Di dalam paginya yang kelabu, Alex merasa sangat ganjal dengan situasi ini. Alex yang memang masih berada dalam masa keterpurukannya mengerjapkan mata dengan berat, memandangi situasi yang sedikit membingungkan baginya. Pun Alex bangkit, meninggalkan ranjangnya yang luas demi mengawali harinya seperti biasa. Alex bersiap dengan langkah beratnya, tetapi Alex terhenti ketika seseorang menggedor pintu kamarnya. "Tuan! Tuan Alex!" Suara berat Resham yang tak biasa itu mengundang kegundahan di benak Alex, apa lagi Resham dikenal berwibawa sungguh tak pernah sepanik itu. Alex bergegas membuka pintu kamarnya, mendapati Resham bersama roman wajah yang tak terkontrol itu. "Mengapa kamu seperti ini, Resh? Ada apa kamu panik di pagi hari seperti ini?" Tanya Alex berupaya tenang. "Tu-tuan—nyonya Lia—" ucap Resham terbata-bata, bahkan menjeda kalimatnya begitu lama hingga menambahkan resah di dalam diri Alex. "Ada apa? Jangan seperti ini!" "Nyonya Lia dinyatakan koma di Paris, tuan!
"Hahaha! Lihat saja, kamu akan mati di tanganku! Kamu tak bisa lepas dariku, Lia! Hahaha!" Natalia Nawasena terus berlari, mendapati langkahnya yang mulai memasuki hutan kota. Lia sendiri bingung, mengapa dirinya seolah akan berakhir di tempat yang sama dengan tempat yang dipilih oleh Jacob Sagara setahun yang lalu. Walau begitu Lia tak pantang menyerah. Dia terus berlari, mengupayakan penyelamatan diri dari kejaran seorang wanita gila yang tak lain adalah Erika Odeline. Nafas Lia mulai memburu, kakinya yang berpijak mulai menahan sakit yang luar biasa. "Ah!" Ringis Lia yang tak sengaja tersandung akar besar dari pepohonan rimbun. Lia hendak bangkit, tetapi kakinya sudah lebih dulu dicegat dengan injakan itu. Lia semakin kesakitan. "Ah!" "Rasakan pembalasanku, Lia." Ujar Rika penuh kebahagiaan dan menjulurkan senapannya pada wajah Lia. "Selamat tinggal, wanita rendahan!" Dor! Dor! "Tidak!" Teriak Lia dengan mengerjapkan matanya, menemukan dunia di sekitarnya yang be
Mendapati panik yang melanda Lia, mengundang kesenangan tersendiri bagi Rika. Dia tertawa, melihat Lia seolah menemukan mangsa empuk. "Lia, Lia. Apa kamu kira aku berakhir begitu saja? Aku adalah anak konglomerat yang mudah melakukan semuanya! Orang tuaku tak akan tinggal diam melihatku terpenjara karenamu!" Tangan Lia semakin erat memeluk Alesia, was-was bila saja Rika mendadak melakukan tindakan kriminal yang tak terduga. "Bukan salahku kamu dan Jacob dijebloskan ke penjara, Rika." "Apa katamu? Bukan salahmu? Kamu memang manusia yang tak tahu diri!" "Kalimatmu lebih pantas kamu katakan pada dirimu sendiri." Tak perlu menunggu lama, amarah Rika yang pada dasarnya temperamental itu melunjak. "Kamu selalu menganggapku mudah, bukan? Tetapi lihat! Sekarang kamu sendiri, Lia! Tak ada lagi Alex yang akan menjagamu, hahaha!" Lia meneguhkan dirinya dengan mengepalkan kedua tangan. "Bahkan jika aku benar-benar sendiri, aku bisa menghadapimu, Rika." Rahang Rika mengeras, tak mendu
