“Keluar.”Mata Michelle melebar pada kalimat yang penuh perintah itu. Meskipun dilafalkan dengan tenang, Michelle tahu jika perkataan itu tak boleh dibantah.“Keluar dari mobil ini sekarang juga.” Mata tajam Roland mendikte tegas kepada Michelle yang terperangah kaku.Emosi Roland benar-benar memusingkan! Sebelumnya dia melarang Michelle keluar dari mobil. Dia rela berlari sampai basah demi memenuhi yang Michelle butuhkan. Tapi, sekarang dia mengusir Michelle tanpa peduli keadaan Michelle dan derasnya hujan.Segenap perasaan benci telah menyelimuti hati Michelle. Matanya memerah, wajah cantiknya pun telah memerah kesal. Di dalam hati Michelle merutuk kesal, seharusnya enam tahun lalu dia menyumpahi Roland lebih sadis dari sekadar tidak menemukan kebahagiaan sebelum bersujud meminta maaf di kaki Michelle. Harusnya Michelle menyumpahi Roland mati saja.Karena sampai detik itu pun Roland tetap terlihat baik, jauh lebih baik seolah sumpah Michelle tidak memiliki efek sedikit pun terhadap
Roland menghentikan mobil yang dikendarai sendiri di tepian jalan. Dia memukul kesal setir kemudi, menumpahkan emosi yang tak bisa ditahan.Roland sangat tersinggung pada Michelle yang menuduhnya sembarangan. Padahal dia sudah menunjukkan kepedulian yang tak pernah dilakukan sebelumnya.Roland memahami Michelle yang kesakitan menyambut siklus bulanan, tanpa Michelle beri tahu. Pria itu juga menawarkan untuk pergi bersama, padahal dia tidak memerlukan apa pun saat itu.Roland bisa saja menyuruh Daniel secara diam-diam tanpa dia turun tangan. Dia bisa menyuruh Daniel memenuhi kebutuhan Michelle, kemudian diam-diam memberikan hal itu kepada Michelle tanpa David ketahui.Tetapi, melihat Michelle yang berusaha menahan sakit telah menghasut jiwa Roland sampai bertindak impulsif. Walaupun terselimut gengsi, dia bertindak tulus membantu Michelle sampai rela tubuhnya sedikit basah akibat berlari menuju apotek.“Dasar wanita keras kepala! Dia marah sampai membanting pintu seperti itu?!” Roland
Plak! Michelle berhasil menepis tangan pria di depannya yang mencoba menyentuh pipinya. Wanita itu beringsut ke belakang, berusaha menjauh dari pria pemabuk yang mencoba mengganggu.“Wanita galak memang menari. Kau kedinginan, kan? Ayo, ikut saja denganku.”“Jangan sentuh aku!” Michelle memekik marah ketika pria itu kembali mencoba menyentuhnya.“Kau suka memukul? Ah, pukul aku saja nanti di ranjang. Ayo, kita cari hotel di dekat sini. Atau jika kau tidak sabar, kita bisa melakukannya di mobil.”Plak! Kali itu Michelle berhasil mendaratkan tangannya dengan keras di wajah pria itu. Gerakan nekat itu Michelle lakukan karena sudah jijik dengan mulut pria itu. Michelle sampai merinding setiap kali pria itu membuka mulut. Aroma alkohol yang menyengat dan memusingkan kepala membuat Michelle ingin melarikan diri.Bukannya sadar, pria itu malah seperti kesetanan menatap Michelle. Dia melotot kepada Michelle, seperti ingin memakan Michelle atas perbuatan Michelle yang memicu amarah.“Beraninya
Di depan jendela, David memandangi cuaca di luar ruangan, di mana ritme hujan tak sederas sebelumnya. Angin yang berkecamuk pun telah lenyap, sudah tenang mengikuti ritmen hujan.Namun, David masih saja diselimuti kegelisahan di dalam sikap tenangnya. Pria itu masih terpikirkan mengenai Michelle. Begitu menyesal mengizinkan Michelle pergi di tengah cuaca buruk yang baru saja terjadi.Sebagai seorang atasan yang bertanggung jawab, harusnya David-lah yang menemani Michelle. Sehingga saat itu David tidak diselimuti rasa cemas yang membuatnya tak tenang.Kecemasan David semakin menumpuk setelah Daniel memberitahu perihal Roland dan Michelle yang memutuskan menginap di daerah perkotaan itu.Roland adalah individu yang acuh terhadap orang lain. Dia bukan tipekal perasa, tidak akan peduli terhadap orang yang tidak bersinggungan pada hidupnya.Roland juga tak akan merepotkan diri pada hal-hal yang tidak akan menguntungkan dirinya, kecuali jika Roland menaruh minat pada orang itu.Apa Roland t
