kamu tega?! Setelah apa yang aku lakukan untukmu, setelah aku mengangkat derajatmu?!”
“DIAM! Derajat, kamu bilang?! Sepertinya kamu memang sudah ingin segera menyusul Ayah kamu ke liang lahat, Ratih!” Rangga dengan kasar langsung menarik Ratih dan menghempaskan tubuh lemah Ratih hingga membuat Ratih tersungkur tepat di ujung sudut anak tangga lantai dua rumahnya.
“Rangga, apa yang akan kamu lakukan, Rangga?” Ratih menetap ngeri wajah kejam suaminya saat Rangga kembali mendekati dirinya..
“Kamu bukan lagi Rangga yang aku kenal! Kurang bai kapa aku selama ini sama kamu dan keluargamu, Rangga?! Lalu balasanmu dengan berselingkuh secara terang-terangan di hadapanku? Kenapa harus sama adik tiriku, hah?! Kenapa?!” Ratih masih tidak terima dengan perselingkuhan Rangga.
Suara langkah kaki dari belakang tubuh Ratih terdengar samar mendekat ke arahnya, baru saja Ratih hendak menoleh. Sebuah perintah dari Rangga membuatnya kembali memalingkan wajahnya pada posisi semula, menatap Rangga tidak percaya.
“Habisi dia!”
BUG!
Sebuah pukulan telak, mengenai kepala bagian belakang Ratih. Seketika itu juga ia rubuh dan tidak sadarkan diri. Diantara sadar dan tidak, Ratih seperti merasakan tubuhnya diseret di bawah guyuran hujan, samar-samar telinganya menangkap suara lirih. Suara yang sangat dikenal olehnya.
Nampak perdebatan terjadi diantara dua manusia biadab itu untuk bersekongkol. “Sudahlah! Buang saja tubuhnya di danau petik wangi. Nanti urusan polisi dan pihak forensik biar aku yang ngurus.”
Nafas Ratih tersengal, ingin rasanya dia bangun dan memberontak. Namun apa daya, tubuhnya yang lemah lantas dilempar begitu saja di atas tumpukkan bongkahan karet, seperti seonggok daging tak berharga.
Entah siapa yang membawa truck malam itu, Ratih juga tidak tau. Di sela-sela kesadarannya yang minim, ia lalu kembali merasakan tubuhnya diangkat seseorang lalu diayun sampai melayang. Terdengar suara benda jatuh ke dalam air.
BYUR!
Tubuh Ratih mulai tenggelam ke dasar danau. Dadanya terasa sangat panas, seperti mau meledak. Air masuk perlahan lewat mulut dan hidungnya, Ratih tak bisa bergerak ataupun berbuat banyak. Ratih sadar, mungkin sekarang adalah saat terakhirnya. Rupanya ajal akan menjemput, sebentar lagi.
“Tuhan … berikanlah aku kesempatan untuk merubah jalan hidupku, sekali saja. Bukankah, tiada yang mustahil bagi-Mu, Yah Tuhan.”
Sebuah permohonan yang tidak masuk akal dipanjatkan begitu khusyuk di detik-detik terakhir, degup jantung yang semakin melemah diiringi telinganya yang berdenging begitu hebat.
Gelap, dingin, dan kosong. Ratih mulai tersadar, perlahan dia mengerjapkan kedua kelopak matanya. Ratih mulai melihat dirinya sendiri meninggalkan tubuhnya. Seolah dia sadar roh meninggalkan jasadnya namun tak bisa berbuat apa- apa.
Seperti medapatkan tuntunan, Ratih berjalan menuju ke sebuah titik cahaya. Seolah datang menghampirinya makin lama makin besar, tangan lemah itu mencoba untuk meraihnya, sambil memegang sebuah gantungan liontin pemberian almarhum bundanya.
“Bunda, kamukah itu, Bunda?” batin Ratih, mata mulai merasakan silau yang teramat menyengat sensasi.