Dalam hening dan penantian, Alex hanya bisa melihat kepasrahan Lia yang menunggu di depan ruang operasi. Ya, keduanya tengah menunggu harapan akan nasib Alesia. Kesekian kalinya Alex harus menatap Lia yang meratapi derita di dalam angan, di mana Lia baru saja bangkit dari keterpurukan. Status Alex dan Lia memang belum menemukan titik kejelasan, tetapi Alex berupaya hadir di saat-saat terendah Lia. Dua jam berlalu, belum ada dokter yang keluar untuk memberi kabar terbaru mengenai Alesia. Entah sadar atau tidak, Lia hanya bisa bersandar pada tubuh Alex. Sementara itu, Alex terbawa arus kesedihan Lia. Membuatnya memutar kilas balik di dalam kepalanya seorang pada tempo hari di rumah tuan Erik. Jika saja Alex tak mendesak tuan Erik untuk memberikan informasi mengenai keberadaan Lia dan Alesia di Paris, mungkin saja Alex akan lebih menyesal karena membiarkan Lia seorang diri melewatkan derita ini. "Kakek, dia berada dalam bahaya. Aku mohon beritahu aku di mana dia saat ini." Desak
Erika Odeline terlihat keluar dari sebuah kantor kepolisian di kota Paris. Wajahnya tampak sumringah, menambahkan kebahagiaan dan kekejaman dalam waktu yang bersamaan. "Sudah kubilang, kalian tak mampu untuk mengekang ku di balik jeruji. Hahaha!" Seru Rika berbicara seorang diri sebelum masuk ke dalam mobil. Rika dengan santainya memasuki kendaraannya, melesat seperti orang yang menggila dan kehilangan arah. Lambat laun Rika merasa sepi melahap dirinya, dengan sendirinya Rika menepikan mobilnya. "Ada apa denganku? Tidak!" Wanita itu terus meracau seorang diri di dalam mobilnya, bahkan Rika tak tahu bagaimana caranya untuk menghentikan semua bisikan yang berlangsung di dalam kepalanya. Beberapa menit kemudian, sorotan lampu cahaya dari sebuah mobil menerangi pandangan Rika. Kedua mata Rika memincing, begitu silau akan sorot lampu mobil tersebut. Tentu Rika dibuat penasaran. Namun dalam sekejap, rasa penasarannya terjawab. Pengawal kepercayaan Alex, yang tidak lain adalah Re
Pagi hari dengan sinar mentari seolah berlawanan dengan duka yang masih menyelimuti Lia dan Alex. Sudah beberapa hari sejak duka itu. Dan Lia masih berdiam diri di dalam kamarnya. Alex setia untuk menanti wanita itu, walau Alex kini belum bisa untuk berada di dalam satu kediaman bersama Lia. Alex dengan membuat Lia risih padahal dia masih berkabung. Walau begitu, Alex sudah mengantongi izin dari Tuan Erik untuk menunggu Lia setiap hari di dalam rumah atau apartemen Lia. Semua pekerjaan Lia terbengkalai, dan itu bukanlah hal penting lagi. Sesekali Alex melihat Lia di kamarnya, membawa nampan berisikan makanan, meski Lia tidak mau memakan apa pun yang dibawa untuknya. Wajar saja, mengingat Lia sangat sangat terpuruk akan dukanya. Kini Alex sedang berada di ruang tengah apartemen Lia. Menunggu Lia yang masih menunjukkan tanda-tanda enggan keluar dari dalam kamarnya. Tanpa disangka, Evan datang dan membuat Alex mengira itu hanya hal biasa. "Ada yang bisa kubantu?" Tanya Alex den
Malam yang kelabu membawa dampak yang serius pada jiwa Alex. Pria itu hanya bisa termangu menetap Lia yang masih tak sadarkan diri dengan pergelangan tangan yang dibalut gulungan kapas. Dalam hati Alex berkata, 'aku lakukan apa yang kubisa selagi kamu benang dibuatnya. ' Tentu Alex lelah, Alex hanyalah manusia biasa yang tak mengira bahwa keputusannya untuk menikahi Lia akan membawa petaka yang tak terduga. Alex menunduk, menatap sepasang sepatu hitam yang digunakannya. "Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku sangat mencintaimu Natalia. Kamulah manusia yang sangat berarti untukku, dan aku tak akan pernah menghianatimu." Ujar Alex pada keheningan malam yang sendu. "Ingin sekali kujelaskan padamu, bahwa hari di mana kamu mengira aku menghianatimu, itu bukanlah sesuatu hal yang sungguh terjadi. Saat itu aku dijebak oleh Maya yang di mana merupakan utusan Rika di dalam penjara." Kedua mata Alex terpejam. "Bahkan saat berada di balik jeruji maupun rumah sakit jiwa, mereka benar-bena
