Hujan di luar hotel tampaknya semakin deras. Alex dan Lia benar-benar terjebak di dalam bangunan mewah yang tentunya membuat Alex menyewa sebuah kamar. "Sepertinya hujannya akan berhenti beberapa jam lagi. Kamu bisa beristirahat di ranjang, selagi aku berjaga." Ucap Alex. Lia menggangguk paham. "Seharusnya kamu saja yang beristirahat, karena kamu sudah mengendarai mobil cukup jauh dari apartemenku." "Ya, aku bisa beristirahat di atas sofa saja. " Dahi Lia mengernyit. "Ada apa? Mengapa kamu tidak mau tidur di atas ranjang?" "Aku enggan membuatmu risih, Lia. Kamu saja yang beristirahat di atas ranjang." Terdengar desahan lembut dari mulut Lia. "Alex. Kamu tidak perlu memikirkanku sejauh itu. Kamu juga perlu memperhatikan dirimu, karena aku tak ingin kamu kenapa-napa." "Baiklah, jika kamu yang meminta seperti itu. Tapi, mungkin aku akan tetap terjaga sampai hujannya reda." "Sepertinya aku akan masuk ke dalam kamar kecil terlebih dulu, aku ingin membersihkan wajahku sebelum
Sepasang suami istri itu menikmati waktu mereka yang akhirnya dapat menyelimuti bersama kehangatan pun kebahagiaan. Tak lain dan tak bukan ialah Alexander dan Natalia. Pagi yang menjadi awal dari hari mereka menyambut begitu baik, menusuk indra penglihatan mereka karena menemukan bahwa pagi usai badai kemarin terasa mendukung. Alex mengerjakap matanya sebagai orang pertama yang sadar. disusul untuk niatnya yang hendak bergerak, tetapi Alex tersadar bahwa ada yang bersandar pada bahu kekarnya. Wajah Alex menoleh, menemukan Lia yang masih pulas dan hanya terbalik selimut tebal sepertinya. Alex mengukir senyum di wajahnya, menemukan pagi ideal yang menjadi dambaannya sepanjang waktu. " Selamat pagi. " gumam Lia yang nyatanya juga sudah sadar, membuat Alex semakin gencar berbahagia. Tanpa membalas ucapan Lia, Alex mengucap dahi wanita itu lalu melontarkan tanya. "Apa aku boleh ke kamar kecil? Rasanya aku sangat ingin..." Lia tertawa kecil. "Ya, ya, aku paham maksudmu Alex." Lia
Hari yang dijanjikan oleh Lia untuk datang membawa materi dan proposalnya pun tiba. Pagi hari menyambut Lia, yang sedikit bingung karena menemukan dirinya berada di atas ranjang. Lia menoleh, menemukan sisi ranjang yang lain tampak kosong. Dahi Lia mengernyit, berusaha mencari pria yang semalam masih berada bersamanya. Tubuhnya bangkit, mengeratkan luaran piyamanya, dan berjalan menuju keluar kamar. Mata Lia mengedar ke sana kemari, mencari-cari keberadaan seseorang. "Alex, apakah kamu sudah pulang?" Ucap Lia dengan suaranya yang lembut. Asisten Lia tergopoh-gopoh menghampiri sang atasan. "Tuan Alex sedang berada di dapur, Nyonya. Tuan bersikeras untuk menyiapkan sarapan untukmu." "Benarkah?" Tanya Lia tak percaya sontak kembali beranjak untuk menuju dapur, dan sungguh menemukan keberadaan Alex di sana yang sedang menata sesuatu di atas piring. Lia menutup mulutnya dengan satu tangan. "Astaga, sejak kapan kamu bisa memasak?" Pertanyaan Lia membuat Alex tersenyum miring da
