Zafran tak begitu saja mengajak Elsa untuk kembali ke kota. Ia pikir ... menghabiskan satu hari lagi di sini bukanlah menjadi sebuah ide yang buruk. Malam hari setelah Neneknya Elsa—Oma Evi—mengajak mereka untuk pergi ke rumah saudara jauh mereka yang sedang memiliki hajat, Zafran meminta Jun—sopirnya—untuk beristirahat sebelum mereka kembali melakukan perjalanan besok. Jun pergi ke hotel yang sudah di—booking oleh Zafran setelah mengantarnya kembali ke rumah Oma Evi. Hanya Elsa dan Zafran saja, sementara Oma Evi menginap di rumah saudaranya yang memiliki hajat tersebut. “Kalau aku tidak datang malam inii, artinya kamu akan tinggal di rumah ini sendirian?” tanya Zafran saat ia bergandengan tangan dengan Elsa memasuki rumah. “Tidak juga,” jawab Elsa. “Aku akan ikut Oma buat menginap di rumahnya Tante Ana.” Elsa meletakkan tasnya di atas sofa ruang tamu. Sementara Zafran berjalan di belakangnya setelah melepas sepatu dan membuka coat yang ia kenakan karena di dalam sini terasa leb
Diingat bagaimanapun ... rasanya sangat mendebarkan.Satu malam yang tak akan pernah dilupakan oleh Elsa.Malam di mana ia tahu bahwa rindu yang terlepas itu rasanya sangat manis. Dari meja makan yang menjadi saksi bisu panasnya cinta mereka, semalam Elsa dan Zafran mengulanginya lagi di dalam kamar.Di bawah remang cahaya lampu, di tempat yang dinginnya dikeluhkan menembus kulit, yang terjadi di atas ranjang itu adalah mereka yang menumpahkan peluh.Tak ada henti suara sensualnya, dari memanggil nama hingga erangan yang meleburkan rindu mereka dalam dekapan.Elsa baru saja keluar dari kamar di rumah neneknya pagi hari ini. Belum ada aktivitas yang berarti, ini masih cukup pagi, udara masih terlalu dingin untuknya meninggalkan rumah.Tetapi, Zafran sudah tak ia temukan."Dia ke mana?" tanyanya pada diri sendiri.Melewati meja makan semalam, pipinya memanas. Ia mengayunkan kakinya untuk menuju ke tepi kolam. Berpikir barangkali Zafran berada di sana karena semalam mengatakan ia juga
Lantainya tak begitu bersih, debunya hampir terlihat di setiap penjuru. Dari lantai yang ada di dekat pintu hingga jeruji besi yang bisa dilihat oleh sepasang mata Fidel yang sendu. Ia meringkuk mengelung lututnya di sudut ruangan, kepalanya ia letakkan di atas lipatan tangan yang bertumpu di atas lututnya yang terasa sakit. Luka perih akibat jauh kemarin saat pergi dari kamar mandi rupanya meninggalkan bekas lebam. Belum lagi sebelumnya ia sempat bertengkar dan dipukuli oleh tahanan yang lain hingga tubuhnya terasa remuk sehingga ia dipindahkan ke sel yang dihuni oleh dirinya sendiri. Anehnya ... yang lebih sakit adalah hatinya. Semua kenangan yang pernah terjadi di dalam hidupnya itu berputar seperti layar proyektor raksasa. Satu demi satu terangkat dari laci-laci memori dan menyeruak hingga membuat dadanya sesak. Berulang kali ia merenung ... berulang kali pula ia merasa bahwa semua hal ini tak perlu terjadi seandainya ia tidak pernah meletakkan hatinya yang mendengki pada
Fidel terjerembab dan jatuh di lantai meringkuk saat kursi itu menghantam bahu sebelah kirinya. Rasanya sangat sakit. Ia tak bisa memproses sesakit apa rasanya sebab yang dilakukan oleh Tania selanjutnya justru semakin membuat tubuhnya terasa remuk.Gadis itu menarik rambutnya, entah berapa banyak tamparan atau cakaran yang lolos selagi petugas polisi yang bertugas di sana dengan cepat melerai keributan.“Hentikan!” seru salah seorang di antara mereka. Fidel tergugu dalam tangis saat Tania kembali melayangkan kalimat, “KAMU PEMBUNUH, FIDEL! KAMU WANITA PALING JAHAT DI DUNIA INI!”Tania dibawa menyisih. Mereka berada di sudut diagonal yang berlawanan agar bisa mengantisipasi keributan susulan.Anehnya ... Fidel hanya terdiam.Seolah ia pasrah dengan semua yang akan dilakukan oleh Tania.Wajahnya tertunduk bersembunyi tak berani menatap Tania sama sekali.“Kenapa diam?!” seru Tania sekali lagi. “Kamu diam karena ingin bersikap lugu?” Tania berdecih muak, jika dekat dan tak ada petugas