Hari demi hari berlalu, Natalia Nawasena masih menjalani perawatan baik itu dalam segi mental dan luka yang dibuatnya pada pergelangan tangan sendiri. Di samping itu, Alex masih setia menemani Lia dan tak ingin melewatkan 1 detik pun. Di sisi lain, Alex bersyukur karena dirinya tidak pernah mengajukan perceraian secara sah karena menurut Alex, dia masih mampu mempertahankan hubungan yang telah dilanda oleh banyak ujian tersebut. Hari ini, Lia baru saja selesai melakukan sesi konsultasi dengan dokter kesehatan mental di Paris. Tentu Lia bersama dengan Alex, yang ingin memberikan hal-hal terbaik pada Lia. "Apa kamu ingin sesuatu?" Tanya Alex pada Lia ketika mereka sudah berada di dalam kendaraan. "Kita bisa membeli sesuatu, kalau kamu ingin, sebelum kita sampai di apartemen milikmu." Lia menimpali. "Tidak, aku hanya ingin beristirahat. " Alex mengangguk. "Baik, kita akan langsung pulang ke tempatmu saja." Ucapan Alex membuat Lia sekadar tersenyum simpul, kemudian menikmati pe
Pada pagi yang cerah, Alex mengerjapkan matanya dengan seksama, menemukan langit-langit kamarnya yang menyambut hari itu. Reflek Alex merenggangkan otot-otot tubuhnya, dan secara tidak sengaja menyentuh kulit lembut Lia yang juga masih terlelap di sampingnya. Merasakan sentuhan itu, Lia perlahan tersadar. "Ah, maaf sayang." Kata Alex yang lalu memeluk Lia perlahan. Sentuhannya masih saja sama, menghangatkan dan penuh kasih. Lia hanya tersenyum, kemudian berbalik demi membalas pelukan kasih sang suami. "Selamat pagi sayang." Katanya. "Selamat pagi juga untukmu." "Bagaimana hari ini? Apa kamu akan berangkat lebih awal lagi seperti kemarin?" Alex terdiam dan mempertimbangkan, kemudian menjawab. "Sepertinya tidak perlu, aku bahkan cuti sebanyak dua hari." Dahi Lia mengernyit. "Benarkah?" "Ya." Alex mengangguk. "Rasanya ingin menghabiskan waktu bersamamu dan Reksa setelah sekian lama tak memilikinya." Lia mendengkus. "Apa semuanya akan baik-baik saja jika kamu tetap cuti hari ini
"Kita sudah sampai tuan." Ucap seorang pengawal membuat Evan tersadar dari lamunannya di dalam kendaraan yang membawanya pulang. Evan terdiam sejenak, dan melihat ke arah depan mobil tersebut. Dilihatnya kediaman yang sudah beberapa bulan menjadi huniannya, juga menjadi heran ketika menemukan sebuah mobil tak dikenalnya terparkir di depan pintu masuk. "Mobil siapa itu?" Tanya Evan masih kebingungan. "Apa Rika membeli mobil baru? Karena sudah tidak mungkin dia menerima tamu di waktu malam seperti ini." Pengawal terdiam, sedikit ragu menjawab sang tuan dan membuat pria itu semakin menaruh curiga. Tanpa isyarat Evan segera keluar dari dalam mobil, melangkah terburu-buru ke dalam rumahnya dan Rika. Evan semakin terkejut ketika menemukan beberapa lembar pakaian yang berserakan di atas lantai. 'A-apa apaan ini?' Batin Evan mulai merasa marah di atas curiganya. 'Apa dia berselingkuh?!' Evan terus melangkah, menemukan pintu kamar pribadinya dan Rika yang sedikit terbuka. Terdengar suara