“Aku, ingin kembali untuk memperbaiki semuanya … aku, tidak ingin kalian pergi, aku belum siap mati ….” Ratih terus memanjatkan keinginannya tiada henti, sampai sebuah cahaya berwarna kuning keemasan keluar memancar dari liontin yang digenggamnya dengan erat.
Kedua Cahaya itu berpadu satu membentuk sebuah lingkaran yang terus berputar semakin lama semakin cepat. Ratih juga merasakan pusing yang teramat sangat hebat, ketika tubuhnya ikut terputar di dalamnya. Hingga tubuhnya terpental.
BIP! BIP! BIP!
Ratih merasakan seluruh tubuhnya seperti patah, matanya mengerjap, napasnya tersengal.
“HUAH! AKU BELUM MATI!” teriak Ratih seketika, meski kesadarannya belum pulih.
“Kepalaku! Kepalaku!” Disentuh lagi, bagian kepala belakangnya. Tidak ada darah, tapi rasa memar di bagian kepala belakang masih terasa sakit.
Dadanya terasa sakit, sensasi terbakar terasa sangat nyata. Ratih menoleh ke kanan dan ke kiri, dia terdiam mematung. Sepersekian detik Ratih mencoba meraih lagi kesadarannya.
Dia melihat kedua tangannya masih utuh bahkan dia bisa menyentuhnya. Karena masih ragu, Ratih mencubitnya.
"Aw! Sakit," keluh Ratih lirih.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" batin Ratih dalam hati.
Di tengah kebingungannya, Ratih mencoba melihat alarmnya yang masih berisik, membuatnya sadar. Dia langsung menekan sebuah tombol untuk mematikan bunyi tersebut.
“Yah, Tuhan! Apa yang baru saja aku alami? Apakah ini semua hanya mimpi, kenapa ini terasa nyata sekali,” lirih Ratih, lalu bangun kaki langsung terpaku saat melihat sesosok pria yang baru saja dikuburnya beberapa waktu lalu.
“Apa, aku sudah mati? Apa akua da di surga? Tapi, kenapa rasanya aku masih hidup?” tanya Ratih frustrasi kepada dirinya sendiri tanpa melepaskan pandangannya pada pria yang masih menatapnya tajam.
“Tentu saja kamu belum mati, kamu baru saja bangun tidur, Ratih. Haduh, anak ini kok halunya kebangetan.” Darman menghela nafas seraya menggelengkan kepalanya.
“Ayah? Ayah, juga masih hidup? Ayah?!” Ratih menatap tidak percaya, pertanyaannya sangat mengusik Darman yang saat itu baru saja masuk ke dalam kamar anaknya dengan niat mau membangunkan Ratih.
“Astaga, Nggak suka lihat Ayah masih sehat gini?” Kembali Darman berdecak kesal melirik Ratih dengan kesal.
“Tapi, seingatku … Ayah sudah-“
“Tentu saja Ayah masih hidup, Ratih! Lihatlah, Ayah berdiri di depanmu dan sangat sehat walafiat! Cepat, bangun! Jangan tidur terus!” omel Darman saat melihat Ratih malah bengong dan tidak berkata apa pun selain hanya membuka lebar mulut dan matanya.
“Ta-tapi, bagaimana mungkin ini terjadi?”
Halo, halo! Salam kenal dear Readers
“Ratih, ada apa lagi? Ayo turun,” titah Darman masih tidak dihiraukan oleh Ratih, hingga membuat Darman menarik tangan Ratih. Ratih lantas beranjak dari tempat tidur dan berjalan melewati lemari kacanya. Langkahnya terhenti, ia menoleh melihat lemari kamarnya. Ratih semakin bingung. “Ayah ini bukan lemariku dan Rangga, Ini kan lemari yang dulu pernah Ratih pakai semasa muda. Kok ada di sini?” Ratih menyadari sesuatu kejanggalan yang aneh. PLETAK! Darman menjentikkan jarinya ke kening Ratih hingga membuat Ratih mengaduh. “Aduh, Ayah!” pekik Ratih sambil mengelus kepalanya yang sedikit perih. “Kamu ini?! Ck! Ish! Sudahlah Ayah tunggu di bawah!” Sangking kesalnya Darman sampai tidak bisa berkata-kata, ia lalu keluar meninggalkan Ratih begitu saja di kamarnya. Ratih lalu menatap pantulan bayangnya. “Rambut ini?!” pekik Ratih tidak percaya, rambutnya kenapa hanya sebahu? Seharusnya rambutnya saat ini sudah sepinggang. “Ini Aneh! Ada apa denganku?! Kenapa semuanya berubah begitu cepat?
