“Kenapa kamu membawakan aku bunga?” tanya Laura malas, membiarkan tangan Jake tetap seperti sedia kala. “Kenapa? Kamu tidak suka?” tanya Jake balik. “Isinya bunga hortensia warna biru, artinya aku meminta maaf padamu secara tulus.” Laura membuang napasnya dengan enggan. “Aku bukan kuburan, kamu tidak perlu membawakan aku bunga.” “Kamu tidak mau menerimanya?” tanya Jake sekali lagi, ada nada kecewa dalam caranya berucap. Laura memilih untuk tidak menjawabnya. Sedangkan Jake melihat ke meja yang ada di sudut ruangan, ada satu buket bunga yang sudah lebih dulu tergeletak di sana. “Apa alasanmu tidak mau menerima bunga dariku karena kamu sudah mendapatkannya lebih dulu?” tanya Jake, menyipitkan matanya. “Apa itu dari Zafran?” Laura mengikuti pandang ke mana arah yang dilihat oleh Jake. Di meja itu memang ada satu buket bunga yang ia terima, tapi bukan dari Zafran. “Itu dari Samantha,” jawab Laura. “Dia membawakannya untukku saat fitting baju pengantinnya tadi.” Jake yang mendengar
Tatapan tajam Fidel mengarah pada Elsa yang duduk bersama dengan Laura.Sadar itu adalah isyarat yang ‘mengusirnya’ untuk pergi, Elsa yang mendengar pun kemudian mengusap punggung tangan Laura yang ada di atas meja.“Aku keluar dulu kalau begitu,” katanya. Kemudian sedikit lirih saat melanjutkan dengan, “Aku akan menunggunya sampai dia selesai bicara denganmu, Lau.”“Iya,” jawab Laura sembari mengangguk.Laura melihat Elsa yang berlalu pergi melewati Fidel. Sosoknya menghilang di balik pintu butik dan tak terlihat lagi. Sebagai gantinya, Fidel lah yang sekarang duduk di tempat Elsa semula, berseberangan meja dengan Laura.“Bukankah ada yang bilang kalau tempat ini ramai?” tanya Fidel membuka percakapan. “Tapi kenapa tidak ada seorangpun yang ada di sini?” lanjutnya.Laura tertawa lirih mendengar itu, ia sekilas menunduk sebelum kembali memandang Fidel.“Aku pikir … kamu dan orang-orang akan bisa mengetahuinya dengan membaca gantungan yang ada di jendela itu, Fi,” jawab Laura. “Kami t
“Aku tidak tahu apa yang sedang kamu bicarakan itu, Lau,” kata Fidel. “Aku tidak memiliki rahasia apapun yang aku sembunyikan dari Jake!” “Baguslah,” tanggap Laura ringan. “Bagus jika kamu tidak memiliki rahasia.” “Tolong—” Fidel menghela dalam napasnya. “Tolong jangan memperumit perceraianmu dengan Jake. Karena dia juga harus bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan padaku sampai membuat skandal terjadi di luar sana,” lanjutnya. “Kamu tidak tahu saja kalau aku disebut sebagai wanita tidak benar saat ini.” Laura mengangguk, ia kembali menjumpai wajah Fidel yang memiliki kesamaan dengan saat ia datang tadi, bukan lagi Fidel yang baru saja memandang Laura dengan matanya yang berkaca-kaca. Perubahan ekspresinya itu membuat Laura bingung. ‘Sebenarnya apa yang dia inginkan?’ Dia ingin memamerkan dia mendapat restu dari orang tuanya Jake, atau ingin meminta bantuan Laura untuk tidak mempersulit perceraiannya dengan Jake? ‘Seperti biasanya … dia masih tidak bisa ditebak,’ batin Laur
Senin pagi yang terlihat mendung saat Jake keluar dari rumahnya pagi hari ini. Ia baru saja membaca pesan dari Farren, pemuda itu menyebut dirinya akan sampai lima menit lagi sehingga Jake memutuskan untuk menunggunya di luar.Tetapi, baru saja hal itu ia lakukan, ia dibuat kesal oleh panggilan yang masuk di ponselnya. Dari Alina, ibunya.“Ada apa, Mam?” tanyanya setelah memberi salam. “Pagi sekali menelponku?”“Kamu tidak menepati janjimu,” jawab Alina.Meski Jake tidak saling bertatap muka dengan sang ibu, tetapi Jake bisa membayangkan seperti apa ekspresi dan alis berkerutnya.“Kamu tidak bisa membuat orang-orang berhenti membicarakan skandal itu, Jake,” lanjutnya.“Tidak begitu saja langsung hilang, Mam. Semuanya butuh proses.”“Mama tidak mau tahu,” tanggap Alina tak peduli. “Mama sudah menganggapmu gagal dan kamu tidak menepati janjimu. Jadi kamu harus menikahi Fidel. Kita sudah menyepakati ini sebelumnya, Jake.”Mata Jake terpejam, ia tak habis pikir mengapa ibunya sangat bern