Alex cukup lama menunggu kehadiran Lia yang dikiranya masih melakukan rapat pada ruang pertemuan. Alex berusaha mengirimkan pesan singkat agar tidak mengganggu Lia, tetapi tak ada satu pun pesan yang dibalas oleh wanita itu. Ketika Alexander kembali pada layar laptopnya, tiba-tiba saja muncul kehadiran Lia dengan wajah yang tak mampu diartikan oleh Alex sendiri. Nafas Lia seperti tersengal, Lia begitu gelisah membuat Alex ikut bimbang. "Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Alex memastikan keadaan Lia. "A-aku, aku hanya ingin segera pulang." Balas Lia singkat namun tidak menatap Alex sama sekali. Tentu respon Lia membuat Alex menjadi ganjal, karena saat berangkat tadi Lia tampak baik-baik saja. "Apa kamu yakin bahwa kamu baik-baik saja? Apa kamu terburu-buru karena pesan yang aku kirimkan?" Baru saja Lia hendak menjawab Alex, tiba-tiba saja Evan muncul dengan membawa ponsel Lia. Pria itu sekadar meletakkan ponsel Lia di atas permukaan meja, menarik perhatian Alex dan Lia yang serem
"Bagaimana, apa sudah ada kemajuan dari wanita itu?" Ulang Alex, menyadarkan Resham yang terdiam di seberang sana. Resham pun menjawab. "Dia masih menolak, Tuan. Bahkan dia ingin menelepon orang tuanya. Tetapi, saya tetap menolaknya." "Ya, kamu harus ketat dengan itu. Karena jika kita sampai lengah, kita akan kehilangan Rika, dan itu sama saja kita membiarkan dia berulah lagi." "Baik, Tuan. Kami akan terus menjaga wanita ini agar dia tidak bisa melarikan diri. Serahkan saja pada kami." Alex menghala nafasnya, dan menyebabkan rambutnya yang mulai memanjang. "Ya, hubungi aku jika ada sesuatu yang penting." Jemari Alex mengakhiri sambungan, dan meletakkan ponselnya ke dalam saku celana lagi. Baru saja Alex terdiam, tiba-tiba Alex mereka merasakan seseorang berdiri di belakangnya. Pria Adarsa itu menoleh, menemukan Lia yang menatapnya cukup dalam. "Apa kamu akan menjelaskan ini? Apa benar yang kudengar bahwa kamu seolah menyembunyikan Rika?" "Lia... Jangan berprasangka buruk,
Hari ini, Lia kembali datang ke tempat kerjanya yang terletak di pusat kota Paris dengan raut yang cukup terpaksa. Tentu, belum ada rekan kerjanya yang tahu mengenai percakapan yang didengar Lia beberapa hari yang lalu. Usai Alex menangani Rika yang masih menjadi tahanan pribadi Alex, pria itu belum memberitahu banyak mengenai apa rencana setelahnya. "Kamu hanya perlu tenang, dan bereaksi seolah tak ada yang terjadi. Selebihnya kamu boleh menyerahkannya padaku." Ujar Alex di dalam mobil pada Lia yang diantarnya kerja. Lia terdiam sejenak, kemudian mengangguk paham dan tak bertanya mengenai perkara-perkara yang tengah berserakan. Di samping itu, kali ini Lia seolah memiliki tekad yang membara untuk melindungi dirinya dari orang yang berusaha menjatuhkannya. Ketika Lia sudah masuk ke dalam gedung, dia terus melenggang melewati lintasan-lintasan hingga tiba ke ruang kerjanya. Tentu, di sana Lia bertemu dengan atasannya, yakni Tuan Ronan, dan Evan. Tak ada yang istimewa, Lia yang
"Apa menurutmu aku akan mempercayaimu secepat itu? Padahal kamu menghabisi banyak nyawa dan meninggalkan trauma?" Sergah Alex membuat Rika semakin kewalahan. "Terserah apa yang kamu lihat dariku saat ini, namun aku memang bersungguh-sungguh, dan aku tak lagi mampu untuk menetap di tempat seperti ini. Kamu telah membuka trauma lama aku!" Balas Rika dengan bahu yang terguncang. "Trauma? Trauma macam apa yang membuatmu seperti ini setelah kamu membuat banyak korban dan menimbulkan trauma pada orang lain?!" "Diam! Diam! Aku tak ingin kamu tahu kelemahanku! Hanya beri aku kesepakatannya, dan aku akan menebus dosa-dosaku pada kalian!" Alex dapat menemukan manik mata Rika yang memohon ampun, walau wanita itu berupaya terlihat melunjak dengan terus memaksakan kesepakatan. Bagi Alex, ini adalah kesempatan emas di mana dia bisa memanfaatkan seorang Erika. "Baiklah, jika kamu melanggar kesepakatan ini, maka tidak akan ada yang berharga lagi selain nyawamu sendiri. Karena aku tidak pedul
