Dada Laura berdebar menanti apa yang akan dilakukan oleh Zafran, karena tatapan pria itu seperti serigala yang sedang marah. Laura bahkan bisa merasakan atmosfer di sekelilingnya berubah menjadi dingin, sebelum akhirnya Zafran tersenyum tipis dan meraih tangan Fidel yang menempel di dadanya agar lepas dari sana. “Kamu tidak cukup dekat denganku untuk bisa mengatur apa yang harus dan tidak harus aku lakukan seperti itu, Nona Fidella Magali,” ujarnya lirih tetapi ada penekanan dari setiap kata yang ia sampaikan. Ia memalingkan wajahnya, senyumnya yang tadi hanya tampak samar kini melebar saat ia memandang Laura. Matanya melunak saat iris cokelatnya menatap Laura dan sekilas melambaikan tangannya kemudian benar-benar pergi melewati pintu butik. Sebuah perubahan wajah yang bisa disaksikan oleh Fidel, dan itu sangat kentara. Zafran yang tampak sangat malas saat melihatnya tetapi begitu manis saat tersenyum pada Laura. “Sejak kapan kamu kenal dengan Zafran, Laura?” tanya Fidel, membua
Saat Laura membuka matanya, ia menjumpai dirinya ada di dalam kamarnya. Ada wajah khawatir Hani yang berdiri tak jauh darinya. Kedua bahu gadis itu jatuh penuh kelegaan saat Laura sadar.Bukan hanya Hani saja, tetapi Laura juga bisa melihat Elsa. Temannya itu sama cemasnya dengan Hani. Raut wajahnya tidak bisa berbohong.Samar yang diingat oleh Laura, ia tadi merasakan kepalanya yang sangat sakit sebelum akhirnya ia menjatuhkan tongkat siku yang menopang tubuhnya setelah ia mimisan—untuk yang ke sekian kalinya.“Saya tadi meminta security untuk membawa Bu Laura masuk ke sini waktu pingsan,” jelas Hani sesederhana mungkin.Laura mengangguk samar, ia melihat Elsa yang duduk di tepi ranjang dan meraih tangannya.“Kamu perlu ke rumah sakit?” tanyanya.“Tidak, Sa, terima kasih,” jawab Laura. “Kamu ada di sini juga?”Elsa mengangguk, “Hani menghubungiku dan bilang kalau kamu tiba-tiba pingsan,” jelasnya, sekilas menoleh pada Hani sebelum gadis itu menundukkan kepalanya kemudian undur diri
“Bubar!” kata Farren tegas, langkahnya yang menghampiri beberapa staf yang bergerombol di dekat meja informasi itu membuat keseluruhan dari mereka membubarkan diri seperti titahnya. Sementara Jake yang berhadapan dengan Fidel menepis tangan gadis dengan mini dress berwarna hitam itu dengan cepat, sesaat setelah jemari lentiknya menggerayangi jas di bagian dada Jake. “Jangan lakukan ini, Fi!” tegurnya keras. “Bukankah aku sudah bilang padamu jangan bertingkah?” “Jake ….” “Kamu masih belum cukup puas dengan membuat kita terkena skandal di kantor dan ingin membuat skandal baru lainnya?” tanya Jake tak habis pikir. Fidel mendesah, kedua bahunya jatuh secara bersamaan saat ia mundur satu langkah dan bersedekap. “Kamu berubah, Jake!” tudingnya. “Kamu bukan Jake Ganzano Heist yang selalu bersikap manis kepadaku.” Jake memijit keningnya sekilas sebelum kembali menatap Fidel dan melempar seulas senyumnya—yang tampak sangat kentara bahwa itu berbalut keengganan yang cukup kental. “Aku ti
“Baik, Nona. Saya mengerti,” jawab Varo. “Tuan Jake memanggil saya beberapa hari yang lalu tapi saya tidak mengatakan soal Nona.”“Kerja bagus.”Hanya itu yang dikatakan oleh Fidel sebelum ia keluar dar dalam mobil sedan milik pria itu.Napasnya terasa tercekat dan berhenti di tenggorokan setiap kali ia mengingat tatapan Jake yang tak lagi sama seperti dulu.Ia memandang ke arah pintu masuk dari parkiran yang terhubung ke sana, kakinya sangat ingin pergi ke dalam.Tetapi hal itu tak bisa ia lakukan karena Jake melarangnya untuk banyak bertingkah.“Sialan!” umpatnya sebelum menghentakkan kakinya dan memalingkan wajahnya yang terasa panas.Matanya sejenak terpejam, ia sedang berpikir keras. “Aku harus melakukan sesuatu biar Jake tidak berhasil mengajak Laura untuk pergi!”Tidak boleh ada kata rujuk! Jake dan Laura harus bercerai!Karena Fidel tahu Jake sebenarnya memiliki rasa pada Laura—atau bahkan jatuh cinta—sekarang ia tidak bisa diam saja dan berpangku tangan.“Aku juga tidak bisa