Jake dengan cepat menekan intercom yang menyambungkannya pada Farren yang ada di luar.“Ya, Tuan?” sambut pemuda itu begitu panggilan mereka tersambung.“Masuklah! Ada yang ingin aku tanyakan padamu.”“Baik.”Hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk membuat Farren kembali terlihat di dalam ruang CEO. Ia berdiri berseberangan meja dengan Jake saat bertanya, “Apa yang ingin Tuan tanyakan?”“Apa kamu ada di rumah sakit saat aku kecelakaan sama Laura waktu itu?” tanyanya balik.Farren memiringkan kepalanya sekilas ke kiri, mencoba mengingat kejadian hari itu.“Seingatku, aku baru ada di sana setelah Tuan dipindah ke ruang ICU,” jawabnya yakin.“Jadi kamu tidak tahu siapa yang hari itu mendonorkan darah untukku?”Farren menggeleng lebih dulu, “Aku tidak tahu, Tuan. Tapi bukankah saat itu Nona Fidel bilang kalau dia yang mendonorkan darah saat Tuan sudah bangun?”Jake pun ikut menggeleng, “Tidak,” ucapnya. “Bukan saat itu, Ren. Tapi saat aku dibawa masuk ke gawat darurat.”“Maaf, tapi
Sudah hampir pukul empat sore saat Laura duduk di dalam ruang kerjanya. Ia baru saja mengistirahatkan tubuhnya dengan duduk sebentar di sana setelah seharian bertemu dengan banyak orang dan ikut membantu staf mengukur klien. Saat ia menunduk dan baru saja meraih ponsel untuk memeriksa pesan ….“Akh ….” Laura meremas kepalanya yang terasa sangat sakit, bahkan rasa sakitnya sangat menusuk.Ia merasa kepalanya semakin sering sakit belakangan ini. Matanya yang baru saja terpejam ia buka kembali dan ia menjumpai cairan merah itu menetes jatuh mengenai tangannya.Ia kembali mimisan. “Bu Laura?” sapa seorang staf—Hani—yang datang dari balik pintu dan terkejut melihat Laura yang sibuk membersihkan hidungnya yang berdarah dengan menggunakan tisu.“Bu Laura baik-baik saja?” tanya Hani khawatir.“Iya, Han,” jawab Laura sembari sedikit memalingkan wajahnya. “Hanya capek, dan butuh istirahat sebentar.”“Jangan memaksakan diri jika memang kondisi Bu Laura sedang tidak baik.”“Iya.”“Akan kami
Dada Laura berdebar menanti apa yang akan dilakukan oleh Zafran, karena tatapan pria itu seperti serigala yang sedang marah. Laura bahkan bisa merasakan atmosfer di sekelilingnya berubah menjadi dingin, sebelum akhirnya Zafran tersenyum tipis dan meraih tangan Fidel yang menempel di dadanya agar lepas dari sana. “Kamu tidak cukup dekat denganku untuk bisa mengatur apa yang harus dan tidak harus aku lakukan seperti itu, Nona Fidella Magali,” ujarnya lirih tetapi ada penekanan dari setiap kata yang ia sampaikan. Ia memalingkan wajahnya, senyumnya yang tadi hanya tampak samar kini melebar saat ia memandang Laura. Matanya melunak saat iris cokelatnya menatap Laura dan sekilas melambaikan tangannya kemudian benar-benar pergi melewati pintu butik. Sebuah perubahan wajah yang bisa disaksikan oleh Fidel, dan itu sangat kentara. Zafran yang tampak sangat malas saat melihatnya tetapi begitu manis saat tersenyum pada Laura. “Sejak kapan kamu kenal dengan Zafran, Laura?” tanya Fidel, membua
Saat Laura membuka matanya, ia menjumpai dirinya ada di dalam kamarnya. Ada wajah khawatir Hani yang berdiri tak jauh darinya. Kedua bahu gadis itu jatuh penuh kelegaan saat Laura sadar.Bukan hanya Hani saja, tetapi Laura juga bisa melihat Elsa. Temannya itu sama cemasnya dengan Hani. Raut wajahnya tidak bisa berbohong.Samar yang diingat oleh Laura, ia tadi merasakan kepalanya yang sangat sakit sebelum akhirnya ia menjatuhkan tongkat siku yang menopang tubuhnya setelah ia mimisan—untuk yang ke sekian kalinya.“Saya tadi meminta security untuk membawa Bu Laura masuk ke sini waktu pingsan,” jelas Hani sesederhana mungkin.Laura mengangguk samar, ia melihat Elsa yang duduk di tepi ranjang dan meraih tangannya.“Kamu perlu ke rumah sakit?” tanyanya.“Tidak, Sa, terima kasih,” jawab Laura. “Kamu ada di sini juga?”Elsa mengangguk, “Hani menghubungiku dan bilang kalau kamu tiba-tiba pingsan,” jelasnya, sekilas menoleh pada Hani sebelum gadis itu menundukkan kepalanya kemudian undur diri