Michelle hanya bisa mendengkus kesal dan tidak berdaya menolak permintaan Roland. Bahkan Michelle mengizinkan pria keras kepala itu menyetir dalam keadaan terluka menuju penginapan.Padahal Michelle telah berinisiatif menyetir karena kondisi Roland yang sedang tidak dalam keadaan baik. Tetapi, berdebat dengan pria keras kepala itu adalah hal yang sia-sia dilakukan. Sehingga Michelle berakhir duduk di sebelah Roland yang tenang mengemudi.“Kita sudah sampai?” tanya Michelle ketika Roland menghentikan laju mobil di depan penginapan. “Aku akan turun dan memesan kamar—”“Aku saja!” Roland menyela cepat, secepat dia terburu-buru melepaskan seat belt. “Kau diam saja di sini sampai aku kembali.”Michelle didikte habis-habisan oleh Roland yang keluar tanpa mendengarkan balasan sedikit pun. Wanita cantik itu terperangah sampai mulutnya menganga kecil, bahkan Michelle tak berkedip oleh suara pintu mobil yang ditutup cukup kasar akibat Roland terburu-buru.Perubahan sikap Roland sangat memusingk
Michelle menepis lemah tangan Roland. “Aku mulai kedinginan dan ingin segera mengganti pakaian.”Michelle berpaling pergi tanpa menunggu jawaban Roland. Dia sengaja menghindar karena lagi-lagi menghadapi emosi Roland yang membingungkan.“Kamarku ada di lantai berapa?” tanya Michelle kepada Roland yang mengikuti dari belakang.“Hanya tersisa satu kamar. Jadi, kita akan berada satu kamar malam ini.”Michelle terkejut sampai refleks menghentikan langkah, sementara matanya telah membulat sempurna dengan sorot tajam pada Roland yang melewatinya sangat tenang.“Roland!” Michelle mendikte dengan terburu-buru mencegah langkah Roland yang telah berada di lobby. “Kau bercanda? Bagaimana mungkin hanya tersisa satu kamar?” lanjut memprotes dengan wajah memerah marah.“Apa aku pernah bercanda?” Roland menyahuti tenang.“Pasti kau sengaja memesan satu kamar. Di luar hanya mobilmu dan beberapa kendaraan milik orang lain yang terparkir. Bagaimana bisa hanya ada satu kamar yang tersisa?” Michelle menc
Terserah apa yang diminta Roland, Michelle tidak akan peduli! Wanita cantik itu menggeram kesal, matanya menyorot sinis tanpa rasa takut seujung kuku. Michelle sampai membanting kasar pintu kamar mandi ketika memilih menenggelamkan diri di sana.Dan ketika berhasil menjauh dari Roland, Michelle masih menatap sinis pintu kamar mandi yang seolah-olah itu adalah Roland.“Aku mimpi apa kemarin? Sampai tertimpa sial bertubi-tubi seperti ini,” Michelle mengeluh kesal di depan wastafel.Jika bisa memilih, Michelle sudah menyerah berhadapan dengan Roland. Salah! Jika Michelle tidak kesulitan keuangan, sudah pasti Michelle berhenti dari pekerjaannya.Batinnya tidak akan tertekan. Dia juga tidak merasa gelisah setiap kali bertindak kepada Roland. Michelle juga tidak akan menerima penghinaan dari Roland yang bermulut tajam.Sayangnya, Michelle dipaksa menghadapi. Keungannya saat itu tidak memungkin Michelle bertindak egois. Dia masih harus bertanggung jawab atas mobil Roland yang dia tabrak. Mic
Demi apa pun, Michelle tak bisa bereaksi lebih selain mendengkus kesal sampai mulutnya menganga kecil. Padahal dulu jangankan menggigit bekas gigitan orang lain, jika alat makannya tidak disterilkan dengan benar Roland tidak akan mau menggunakannya. Tapi detik itu Roland dengan santai kembali menggigit sandwich di tangannya Michelle.“Ini sandwich-ku.” Michelle berusaha menegur Roland yang mungkin saja bertindak keliru.“Memangnya kenapa? Rasanya kan sama saja dengan milikku.” Roland sangat santai menanggapi, sesantai dia duduk menatap Michelle.“Aku sudah menggigitnya.” Michelle sedikit menekan agar Roland memahami maksudnya.“Kau khawatir aku menggigit bekas gigitanmu?” Roland menyeringai tipis. Perlahan-lahan bibirnya terbuka membentuk senyuman manis melihat Michelle yang telah merona merah. “Tidak apa-apa, Michelle. Dulu kita selalu saling menggigit bibir sampai bertukar air liur.”Astaga, Roland! Tidak perlu ditanyakan lagi bagaimana jengkelnya Michelle. Dengan mata yang membelal