Michelle hanya bisa mendengkus kesal dan tidak berdaya menolak permintaan Roland. Bahkan Michelle mengizinkan pria keras kepala itu menyetir dalam keadaan terluka menuju penginapan.Padahal Michelle telah berinisiatif menyetir karena kondisi Roland yang sedang tidak dalam keadaan baik. Tetapi, berdebat dengan pria keras kepala itu adalah hal yang sia-sia dilakukan. Sehingga Michelle berakhir duduk di sebelah Roland yang tenang mengemudi.“Kita sudah sampai?” tanya Michelle ketika Roland menghentikan laju mobil di depan penginapan. “Aku akan turun dan memesan kamar—”“Aku saja!” Roland menyela cepat, secepat dia terburu-buru melepaskan seat belt. “Kau diam saja di sini sampai aku kembali.”Michelle didikte habis-habisan oleh Roland yang keluar tanpa mendengarkan balasan sedikit pun. Wanita cantik itu terperangah sampai mulutnya menganga kecil, bahkan Michelle tak berkedip oleh suara pintu mobil yang ditutup cukup kasar akibat Roland terburu-buru.Perubahan sikap Roland sangat memusingk
Michelle menepis lemah tangan Roland. “Aku mulai kedinginan dan ingin segera mengganti pakaian.”Michelle berpaling pergi tanpa menunggu jawaban Roland. Dia sengaja menghindar karena lagi-lagi menghadapi emosi Roland yang membingungkan.“Kamarku ada di lantai berapa?” tanya Michelle kepada Roland yang mengikuti dari belakang.“Hanya tersisa satu kamar. Jadi, kita akan berada satu kamar malam ini.”Michelle terkejut sampai refleks menghentikan langkah, sementara matanya telah membulat sempurna dengan sorot tajam pada Roland yang melewatinya sangat tenang.“Roland!” Michelle mendikte dengan terburu-buru mencegah langkah Roland yang telah berada di lobby. “Kau bercanda? Bagaimana mungkin hanya tersisa satu kamar?” lanjut memprotes dengan wajah memerah marah.“Apa aku pernah bercanda?” Roland menyahuti tenang.“Pasti kau sengaja memesan satu kamar. Di luar hanya mobilmu dan beberapa kendaraan milik orang lain yang terparkir. Bagaimana bisa hanya ada satu kamar yang tersisa?” Michelle menc
Terserah apa yang diminta Roland, Michelle tidak akan peduli! Wanita cantik itu menggeram kesal, matanya menyorot sinis tanpa rasa takut seujung kuku. Michelle sampai membanting kasar pintu kamar mandi ketika memilih menenggelamkan diri di sana.Dan ketika berhasil menjauh dari Roland, Michelle masih menatap sinis pintu kamar mandi yang seolah-olah itu adalah Roland.“Aku mimpi apa kemarin? Sampai tertimpa sial bertubi-tubi seperti ini,” Michelle mengeluh kesal di depan wastafel.Jika bisa memilih, Michelle sudah menyerah berhadapan dengan Roland. Salah! Jika Michelle tidak kesulitan keuangan, sudah pasti Michelle berhenti dari pekerjaannya.Batinnya tidak akan tertekan. Dia juga tidak merasa gelisah setiap kali bertindak kepada Roland. Michelle juga tidak akan menerima penghinaan dari Roland yang bermulut tajam.Sayangnya, Michelle dipaksa menghadapi. Keungannya saat itu tidak memungkin Michelle bertindak egois. Dia masih harus bertanggung jawab atas mobil Roland yang dia tabrak. Mic
Demi apa pun, Michelle tak bisa bereaksi lebih selain mendengkus kesal sampai mulutnya menganga kecil. Padahal dulu jangankan menggigit bekas gigitan orang lain, jika alat makannya tidak disterilkan dengan benar Roland tidak akan mau menggunakannya. Tapi detik itu Roland dengan santai kembali menggigit sandwich di tangannya Michelle.“Ini sandwich-ku.” Michelle berusaha menegur Roland yang mungkin saja bertindak keliru.“Memangnya kenapa? Rasanya kan sama saja dengan milikku.” Roland sangat santai menanggapi, sesantai dia duduk menatap Michelle.“Aku sudah menggigitnya.” Michelle sedikit menekan agar Roland memahami maksudnya.“Kau khawatir aku menggigit bekas gigitanmu?” Roland menyeringai tipis. Perlahan-lahan bibirnya terbuka membentuk senyuman manis melihat Michelle yang telah merona merah. “Tidak apa-apa, Michelle. Dulu kita selalu saling menggigit bibir sampai bertukar air liur.”Astaga, Roland! Tidak perlu ditanyakan lagi bagaimana jengkelnya Michelle. Dengan mata yang membelal
