“Apakah kamu sudah membayangkannya?” tanya Jake mengakhiri lamunan sesaat Laura.“T-t-tidak,” jawab Laura, menggeleng, menolaknya dengan cepat. “A-apa yang h-harus a-aku bayangkan? A-aku s-saja t-tidak tahu apa maksud u-ucapanmu,” lanjutnya terbata-bata yang justru membuat Jake menunduk dengan seulas tawa.Sangat menyenangkan sekali melihat wajah gugup Laura. Ia berpikir dalam hati, mengapa ia tak menjalani pernikahan yang manis dengan Laura selama ini? Bukankah jika hal itu mereka lakukan, maka setiap saat Jake pasti melihat betapa cantiknya dia saat dilanda kegugupan?Seperti ini contohnya.“Tapi cara bicaramu yang gugup menjawab lebih banyak kalau kamu baru saja membayangkannya, Nona Eve Laura,” kata Jake sembari bangun dari duduknya.“Tidak! Jangan salah sangka!” elak Laura sekali lagi.“Untuk apa salah sangka?” tanya Jake tanpa beban, mengangkat sekilas kedua bahunya. “Tidak ada yang salah dengan yang kita lakukan, bukan?”“Itu ....” Laura berhenti bicara. Biar bagaimanapun ...
Dunia di sekitar Laura seolah sedang berhenti bekerja. Debar jantungnya membuncah kala Jake mengubah dari sekadar menyapa bibirnya kini lebih jauh dengan memagutnya.Laura yang sepasang matanya masih terbuka pada akhirnya terpejam. Ia tak ingin menolaknya, memilih agar hatinya mengambil alih.Dari meraih sehelai benang sari bunga tabebuya yang jatuh di pipi Jake, Laura bisa merasakan hangatnya sentuhan bibir pria ini. Ciuman mereka pagi hari ini rasanya jauh lebih manis daripada yang pernah mereka lakukan di belakang sana. Saat Jake menarik wajahnya, Laura menjumpai senyum manis pria itu. Bibirnya terlihat merah, mungkin sama halnya yang terjadi pada bibir Laura karena Jake menggigitnya, seolah ia sedang berusaha keras untuk mengendalikan diri.Laura berdeham, menyentuh sekilas pipinya yang panas sebelum bertanya, “Bagaimana tadi kalau ada yang melihat?”“Mau melakukannya di tempat yang tidak bisa dilihat oleh orang lain?” tanya Jake balik yang membuat Laura dengan cepat menarik tang
‘Apa dia tidak punya permintaan lain yang membuatku tidak jantungan begini?’ batin Laura, memandang Jake yang tengah menahan pinggang kecilnya agar ia tak memalingkan wajah atau menunjukkan punggung padanya. Di atas ranjang … dengan keadaan mata sayunya itu, apakah tujuan Jake meminta agar Laura menciumnya karena ia ingin mereka melakukan hal lain yang lebih daripada itu? Misalnya— “Kenapa kamu diam saja?” tanya Jake, yang untuk kesekian kalinya telah membawa Laura terjaga dari lamunannya. Laura ingin menjawabnya tetapi ia masih tidak bisa menyusun kata. Saat keheningan telah mengambil alih, bibirnya yang mengatup beku mendapat sentuhan dari Jake yang memberinya sebuah kecupan tak lebih dari dua detik. “Kecupan saja untuk malam ini,” ucap Jake sembari bangun dari posisi berbaringnya. “Akan lain cerita kalau aku melakukannya lebih dari itu, Laura,” lanjutnya kemudian beranjak turun dari tempat tidur. Laura masih terlalu terkejut untuk mengatakan apapun. Tetapi sepertinya pria i
Jake berusaha mengingat apa saja kalimat yang sekiranya ‘tidak wajar’ yang pernah dikatakan oleh Laura. Apa saja yang disampaikan oleh istrinya itu semenjak bangun dari operasi? Alis Jake berkerut. Sejauh yang ia ingat … sepertinya tidak ada yang aneh. Laura bahkan setuju saat Jake mengatakan bahwa mereka akan menghabiskan lebih banyak waktu di Guangzhou dan menganggap ini sebagai ‘bulan madu’ sebab mereka tidak pernah melakukannya sejak menikah. ‘Dia tidak pernah mengatakan sesuatu yang aneh,’ batin Jake menyetujui pemikiran panjangnya. Tepat setelah Jake berpikir demikian, benaknya yang lain justru sengaja memberinya beban, ‘Tapi bagaimana jika persetujuan Laura itu hanya agar aku merasa senang?’ Karena yang sebenarnya terjadi adalah Laura tidak akan mampu melakukan semua yang mereka janjikan itu sehingga ia memberi kenangan yang baik pada Jake selama mereka ada di rumah sakit. Benaknya benar-benar kacau! Kepanikan melandanya dalam waktu singkat sehingga saat Farren