“Bunda, Ratih! Kita berangkat sekarang yah, ayah sudah membuat janji di rumah sakit. Dokternya praktek satu jam lagi.” Tiba-tiba Darman masuk menginterupsi percakapan serius ibu dan anak ini. “Ba-baiklah, Ayah,” sahut Ratih lalu memapah Lusi keluar dari kamarnya. Keduanya memilih bungkam dan bermain dengan pikirannya sendiri selama perjalanan menuju ke Rumah Sakit. Benar saja, sampai di rumah sakit setelah melewati berbagai pemeriksaan, hasil rontgen pun keluar. Ternyata terdapat keretakan pada tulang ekor. Pencegahan awal sudah dilakukan, Ratih bernafas lega. “Satu cikal bakal sebuah masalah telah terlewati,” batin Ratih lalu kembali ke rumah megahnya. “Ayah, Ratih mau belajar mengandarai mobil dan sepeda motor, bisakah Ayah mengajarkannya?” tanya Ratih, sambil melirik Lusi yang memilih untuk menatap Ratih dalam diam. Sambil menundukkan kepalanya, Ratih masih ingat betul bagaimana berulang kali dia sadar jika dirinya sering sekali dibohongi oleh suami dan adik tirinya. Mereka bi
Bukan untuk melawan yang kesekian kalinya lagi, tapi Ratih hanya ingin memastikan jika langkah yang akan diambilnya adalah langkah yang benar. Ratih juga tidak tau, apakah dia bisa kembali ke masa lalu lebih dari sekali atau tidak? “Karena itu adalah amanat dari bundanya Deva, sebenarnya Eyang Buyut bundamu dengan Eyang Buyutnya memiliki sebuah perjanjian, Nduk.” Sebuah rahasia baru kembali terungkap. “Apa, perjanjiannya Ayah? Apa, Ayah tau?” Ratih menjadi penasaran. “Entahlah, yang pernah Ayah dengar, turunan mereka harus ada yang menikah. Tapi, lebih tepatnya kamu bisa tanyakan kepada bundamu. Yang jelas, terlepas dari perjanjian itu, Deva adalah anak yang baik. Tidak ada pilihan yang paling sempurna di tempat ini selain Atmadeva, Nduk.” Ratih tidak menyangka perkataan ini akan terucap saat ini. Seharusnya ayahnya mengatakan ini sepulang persta ulang tahunnya. Ayah juga akan mengatakannya sambil menahan amarahnya, tapi saat ini Ayah justru menjelaskannya dengan santai. Sama, se
Bingung, harus dari mana Ratih menjelaskan semuanya, hingga akhirnya dia mencoba untuk menggenggam Kembali liontin pada kalungnya sambil menutup mata. Ia ingin menunjukkan sinar kuning keemasan yang keluar dari liontin itu. Ratih Kembali merasakan, sensasi panas di dadanya setiap kali ia mengingat jika dirinya ditenggelamkan dengan sengaja. Nafasnya Kembali tersengal, keringat dingin juga mulai membasahi dahinya. “RATIH! RATIH! Kamu kenapa sih?! Kok malah kayak gini? Jangan buat aku takut dong!” Suara Deva sontak membuat Ratih membuka matanya dan kembali memegang dadanya yang tersara panas. Dirinya sampai mengambil air minum Deva yang disediakan di meja kantornya, Ratih masih tidak bisa menjawab Deva selain menelan tiap teguk air pada gelas itu hingga tandas. “Okay! Sekarang kamu habisin air minumku,” keluh Deva. “Tadi, kamu lihat nggak? Ada cahaya nggak dari liontin giok yang aku genggam?” tanya Ratih penuh harap. Deva semakin kesal mendengar pertanyaan Ratih, dirinya merasa ke