Kebahagiaan ini seperti déjà vu. Laura dan Jake pernah merasakan ini, kegembiraan yang memenuhi dada mereka beberapa waktu yang lalu sewaktu Karel mengatakan bahwa mereka akan memiliki anak kembar. Kemudian setelah beberapa saat terlewati, mereka kembali ditunjukkan indahnya hidup saat dipihak oleh semesta. Sebab ... kembar yang mereka dapatkan adalah kembar sepasang. Laki-laki dan perempuan, mereka akan mendapatkannya sekaligus. “Sungguh?” kata Jake, memastikan pada Karel bahwa apa yang baru saja tiba di indera pendengarnya bukanlah sebuah kesalahan. “Sungguh,” jawab Karel yakin. “Kamu lihat yang di sini, ini kantong ke satu yang menunjukkan bahwa dia adalah perempuan,” jelasnya seraya menunjuk pada layar monitor. “Dan yang ini kantong ke dua, jenis kelaminnya laki-laki.” Mata Laura megembun, basah oleh air mata haru mendengar Karel. “Selamat ya sekali lagi.” Jake menoleh pada Laura, memeluk dan menjatuhkan bibir di keningnya. “Terima kasih, Laura,” bisiknya manis. “Aku tida
“Aku dibohongi sepupuku, Tuan, Nona,” jawab Farren, pemuda itu menanggapi keterkejutan Jake perihal dirinya yang terpergok ikut kencan buta oleh istrinya—Hani—sehingga hubungan mereka menjadi kurang baik.“Kamu dibohongi sepupumu, atau kamu membohongi istrimu?” tanya Jake memperjelas dan sepertinya itu membuat Farren kesal setengah matim“Aku dibohongi sepupuku,” jawabnya yakin. “Sepupuku itu bilang biar aku menemuinya di kafe yang dia sebutkan, tapi waktu aku tiba di sana, ternyata dia itu sedang janjian dengan perempuan yang dia ajak kenalan lewat dating app,” terang Farren. “Dia mengajakku karena tidak mau datang sendirian. Sialnya ... aku yang datang terlalu cepat jadi aku yang bertemu lebih dulu dengan perempuan itu dan—“Farren menjeda kalimatnya. Ia memberhentikan mobilnya di belakang garis putih saat rambu lalu lintas menunjukkan warna merah. Melihat dari gestur tangannya yang terlihat putus asa, apa yang akan ia katakan ini sepertinya cukup traumatis.“Dan ternyata tanpa sep
Dadanya berdebar-debar. Elsa sedang mencoba menata debar jantungnya yang bertalu lebih cepat dari pada biasanya. Pandangannya jatuh pada gaun putih yang— “Cantiknya ....” Kehadiran sebuah suara itu membuat Elsa mengangkat wajahnya. Ia menemukan seorang wanita yang tampak sangat cantik dengan gaun ibu hamil yang ia kenakan. “Laura,” sapa Elsa, ia hampir berdiri tetapi Laura mencegahnya dan memintanya agar duduk saja. “Aku pikir sudah tidak boleh menemuimu,” kata Laura. “Tapi ternyata aku diizinkan masuk.” “Memangnya siapa yang bisa melarangmu? Aku akan memarahi mereka.” Laura tertawa saat ia semakin dekat dengan Elsa. Ia menunduk dan memeluk sahabatnya itu selama beberapa detik sebelum melepasnya. Matanya terlihat berkaca-kaca saat memindai Elsa yang sangat cantik dalam balutan gaun pernikahan yang ia kenakan. Benar ... ini adalah hari resepsinya dengan Zafran. Malam yang mereka tunggu agar kebahagiaan yang memeluk mereka itu bisa mereka bagikan pada semua orang, sanak kerabat
Berdiri di antara para hadirin yang ada di sana, Laura ikut bertepuk tangan di samping Jake. Melihat interaksi manis di antara Zafran serta Elsa, Laura bisa memastikan bahwa ini adalah kebahagiaan mereka yang sempurna.Acara dilanjutkan dengan keduanya yang berdansa dengan iringan live music. Tapi sayangnya Laura tidak bisa duduk terlalu lama lagi.Pinggangnya terasa sakit, sehingga ia mengatakan pada Jake bahwa ia ingin pulang saja.“Kalian pulang juga?” tanya Jake, saat mereka melihat Farren serta istrinya—Hani—yang juga keluar dari ballroom.Keduanya menyapa Jake serta Laura lebih dulu sebelum menjawab, “Iya, Tuan Jake. Hani bilang kalau pinggangnya sakit.”“Aku pun juga begitu,” sahut Laura, memandang Hani yang sejauh Laura melihatnya, perutnya sudah sedikit turun ketimbang beberapa waktu yang lalu. Hari kelahiran anaknya semakin dekat, ia tahu itu.“Dan agak pusing melihat banyak orang, Nona Laura,” imbuh Hani yang membuat Laura mengangguk membenarkannya.Setelah berbincang sebe