Memasuki rumahnya, Xandara melempar tas yang ia bawa ke lantai dengan kasar. Suaranya menggema mengisi kekosongan penjuru ruang tamu. Benda-benda yang ada di dalamnya berhamburan saat matanya yang berair memandangnya dengan marah. Bukan hanya karena omongan para staf milik Zafran yang kurang ajar, ia juga sangat marah pada kalimat Andy yang mengatakan bahwa pria itu sedang tidak ada di Jakarta, melainkan di luar kota—yang tak jelas di mananya—untuk mengambil foto postwedding. “Bukannya Anya bilang kalau mereka bertengkar?” gumam Xandara, menata napasnya yang tak beraturan. Mengingat pesan yang ia dapat tadi agi dari managernya—Anya—yang mengatakan bahwa wanita itu tak ada di rumah karena bertengkar dengan Zafran. Tapi rupanya itu salah! Ia tak ada di rumah karena ia pergi dengan Zafran. ‘Sialan ....’ umpatan lolos dari benaknya. “Dia pasti akan datang menemui Papa dan memohon agar kerja sama itu tidak dibatalkan, Xandara. Jangan khawatir ....” ucap Kim yang datang dari belakang
“Lepas!” kata Elsa, memberontak melepaskan diri dari Zafran yang baru saja membisikkan, ‘Aku merindukanmu, Elsa ....’“Lepas, Zaf!” tegasnya sekali lagi.Ia menarik dirinya dari Zafran yang lebih memilih untuk mengalah daripada memperkeruh pertengkaran mereka menjadi semakin buruk.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Elsa, memalingkan wajahnya, menghindari Zafran yang justru tak berpaling darinya sama sekali.“Menyusul istriku,” jawabnya. “Aku mencarinya karena dia menghilang saat kesalahpahaman di antara kami belum teruraikan.”“Siapa yang memberitahumu aku di sini?”“Apakah itu penting sekarang?” tanya Zafran balik.Ia mendorong napasnya, menimbulkan asap tipis yang keluar dari bibirnya akibat dari dinginnya udara di sekitar ia berdiri.“Apakah jauh lebih penting mengetahui siapa yang memberi tahuku kamu disini daripada harus membicarakan apa yang membuat kita terpisah begini, Elsa?”“Apa yang mau kamu katakan, Zaf?” tanya Elsa setelah keheningan terjadi beberapa lama. Tak ada
“Aku datang ke sana dan mengatakan bahwa aku tidak takut dengan ancaman Kim,” kata Zafran, menyambut keterkejutan Elsa yang sepertinya tak percaya bahwa yang terjadi pada sore hari itu karena Zafran ingin mengatakan pada Xandara bahwa ia datang untuk menerapkan batasan.“Aku juga mengatakan padanya agar berhenti bersikap seolah dia sedang sakit,” lanjutnya. “Kim bilang padaku kalau anak perempuannya itu depresi dan terindikasi skizofrenia, tapi sepertinya dia berbohong soal itu karena surat keterangan dokter yang aku dapatkan itu adalah keterangan palsu. Dokternya tidak terdaftar.”Elsa sejenak tercenung.Membutuhkan waktu baginya untuk memproses kalimat panjang Zafran yang dikatakan dengan tegas padanya.Tak ada keraguan, seolah memang seperti itulah semua terjadi.“Kamu masih tidak percaya padaku, Elsa?” tanya Zafran, pria itu menghela napasnya sementara Elsa terjaga dari lamunan sesaatnya.“Bagaimana aku harus mempercayaimu kalau yang kamu katakan padaku saat pergi menemui Xandara
Zafran tak begitu saja mengajak Elsa untuk kembali ke kota. Ia pikir ... menghabiskan satu hari lagi di sini bukanlah menjadi sebuah ide yang buruk. Malam hari setelah Neneknya Elsa—Oma Evi—mengajak mereka untuk pergi ke rumah saudara jauh mereka yang sedang memiliki hajat, Zafran meminta Jun—sopirnya—untuk beristirahat sebelum mereka kembali melakukan perjalanan besok. Jun pergi ke hotel yang sudah di—booking oleh Zafran setelah mengantarnya kembali ke rumah Oma Evi. Hanya Elsa dan Zafran saja, sementara Oma Evi menginap di rumah saudaranya yang memiliki hajat tersebut. “Kalau aku tidak datang malam inii, artinya kamu akan tinggal di rumah ini sendirian?” tanya Zafran saat ia bergandengan tangan dengan Elsa memasuki rumah. “Tidak juga,” jawab Elsa. “Aku akan ikut Oma buat menginap di rumahnya Tante Ana.” Elsa meletakkan tasnya di atas sofa ruang tamu. Sementara Zafran berjalan di belakangnya setelah melepas sepatu dan membuka coat yang ia kenakan karena di dalam sini terasa leb
