Joe membalas, "Ibu anak itu nggak mau pulang. Dia mau tinggal lebih lama di Kota Clasata. Aku akan bolak-balik saja .... Kadang kala, memang sulit untuk menghadapi wanita." Pembantu itu tersenyum sambil mengangguk setuju.Setelah duduk sebentar, Joe pergi ke ruang kerja di lantai dua. Dia ingin menyelesaikan pekerjaannya lebih awal sehingga bisa terbang ke Kota Clasata pada hari Jumat untuk menjenguk Olivia dan Marcella. Meskipun hanya menginap dua malam, itu sudah cukup.Pukul 2 dini hari, ketika Joe keluar dari ruang kerjanya, malam sudah sunyi sepi. Dia berjalan di lorong vila dan membuka pintu kamar utama, tempat dia dan Marcella pernah tinggal bersama.Joe berdiri di tengah kamar, lalu melepaskan dasi perlahan. Pada saat itu, rasa rindunya begitu kuat. Dia tidak akan menyangka, Yolanda sudah pergi ke Kota Clasata lebih dulu sebelum dia tiba.Di Kota Clasata.Marcella duduk di sebuah kafe. Di bulan Juni ini, dia mengenakan kemeja putih dengan selendang tipis berwarna abu-abu muda d
Suara Joe terdengar dingin ketika menjawab, "Ya, aku nggak tega."Yolanda tak bisa memercayai apa yang didengarnya. Dia sangat terkejut melihat Joe begitu melindungi Marcella.Padahal Yolanda belum melakukan apa-apa pada wanita itu, tetapi Joe sudah begitu khawatir. Rasa sakit di hatinya makin mendalam.Sementara itu, Joe berbalik dan berkata kepada Marcella, "Kamu pulang duluan. Aku akan bicara sebentar dengan dia, lalu pulang ke rumah."Pulang ke rumah? Kata-kata itu membuat Yolanda makin bingung. Joe bisa-bisanya menyebut tempat tinggal Marcella sebagai rumahnya. Lantas, dia yang dulu pernah menjadi tunangannya dianggap apa? Yolanda menatap Marcella yang pergi. Joe bahkan memapahnya dengan lembut. Jelas bahwa dia sangat ingin menyentuh wanita itu dan mementingkannya. Lalu, dia menganggap Yolanda apa?Setelah Marcella pergi, Joe menatap Yolanda lagi. Berhubung di kafe tidak boleh merokok, dia meletakkan bungkus rokoknya di atas meja.Tatapannya menjadi dingin, berbeda dari sikapnya
Olivia mungil dan berkulit putih bersih, tetapi rambutnya tidak banyak. Dia mirip seperti buah kiwi yang indah, sangat menggemaskan.Saat Joe membelai kepala putri kecilnya, Marcella merasa tidak nyaman sehingga mengganti posisinya. Hal itu membuat mantan suaminya tertawa pelan.Joe berbicara dengan suara serak, "Marcella, kita ini suami istri."Marcella memalingkan wajah sembari membantah, "Sudah bukan lagi."Joe duduk di sampingnya, lalu memeluk tubuhnya dengan lembut dari belakang bak seorang suami yang penuh kasih sayang.Joe menimpali, "Masih marah soal Yolanda? Aku sudah membatalkan pertunangan dengannya. Apa yang dia katakan jangan terlalu kamu pikirkan.""Aku dan dia nggak ada hubungan apa-apa sekarang .... Dulu, juga nggak pernah terjadi apa-apa di antara kami," tegas Joe.Marcella tanpa sadar menolaknya. Hanya saja, Joe tetap memeluknya dengan erat sambil mengajak main bayi kecil di pelukannya. Itu membuat wajah Marcella memerah dan jantungnya berdebar.Mereka pernah menjadi
Marcella memandang Joe. Lampu di kamar tidur sudah dimatikan. Dia hanya bisa melihat siluet Joe yang berbaring di sofa.Cuaca di bulan Agustus mulai dingin, tetapi tubuh Joe hanya ditutupi selimut tipis. Ucapan Selvy terus terngiang-ngiang di benak Marcella. Apa dia masih mencintai Joe?Marcella tidak bisa tidur karena memikirkan hal ini. Dia tampak gelisah. Di tengah kegelapan, terdengar suara Joe yang serak. "Kalau kamu nggak bisa tidur, kita bisa melakukan hal lain."Marcella tidak bisa berkata-kata. Dia merasa Joe sangat tidak tahu malu. Namun, perasaan Marcella kalut.Jadi, Marcella hendak pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menenangkan dirinya. Saat baru bangkit, Joe meraih tangan Marcella. Kemudian, Joe berbaring di samping Marcella dan memeluknya dengan erat.Marcella tertegun sejenak, lalu berujar, "Joe!"Joe hanya memeluk Marcella dan tidak melakukan apa pun. Dia membenamkan wajahnya di leher Marcella dan berucap, "Marcella, kita sudah lama nggak tidur bersama."Marce