berhari-hari dilalui oleh Alex dunia di tengah rencana mereka untuk memberikan pelajaran kepada orang-orang yang ingin membawa perkara kepada hidup mereka. Lia, kembali bekerja dengan perasaan yang sudah terbiasa untuk menampakkan topeng di depan orang orang yang hendak memangsanya. Tentu, Lia yakin melakukan segalanya karena Lia pun tahu Alex akan selalu ada dan lebih memahami akan rencana mereka. Hari ini, adalah hari terakhir di mana mereka akan merampungkan proposal serta bagan-bagan sebelum Lia tampil kembali sebagai model di Paris. entah kenapa, Lia merasa cukup huruf sekaligus berharap akan ada hasil dari rencana yang telah disusunnya bersama Alex. Di dalam ruang kerjanya yang masih berhadapan langsung dengan meja milik, Lia tampak begitu serius menghadapi layar komputer untuk menyelesaikan proposalnya dan berbagai dokumen penting lainnya. Di samping itu, Evan juga tampak sangat serius. keduanya seperti bersungguh-sungguh untuk mengakhiri perencanaan terhadap apa yang ak
Pada pagi yang cerah, Alex mengerjapkan matanya dengan seksama, menemukan langit-langit kamarnya yang menyambut hari itu. Reflek Alex merenggangkan otot-otot tubuhnya, dan secara tidak sengaja menyentuh kulit lembut Lia yang juga masih terlelap di sampingnya. Merasakan sentuhan itu, Lia perlahan tersadar. "Ah, maaf sayang." Kata Alex yang lalu memeluk Lia perlahan. Sentuhannya masih saja sama, menghangatkan dan penuh kasih. Lia hanya tersenyum, kemudian berbalik demi membalas pelukan kasih sang suami. "Selamat pagi sayang." Katanya. "Selamat pagi juga untukmu." "Bagaimana hari ini? Apa kamu akan berangkat lebih awal lagi seperti kemarin?" Alex terdiam dan mempertimbangkan, kemudian menjawab. "Sepertinya tidak perlu, aku bahkan cuti sebanyak dua hari." Dahi Lia mengernyit. "Benarkah?" "Ya." Alex mengangguk. "Rasanya ingin menghabiskan waktu bersamamu dan Reksa setelah sekian lama tak memilikinya." Lia mendengkus. "Apa semuanya akan baik-baik saja jika kamu tetap cuti hari ini
"Kita sudah sampai tuan." Ucap seorang pengawal membuat Evan tersadar dari lamunannya di dalam kendaraan yang membawanya pulang. Evan terdiam sejenak, dan melihat ke arah depan mobil tersebut. Dilihatnya kediaman yang sudah beberapa bulan menjadi huniannya, juga menjadi heran ketika menemukan sebuah mobil tak dikenalnya terparkir di depan pintu masuk. "Mobil siapa itu?" Tanya Evan masih kebingungan. "Apa Rika membeli mobil baru? Karena sudah tidak mungkin dia menerima tamu di waktu malam seperti ini." Pengawal terdiam, sedikit ragu menjawab sang tuan dan membuat pria itu semakin menaruh curiga. Tanpa isyarat Evan segera keluar dari dalam mobil, melangkah terburu-buru ke dalam rumahnya dan Rika. Evan semakin terkejut ketika menemukan beberapa lembar pakaian yang berserakan di atas lantai. 'A-apa apaan ini?' Batin Evan mulai merasa marah di atas curiganya. 'Apa dia berselingkuh?!' Evan terus melangkah, menemukan pintu kamar pribadinya dan Rika yang sedikit terbuka. Terdengar suara