Satu tangan Erika Odeline terkepal, mendengar fakta bahwa Evan, pria yang dikenal sebagai suaminya sedang berada di dalam tahanan. "Apa yang membuatnya ditahan di dalam sana?" Tanya Rika pada salah satu pengawalnya. "Apa ini berkaitan dengan masalah perusahaan Adarsa dan Agensi Star Music?" Pengawal Rika mengangguk. "Ya nyonya, tuan Evan dituntut atas kasus percobaan penculikan, dan penyalah gunaan dokumen penting atas aset orang lain." "Apa? Orang lain?" Ulang Rika dengan nada bicaranya yang berapi-api. "Orang lain katamu?!" Kekesalan Rika menyebabkan pengawalnya menunduk. "Maaf nyonya." "Sial! Aku sudah memberi umpan agar Evan bisa mengklaim aset aset itu secara gamblang, tapi apa yang selama ini dia lakukan?!" Rika terdiam sejenak, lalu mendadak histeris menyerukan kekesalannya. Tentu, tak ada yang berubah dari wanita temperamental seperti Rika yang sangat mudah memelihara ego dan amarahnya. Bahkan setelah banyak hal dan hukuman yang Rika lalui, dia masih saja membena
Menyusul di penghujung hari, Alex yang cukup lelah pun tiba di kediamannya. Lelah membuat Alex lebih banyak diam, terus berjalan masuk dan menemukan kehadiran Lia di dalam kamar pribadi mereka. Ketika Pintu berderit, Lia menoleh, tersenyum menemukan kembalinya sang suami yang telah melalui hari yang panjang. Lia merentangkan tangannya, reflek disambut hangatnya dekapan. "Kamu telah menolongku hari ini." Desis Alex menggelitik telinga Lia. "Kamu adalah penyelamatku." Lia terkekeh dan mengeratkan pelukannya. "Akan kulakukan hal terbaik yang kubisa untukmu, sayang." Cukup lama Alex dan Lia saling bertukar dekapan, seolah tak berjumpa setelah sekian tahun. Sepertinya hanya ingin menyampaikan rindu melalui sentuhan, dan itu sudah lebih dari cukup. Selang beberapa detik, Lia melepas pelukannya. "Apa kamu sudah makan malam?" Alex tersentak, menyadari bahwa dia tak mengkonsumsi apa-apa sejak tadi siang. Melihat roman wajah Alex yang terkejut itu membuat Lia menyadari dan paham,
Evan hendak untuk menyerang Lia, tetapi matanya memincing tatkal menyadari sesuatu. Dalam sekejap Evan terbelalak, menemukan Lia sepertinya sedang merekam segala bentuk percakapan mereka sejak tadi. "Ka-kamu..." Suara Evan bergetar ketakutan, Lia pun mengeluarkan ponselnya dari balik saku gaun. Lia menghela nafas, "kamu menyadarinya." "Ka-kamu merekamku sejak tadi?" Lia menggeleng, kemudian memperlihatkan layar ponselnya. "Lebih dari itu, aku menyiarkan ini secara langsung di ruang pertemuan perusahaan suamiku, perusahaan Adarsa." Evan terperanjat begitu dalam, tubuhnya seperti kaku, tak mampu mengatakan apa apa. "Selamat, Evan. Kamu baru saja mengungkapkan kebohonganmu di depan banyak orang. Sepertinya kamu harus menjelaskan semuanya di depan petugas berwajib nanti." Lalu, secara bersamaan pula, pintu unit apartemen tampak terbuka secara paksa dari luar. Evan semakin terkejut, menyadari bahwa dia keliru. Sementara itu, Lia masih terlihat tenang. "Kamu memang wanita licik!" Ke
Sungguh tak ada yang dapat dibendung lagi ketika Lia mengetahui bahwa Evan sungguh berniat melakukan hal buruk terhadap dirinya dan keluarganya, lagi dan lagi. Untuk kesekian kalinya Lia harus berpura-pura bodoh, pura-pura tak tahu bahwa Evan saat ini sedang membuntutinya. Ketika Lia selesai dengan niatnya meyakinkan Alex melalui pesan singkat, Lia menghela nafas. Wanita itu lantas turun dari kendaraan yang membawanya. "Apa aku harus turun, nyonya?" Tanya pengawal yang juga sedang mengemudikan mobil tersebut. Lia menggeleng. "Tak perlu, kamu langsung pulang saja." Pengawal dibuat heran. "Tak bisa nyonya, setidaknya aku harus menunggu anda." Kedua kalinya Lia menggeleng. "Ini adalah perintah dariku." "Tapi nyonya—" "Percaya padaku." Pengawal masih saja ragu. "Aku tahu tugasmu adalah mengawalku, tetapi kali ini aku dan Alex sudah sepakat mengenai perubahan rencana untuk hari ini." Lia yang menolak membuat pengawal terpaksa melakukan perintahnya, apa lagi Lia mengakui bahwa in