“Ratih, sini Nduk. Deva sudah menunggu kamu sejak tadi,” panggil Darman saat melihat Ratih baru saja datang mendekat kepadanya. Deva menatap Ratih tanpa berkedip, wajah cantik Ratih membuatnya kagum, tetapi melihat penampilan calon tunangannya Deva heran. Di acara peresmian pabriknya, kenapa Ratih malah datang dengan kaos oblong dan celana jeans belel. Akhirnya Deva memberikan sebuah kotak kado yang disiapkan untuk Ratih, karena kebetulan besok adalah hari ulang tahun Ratih yang ke dua puluh satu. “Ratih, mungkin kamu bisa ganti baju dulu, ini kado buat kamu besok. Tapi, kamu bisa pakai gaun pemberianku hari ini, sebentar lagi pertunangan kita akan diumumkan. Kamu ganti yah.” Deva lalu menyodorkan sekotak kado berisikan gaun saat dirinya mendekati Ratih yang berdiri dekat Darman dengan raut wajah tak ramah. Wajah Deva menunjukkan seulas senyum bahagia saat Ratih mengambil kotak kado tersebut, begitu juga dengan Darman dan anggota keluarga keduanya. Tapi, tiba-tiba saja Ratih melemp
BAB 7. Rangga Terusir Dari Pesta. Entah kenapa Deva selalu melontarkan kata demi kata yang bertujuan untuk meruntuhkan dan menggoyahkan tekad bulatnya Ratih. Walau Ratih tampak berpikir sejenak tapi dirinya tetap berkomitmen untuk memenuhi semua syarat yang diberikan oleh Deva. Mungkin inilah perjuangan awal Ratih, untuk mendapatkan kepercayaan Deva. “Deva, jangan ragukan diriku jika aku sudah berjanji kepadamu. Harusnya kamu bisa menilai bagaimana keras kepalanya aku saat aku memperjuangkan sesuatu yang ku anggap penting. Memperjuangkan keluargaku adalah prioritas utamaku.” Ratih menatap tajam Deva dan segera turun dari mobil. “Ratih?! Kok kamu turun dari mobilnya Deva?” Rangga terbelalak kaget melihat Ratih. Tak lama kemudian terdengar suara pintu mobil tertutup, Deva turun dan memberikan kunci mobil pada petugas valet. Lalu Deva mensejajarkan dirinya di samping Ratih sambil memasukan tangannya di dalam saku celana. “Rangga, kita putus! Aku, akan menikah dengan Deva. Kamu bisa m
“Mau seribu kali kamu bertanya kepadaku, jawabanku tidak akan berubah!” tegas Ratih lalu berjalan meninggalkan Deva menuju ke toilet. “Dasar, keras kepala,” gumam Deva sembari menggelengkan kepalanya. Deva lalu berjalan menuju ke meja tempat Abizar dan Darman sedang berbincang. “Om Darman, Tante Lusi mana?” tanya Deva tidak melihat calon ibu mertuanya. “Tante lagi menyusul Ratih ke toilet,” sahut Darman sambil memberikan segelas sirup untuk Deva. “Pa, Om, ada yang mau saya bicarakan malam ini. Apa kita perlu mencari tempat yang agak tenang untuk membahasnya?” tanya Deva sambil mengedarkan pandangan melihat suasana pesta yang sebenarnya sudah mulai lengang. Banyak para tamu yang sudah berpamitan satu per satu, dari sejak tadi saat dirinya berbincang dengan Ratih di sudut ruangan. Hanya tersisa beberapa yang masih terlihat asik dengan obrolan mereka sendiri. “Disini saja, masih ada beberapa tamu yang belum pulang. Apa yang mau kamu sampaikan, Deva?” saran Abizar sekaligus bertanya