Satu tangan Erika Odeline terkepal, mendengar fakta bahwa Evan, pria yang dikenal sebagai suaminya sedang berada di dalam tahanan. "Apa yang membuatnya ditahan di dalam sana?" Tanya Rika pada salah satu pengawalnya. "Apa ini berkaitan dengan masalah perusahaan Adarsa dan Agensi Star Music?" Pengawal Rika mengangguk. "Ya nyonya, tuan Evan dituntut atas kasus percobaan penculikan, dan penyalah gunaan dokumen penting atas aset orang lain." "Apa? Orang lain?" Ulang Rika dengan nada bicaranya yang berapi-api. "Orang lain katamu?!" Kekesalan Rika menyebabkan pengawalnya menunduk. "Maaf nyonya." "Sial! Aku sudah memberi umpan agar Evan bisa mengklaim aset aset itu secara gamblang, tapi apa yang selama ini dia lakukan?!" Rika terdiam sejenak, lalu mendadak histeris menyerukan kekesalannya. Tentu, tak ada yang berubah dari wanita temperamental seperti Rika yang sangat mudah memelihara ego dan amarahnya. Bahkan setelah banyak hal dan hukuman yang Rika lalui, dia masih saja membena
Menyusul di penghujung hari, Alex yang cukup lelah pun tiba di kediamannya. Lelah membuat Alex lebih banyak diam, terus berjalan masuk dan menemukan kehadiran Lia di dalam kamar pribadi mereka. Ketika Pintu berderit, Lia menoleh, tersenyum menemukan kembalinya sang suami yang telah melalui hari yang panjang. Lia merentangkan tangannya, reflek disambut hangatnya dekapan. "Kamu telah menolongku hari ini." Desis Alex menggelitik telinga Lia. "Kamu adalah penyelamatku." Lia terkekeh dan mengeratkan pelukannya. "Akan kulakukan hal terbaik yang kubisa untukmu, sayang." Cukup lama Alex dan Lia saling bertukar dekapan, seolah tak berjumpa setelah sekian tahun. Sepertinya hanya ingin menyampaikan rindu melalui sentuhan, dan itu sudah lebih dari cukup. Selang beberapa detik, Lia melepas pelukannya. "Apa kamu sudah makan malam?" Alex tersentak, menyadari bahwa dia tak mengkonsumsi apa-apa sejak tadi siang. Melihat roman wajah Alex yang terkejut itu membuat Lia menyadari dan paham,
Evan hendak untuk menyerang Lia, tetapi matanya memincing tatkal menyadari sesuatu. Dalam sekejap Evan terbelalak, menemukan Lia sepertinya sedang merekam segala bentuk percakapan mereka sejak tadi. "Ka-kamu..." Suara Evan bergetar ketakutan, Lia pun mengeluarkan ponselnya dari balik saku gaun. Lia menghela nafas, "kamu menyadarinya." "Ka-kamu merekamku sejak tadi?" Lia menggeleng, kemudian memperlihatkan layar ponselnya. "Lebih dari itu, aku menyiarkan ini secara langsung di ruang pertemuan perusahaan suamiku, perusahaan Adarsa." Evan terperanjat begitu dalam, tubuhnya seperti kaku, tak mampu mengatakan apa apa. "Selamat, Evan. Kamu baru saja mengungkapkan kebohonganmu di depan banyak orang. Sepertinya kamu harus menjelaskan semuanya di depan petugas berwajib nanti." Lalu, secara bersamaan pula, pintu unit apartemen tampak terbuka secara paksa dari luar. Evan semakin terkejut, menyadari bahwa dia keliru. Sementara itu, Lia masih terlihat tenang. "Kamu memang wanita licik!" Ke
Sungguh tak ada yang dapat dibendung lagi ketika Lia mengetahui bahwa Evan sungguh berniat melakukan hal buruk terhadap dirinya dan keluarganya, lagi dan lagi. Untuk kesekian kalinya Lia harus berpura-pura bodoh, pura-pura tak tahu bahwa Evan saat ini sedang membuntutinya. Ketika Lia selesai dengan niatnya meyakinkan Alex melalui pesan singkat, Lia menghela nafas. Wanita itu lantas turun dari kendaraan yang membawanya. "Apa aku harus turun, nyonya?" Tanya pengawal yang juga sedang mengemudikan mobil tersebut. Lia menggeleng. "Tak perlu, kamu langsung pulang saja." Pengawal dibuat heran. "Tak bisa nyonya, setidaknya aku harus menunggu anda." Kedua kalinya Lia menggeleng. "Ini adalah perintah dariku." "Tapi nyonya—" "Percaya padaku." Pengawal masih saja ragu. "Aku tahu tugasmu adalah mengawalku, tetapi kali ini aku dan Alex sudah sepakat mengenai perubahan rencana untuk hari ini." Lia yang menolak membuat pengawal terpaksa melakukan perintahnya, apa lagi Lia mengakui bahwa in