Pada pukul 9 pagi, Joe membawa Marcella dan Olivia ke rumah sakit. Di dalam mobil, Joe memandangi Marcella dan Olivia yang duduk di kursi penumpang belakang sambil berpesan dengan lembut.Marcella mengangguk, tetapi Joe tidak langsung menjalankan mobil. Joe berkata dengan lembut, "Kamu ikut aku pulang ke Kota Brata, ya? Kalau kamu mau menjenguk ibumu, kita bisa sama-sama datang ke sini.""Marcella, aku ingin hidup bersamamu dan Olivia setiap hari. Kita menikah lagi, ya?" lanjut Joe.Marcella tertegun. Joe tidak memperbolehkan Marcella menghindar. Dia menatap Marcella sembari bertanya, "Apa kamu belum berubah pikiran setelah memikirkannya semalaman?"Sebelumnya, Marcella pasti akan menolak Joe dengan tegas. Namun, dia mulai ragu setelah kejadian semalam. Marcella membelai wajah Olivia dan menceletuk, "Aku pertimbangkan lagi."Joe mengomentari, "Masa muda pria ada batasnya.""Kalau begitu, kamu cari wanita lain saja," timpal Marcella dengan kesal.Joe tertawa. Dia terdengar gembira. Tent
Darah mengalir dari dahi Joe sampai ke hidungnya dan kap mobil. Seketika, suasana di sekeliling menjadi sunyi. Hanya tersisa suara darah Joe yang menetes.Joe memegang kap mobil dan berusaha untuk berdiri, tetapi tubuhnya terasa lemas. Akhirnya, Joe hanya mengejap. Dia memandangi Marcella dan Olivia. Mereka berdua adalah segalanya bagi Joe.Marcella berbalik. Dia melihat tubuh Joe yang berlumuran darah jatuh ke tanah. Marcella terkejut dan tidak bisa bersuara. Bahkan, dia tidak bisa memanggil nama Joe.Marcella terpaku di tempat sambil menatap Joe untuk beberapa saat. Dia merasa seakan-akan waktu berlalu sangat lambat. Marcella kesulitan untuk menghampiri Joe.Marcella membatin, 'Joe, kamu nggak boleh mati. Aku belum memaafkanmu. Joe, anak kita baru berusia 3 bulan dan kita belum melihatnya tumbuh besar. Kita belum melihat dia melewati setiap proses kehidupan dan kita belum ... rujuk.'Akhirnya, Marcella menghampiri Joe. Dia mengguncang tubuh Joe seraya menggendong Olivia. Marcella ber
Waktu menunggu terasa sangat lama. Semua keluarga Joe menunggu di depan pintu ruang operasi. Mereka menatap lampu yang menyala di atas ruang operasi dengan penuh harap.Olivia yang sedang digendong Ivander sepertinya merasakan sesuatu. Dia membuka mata memandang wajah pamannya. Mata hitamnya tampak berair.Marcella tidak berkedip. Dia tidak mau duduk dan terus berdiri di depan pintu ruang operasi selama beberapa jam. Ketika matanya mulai perih dan tubuhnya hampir terjatuh, pintu ruang operasi akhirnya terbuka dari dalam.Ahli bedah yang bertanggung jawab atas operasi Joe keluar. Dia melepaskan masker mulut, lalu tersenyum kepada Keluarga Chandra. Katanya, "Operasinya berhasil. Meskipun limpanya sudah diangkat, ini nggak akan memengaruhi kehidupannya di kemudian hari."Mendengar ini, Keluarga Chandra menghela napas lega. Kaki Marcella seketika terasa lemas. Untung Satya memapahnya tepat waktu.Satya selalu menyayangi menantu perempuannya. Jadi, dia memanfaatkan kemampuan finansialnya un
Septi juga memohon. Situasinya sangat tidak menyenangkan.Satya menunduk memandang wanita yang malang itu sambil tersenyum sinis. Dia berujar, "Aku bisa membebaskannya. Tapi, apa dia bisa melepaskan Joe, Marcella, dan anak mereka? Apalagi, kalau pun aku membebaskannya, pihak jaksa juga nggak akan mengampuninya."Rosa tercengang. Dia tidak menyangka meskipun mendapatkan surat pengampunan yang ditandatangani Keluarga Chandra, Yolanda tetap tidak bisa terbebas dari tuduhan.Rosa tidak sanggup menahan pukulan ini. Dia seketika terkulai lemas di lantai dan bergumam, "Bagaimana mungkin? Jelas-jelas pengacara itu bilang asalkan mendapatkan surat pengampunan dari kalian, Yolanda akan baik-baik saja."Satya menimpali dengan suara rendah, "Sejak aku masuk, kalian nggak menanyakan keadaan putraku. Kalian hanya peduli pada surat pengampunan!""Aku tegaskan aku nggak akan menandatangani surat pengampunan. Keputusan ada di tangan putraku! Nggak ada gunanya kamu berlutut," tegas Satya.Rosa tidak bis