Jantung Ratih kini sudah tidak lagi bersabat dengannya, sengatan kecil juga merasuk di atas permukaan kulitnya. “Deva?” panggil Ratih sambil menahan nafasnya sejenak tanpa berani menoleh.“Hem? Acara pernikahan kita akan dilaksanakan minggu depan,” sahut Deva lalu menarik kursi di samping Ratih untuk bergabung dengan calon mertua dan papanya.Ratih tidak lagi mempertanyakan segala hal yang bersangkutan dengan urusan pernikahan mereka. Ia hanya mengulas senyum tipis saat mendengar Abizar dan Darman saling berkelakar dan juga menceritakan kisah masa kecil kedua anaknya.Begitu juga dengan Lusi yang sesekali ikut menimpali percakapan kedua bapak-bapak ini, lalu sesekali ikut tertawa bersama. Ratih sangat menikmati pemandangan ini, sampai Deva kembali berbisik kepadanya.“Aku pinjam ponsel kamu.” Merasakan kembali hembusan nafas Deva, Ratih mendengus dan membuka tas pesta yang dibawanya.“Kenapa sih, suka banget bisik-bisik? Bicara normal kan juga bisa,” omel Ratih sambil memberikan ponse
Deva dan Ratih saat itu juga langsung menghubungi Lusi dan Abizar. Selama ini, Deva dan Ratih sengaja menutupi dan menyembunyikan kalau ingatan Ratih sudah kembali untuk kepentingan penangkapannya Rangga.“Bunda, bisakah kita bertemu malam ini juga?” tanya Ratih pada Lusi.Malam ini sudah pukul sebelas malam, Lusi mengira ada masalah baru lagi. “Baiklah, Nak. Bunda akan ke sana sekarang yah,” jawab Lusi segera bergegas.“Bunda, nanti dijemput sama pak Ratmin yah,” ucap Ratih.“Baiklah, Bunda akan bersiap sekarang juga,” jawabnya.Benar saja, saat dirinya sudah siap dengan jaket di tubuhnya, mobil pribadi Deva sudah menunggunya di depan."Selamat malam, Pak Ratmin. Maafkan, anakku yang memerintahkanmu malam-malam menjemputku ke sini," sapa Lusi merasa tidak enak hati dengan sopir setianya Deva.Ratmin menatap prihatin kepada Lusi. "Saya tahu kondisi kesehatan anak anda, memang sangat mengkhawatirkan dan sangat menyedihkan, Nyonya Lusi. Tetapi, yakinlah Tuhan pasti berpihak kepada yang
“Saudara Tania dan Leni, anda ditangkap karena sudah melakukan penipuan dan penggelapan serta pembunuhan berencana terhadap korban Susantio!”Alan datang dan langsung segera memborgolnya, sedangkan anak buah yang lainnya langsung datang bergerak meringsek masuk.Mereka segera menuju ke dalam kamar hotel mewah tersebut untuk menangkap Leni. Keduanya digeret ke lantai satu dan dimasukkan ke dalam mobil tahanan.Habis sudah mimpi mereka untuk menjadi orang kaya raya. Saat itu juga Leni masih berusaha untuk melepaskan dirinya menggunakan kekuatan hipnotisnya kepada para polisi. Tetapi sayang, semua itu tidak berlaku bagi para polisi yang saat ini bersama dengannya.“Apa yang sedang kau lakukan, Bu? Kenapa, dari tadi mulutmu umak umik tidak jelas,” kekeh salah satu anak buahnya Alan.Leni pun geram mendengar ejekan tersebut. “Kalian harus melepaskan kami saat ini juga! Ini, adalah perintahku,” ucap Leni tegas berusaha untuk menghipnotis orang yang mengejeknya.Tetapi Alan datang dan menepu