Pihak internal Agensi Star Music tiba-tiba saja mengadakan pertemuan di luar jadwal hari ini. Tak lain dan tak bukan, ini merupakan kehendak sang penerus Adarsa, Alexander. Banyak hadirin yang mengeluhkan jadwal mendadak ini, tetapi pihak Alex sepertinya lebih mementingkan keberlangsungan rapat itu. Di antara banyaknya petinggi yang hadir, tampak tuan Erik, kakek dari Natalia, yang terdiam di sana. Sampai detik ini, beliau masih memegang posisi sebagai pemilik saham terbanyak di dalam perusahaan Adarsa. "Apa yang ada di dalam pikiran pak Alex hingga mengadak pertemuan yang begitu mendadak seperti ini?" Tuan Erik mendengar keluhan salah satu kenalannya di sana, tetapi tuan Erik tak menanggapi. "Sepertinya ini berhubungan dengan masalah saham dan aset kemarin." "Apa dia gagal melindungi aset-aset itu? Jika ya, dia harus mengganti semua kerugian." Nafas tuan Erik terhela berat. Mendengarnya seperti membuat beliau hendak menerkam siapa saja. Walau tuan Erik hanyalah kakek Lia, teta
Pernyataan ibu dari Evan tentu membuat Alex dan Lia terkesiap. Pasalnya, Evan dan banyak saksi mengaku bahwa Evan merupakan anak dari tuan Andreas, ayah Alex sendiri. Suasana di dalam bilik perawatan itu hening sejenak, ibu Evan dibuat kikuk. Galih Anggara, sosok terpercaya tuan Andreas yang diketahui Alex sebagai orang dalam yang membantu rencana Evan. 'Tak pernah kusangka jika asisten itu memiliki kelicikan yang seperti ini!' Ucap Alex dalam benaknya yang dilanjutnya dengan helaan nafas. Melihat hal itu Lia mengusap lengan Alex, membuat sang suami membuyarkan lamunannya. Alex mengangguk yakin, dan hendak mengatakan sesuatu. "Jadi—" Belum sempat Alex menyentuh kata kedua, seseorang muncul dengan tergopoh-gopoh serta nafas yang tersengal. "Apa yang kamu lakukan di sini?!" Seru Evan menyiratkan rasa panik di wajahnya. Hal tersebut membuat Alex mendengkus. "Jadi kamu memang bermain busuk, Evan. Tak kusangka kamu begitu haus akan kekuasaan dan berbohong seperti ini." "Aku akan m
Tidak dipungkiri bahwa Evan semakin tertekan menghadapi banyaknya masalah yang semakin rumit. Di satu sisi, ini semua memang kesepakatan yang telah disetujui oleh Evan sendiri. Dalam sehari, helaan nafas beratnya hampir tak terhitung. Evan sungguh merencanakan segalanya sendiri, bahkan Rika semakin tak peduli. 'Wanita itu hanya haus akan tubuhku yang dia anggap sebagai pemuas hawa nafsunya.' Gumam Evan di dalam ruang pribadinya. Pria itu hanya bisa berusaha dan berusaha, memuaskan Rika sekaligus keluarganya untuk merampas aset di bawah naungan perusahaan keluarga Adarsa. Tok tok! "Masuk." Sahut Evan gontai ketika mendengar pintu ruangannya diketuk. Evan menegapkan tubuhnya dan bangkit, menemukan siapa orang yang baru saja datang. "Paman." Katanya. Pria paruh baya yang tak lain adalah paman Evan, sekaligus asisten tuan Andreas atau ayah dari Alexander Adarsa itu, muncul dengah wajah tenang. "Bagaimana dengan rencanamu?" Untuk ke sekian kalinya, Evan menghela nafas berat. "Seb