Kehangatan malam itu melebur setelah Roland beranjak pergi. Tidak ada kalimat permintaan maaf atau apa pun yang terdengar selain alasan Roland memilih tidur di mobil.Michelle menyambut baik keputusan Roland. Dia bersyukur diberi ruang lebih untuk menata perasaan dari sentuhan yang mendebarkan, yang membuat Michelle hampir tenggelam dalam sentuhan panas bibir Roland.Hampir semalaman Michelle bersikeras menata perasaannya. Dia tidak boleh bertindak ceroboh yang menunjukkan dia dilema oleh sentuhan jejak manis bibir Roland.Sayangnya, kecemasan itu berakhir sia-sia. Michelle tidak bertemu Roland keesokan hari. Dia hanya bertemu David yang menyusul ke penginapan. Lewat David, Michelle mengetahui bahwa Roland lebih dulu kembali karena kepentingan mendadak. Hingga akhirnya Michelle pulang bersama David dengan menempuh jalur darat.Segala urusan pekerjaan tak memiliki hambatan. Semua berjalan lancar sesuai harapan. Namun, Michelle menaruh kecurigaan yang menggelisahkan jiwa.Michelle tak l
Sederet kalimat pengakuan sudah terangkai di ujung lidah. Michelle sudah frustrasi terdesak oleh perkataan David. Apalagi David yang mengawasi ekspresi dengan tatapan tajam semakin mendesak Michelle ingin mengakui segala antara dirinya dan Roland.“Jika Roland melakukan hal buruk padamu, aku akan memukulnya.”Mata Michelle melebar ketika David tiba-tiba bersuara. Michelle juga bingung pada David yang ekspresi berubah dengan cepat. Di depannya, David telah berdecak kesal tanpa ada sikap curiga yang mengintimidasi Michelle.“Aku saja tidak berani mengganggumu. Jika dia berani melakukannya, aku akan memukulnya karena sudah berani mengganggu pegawaiku yang berharga. Lagi pula, kau tidak akan terpengaruh pada orang seperti Roland kan, Michelle? Aku yang lemah lembut saja tidak berhasil mendapatkanmu, apalagi Roland!”Samar-samar Michelle menghela napas karena lega kekhawatirannya tidak benar-benar terjadi. Dia bersyukur David tidak menaruh kecurigaan lebih terhadap dirinya dan Roland.“Tid
“Tuan muda Axel, mari kita pulang.” Suara bariton yang menegur dari arah belakang telah menginterupsi pembicaraan.Seketika Michelle menoleh ke arah suara. Seorang pria berusia matang dengan pakaian berkemeja rapi telah berdiri tak jauh dari Michelle.“Dia adalah sopirku, Bibi.” Axel mengenalkan pria itu kepada Michelle.“Paman ini pernah mengantarku sewaktu Axel dan ibunya mengantarku pulang, Mom.” Leah ikut menimpali.Michelle tersenyum hangat setelah sempat melayangkan tatapan waspada, tak lama kemudian dia tak lupa mengenalkan diri. “Halo, saya ibunya Leah.”Pria itu merunduk dengan penuh rasa menghomati, kemudian tatapannya tertuju kepada Axel. “Mari kita pulang, Tuan muda Axel.”“Leah dan ibunya mengajak aku bermain di rumah mereka. Apakah Paman bisa menelepon Mommy dan memberitahukan hal ini?” pinta Axel penuh harap.“Nyonya memerintahkan saya untuk mengantar Anda ke rumah setelah pulang sekolah. Selain itu, Nyonya sudah pasti tidak bisa dihubungi karena Nyonya sedang dalam seb
Tea time sore itu diadakan di taman yang berada di halaman belakang rumah. Suasana senja yang tidak terlalu panas oleh terik matahari, semilir angin yang menyejukkan menyatu dengan keindahan taman yang terawat itu menjadi suasana menenangkan.Seharusnya suasana itu menjadi pengobat emosi Roland yang telah dilelahkan oleh pekerjaan. Sayangnya, momen sempurna itu dirusak oleh orang-orang yang mengisi kursi pada meja.Jullian—ayah Roland berada di pangkal meja yang bersebelahan dengan Roland. Di depan Roland ada Odelia Philip—ibu tirinya yang bersebelahan dengan Valencia Philip beserta suaminya. Sementara Ella duduk dengan manis di sebelah Roland.Posisi pasti sudah diatur tanpa Roland ketahui, sama seperti kehadiran Ella. Roland akan bertahan berhadapan dengan Jullian dan yang lainnya, tetapi kehadiran Ella menjadi puncak rasa memuakkan Roland.Secangkir teh daun mint yang disajikan sedikit menahan emosi Roland, termasuk cufflink biru yang sejak tadi Roland mainkan di bawah meja.“Aku s