Pihak internal Agensi Star Music tiba-tiba saja mengadakan pertemuan di luar jadwal hari ini. Tak lain dan tak bukan, ini merupakan kehendak sang penerus Adarsa, Alexander. Banyak hadirin yang mengeluhkan jadwal mendadak ini, tetapi pihak Alex sepertinya lebih mementingkan keberlangsungan rapat itu. Di antara banyaknya petinggi yang hadir, tampak tuan Erik, kakek dari Natalia, yang terdiam di sana. Sampai detik ini, beliau masih memegang posisi sebagai pemilik saham terbanyak di dalam perusahaan Adarsa. "Apa yang ada di dalam pikiran pak Alex hingga mengadak pertemuan yang begitu mendadak seperti ini?" Tuan Erik mendengar keluhan salah satu kenalannya di sana, tetapi tuan Erik tak menanggapi. "Sepertinya ini berhubungan dengan masalah saham dan aset kemarin." "Apa dia gagal melindungi aset-aset itu? Jika ya, dia harus mengganti semua kerugian." Nafas tuan Erik terhela berat. Mendengarnya seperti membuat beliau hendak menerkam siapa saja. Walau tuan Erik hanyalah kakek Lia, teta
Pernyataan ibu dari Evan tentu membuat Alex dan Lia terkesiap. Pasalnya, Evan dan banyak saksi mengaku bahwa Evan merupakan anak dari tuan Andreas, ayah Alex sendiri. Suasana di dalam bilik perawatan itu hening sejenak, ibu Evan dibuat kikuk. Galih Anggara, sosok terpercaya tuan Andreas yang diketahui Alex sebagai orang dalam yang membantu rencana Evan. 'Tak pernah kusangka jika asisten itu memiliki kelicikan yang seperti ini!' Ucap Alex dalam benaknya yang dilanjutnya dengan helaan nafas. Melihat hal itu Lia mengusap lengan Alex, membuat sang suami membuyarkan lamunannya. Alex mengangguk yakin, dan hendak mengatakan sesuatu. "Jadi—" Belum sempat Alex menyentuh kata kedua, seseorang muncul dengan tergopoh-gopoh serta nafas yang tersengal. "Apa yang kamu lakukan di sini?!" Seru Evan menyiratkan rasa panik di wajahnya. Hal tersebut membuat Alex mendengkus. "Jadi kamu memang bermain busuk, Evan. Tak kusangka kamu begitu haus akan kekuasaan dan berbohong seperti ini." "Aku akan m
Tidak dipungkiri bahwa Evan semakin tertekan menghadapi banyaknya masalah yang semakin rumit. Di satu sisi, ini semua memang kesepakatan yang telah disetujui oleh Evan sendiri. Dalam sehari, helaan nafas beratnya hampir tak terhitung. Evan sungguh merencanakan segalanya sendiri, bahkan Rika semakin tak peduli. 'Wanita itu hanya haus akan tubuhku yang dia anggap sebagai pemuas hawa nafsunya.' Gumam Evan di dalam ruang pribadinya. Pria itu hanya bisa berusaha dan berusaha, memuaskan Rika sekaligus keluarganya untuk merampas aset di bawah naungan perusahaan keluarga Adarsa. Tok tok! "Masuk." Sahut Evan gontai ketika mendengar pintu ruangannya diketuk. Evan menegapkan tubuhnya dan bangkit, menemukan siapa orang yang baru saja datang. "Paman." Katanya. Pria paruh baya yang tak lain adalah paman Evan, sekaligus asisten tuan Andreas atau ayah dari Alexander Adarsa itu, muncul dengah wajah tenang. "Bagaimana dengan rencanamu?" Untuk ke sekian kalinya, Evan menghela nafas berat. "Seb