“Tentu saja, aku ingin mencari para wanita tetapi bukan hanya satu wanita. Aku ingin sepuluh wanita tercantik dan terseksi, yang ada di tempat ini.” Rangga tampak sangat takabur.“Satu malam akan ku bayarkan dua juta setengah untuk mereka. Aku akan menyewa mereka selama waktu yang aku inginkan,” sambung Rangga.Wanita di hadapannya langsung mengalungkan tangannya di leher Rangga. “Di mana anda akan menginap? Kami akan menuju ke sana, Tuan tampan,” ucap wanita itu.“Berikan saja nomor ponselmu, aku akan mengirimkan waktu dan tempatnya,” jawab Rangga.Wanita itu pun segera bergegas mengeluarkan sebuah kartu nama kepada Rangga. “Anda bisa memanggil saya kapan saja dan sembilan wanita lainnya akan siap melayani anda.” Rangga tertawa dengan puas.Ia lalu beranjak pergi ke sebuah showroom mobil. Dilihatnya, sebuah mobil Lamborghini berwarna merah tua dengan harga dua setengah milia
“Ah, Tuan!” ucap Ara saat dadanya menabrak dada bidangnya Rangga, hingga membuat darah Rangga berdesir.“Kapan kau akan pulang kerja, hari ini?” tanya Rangga to the point, masih dalam kondisi memeluk Ara tanpa ada jarak diantara tubuh keduanya.“Aku akan pulang dua jam lagi, bagaimana?” tanya Ara menahan senyuman lebar di bibir.Ia sudah tau apa niatan pria yang dikenalnya sebagai Raka ini. Hanya dengan saling menatap saja, Ara sudah bisa menebak kalau Raka tertarik padanya.“Bisakah sebelum kau pulang, kau mengirimkan seorang desainer dan belikan aku beberapa pakaian yang sekiranya tampak casual? Juga, aku membutuhkan beberapa pakaian resmi untuk pertemuan bisnisku,” ucap Rangga sambil tertawa geli dalam hatinya.“Oke bisnis man, sambil kau menunggu, aku aku akan mengirimkan beberapa orang yang kau perlukan,” jawab Ara yang tanpa segan meraba dadanya Rangga dengan lembut, se
“Okay, Sayang. Aku pasti akan membei rumah yang terbaik untuk kita. Pergilah dari kekangan keluargamu dan hiduplah berdua denganku di sana. Aku yakin, kau dan aku akan hidup bahagia selamanya,” kekeh Rangga.Ratih mengangguk dan berusaha menatap Rangga dengan bahagia. “Baiklah, Sayang. Aku percayakan semuanya padamu,” jawab Ratih sambil mencium punggung tangannya Rangga.“Kalau begitu, bisakah kau pesankan aku tiket pesawat hari ini? Aku sudah bosan di sini dan aku ingin segera menggunakan nama baruku Raka Sagabara, bagus tidak?” kekeh Rangga.Ratih mengangguk. “Nama yang sangat indah, cocok dengan tampilanmu yang sangat tampan,” jawab Ratih membuat Rangga juga terbahak dan tampak bangga.“Terima kasih, Sayang. Berarti, kita akan langsung mengambil tiket tersebut?” tanya Rangga dan Ratih menunjukkan e-tiket pada ponselnya.“Pesawat akan berangkat tiga jam lagi. Kau tida
“Lalu, kapan kau mengirim uangnya? Aku tidak mungkin menunggu kau selesai sampai masa pemulihan. Rumah itu harus segera dibayar, Rangga.” Nia mendengus saat membaca pesannya Rangga.“Aku tidak bisa menunggu sampai kau selesai masa pemulihan yang baru akan berakhir tiga minggu lagi!” dengus Nia.Rangga pun sudah mulai kesal, ia memilih untuk mengarsipkan pesan dari Nia dan mengirimkan pesan pada Ratih. “Ratih, kapan kau datang ke tempatnya dokter Charles? Aku, merindukanmu,” ucap Rangga.Ratih yang pada saat itu sementara berbelanja di sebuah supermarket yang besar bersama dengan Saka dan Deva lantas terdiam. Ia mematung saat membaca pesannya Rangga dan menunjukkan pesan itu kepada Deva.“Lihatlah apa yang harus aku lakukan?” Deva tersenyum menanggapi pertanyaannya Ratih.“Lakukan saja apa yang dia inginkan, bukankah dia baru saja meminta uang tambahan. Kirim saja sepuluh miliar lagi. Dengan begitu, dia akan terus memberikan kabar padamu tanpa kau perlu bertemu dengannya.” Ratih pun me