“Benar bahwa terminal lucidity itu memang ada,” jawab Dokter Xiao. “Tetapi pada Bu Laura … itu tidak benar,” lanjutnya.Jake yang berdiri dengan alis berkerut berhadapan dengan Dokter Xiao seperti tak menemukan kata untuk membalasnya.‘Aku tidak salah dengar, ‘kan?’ tanyanya dalam hati. Dari alis lebatnya yang nyaris bersinggungan, kini keduanya melonggar, kembali ke tempat asal. “D-Dokter bilang apa?” ulang Jake yang membuat pria berkacamata itu tak bisa menahan senyumnya.“Kondisi Bu Laura cukup stabil sekarang ini, istri Anda kami pastikan tidak sedang mengalami apa yang Anda takutkan barusan, Pak Jake,” jawab Dokter Xiao.“Sungguh?”Dokter Xiao tampak menahan senyumnya melihat wajah Jake yang sepertinya belum sepenuhnya percaya.“Delapan puluh lima persen saya bisa menjaminnya. Kami akan terus memantau kondisi Bu Laura, saya dan istri Anda juga baru menyelesaikan sesi konsultasi, Pak Jake. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jelas beliau panjang.Lengannya yang terbalut di dalam
Dunia membeku di sekitar mereka berdiri, rona warnanya berubah menjadi lebih hangat. Debaran menyiksa yang tumbuh di antara keduanya seperti candu yang ingin mereka lakukan berulang kali. Kepala Jake masih tertunduk saat anggukan lirihnya tampak, dua helai bibirnya yang mengatup setelah mendapatkan kecupan Laura perlahan terbuka, “Aku mencintaimu, Laura.” Laura tersenyum saat tangan pria ini berpindah dari pinggangnya untuk menyentuh dagu kecilnya. Raut wajahnya seolah tengah bertanya, ‘Bagaimana denganmu?’ “Kamu tahu bahwa aku mencintaimu lebih dulu,” balasnya. Jake sepenuhnya mencerna balasan itu, sejatinya Laura ingin mengatakan bahwa Jake telah mengetahui seperti apa perasaannya, bahwa Laura lebih dulu jatuh cinta pada Jake jauh sebelum mereka menikah. “Aku pernah mendengar kamu bilang padaku kalau kamu akan berhenti menyukaiku jika aku merasa terbebani,” kata Jake, mengingatkan Laura akan hari di belakang sana, kalimat itu ia katakan saat keduanya bertengkar. “Aku takut
Laura sedikit menunduk untuk membalas tatapan Jake sebab sekarang ia sedikit lebih tinggi darinya. Matanya tertutup saat Jake mendekatkan wajahnya.Bibir mereka saling menyapa, mereka lakukan lagi seperti malam-malam sebelumnya dengan keadaan yang sedikit berbeda karena sekarang mereka tak lagi ada di ruang rawat di rumah sakit.Kamar presidential suite yang luas itu menjadi senyap, hanya ada napas keduanya yang memburu, menuntut lebih jauh.Laura melingkarkan kedua tangannya ke belakang leher Jake lebih erat saat pria itu menggigitnya, pagutan bibirnya terasa semakin dalam, menghangatkan dirinya, mengubah pipinya merona merah.“Laura,” bisik Jake setelah ia menarik wajahnya dari Laura, pria itu tersenyum sangat manis, sepasang netranya yang tampak sayu menerpa Laura yang tengah sibuk menata detak jantungnya.“I-iya,” tanggapnya, merasakan jemari besar Jake yang menyentuh sudut bibirnya saat manik mereka saling mengunci. Usapan itu seperti sedang membuatnya bersengketa. Pikirannya m
Fidel memandang ponsel yang sedang ada di tangannya, menunggu beberapa menit sejak pukul sembilan pagi, tetapi pesannya pada Jake sejak semalam tidak terkirim. “Dia benar-benar memblokir nomorku,” gumamnya kemudian melempar ponselnya di kursi yang ada di samping kemudi. Ia sedang ada di dalam mobilnya yang berhenti di belakang garis putih di persimpangan jalan, dalam perjalanannya menuju ke suatu tempat. Hela napasnya terasa berat, penuh dengan beban, tersirat keluhan bahwa ia mulai kehabisan akal untuk dapat mengambil alih keadaan seperti dalam kendalinya dulu. Fidel berpikir, selagi di sini ia menderita ... jauh di seberang sana terpisahkan oleh darat dan lautan seseorang tengah dihujani cinta yang besar oleh Jake. ‘Siapa lagi kalau bukan Laura,’ gumamnya dalam hati, benak yang penuh dengan kebencian tanpa pemberhentian. Ia kembali melaju saat melihat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Rahang kecilnya mengetat saat ia baru saja menghitung sudah berapa lama dua manusia—Lau