Diingat bagaimanapun ... rasanya sangat mendebarkan.Satu malam yang tak akan pernah dilupakan oleh Elsa.Malam di mana ia tahu bahwa rindu yang terlepas itu rasanya sangat manis. Dari meja makan yang menjadi saksi bisu panasnya cinta mereka, semalam Elsa dan Zafran mengulanginya lagi di dalam kamar.Di bawah remang cahaya lampu, di tempat yang dinginnya dikeluhkan menembus kulit, yang terjadi di atas ranjang itu adalah mereka yang menumpahkan peluh.Tak ada henti suara sensualnya, dari memanggil nama hingga erangan yang meleburkan rindu mereka dalam dekapan.Elsa baru saja keluar dari kamar di rumah neneknya pagi hari ini. Belum ada aktivitas yang berarti, ini masih cukup pagi, udara masih terlalu dingin untuknya meninggalkan rumah.Tetapi, Zafran sudah tak ia temukan."Dia ke mana?" tanyanya pada diri sendiri.Melewati meja makan semalam, pipinya memanas. Ia mengayunkan kakinya untuk menuju ke tepi kolam. Berpikir barangkali Zafran berada di sana karena semalam mengatakan ia juga
Lantainya tak begitu bersih, debunya hampir terlihat di setiap penjuru. Dari lantai yang ada di dekat pintu hingga jeruji besi yang bisa dilihat oleh sepasang mata Fidel yang sendu. Ia meringkuk mengelung lututnya di sudut ruangan, kepalanya ia letakkan di atas lipatan tangan yang bertumpu di atas lututnya yang terasa sakit. Luka perih akibat jauh kemarin saat pergi dari kamar mandi rupanya meninggalkan bekas lebam. Belum lagi sebelumnya ia sempat bertengkar dan dipukuli oleh tahanan yang lain hingga tubuhnya terasa remuk sehingga ia dipindahkan ke sel yang dihuni oleh dirinya sendiri. Anehnya ... yang lebih sakit adalah hatinya. Semua kenangan yang pernah terjadi di dalam hidupnya itu berputar seperti layar proyektor raksasa. Satu demi satu terangkat dari laci-laci memori dan menyeruak hingga membuat dadanya sesak. Berulang kali ia merenung ... berulang kali pula ia merasa bahwa semua hal ini tak perlu terjadi seandainya ia tidak pernah meletakkan hatinya yang mendengki pada
Fidel terjerembab dan jatuh di lantai meringkuk saat kursi itu menghantam bahu sebelah kirinya. Rasanya sangat sakit. Ia tak bisa memproses sesakit apa rasanya sebab yang dilakukan oleh Tania selanjutnya justru semakin membuat tubuhnya terasa remuk.Gadis itu menarik rambutnya, entah berapa banyak tamparan atau cakaran yang lolos selagi petugas polisi yang bertugas di sana dengan cepat melerai keributan.“Hentikan!” seru salah seorang di antara mereka. Fidel tergugu dalam tangis saat Tania kembali melayangkan kalimat, “KAMU PEMBUNUH, FIDEL! KAMU WANITA PALING JAHAT DI DUNIA INI!”Tania dibawa menyisih. Mereka berada di sudut diagonal yang berlawanan agar bisa mengantisipasi keributan susulan.Anehnya ... Fidel hanya terdiam.Seolah ia pasrah dengan semua yang akan dilakukan oleh Tania.Wajahnya tertunduk bersembunyi tak berani menatap Tania sama sekali.“Kenapa diam?!” seru Tania sekali lagi. “Kamu diam karena ingin bersikap lugu?” Tania berdecih muak, jika dekat dan tak ada petugas
Kebahagiaan ini seperti déjà vu. Laura dan Jake pernah merasakan ini, kegembiraan yang memenuhi dada mereka beberapa waktu yang lalu sewaktu Karel mengatakan bahwa mereka akan memiliki anak kembar. Kemudian setelah beberapa saat terlewati, mereka kembali ditunjukkan indahnya hidup saat dipihak oleh semesta. Sebab ... kembar yang mereka dapatkan adalah kembar sepasang. Laki-laki dan perempuan, mereka akan mendapatkannya sekaligus. “Sungguh?” kata Jake, memastikan pada Karel bahwa apa yang baru saja tiba di indera pendengarnya bukanlah sebuah kesalahan. “Sungguh,” jawab Karel yakin. “Kamu lihat yang di sini, ini kantong ke satu yang menunjukkan bahwa dia adalah perempuan,” jelasnya seraya menunjuk pada layar monitor. “Dan yang ini kantong ke dua, jenis kelaminnya laki-laki.” Mata Laura megembun, basah oleh air mata haru mendengar Karel. “Selamat ya sekali lagi.” Jake menoleh pada Laura, memeluk dan menjatuhkan bibir di keningnya. “Terima kasih, Laura,” bisiknya manis. “Aku tida