Saat melihat wajahnya sendiri, Rangga tampak sangat takjub. “Gila! Aku, sangat tampan!” ucapnya sangat puas saat menatap gambar dirinya di sebuah cermin kecil.Ia tahu kalau dirinya saat ini sudah siap untuk mengubah identitas aslinya. Cermin di tangan Rangga diberikan kembali pada dokter Charles, sambil menyeringai puas.“Terima kasih, Dokter. Ternyata uang yang dibayarkan oleh calon istriku, sepadan dengan hasil yang kau berikan!” Charles pun tersenyum, hingga membuat mata sipitnya semakin menghilang.“Hari ini kau sudah bisa melakukan proses foto untuk keperluan mengganti identitasmu. Tulis saja siapa nama yang kau inginkan di sebuah kertas putih. Tanggal lahir dan untuk alamat, aku sudah memberikan alamat yang tidak akan ditemukan oleh siapapun,” terang Charles.Ia sudah terbiasa membantu pelarian para mafia, maupun bandar narkoba. Dirinya cukup berpengalaman, untuk hal-hal illegal seperti ini. “Raka Sagara! Aku menginginkan namaku menjadi Raka Sagara, Dokter Charles,” ucapnya sam
Leni sedikit mendapatkan firasat tidak enak. Akhirnya, Nia pun menganggukkan kepalanya. “Okey, Bu. Kita, berangkat sekarang.”Keduanya pun segera menuju ke sebuah kantor pemasaran, tampak gedung bertingkat yang sangat tinggi. Dengan penampilan bak artis ibukota, mereka jalan penuh percaya diri.Siapa saja yang menatap mereka, tahu kalau orang-orang ini memakai pakaian mahal. Juga, tas serta sepatu yang bernilai fantastis. Mereka pun segera menunduk hormat dan membukakan pintu untuk Nia dan Leni.“Selamat pagi, Bu. Silahkan masuk,” sambut salah satu penerima tamu dan memberikan welcome drink kepada kedua wanita yang tampak kaya raya tersebut.Mereka sangat menikmati pemujaan yang luar biasa tersebut. “Ya, selamat siang. Aku mau membeli rumah, apa aku bisa melihat beberapa tipe-tipe rumah yang saat ini siap huni?” tanya Nia dengan sombong.“Oh baik, Ibu. Boleh, Ibu perkenalkan nama Ibu siapa ter
“Bu, pakaian di sini pun di bandrol paling murah senilai satu juta setengah, tolong jangan mempersulit pekerjaan kami,” ucap pelayan tersebut berusaha menyadarkan Leni.“Lancang mulutmu!” pekik Nia dan Leni langsung mengangkat tangannya untuk mencegah kemarahan anaknya.Leni ingin tetap tampi dengan elegan dan bersikap seperti orang kaya pada umunya. Leni lantas mengatupkan bibirnya dan menoleh kepada pelayan tersebut.Sedangkan, Nia sudah hendak menghajar pelayan itu. tetapi dicegah oleh Leni. “Oh, benarkah harga pakaian ini satu juta lima ratus paling murah? Kalau begitu, ini!” Leni menjeda sebentar ucapannya seraya memberikan tumpukan pakaian yang ada di pelukannya pada pelayan tersebut.Ia menatap tajam pelayan itu dan berbicara dengan kesan yang sangat mengintimidasi. “Hitung semua pakaian ini, aku akan membayarnya sekarang. Bila perlu, kau dan seisi ruangan ini pun akan kubeli,” ucap Leni dingin dengan menatap nyalang pada wanita itu.