“Apakah permintaanku ini sulit kamu lakukan, Lau?” tanya Fidel, membuka suaranya kembali karena yang disuguhkan oleh Laura hanyalah sebuah kebisuan. Gadis itu masih tersenyum saat melepas tangannya dari punggung tangan Laura. “Aku pikir harusnya kamu tidak keberatan karena pernikahanmu dan Jake tidak didasari dengan cinta, ‘kan?” lanjutnya. “Lagi pula … bukankah kamu sudah dekat dengan Zafran? Jadi tidak ada salahnya kamu menjauh dari kami agar tidak terus-menerus membuat Jake terjebak.” Laura terpaku di tempat ia duduk. Jari tangannya terasa dingin, tubuhnya merespon lebih cepat atas rasa sakit yang diterima oleh hatinya. Ia juga tak bisa menyangkal Fidel begitu saja karena Fidel tak sepenuhnya salah. Ia dan Jake menikah karena perjodohan dan bentuk tanggung jawab pria itu yang telah membuat kakinya pincang, tidak ada cinta di dalam pernikahan mereka—selain Laura yang mencintai Jake seorang diri. Akhirnya, Laura menganggukkan kepalanya dengan yakin, ia mencoba tersenyum m
Sore hari ini, Jake sedang duduk di depan meja. Cukup lelah sepulang bekerja dan memutuskan untuk mengistirahatkan sejenak dirinya di sini.Matanya yang beriris kelam menatap ponsel yang sedari tadi ia genggam dengan perasaan ragu, apakah ia harus menghubungi Laura dan mengajaknya makan malam seperti rencananya ataukah sebaiknya ia menahan dirinya dulu?Farren sudah mengatakan padanya bahwa ia menemukan restoran yang bagus yang seperti yang diinginkan Jake.Jake menghela dalam napasnya dan memutuskan untuk melakukannya.[Laura, kamu ada waktu untuk makan malam denganku? Aku tahu tempat yang bagus. Aku harap kamu bersedia.]Tetapi ….Ia terkejut saat menyadari pesan tersebut tak menunjukkan bahwa itu akan terkirim atau dibaca oleh Laura. Saat Jake mengetuk foto yang biasa ia lihat pada profil Laura, hasilnya nihil. Ia hanya menjumpai kekosongan.“Tiba-tiba saja?” tanyanya pada diri sendiri.‘Aku diblokir?’ Jake menahan napasnya.Jake pikir … kemarin saat ia melihatnya belum begini. P
Setelah mengadakan meeting kecil dengan para stafnya—sebelum ia benar-benar pergi untuk berobat—Laura mentraktir mereka semua makanan dan minuman di kafe yang ada di seberang jalan setelah butik mereka tutup lebih awal petang hari ini. Bukan hanya Laura dan para stafnya saja, tapi juga bersama dengan Elsa. “Jika ada kesulitan di sini, kalian bisa menghubungiku nanti,” ujar Elsa, menyapukan pandang pada staf milik Laura yang duduk dengannya melingkari satu meja yang sama. “Siapa tahu nanti aku bisa membantu,” lanjutnya. “Baik, Bu Elsa.” Setelah melewati beberapa percakapan dan saling bercanda, mereka berpamitan untuk pulang. Keluar dari kafe, mereka membubarkan diri setelah saling melambaikan tangan. “Mau pulang sekarang?” tanya Elsa, menoleh pada Laura yang mengangguk menjawabnya. Mereka baru saja melewati pintu gerbang kafe saat Elsa tiba-tiba berhenti dan itu membuat Laura kebingungan. Apalagi saat temannya itu memasang badan dari yang semula berada di sampingnya kini ada di
Setidaknya ... Jake ingin melakukan satu hal saja yang membuat Laura percaya bahwa hatinya telah menyerah untuk terus bersikap denial. Ia mencintainya, rasa yang terlambat ia sadari kala Laura telah pergi dari sisinya dan terasa sangat jauh seumpama matahari yang tak bisa ia gapai.Saat melihat Laura pergi dari hadapannya dan berjalan tertatih di bawah derasnya hujan, Jake menyadari tak ada lagi harapan baginya untuk mendapatkan kesempatan kedua. Dan jika benar hal itu terjadi, maka hidupnya sudah tak sama lagi. Renungan perihal kelamnya masa depan itu terhenti saat Jake melihat cahaya dari lampu mobil yang membelah petang berkabut, Laura yang berjalan untuk menyeberang jelas tidak akan bisa menghindarinya apalagi laju mobil itu semakin kencang seolah memang pengemudinya tak ingin berhenti."LAURA! AWAS—"Panggilan Elsa sepertinya tak begitu didengar oleh Laura sehingga Jake memutuskan untuk berlari dan mendekapnya. Sayangnya ... mobil itu sudah terlalu dekat sehingga ia mengumpank